Iddah dan Ihdad: Perbedaan revisi

1.122 bita ditambahkan ,  25 September 2021 07.32
tidak ada ringkasan suntingan
Baris 195: Baris 195:
''Kedua'', dalam kasus talak ''raj’i''. Dalam tataran ini, fungsi ''‘iddah'' di samping untuk kerangka kejelasan genetika juga untuk membuka kesempatan selebar-lebarnya khusus kepada mereka berdua (suami-istri) untuk segera kembali sebagai suami istri. Sejatinya, kewajiban memberikan nafkah atas suami terhadap istri yang dicerainya, terutama dalam talak ''raj’i'', merupakan cara lain untuk menggiring suami-istri tersebut ke arah perdamaian (rekonsiliasi). Suami tetap dibebani tanggung jawab nafkah sekalipun ia tidak memperoleh haknya secara penuh. Sebaliknya, wanita menerima pemberian itu agar tidak mudah larut dalam godaan lelaki lain. Ujungnya, diharapkan agar alternatif utama yang menjadi pilihan mereka adalah ''ruju’'', bersatu kembali dalam rumah keluarga.
''Kedua'', dalam kasus talak ''raj’i''. Dalam tataran ini, fungsi ''‘iddah'' di samping untuk kerangka kejelasan genetika juga untuk membuka kesempatan selebar-lebarnya khusus kepada mereka berdua (suami-istri) untuk segera kembali sebagai suami istri. Sejatinya, kewajiban memberikan nafkah atas suami terhadap istri yang dicerainya, terutama dalam talak ''raj’i'', merupakan cara lain untuk menggiring suami-istri tersebut ke arah perdamaian (rekonsiliasi). Suami tetap dibebani tanggung jawab nafkah sekalipun ia tidak memperoleh haknya secara penuh. Sebaliknya, wanita menerima pemberian itu agar tidak mudah larut dalam godaan lelaki lain. Ujungnya, diharapkan agar alternatif utama yang menjadi pilihan mereka adalah ''ruju’'', bersatu kembali dalam rumah keluarga.


Ini paralel dengan dambaan Islam agar sekali pernikahan dilangsungkan maka harus diusahakan dengan sekuat tenaga untuk tidak cerai, karena Allah akan sangat marah. Nabi bersabda, ''abghadl al-halâl ‘inda Allah al-thalâq''.[56] Artinya, pernikahan yang dalam al-Qur`an digambarkan sebagai perjanjian yang kukuh (''mitsâqan ghalidhan'') tidak bisa dianggap remeh dan tidak boleh diputuskan kecuali dalam keadaan yang luar biasa.[57] Namun, kalaulah perceraian tidak juga bisa dihindari, Islam masih memberikan kesempatan (''‘iddah'') agar keduanya bisa kembali lagi menyatu dalam bangunan rumah tangga. Selama masa penantian itu, perempuan tersebut (''muthallaqah'') dilarang menjalin pernikahan, baik secara ''tashrîh'' (terang-terangan) maupun ''ta’rîdl'' (misalnya dengan sindiran) dengan lelaki lain.
Ini paralel dengan dambaan Islam agar sekali pernikahan dilangsungkan maka harus diusahakan dengan sekuat tenaga untuk tidak cerai, karena Allah akan sangat marah. Nabi bersabda, ''abghadl al-halâl ‘inda Allah al-thalâq''.<ref>Hadits ini dapat dibaca dalam Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, ''Bulugh al-Maram,'' Semarang: Thaha Putera, 1982, hlm. 321.</ref> Artinya, pernikahan yang dalam al-Qur`an digambarkan sebagai perjanjian yang kukuh (''mitsâqan ghalidhan'') tidak bisa dianggap remeh dan tidak boleh diputuskan kecuali dalam keadaan yang luar biasa.<ref>Dalam Islam, perceraian diperbolehkan karena pernikahan dianggap sebagai sebuah kontrak, yang dapat diputuskan baik karena kehendak keduanya atau karena kemauan salah satu pihak darinya. Dengan menganggap pernikahan sebagai sebuah kontrak, maka perceraian menjadi sebuah konsep yang alamiah terjadi, walaupun dalam praktiknya seringkali disalahgunakan oleh pihak yang lebih kuat, yang dalam masyarakat patriarkhal pihak yang kuat itu adalah laki-laki. Karena itu, perempuan juga mempunyai hak cerai, yang dikenal dengan istilah ''khulu’.'' Lihat Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' hlm. 185.</ref> Namun, kalaulah perceraian tidak juga bisa dihindari, Islam masih memberikan kesempatan (''‘iddah'') agar keduanya bisa kembali lagi menyatu dalam bangunan rumah tangga. Selama masa penantian itu, perempuan tersebut (''muthallaqah'') dilarang menjalin pernikahan, baik secara ''tashrîh'' (terang-terangan) maupun ''ta’rîdl'' (misalnya dengan sindiran) dengan lelaki lain.


Dengan ketentuan ''‘iddah'' ini, sesungguhnya Islam mengharapkan mereka berdua untuk kembali sebagai suami istri. Jika kedua belah pihak telah sepakat untuk ''ruju’'' kembali, maka tidak ada seseorang yang bisa melarangnya hingga orang tua (wali) yang bersangkutan sekalipun. Dan Islam tidak mempersulit aturan tehnikalnya; tidak perlu ''mahar'' (maskawin), tidak perlu menghadirkan saksi, dan apalagi seorang wali. Pihak lelaki (suami) cukup mengemukakan komitmennya untuk kembali, dengan mengatakan “sekarang saya kembali ke pangkuanmu”, ''raja’tuki''.
Dengan ketentuan ''‘iddah'' ini, sesungguhnya Islam mengharapkan mereka berdua untuk kembali sebagai suami istri. Jika kedua belah pihak telah sepakat untuk ''ruju’'' kembali, maka tidak ada seseorang yang bisa melarangnya hingga orang tua (wali) yang bersangkutan sekalipun. Dan Islam tidak mempersulit aturan tehnikalnya; tidak perlu ''mahar'' (maskawin), tidak perlu menghadirkan saksi, dan apalagi seorang wali. Pihak lelaki (suami) cukup mengemukakan komitmennya untuk kembali, dengan mengatakan “sekarang saya kembali ke pangkuanmu”, ''raja’tuki''.


Walaupun demikian, Islam masih memberikan persyaratan bahwa jika sang suami sudah memutuskan untuk merujukinya, maka dia tidak boleh melakukannya dengan maksud menimbulkan kemudaratan bagi istrinya, baik fisik maupun mental, tetapi untuk menggaulinya dengan cara yang baik.[58]Allah SWT. berfirman (2:231), “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir ''‘iddah-''nya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf pula. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan…”.
Walaupun demikian, Islam masih memberikan persyaratan bahwa jika sang suami sudah memutuskan untuk merujukinya, maka dia tidak boleh melakukannya dengan maksud menimbulkan kemudaratan bagi istrinya, baik fisik maupun mental, tetapi untuk menggaulinya dengan cara yang baik.<ref>Al-Syinqithiy, ''Adhwa` al-Bayan fiy Iydhah al-Qur`an bi al-Qur`an,'' hlm. 219.</ref> Allah SWT. berfirman (2:231), “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir ''‘iddah-''nya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf pula. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan…”.


Selanjutnya, setelah masa ‘''iddah''nya habis, sementara rekonsiliasi (''ruju’'') sudah tidak dimungkinkan lagi, maka istri tersebut harus dilepaskan dengan cara yang baik. Dan jika akhirnya ia diceraikan, maka dua orang harus dihadirkan sebagai saksi.[59] Para saksi ini harus saleh, jujur, dan memiliki komitmen kuat untuk melindungi kepentingan pihak yang lemah, yang biasanya adalah pihak isteri. Sepanjang sejarah kemanusiaan, perempuan selalu berada pada posisi periferal, tertindas, dan dirugikan.
Selanjutnya, setelah masa ‘''iddah''nya habis, sementara rekonsiliasi (''ruju’'') sudah tidak dimungkinkan lagi, maka istri tersebut harus dilepaskan dengan cara yang baik. Dan jika akhirnya ia diceraikan, maka dua orang harus dihadirkan sebagai saksi.<ref>Al-Qur`an (65:2) yang artinya, “apabila mereka telah mendekati akhir ''‘iddah''nya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.”</ref> Para saksi ini harus saleh, jujur, dan memiliki komitmen kuat untuk melindungi kepentingan pihak yang lemah, yang biasanya adalah pihak isteri. Sepanjang sejarah kemanusiaan, perempuan selalu berada pada posisi periferal, tertindas, dan dirugikan.


Akhirnya, dalam kaitan ini, ingin saya katakan tentang perlunya reformasi dari fiqh legal-formal yang bersifat partikular (''juz’iy'') semata kepada fiqh yang bersendikan etis-moral yang bersifat universal. Fiqh yang legal formal harus senantiasa berada dalam sinaran dan kontrol etik-moral. Dengan langgam seperti ini, fiqh tidak akan pernah kerontang dari spirit-ruhaniyahnya dalam merespon tantangan zaman. Sekarang, ikhtiar dalam memikirkan konstruksi fiqh baru yang lebih komit kepada nilai-nilai moralitas kolektif, demokratif, dan aplikatif sudah layak dilakukan.
Akhirnya, dalam kaitan ini, ingin saya katakan tentang perlunya reformasi dari fiqh legal-formal yang bersifat partikular (''juz’iy'') semata kepada fiqh yang bersendikan etis-moral yang bersifat universal. Fiqh yang legal formal harus senantiasa berada dalam sinaran dan kontrol etik-moral. Dengan langgam seperti ini, fiqh tidak akan pernah kerontang dari spirit-ruhaniyahnya dalam merespon tantangan zaman. Sekarang, ikhtiar dalam memikirkan konstruksi fiqh baru yang lebih komit kepada nilai-nilai moralitas kolektif, demokratif, dan aplikatif sudah layak dilakukan.