Memahami Syari'at Islam dengan Perspektif Perempuan: Perbedaan revisi

tidak ada ringkasan suntingan
(←Membuat halaman berisi ' ''“Ulama yang tidak memperhatikan perspektif perempuan,'' ''diharamkan untuk berbicara tentang syari’at Allah Swt”.'' Syeikh Muhammad al-Ghazali<ref>Ungkapa...')
 
 
Baris 17: Baris 17:
Bahwa metodologi fikih berbeda dari disiplin ilmu yang lain, bisa dibenarkan. Tetapi bahwa ia lepas dari realitas atau berada di atas realitas, adalah pandangan yang tidak tepat. Ia tidak memiliki argumentasi yang cukup. Karena fikih sarat dengan pergumulannya dengan realitas. Dalam satu persoalan, fikih bisa menawarkan hukum yang berbeda karena didasarkan kepada tuntutan realitas yang muncul. Pengaruh realitas dalam produk-produk fikih sangat ketara dan nyata. Dan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan perempuan adalah yang paling nyata, di antara persoalan-persoalan yang lain.  
Bahwa metodologi fikih berbeda dari disiplin ilmu yang lain, bisa dibenarkan. Tetapi bahwa ia lepas dari realitas atau berada di atas realitas, adalah pandangan yang tidak tepat. Ia tidak memiliki argumentasi yang cukup. Karena fikih sarat dengan pergumulannya dengan realitas. Dalam satu persoalan, fikih bisa menawarkan hukum yang berbeda karena didasarkan kepada tuntutan realitas yang muncul. Pengaruh realitas dalam produk-produk fikih sangat ketara dan nyata. Dan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan perempuan adalah yang paling nyata, di antara persoalan-persoalan yang lain.  


Banyak contoh yang bisa dikemukakan di sini. Misalnya, ketika pandangan mayoritas ulama fikih menyatakan bahwa Islam tidak memberikan kewenangan kepada perempuan untuk melangsungkan akad nikah, menjadi imam pada jama’ah shalat, atau memimpin [[komunitas]] sosial, sebenarnya ia lebih banyak dipengaruhi oleh tuntutan realitas (''mutathallabât al-wâqi’''), daripada oleh tuntutan indikasi-indikasi teks agama (''dalâlât an-nash'') secara langsung. Realitas yang berkembang banyak memberikan batasan, pengertian dan ruang lingkup terhadap persoalan-persoalan hukum fikih tentang khitan perempuan, perkawinan dan perceraian, hak dan kewajiban sebagai isteri, serta hak dan kewajiban sebagai warga dalam sebuah komunitas negara, serta dalam apa yang dikenal dengan konsep ‘fitnah perempuan’. Dengan mengurai persoalan-persoalan ini lebih mendalam, keterkaitan fikih dengan realitas yang berkembang akan terlihat nyata, termasuk tentu saja keterkaitannya dengan teks-teks yang diriwayatkan. Ada semacam tarik-ulur keterkaitan antara fikih dan teks sebagai sumber [penetapan] hukumnya di satu sisi, dan fikih dan realitas sebagai sumber [penerapan]-nya.
Banyak contoh yang bisa dikemukakan di sini. Misalnya, ketika pandangan mayoritas ulama fikih menyatakan bahwa Islam tidak memberikan kewenangan kepada perempuan untuk melangsungkan [[Akad Nikah|akad nikah]], menjadi imam pada jama’ah shalat, atau memimpin [[komunitas]] sosial, sebenarnya ia lebih banyak dipengaruhi oleh tuntutan realitas (''mutathallabât al-wâqi’''), daripada oleh tuntutan indikasi-indikasi teks agama (''dalâlât an-nash'') secara langsung. Realitas yang berkembang banyak memberikan batasan, pengertian dan ruang lingkup terhadap persoalan-persoalan hukum fikih tentang khitan perempuan, perkawinan dan perceraian, hak dan kewajiban sebagai isteri, serta hak dan kewajiban sebagai warga dalam sebuah komunitas negara, serta dalam apa yang dikenal dengan konsep ‘fitnah perempuan’. Dengan mengurai persoalan-persoalan ini lebih mendalam, keterkaitan fikih dengan realitas yang berkembang akan terlihat nyata, termasuk tentu saja keterkaitannya dengan teks-teks yang diriwayatkan. Ada semacam tarik-ulur keterkaitan antara fikih dan teks sebagai sumber [penetapan] hukumnya di satu sisi, dan fikih dan realitas sebagai sumber [penerapan]-nya.


Misalnya dalam persoalan ‘menceraikan isteri’. Di dalam hadis sangat jelas disebutkan bahwa ‘menceraikan isteri’ adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah Swt.<ref>Teks haditsnya: “Abghadl al-Halâl ilallâhi ath-talâq” [perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak/menceraikan]. Dalam teks lain disebutkan: “Mâ ahalla al-lâhu syay’an abghadlu ilayhi min ath-thalaq” [Tidak ada satupuan perbuatan yang dihalalkan oleh Allah, tetapi paling dibenci-Nya melainkan talak]. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah dan al-Hakim, dari sahabat Ibn ‘Umar r.a. Lihat: Ibn al-Atsîr, Mubarak bin Muhammad, Jami’ al-Ushûl min Ahadîts ar-Rasûl, 1984: Dar Ihya at-Turâts, Beirut-Libanon, juz viii, h. 392, no. hadis: 5780.</ref> Karena itu, Nabi sendiri dalam keadaan yang paling sulit sekalipun tidak berani menceraikan isteri. Tetapi persoalan itu menjadi sangat mudah bagi para ulama, ketika berbentuk norma-norma hukum fikih. Dalam fikih, perceraian bisa jatuh sekehendak suami, kapan, dimana, bagaimana dan dalam keadaan apapun, tanpa ada pertimbangan-pertimbangan terhadap kondisi perempuan.<ref>Dalam fikih, talak merupakan hak suami sepenuhnya. Bahkan dalam pandangan Ibn Hazm, sekalipun suami telah memberikan mandat kepada isteri untuk menceraikan, atau memberikan kesempatan untuk memilih, hak talak tetap di tangan suami. Si isteri menceraikan atau tidak, atau membuat pilihan atau tidak, perceraian tetap tidak jatuh bila isteri yang melakukan, karena hanya suami yang bisa menjatuhkan talak, bukan isteri.</ref> Termasuk ketika para ulama sepakat bahwa perceraian waktu isteri haid adalah haram, tetapi mereka tetap menganggap bahwa perceraian ‘haram’ itu sah, jatuh terhadap perempuan, sekalipun jelas diharamkan karena merugikan perempuan.<ref>Dalam fikih Islam perceraian waktu haid dikenal dengan istilah ‘thalâq bid’iyy’ [perceraian yang bid’ah], sebaliknya adalah‘thalâq sunniy’ [perceraian yang mengikut sunnah]. Thalâq bid’iyy dalam pandangan mayoritas ulama fikih adalah haram hukumnya, atau dalam mazhab Hanafi dianggap makruh tahrim. Sekalipun haram, mereka berpendapat bahwa talak tersebut tetap jatuh dan sah, kecuali dalam pandangan Ibn Taymiyyah bahwa talak tersebut haram dan tidak sah [tidak jatuh talak]. Ini menunjukkan bahwa hak suami terhadap perceraian ‘jauh lebih kokoh’ dibandingkan dengan teks agama, karena ia bisa [dan sah] menjatuhkannya pada saat agama melarangnya. Lihat: Az-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 1984: Dar al-Fikr, Damaskus-Syria, juz vii, h. 402-403.</ref>
Misalnya dalam persoalan ‘menceraikan isteri’. Di dalam hadis sangat jelas disebutkan bahwa ‘menceraikan isteri’ adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah Swt.<ref>Teks haditsnya: “Abghadl al-Halâl ilallâhi ath-talâq” [perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak/menceraikan]. Dalam teks lain disebutkan: “Mâ ahalla al-lâhu syay’an abghadlu ilayhi min ath-thalaq” [Tidak ada satupuan perbuatan yang dihalalkan oleh Allah, tetapi paling dibenci-Nya melainkan talak]. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibn Majah dan al-Hakim, dari sahabat Ibn ‘Umar r.a. Lihat: Ibn al-Atsîr, Mubarak bin Muhammad, Jami’ al-Ushûl min Ahadîts ar-Rasûl, 1984: Dar Ihya at-Turâts, Beirut-Libanon, juz viii, h. 392, no. hadis: 5780.</ref> Karena itu, Nabi sendiri dalam keadaan yang paling sulit sekalipun tidak berani menceraikan isteri. Tetapi persoalan itu menjadi sangat mudah bagi para ulama, ketika berbentuk norma-norma hukum fikih. Dalam fikih, perceraian bisa jatuh sekehendak suami, kapan, dimana, bagaimana dan dalam keadaan apapun, tanpa ada pertimbangan-pertimbangan terhadap kondisi perempuan.<ref>Dalam fikih, talak merupakan hak suami sepenuhnya. Bahkan dalam pandangan Ibn Hazm, sekalipun suami telah memberikan mandat kepada isteri untuk menceraikan, atau memberikan kesempatan untuk memilih, hak talak tetap di tangan suami. Si isteri menceraikan atau tidak, atau membuat pilihan atau tidak, perceraian tetap tidak jatuh bila isteri yang melakukan, karena hanya suami yang bisa menjatuhkan talak, bukan isteri.</ref> Termasuk ketika para ulama sepakat bahwa perceraian waktu isteri haid adalah haram, tetapi mereka tetap menganggap bahwa perceraian ‘haram’ itu sah, jatuh terhadap perempuan, sekalipun jelas diharamkan karena merugikan perempuan.<ref>Dalam fikih Islam perceraian waktu haid dikenal dengan istilah ‘thalâq bid’iyy’ [perceraian yang bid’ah], sebaliknya adalah‘thalâq sunniy’ [perceraian yang mengikut sunnah]. Thalâq bid’iyy dalam pandangan mayoritas ulama fikih adalah haram hukumnya, atau dalam mazhab Hanafi dianggap makruh tahrim. Sekalipun haram, mereka berpendapat bahwa talak tersebut tetap jatuh dan sah, kecuali dalam pandangan Ibn Taymiyyah bahwa talak tersebut haram dan tidak sah [tidak jatuh talak]. Ini menunjukkan bahwa hak suami terhadap perceraian ‘jauh lebih kokoh’ dibandingkan dengan teks agama, karena ia bisa [dan sah] menjatuhkannya pada saat agama melarangnya. Lihat: Az-Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 1984: Dar al-Fikr, Damaskus-Syria, juz vii, h. 402-403.</ref>
Baris 94: Baris 94:
Realitas sosial saat ini telah membuktikan, bahwa perempuan tidak seperti yang diasumsikan; sebagai makhluk yang lemah, lembut, kurang mampu mengemban tanggung jawab besar, tidak cerdas dan emosional. Perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan, tidak serta-merta membedakan kemampuan dan kecerdasan seseorang, sehingga yang satu dianggap lebih kuat dari yang lain. Para ahli genetika mengakui bahwa manusia adalah makhluk biologis yang memiliki karakteristik tersendiri, perkembangan kesadaran dan kecerdasannya banyak ditentukan oleh faktor lingkungan, tidak hanya oleh faktor genetika,<ref>Dalam analisis Maxon dan Daugherty bahwa meskipun sifat-sifat dasar genetika manusia memiliki persamaan dengan makhluk biologis lainnya, tetapi manusia mempunyai perkembangan genetika dan seks jauh lebih rumit dan kompleks, terutama dalam mendeteksi fenotipe seksual [ekspresi genetika yang merujuk kepada sifat organisme biologis, misalnya struktur, fisiologi, biokimia, perilaku, atau keseluruhan unsur-unsur tersebut]. Fenotipe seksual manusia terpengaruh oleh dua hal faktor genitika dan faktor lingkungan. Dikutip dari Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur’an, 1999: Paramadina, Jakarta, hal. 38-45.</ref> atau jenis kelamin. Karena itu, perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tidak bisa mengabsahkan perbedaan peran mereka dalam wilayah sosial.  
Realitas sosial saat ini telah membuktikan, bahwa perempuan tidak seperti yang diasumsikan; sebagai makhluk yang lemah, lembut, kurang mampu mengemban tanggung jawab besar, tidak cerdas dan emosional. Perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan, tidak serta-merta membedakan kemampuan dan kecerdasan seseorang, sehingga yang satu dianggap lebih kuat dari yang lain. Para ahli genetika mengakui bahwa manusia adalah makhluk biologis yang memiliki karakteristik tersendiri, perkembangan kesadaran dan kecerdasannya banyak ditentukan oleh faktor lingkungan, tidak hanya oleh faktor genetika,<ref>Dalam analisis Maxon dan Daugherty bahwa meskipun sifat-sifat dasar genetika manusia memiliki persamaan dengan makhluk biologis lainnya, tetapi manusia mempunyai perkembangan genetika dan seks jauh lebih rumit dan kompleks, terutama dalam mendeteksi fenotipe seksual [ekspresi genetika yang merujuk kepada sifat organisme biologis, misalnya struktur, fisiologi, biokimia, perilaku, atau keseluruhan unsur-unsur tersebut]. Fenotipe seksual manusia terpengaruh oleh dua hal faktor genitika dan faktor lingkungan. Dikutip dari Nasaruddin ‘Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif al-Qur’an, 1999: Paramadina, Jakarta, hal. 38-45.</ref> atau jenis kelamin. Karena itu, perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, tidak bisa mengabsahkan perbedaan peran mereka dalam wilayah sosial.  


Apa yang dahulu dianggap sebagai kodrat perempuan, sekarang beberapa hal diantaranya secara empirik telah terbantahkan. Fakta-fakta sosial telah membuktikan, bahwa sifat dasar yang diyakini melekat pada perempuan atau laki-laki –yang berkaitan dengan peran sosial mereka- ternyata tidak seperti yang diasumsikan. Perbedaan-perbedaan itu, pada kenyataanya dibentuk oleh sosial, bersifat relatif, bisa berubah dan bisa dipertukarkan. Karena itu, saat ini kita bisa menyaksikan perempuan-perempuan yang pintar, cerdas, bijak; ada yang menjadi politisi, pebisnis, pendidik, dokter dan profesi-profesi lain. Realitas ini, suka atau tidak suka, memaksa banyak orang dari berbagai  disiplin ilmu untuk melihat kembali pandangan mereka tentang perempuan, terutama dalam relasinya dengan laki-laki. Termasuk para [[tokoh]] agama, atau dalam hal ini adalah fikih Islam. Realitas ini, tidak bisa –bahkan tidak akan bisa- dinafikan oleh siapapun ketika menulis kembali persoalan-persoalan keagamaan yang berkaitan dengan pola realasi laki-laki dan perempuan.
Apa yang dahulu dianggap sebagai [[Kodrat Perempuan|kodrat perempuan]], sekarang beberapa hal diantaranya secara empirik telah terbantahkan. Fakta-fakta sosial telah membuktikan, bahwa sifat dasar yang diyakini melekat pada perempuan atau laki-laki –yang berkaitan dengan peran sosial mereka- ternyata tidak seperti yang diasumsikan. Perbedaan-perbedaan itu, pada kenyataanya dibentuk oleh sosial, bersifat relatif, bisa berubah dan bisa dipertukarkan. Karena itu, saat ini kita bisa menyaksikan perempuan-perempuan yang pintar, cerdas, bijak; ada yang menjadi politisi, pebisnis, pendidik, dokter dan profesi-profesi lain. Realitas ini, suka atau tidak suka, memaksa banyak orang dari berbagai  disiplin ilmu untuk melihat kembali pandangan mereka tentang perempuan, terutama dalam relasinya dengan laki-laki. Termasuk para [[tokoh]] agama, atau dalam hal ini adalah fikih Islam. Realitas ini, tidak bisa –bahkan tidak akan bisa- dinafikan oleh siapapun ketika menulis kembali persoalan-persoalan keagamaan yang berkaitan dengan pola realasi laki-laki dan perempuan.


Apalagi perbedaan –atau lebih tepatnya pembedaan- peran sosial perempuan, pada tataran realitas menyebabkan kezaliman-kezaliman terhadap perempuan, yang tentu tidak sejalan dengan misi dasar Islam sebagai agama keadilan dan kemaslahatan. Kezaliman [''zhulm''] dan kerusakan [''dharar''] dalam bentuk sekecil apapun harus dihentikan dan dihapuskan [''lâ dharar wa lâ dhirâr'']. Pengekangan terhadap aktifitas perempuan, yang dahulu dibenarkan dengan dalih perlindungan, ternyata menjerumuskan kepada ketidak-mandirian dan ketergantungan yang menistakan perempuan. Bahkan menempatkan perempuan pada posisi korban kekerasan, baik fisik, mental maupun sosial. Rezim sosial yang otoriter dan zalim tentu saja harus dilawan dan dihentikan. Dalam bahasa hadis, sebaik-baik jihad adalah menyatakan kebenaran [keadilan] di hadapan rezim [termasuk sosial] yang otoriter dan zalim [''afdhal al-jihâd qawl al-haqq amâm sulthânin jâ’ir''].<ref>Riwayat an-Nasa’i, lihat pada Ibn al-Atsir, op.cit, juz 1/236.</ref>
Apalagi perbedaan –atau lebih tepatnya pembedaan- peran sosial perempuan, pada tataran realitas menyebabkan kezaliman-kezaliman terhadap perempuan, yang tentu tidak sejalan dengan misi dasar Islam sebagai agama keadilan dan kemaslahatan. Kezaliman [''zhulm''] dan kerusakan [''dharar''] dalam bentuk sekecil apapun harus dihentikan dan dihapuskan [''lâ dharar wa lâ dhirâr'']. Pengekangan terhadap aktifitas perempuan, yang dahulu dibenarkan dengan dalih perlindungan, ternyata menjerumuskan kepada ketidak-mandirian dan ketergantungan yang menistakan perempuan. Bahkan menempatkan perempuan pada posisi korban kekerasan, baik fisik, mental maupun sosial. Rezim sosial yang otoriter dan zalim tentu saja harus dilawan dan dihentikan. Dalam bahasa hadis, sebaik-baik jihad adalah menyatakan kebenaran [keadilan] di hadapan rezim [termasuk sosial] yang otoriter dan zalim [''afdhal al-jihâd qawl al-haqq amâm sulthânin jâ’ir''].<ref>Riwayat an-Nasa’i, lihat pada Ibn al-Atsir, op.cit, juz 1/236.</ref>
Baris 178: Baris 178:
Mungkin bisa ditegaskan dalam persoalan menstruasi ini, bahwa kita tidak bisa lagi menjatuhkan pilihan terhadap suatu pandangan fikih tertentu dengan alasan teks yang dianggap otoritatif dan argumentatif. Misalnya dalam ‘identifikasi’ haid; berapa hari, bentuk darah, berapa lama daurnya, harus tidak lagi menjadi wilayah fikih, karena ia sebenarnya merupakan wilayah medis-biologis. Saat ini, fikih –dengan merujuk kepada fikih klasik- tidak perlu lagi menentukan apa itu haidh, kapan, bagaimana dan berapa hari. Ini sepenuhnya wilayah disiplin ilmu lain; medis-biologis. Fikih klasik sendiri memiliki ketentuan-ketentuan itu melalui penelitian [''istiqra''], maka fikih kontemporer juga harus menyerahkan persoalan itu kepada penelitian ilmiah, yaitu medis-biologis sekarang. Wilayah fikih hanya pada tataran moralitas; yaitu kalau waktu haidh tidak mendirikan sembahyang, puasa, thawaf dan tidak melakukan hubungan seksual.
Mungkin bisa ditegaskan dalam persoalan menstruasi ini, bahwa kita tidak bisa lagi menjatuhkan pilihan terhadap suatu pandangan fikih tertentu dengan alasan teks yang dianggap otoritatif dan argumentatif. Misalnya dalam ‘identifikasi’ haid; berapa hari, bentuk darah, berapa lama daurnya, harus tidak lagi menjadi wilayah fikih, karena ia sebenarnya merupakan wilayah medis-biologis. Saat ini, fikih –dengan merujuk kepada fikih klasik- tidak perlu lagi menentukan apa itu haidh, kapan, bagaimana dan berapa hari. Ini sepenuhnya wilayah disiplin ilmu lain; medis-biologis. Fikih klasik sendiri memiliki ketentuan-ketentuan itu melalui penelitian [''istiqra''], maka fikih kontemporer juga harus menyerahkan persoalan itu kepada penelitian ilmiah, yaitu medis-biologis sekarang. Wilayah fikih hanya pada tataran moralitas; yaitu kalau waktu haidh tidak mendirikan sembahyang, puasa, thawaf dan tidak melakukan hubungan seksual.


Dalam persoalan iddah dan ihdad, seperti yang telah dibahas secara mendalam oleh Abdul Muqsith Ghazali, juga tidak perbah bisa terlepas dari pergumulan teks-teks dengan realitas yang berkembang. Dalam kajiannnya, norma-norma fikih ‘iddah/ihdad’ lebih menempatkan perempuan sebagai obyek perintah dan larangan; untuk tidak keluar rumah, tidak berhias, tidak memakai wewangian, tidak menggunakan pakaian yang baik dan tidak mencari pasangan. Larangan ini, sebaliknya tidak ada pada laki-laki pasca perceraian. Suatu ayat (QS. 65:6), yang sebenarnya ditujukan kepada laki-laki untuk menafkahi perempuan yang ditalak dan tidak mengeluarkannya dari rumah keluarga, tetapi dipahami oleh kebanyakan ulama fikih sebagai perintah kepada perempuan untuk ''ndekem'' menunggu rumah, tanpa keluar ke tempat manapun. Dalam analisisnya, nilai-nilai moralitas harus menjadi dasar penentuan norma-norma fikih ‘iddah/ihdad’, sehingga tidak lagi dipahami hanya sebagai cara untuk mengidentefikasi kehamilan. Ada tiga nilai moralitas yang dikembangkan; pertama bahwa ‘iddah/ihdad’ adalah formula perlindungan dan penguatan terhadap perempuan yang sedang dalam masa transisi dari dependensi ke independensi. Kedua, pembukaan kesempatan rekonsiliasi kepada kedua belah pihak untuk kembali kepada tali perkawinan. Ketiga, perkabungan ketika dalam kasus ‘ditinggal mati’, sebagai wujud dari cinta kasih antara kedua suami isteri.<ref>Abdul Muqsith Ghazali, dkk., Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, 2002: [[Rahima]] Jakarta dan LKIS Yogyakarta, hal. 134-167.</ref>  
Dalam persoalan [[Iddah dan Ihdad|iddah dan ihdad]], seperti yang telah dibahas secara mendalam oleh Abdul Muqsith Ghazali, juga tidak perbah bisa terlepas dari pergumulan teks-teks dengan realitas yang berkembang. Dalam kajiannnya, norma-norma fikih ‘iddah/ihdad’ lebih menempatkan perempuan sebagai obyek perintah dan larangan; untuk tidak keluar rumah, tidak berhias, tidak memakai wewangian, tidak menggunakan pakaian yang baik dan tidak mencari pasangan. Larangan ini, sebaliknya tidak ada pada laki-laki pasca perceraian. Suatu ayat (QS. 65:6), yang sebenarnya ditujukan kepada laki-laki untuk menafkahi perempuan yang ditalak dan tidak mengeluarkannya dari rumah keluarga, tetapi dipahami oleh kebanyakan ulama fikih sebagai perintah kepada perempuan untuk ''ndekem'' menunggu rumah, tanpa keluar ke tempat manapun. Dalam analisisnya, nilai-nilai moralitas harus menjadi dasar penentuan norma-norma fikih ‘iddah/ihdad’, sehingga tidak lagi dipahami hanya sebagai cara untuk mengidentefikasi kehamilan. Ada tiga nilai moralitas yang dikembangkan; pertama bahwa ‘iddah/ihdad’ adalah formula perlindungan dan penguatan terhadap perempuan yang sedang dalam masa transisi dari dependensi ke independensi. Kedua, pembukaan kesempatan rekonsiliasi kepada kedua belah pihak untuk kembali kepada tali perkawinan. Ketiga, perkabungan ketika dalam kasus ‘ditinggal mati’, sebagai wujud dari cinta kasih antara kedua suami isteri.<ref>Abdul Muqsith Ghazali, dkk., Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, 2002: [[Rahima]] Jakarta dan LKIS Yogyakarta, hal. 134-167.</ref>  


Jika kerangka analisis ini bisa dibenarkan, semestinya harus dikembangkan pemaknaan yang lebih kongkrit sebagai penguatan perspektif perempuan, misalnya:
Jika kerangka analisis ini bisa dibenarkan, semestinya harus dikembangkan pemaknaan yang lebih kongkrit sebagai penguatan perspektif perempuan, misalnya:
Baris 204: Baris 204:
----
----
<references />
<references />
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]]
Trusted, Pengurus
77

suntingan