Iddah dan Ihdad: Perbedaan revisi

72.315 bita dihapus ,  24 September 2021 17.05
←Mengganti halaman dengan ' Kategori:Hukum Keluarga'
(←Mengganti halaman dengan ' Kategori:Hukum Keluarga')
Tag: VisualEditor Penggantian
Baris 1: Baris 1:
Sebagai agama pembebas, sedari awal Islam telah mengusung satu tugas suci, yaitu menghapus segala praktik diskriminasi dalam kehidupan umat manusia. Islam datang membawa serta pesan profetik untuk menegakkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkret. Misi pokok al-Qur`an diturunkan ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis, dan ikatan-ikatan primordial lainnya<ref>Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur`an (49:13), “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.</ref>. Semua watak diskriminatif yang berkembang subur dalam masyarakat Arab jahiliyah pada masa itu senantiasa secara bertahap dieliminasi dan ditolak.
Salah satu upaya paling fundamental dari Islam adalah keputusannya untuk menyangkal pandangan diskriminatif terhadap manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin, di mana kaum perempuan sepanjang sejarah kemanusiaan dipandang tidak berharga dibanding lelaki<ref>Salah satu indikator tentang kerendahan posisi perempuan dalam pandangan masyarakat Arab jahiliyah, dapat dilihat dari ungkapan Umar ibn Khathab, “ kami dahulu sama sekali tidak mempedulikan perempuan. Namun, ketika Islam datang dan Tuhan telah menyebut mereka dalam al-Qur`an, kami baru tahu bahwa mereka juga memiliki hak yang tidak bisa dicampuri oleh kami”.</ref>. Kaum perempuan diposisikan tak lebih dari sekedar mesin reproduksi manusia, bagaikan mesin foto copy. Tidak jarang, mereka hanya dimanfaatkan sebagai alat pemuas kebutuhan biologis pria belaka<ref>Armahedi Mahzar, “Wanita dan Islam: Satu Pengantar untuk Tiga Buku”, dalam Mazhar ul-Haq Khan, ''Wanita Islam Korban Patologi Sosial'', Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.</ref>. Mereka seringkali disteriotipkan sebagai makhluk yang lemah, baik fisik, mental maupun nalar (''nâqishat ‘aql'').
Data historis telah menyuguhkan sekian banyak bukti yang mengindikasikan adanya proses marginalisasi, bahkan dehumanisasi terhadap perempuan. Pada masa jahiliyah, misalnya, anak-anak perempuan tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat secara umum<ref>Al-Qur`an merekam pandangan mereka mulai dari yang paling ringan yaitu bermuka masam jika disampaikan tentang kelahiran anak perempuan (QS, 16:58) sampai kepada yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi perempuan (QS, 81:9).</ref>. Peradaban Jahiliyah telah menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan laki-laki. Sebelum menikah, ia berada dalam pengawasan dan kendali penuh ayahandanya. Tatkala menikah, kekuasaan itupun berpindah ke tangan suami. Suami mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk berbuat apa saja terhadap istrinya. Perempuan telah dipandang sebagai sesuatu barang (''something'') yang boleh diperlakukan sehendak suami, bukan sebagai seorang manusia (''somebody'') yang harus dihargai dan dihormati.
Dalam kondisi seperti itu, Islam datang dengan merubah paradigma hegemonik-tiranik tersebut kepada sebuah paradigma yang lebih menghargai dan menghormati perempuan. Islam, misalnya, memberi hak kepada anak perempuan untuk mengajukan keberatan terhadap calon suami yang ditawarkan oleh walinya. Begitu juga, pernikahan bukanlah akad atau transaksi jual beli antara wali perempuan dan calon suami. Al-Qur`an menggambarkan hubungan suami dan isteri sebagai hubungan kemitraan yang saling menyempurnakan.
Bahkan, kemitraan dalam hubungan suami isteri dinyatakan al-Qur`an sebagai kebutuhan timbal-balik. Allah SWT. berfirman (2:187), “Isteri-isteri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka”. Lebih jauh dari itu, hubungan pernikahan merupakan hubungan cinta-kasih antara dua insan yang berlainan jenis. Dengan logika ini, dapat dipahami bahwa maskawin pernikahan (''mahar, shaduqah'')<ref>Al-Qur`an tidak menggunakan kata ''mahar'' melainkan kata ''shaduqah'' bagi ''“''maskawin” perempuan. Secara generik, ''shaduqah'' yang berasal dari kata ''shadaqa'' berarti kejujuran, ketulusan, dan hadiah yang diberikan sebagai amal saleh, dan bukan untuk mempertunjukkan status sosial atau finansial seseorang. Lihat Louis Ma’luf, ''al-Munjid fiy al-Lughat wa al-A’lam,'' Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 419-420. Dengan ini akan terlihat bahwa menurut konsep Islam, calon suami harus membayar kepada calon istri sejumlah nilai materi tertentu sebagai tanda cinta, kesungguhan, dan ketulusannya. Kata lain yang juga dipakai untuk kata maskawin ini adalah ''nihlah.'' Menurut al-Raghib, ''nihlah'' berarti sesuatu yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan, melainkan karena dorongan cinta dan penghormatan. Lihat Al-Ishfahaniy Al-Raghib, ''Mu’jam Mufradat Alfadzh al-Qur`an,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 485.</ref> merupakan simbol adanya cinta kasih itu. Allah SWT. berfirman (4:4), “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Bukti lain dari marginalisasi dan dehumanisasi perempuan oleh masyarakat Arab pra-Islam adalah munculnya suatu tradisi yang dibebankan terhadap kaum perempuan pasca-kematian sang suami<ref>Memang terdapat kontroversi tentang apakah pada masa jahiliyah ada masa ''‘iddah'' setelah terjadi perceraian. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ada, dan sebagian yang lain mengatakan tidak ada. Mereka yang berpendapat terakhir mengatakan bahwa seorang perempuan yang telah dicerai di mana ia dalam keadaan hamil, bisa langsung melakukan pernikahan dengan laki-laki lain, dan melahirkan di rumah suaminya yang baru tersebut. Sedangkan anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak suaminya yang baru, walaupun ia hamil karena suaminya terdahulu. Menurut mereka, Islamlah yang menetapkan adanya ''‘iddah.'' Baca Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' (Terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farcha Assegaf), Yogyakarta: LSPPA, 1997</ref>. Misalnya, masyarakat Arab pra-Islam telah secara sadis menerapkan apa yang dikenal dengan ''‘iddah'' dan ''ihdâd'' (atau ''hidad'')<ref>Syah Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah'', (Beirut: Dar Ihya` al-Ulum), Tanpa Tahun, Jilid II, hlm. 377.</ref>. Yakni, suatu kondisi di mana kaum perempuan yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya bahkan juga oleh anggota keluarganya yang lain, harus mengisolasi diri di dalam ruang terpisah selama setahun penuh<ref>Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, ''al-Umm,'' Beirut: Dar al-Fikr, 1983, Juz V, hlm. 247.</ref>. Dalam masa pengasingan itu, perempuan tersebut tidak diperkenankan untuk memakai wewangian, memotong kuku, menyisir rambut, dan berganti pakaian. Dia akan diberi seekor binatang seperti keledai, kambing atau burung untuk dipakai menggosok-gosok kulitnya. Diilustrasikan dalam sebuah hadits, begitu busuknya bau badan perempuan yang ber-''ihdâd'' tersebut, sehingga tidak seorang pun berani menghampirinya, dan seandainya ia keluar ruangan dengan segera burung-burung gagak akan menyergapnya, karena bau busuk yang ditimbulkannya. Naifnya, tradisi ini tidak berlaku bagi kaum laki-laki<ref>Lihat al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Kairo: 1969,  Juz II, hlm. 194. Bandingkan dengan Masdar F. Mas’udi, ''Ihdâd dan ‘iddah dalam Kehidupan Umat yang Berubah'', Makalah tidak diterbitkan, disampaikan dalam seminar tentang “Implikasi Transformasi Global terhadap Konsep ''‘iddah''”, Lis-Sakinah, Situbondo 27 Pebruari 1997.</ref>.
Menghadapi model tradisi seperti ini, secara perlahan Islam melakukan perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu berkabung bagi seorang istri, dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara yang merendahkan atau menistakan diri perempuan. Sesuai dengan keterbatasan dan kesederhanaan piranti teknologis pada waktu itu dan pertimbangan etis-moral lainnya, dibuatkanlah suatu ketentuan ''‘iddah''. Yaitu, suatu masa menunggu bagi seorang wanita yang baru berpisah dari suaminya, baik karena perceraian atau kematian untuk tidak menikah lagi sebelum melalui beberapa waktu tertentu.
Karena terbatasnya ruang yang tersedia, maka tulisan ini hendak memfokuskan diri pada bahasan diseputar ''iddah'' dan ''ihdâd.'' Dalam pembahasannya nanti, terlebih dahulu akan dikemukakan landasan normatif-doktrinal, termasuk perbincangan ''fuqahâ`'' seputar ''‘iddah'' dan ''ihdâd'', baru kemudian disusul bahasan tentang problem etika, sosiologi kontemporer, dan sains modern yang dihadapinya. Bidikan ini terasa penting untuk menghindari munculnya pemahaman Islam (fiqh) yang hanya berorientasi pada dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan secara matang mengenai tepat atau tidaknya konsep fiqh tersebut untuk diterapkan pada tingkat praksis di lapangan.
=== ''‘Iddah'' :Pengertian dan Dalil Hukum ===
Jika ditelusuri secara etimologis, kata ''‘iddah'' berasal dari kata kerja ''‘adda ya’uddu'' yang artinya kurang lebih ''al-ihshâ`'', hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung<ref>Baca Ibnu ‘Abidin, ''Hasyiyah'' ''Radd al-Mukhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Jilid III, hlm. 502. Lihat juga, Muhammad Husain al-Dzahabiy. ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah'', Mesir: Dar al-Kutub al-Hadtsah, 1968, hlm. 357. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily. ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Damaskus: Dar al-Fikr, 1996, Juz VII, hlmm. 624.</ref>. Dari sudut bahasa, kata ''‘iddah'' biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan. Artinya, perempuan (istri) menghitung hari-hari haidnya dan masa-masa sucinya.
Sedangkan secara terminologis, para ulama telah merumuskan pengertian ''‘iddah'' dengan berbagai ungkapan , antara lain<ref>Zakaria al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' Beirut: Dar al-Fikr, 103. Al-Bujairimiy, ''Bujairimy ‘ala al-Khathib,'' Beirut: Dar al-Fikr, 1981, Juz IV. Baca juga, ''Hasyiyah al-Bujairimiy ‘ala Syarh Manhaj al-Thullab,'' Beirut: Dar Shadr, Tanpa Tahun, Juz IV, hlm. 76. Bandingkan dengan Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah'', Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. IV, tahun 1403/1983, hlm. 277</ref>:
<big>اسم للمدة التي تنتظر فيها المرأة وتمتنع عن التزويج بعد وفاة زوجها أو فراقه لها</big>
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa ''‘iddah'' adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dihitung oleh seorang perempuan semenjak ia berpisah (bercerai) dengan suaminya, baik perpisahan itu disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia; dan dalam masa tersebut perempuan itu tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain.
Secara kategorial, perempuan yang ber''’iddah'' (''al-mu’taddah'') dapat dikelompokkan ke dalam dua macam kategori. ''Pertama'', perempuan yang ber''’iddah'' karena ditinggal mati oleh suaminya (''al-mutawaffâ ‘anhâ zawjuhâ''). Ketentuan masa ''‘iddah''nya adalah: [1] empat bulan sepuluh hari (''arba’ah asyhur wa ‘asyr''), dengan catatan tidak hamil, baik pernah ''dukhûl'' maupun tidak; [2] sampai melahirkan (''wadl’u al-hamli''), jika kehamilannya dinisbatkan kepada ''shâhib al-‘iddah.''
''Kedua,'' perempuan yang ber''’iddah'' bukan karena ditinggal mati oleh suaminya (''ghayr al-mutawaffâ ‘anhâ zawjuhâ''). Ketentuan masa ''‘iddah''nya adalah: [1] sampai melahirkan, bila kehamilan dinisbatkan kepada ''shâhib al-‘iddah''; [2] tiga ''qurû`'', jika ia pernah menstruasi; [3] tiga bulan (''tsalatsat asyhur''), bila belum menstruasi atau sudah putus dari periode haid (''ya`isah'').
Selanjutnya, yang menarik untuk mendapatkan fokus perhatian cukup dalam hubungan ini adalah fungsi ''‘iddah'', yaitu membersihkan diri dari pengaruh atau akibat hubungan perempuan bersangkutan dengan suami yang menceraikannya<ref>Lihat Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 103''.'' Al-Bujairimiy, ''Bujairimy ‘ala al-Kathib'', hlm. 35. al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 358.</ref>. Statemen ini mengundang beberapa pertanyaan: apakah pembersihan diri tersebut dalam arti ''barâ`ah al-rahmi''? Jika ya, apakah ia satu-satunya alasan pokok atau ada alasan lain yang menyertainya? Jika hanya berkaitan dengan ''barâ`ah al-rahmi'' semata, tentu persoalan ini dapat diselesaikan dengan kecanggihan teknologi modern sekarang. Kalau tidak sekedar itu, lalu faktor apalagi yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan?
Dalam hal terakhir ini, definisi kelompok Syafi’iyyah tentang ''‘iddah'' layak untuk diperhatikan<ref>Abdurrahman al-Jaziri, ''Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah'', Tanpa Tahun'','' hlm. 517. Bandingkan dengan Ibnu Qudamah al-Maqdisiy, ''al-Syarh al-Shaghir'': Juz II, hlm. 671. ''al-Qawanin al-Fiqhiyyah'', hlm. 235. Al-Syarbiniy, ''Mughniy al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’aniy Alfadl al-Minhaj'', Mesir: Dar al-Fikr, 1996, Juz III hlm. 384.</ref>;
<big>مدة تتربص فيها المرأة لمعرفة براءة رحمها أوللتعبد أو لتفجعها على زوجها</big>
Definisi tersebut mengisyaratkan ada tiga fungsi ''‘iddah'', yaitu ''barâ`ah al-rahim'' (membersihkan rahim),  ''ta’abbud'' (pengabdian diri kepada Tuhan), dan bela sungkawa atas kematian suami (''tafajju’''). Sejalan dengan ini, Hanafiyah mengajukan sebuah definisi, sebagai berikut<ref>Abdurrahman al-Jaziri, ''Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah.'' hlm. 513. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', hlm. 624. Baca juga al-Timirtasyi, ''al-Durr al-Mukhtar: Syarah Tanwir al-Abshar'', Mesir: Bolaqiyah, 1252 H., Juz II, hlm. 823.</ref>;
<big>أجل ضرب لانقضاء ما بقي من أثار النكاح أو الفراش  </big>
Berdasarkan uraian di atas, secara ringkas, dapat ditarik satu benang merah bahwa tidak mudah juga mematrik pengertian ''‘iddah'' dalam suatu ungkapan. Di samping itu, tampak pula bahwa terdapat beberapa sebab, akibat, dan fungsi ''‘iddah''. Akan tetapi, yang jelas kewajiban ber''’iddah'' hanya dikenakan kepada perempuan tidak pada laki-laki<ref>Wahbah al-Zuhaily, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 626.</ref>.
Kecuali itu, para ulama sepakat bahwa perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, diwajibkan menjalani ''‘iddah''. Konsensus ini didasarkan kepada al-Qur`an, al-Hadits, dan al-Ijma’<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 625.</ref>.
''Pertama,'' dasar al-Qur`an menyebutkan; “Perempuan''-''perempuan ''yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`''” (al-Baqarah:228); “''Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah perempuan itu ber’iddah empat bulan sepuluh hari''” (al-Baqarah:234); “''Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid (menopause) di antara isteri-isterimu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka addallah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang sudah haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil aktu ‘iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya'' ” (al-Thalaq:4); dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan ''‘iddah'' ini.
''Kedua'', dasar hukum ''‘iddah'' dalam al-Hadits. Rasulullah SAW bersabda “''Tidak dihalalkan bagi seorang'' perempuan ''yang beriman kepada Allah dan hari kiamat melakukan ihdâd, kecuali bagi suaminya (yang wafat), yaitu selama empat bulan sepuluh hari'' (HR. al-Bukhari dan Muslim); Rasulullah kepada Fatimah ibn Qays “''Ber’iddahlah (jalanilah ‘iddah) kamu di rumah Ummi Maktum'' (HR. Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Nasa’i dan Abu Dawud).
''Ketiga'', dalil ''‘iddah'' yang dilandaskan kepada ijma’. Berdasarkan ayat dan hadits di atas, ulama fikih sepakat (''ijmâ’'') bahwa perempuan muslimah yang telah bercerai dengan suaminya wajib menjalani masa ''‘iddah''<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 626. Lihat juga al-Bujairimiy, ''Hasyiyah al-Bujairimiy ‘ala Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 76.</ref>.
Dengan memperhatikan secara seksama ayat-ayat dan hadits tersebut, dapatlah ditarik satu konklusi bahwa ''‘iddah'' timbul sebagai akibat perceraian karena kematian dan talak. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang perceraian yang terjadi setelah ''wathi`'' syubhat, pernikahan ''fâsid'', dan zina. Golongan al-Dzahiri, misalnya, tidak mewajibkan ''‘iddah'' bagi perempuan yang dicerai secara ''fâsid'', walaupun sudah terjadi ''dukhûl,'' sebab tidak ada dalilnya baik dalam al-Qur`an maupun al-Sunnah. Sedangkan golongan lainnya mewajibkan ''‘iddah'' bagi perempuan semacam itu. Bagi kelompok kedua ini, ''wathi` syubhat'' dan ''wathi`'' yang dilakukan dalam nikah yang ''fâsid'' adalah sama saja dengan ''wathi`'' dalam pernikahan yang sah dalam pokok soal; melihat kondisi rahim dan kandungannya dinisbatkan kepada lelaki yang menyetubuhinya.
Namun, di kalangan ini pun terdapat perbedaan pendapat tentang perempuan yang berzina. Golongan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan al-Tsauri menyatakan bahwa perempuan yang berzina tidak wajib ber''’iddah'', dengan alasan bahwa kegunaan ''‘iddah'' adalah untuk memelihara keturunan, sedangkan zina--dalam pandangan mereka--tidak menimbulkan hubungan nasab. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab. Sementara itu, Malikiyyah  dan Hanabilah menetapkan adanya ''‘iddah'' bagi perempuan yang berzina<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII hlm. 630. Lihat juga pada Abdul Wahhab, ''Hasyiyah al-Muqni’''. Juz III hlm. 286.</ref>.
Agaknya, jika ''‘iddah'' dimaksudkan untuk untuk membersihkan rahim, dan ia merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka perempuan yang dizinai semestinya harus ber''’iddah''. Kekacauan nasab akan semakin bertambah bila dalam hal ini ''‘iddah'' tidak diberlakukan. Namun, bila ada alat pembuktian yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa rahim perempuan tersebut bersih dari bibit yang akan tumbuh, maka dalam kasus ini alat tersebut dapat dimanfaatkan dan perempuan tersebut boleh tidak menjalani masa ''‘iddah''. Dengan kata lain, perempuan yang berzina tidak dapat bebas begitu saja untuk kawin dengan orang lain, tetapi ia juga tidak mutlak menunggu dalam suatu tenggang waktu tertentu sebagai masa ''‘iddah''. Dengan demikian, dalam kasus-kasus yang tidak secara tegas dikemukakan oleh al-Qur`an atau al-Sunnah, penetapan ''‘iddah'' merupakan ijtihad ulama. Oleh karena itu, peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat cukup besar.
=== Beberapa Ketentuan ''‘Iddah'' ===
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, masa ''‘iddah'' tidak selalu sama pada setiap perempuan. Al-Qur`an memberikan petunjuk dalam berbagai ungkapan yang menegaskan bahwa masa ''‘iddah'' ditetapkan berdasarkan keadaan perempuan sewaktu dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya dan juga berdasarkan atas proses perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. Dari sini, dikenal tiga macam ''‘iddah''. Masing-masing adalah ''‘iddah bi al-aqra`, ‘iddah al-asyhur, ‘iddah bi wadl’i al-hamli''<ref>Lihat al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 359.</ref>. Uraian berikut dikemukakan berdasarkan atas perbedaan-perbedaan ini.
'''1. Kondisi Perempuan Sebagai Sudut Pandang'''
Ada beberapa kondisi perempuan tatkala dicerai oleh suaminya yang menjadi patokan dalam penentuan masa ''‘iddah''.
a''. Qabl al-dukhûl'' atau ''ba’da al-dukhûl''
Tinjauan pertama yang ada dalam paradigma al-Qur`an adalah apakah istri itu sudah digauli (''madzkhûl biha'') atau belum (''ghair madzkhûl biha''). Bagi istri yang ditalak--atau bercerai dengan suaminya--belum pernah terjadi ''wathi`'' (senggama), tidak ada ''‘iddah'' baginya. Artinya, istri tersebut setelah putus perkawinan bisa segera langsung mengadakan kontak nikah dengan laki-laki lain<ref>Ibnu Qudamah, ''al-Muqni’ fiy Fiqh Imam al-Sunnah Ahamd ibn Hanbal al-Syaibaniy'', Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Haditsah, 1980, Juz III hlm. 268. Bandingkan dengan al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Juz XIII, hlm. 202. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthiy, ''al-Durr al-Mantsur fiy al-Tafsir al-Ma`tsur'', Beirut: Dar al-Fikr, 1988, Juz VI, hlm. 625; Baca juga Abi Ishaq al-Syairazi, ''al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imam al-Syafi’i'', (Semarang: Thaha Putera), Tanpa Tahun, Juz II, hlm. 142.</ref>.
Dalam hal ini, al-Qur`an mengatakan: ''“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka kesenangan (mut’ah) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya'' (al-Ahzab; ''49'')''.''
Mayoritas ulama memahami ungkapan ‘''an tamassû'' dalam ayat di atas dengan makna ''al-dukhûl''<ref>Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid'', Juz II Dar al-Fikr, Beirut, tanpa tahun, hlm. 66.</ref>. Mereka sepakat bahwa ungkapan ''qabla ‘an tamassûhunna'' berarti ''qabla an tadzkhûlu biha.'' Bagi mereka, ayat ini cukup memberikan dugaan kuat bahwa perempuan yang ''ghayr al-madkhûl bihâ'' tidak perlu menjalani masa ''‘iddah''<ref>Lihat Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' Juz II, hlm. 278.</ref>. Dengan demikian, perempuan tersebut dibolehkan melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain selepas dari perceraian itu. Dan, sebaliknya, istri yang sudah digauli, baginya berlaku ketentuan iddah.
Secara sepintas terlihat bahwa persoalan ''‘iddah'' dengan segala bentuk dan macamnya hanya dipautkan dengan perempuan ''al-madkhûl bihâ''. Jika diamati secara jeli, dalam kondisi tertentu, persoalan ''dukhûl'' tampaknya tidak mutlak menjadi patokan.
Dari beberapa perbincangan para ulama tentang ''‘iddah'', setidaknya satu  terma yang sering mereka gunakan, yaitu ''khalwat''. Menurut jumhur ulama, ''khalwat'' yang belum tentu terjadi ''dukhûl'', sudah mengharuskan adanya ''‘iddah''. Pendapat jumhur ini didasarkan pada Hadits riwayat Ahmad dan Atsram dari Zurarah ibn Awfa bahwa ''al-Khulafâ` al-Râsyidûn'' pernah memutuskan suatu kasus: “seseorang yang menutup pintu kemudian menurunkan tabir, maka bagi yang laki-laki berwajiban membayar ''mahr'' dan bagi yang perempuan berkewajiban untuk ber''’iddah''”. Berbeda dengan jumhur, Malikiyyah mewajibkan adanya ''‘iddah'' jika terjadi ''khalwat.'' Sebab, menurutnya, di dalam ''khalwat'' diduga keras terjadi persetubuhan (''wiqâ’''). Namun, menurut ''qawl jadîd'', ''khalwat'' yang tidak sampai kepada terjadinya persetubuhan (''al-khalwat al-mujarradah ‘an al-wath`i''), tidak mewajibkan adanya ''‘iddah''<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 628-629.</ref>.
Yang harus dipersoalkan adalah, apakah ungkapan ''qabla ‘an tamassûhunna'' memang hanya berarti ''dukhûl'' dalam arti sebenarnya, yaitu hubungan biologis antara dua insan berlainan jenis, atau bermakna lainnya. Setidaknya, hal ini merupakan suatu persoalan yang perlu direnungkan oleh para ''ushuli''. Sebab, kalau ''‘iddah'' juga berkaitan dengan masalah psikologis, di samping rahim, maka sepantasnyalah seorang perempuan yang sudah menjalin hubungan batin dan kasih sayang dengan seorang pria tidak merasa langsung bebas dari suami yang karena sesuatu hal mungkin belum sempat menggaulinya. Terdesak oleh keadaan, mereka harus berpisah. Sudah pasti, ikatan psikologis di antara mereka tidak mungkin lindap begitu saja. Berdasarkan analisis ini, agaknya kata ''al-mass'' dalam ayat di atas juga meliputi makna lain, di samping makna ''dukhûl'' ''haqîqî''.
Asumsi di atas dapat dicarikan rasionalitasnya, jika dilihat dalam ketentuan lain. Misalnya, dalam syari’at ditegaskan bahwa jika istri yang belum pernah disetubuhi ditinggal mati suaminya, maka ia harus ber''’iddah'' seperti ''‘iddah''nya orang yang sudah disetubuhi. Allah SWT. berfirman dalam surat ''al-Baqarah'': 234. (...''Dan orang-orang yang telah meninggal di antara kamu sedangkan mereka meninggalkan istri, maka hendaklah mereka (istri-istri) menahan diri selama empat bulan sepuluh hari'')<ref>Hikmah batas waktu itu ialah karena dalam masa inilah sempurnanya janin dari peniupan roh sesudah 120 hari. Menurut jumhur ulama, ''mu’taddah'' tersebut tidak boleh (''la'' yahill) nikah dengan laki-laki lain, kecuali sudah masuk hari yang kesebelasnya.</ref>. Ayat ini termasuk ''lafadz'' yang mutlak; mencakup istri yang sudah di''dukhûl'' dan belum di''dukhûl'', masih kecil dan dewasa, bahkan istri yang sudah menopause. Menurut Wahbah al-Zuhaily, kewajiban ber''’iddah'' bagi istri atas kematian suaminya, sekalipun belum pernah disetubuhi, adalah untuk menyempurnakan dan menghargai hak suami yang meninggal dunia<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 628.</ref>.
b. Dalam Keadaan ''Hayd'' atau Suci
Dengan tegas, al-Qur`an menyatakan bahwa perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan haid, ia dapat menjadikan masa-masa haid sebagai patokan waktu. Sedangkan ''‘iddah''nya adalah tiga ''qurû''<ref>Sebagian ulama memahami arti ''qurû`'' dengan masa suci. Di antara mereka adalah Malik, Syafi’i, jumhur penduduk Madinah, Abu Tsaur, dan Jama’ah. Di kalangan sahabat pendapat ini dianut oleh Ibnu Umar, Zaid ibn Tsabit dan Aisyah. Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa ''qurû`'' berarti haid. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, al-Tsawry, al-Awza’i, Ibnu Abi Layla dan lainnya. Dari kalangan sahabat, pendapat ini dianut oleh Ali ibn Abi Thalib, Umar ibn Khattab, Ibnu Mas’ud,  dan Abu Musa al-Asy’ari. Di samping itu, ada pula yang memahami ''qurû`'' dalam pengertian perpindahan dari masa suci ke masa haid. Menurut Ali Hasballah, pendapat ini juga dianut oleh Syafi’i, Malik, dan Dzahiriyyah. Baca Ibnu Rusyd, ''Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid,'' Juz II'','' hlm. 67 dan juga Ali Hasballah. 1968. ''Al-Furqah baina al-Zawjayn wa mâ Yata’allaqu bihâ min al-’iddah wa al-Nasab'', (Mesir: Dar al-Fikr,) hlm. 188.</ref>. Ketentuan ini berdasar kepada firman Allah SWT Surat ''al-Baqarah'' ayat 228: “''Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurû`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menunggu itu, jika mereka menghendaki rekonsiliasi (ishlah). Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.''”
Selanjutnya, bagi perempuan yang tidak haid, baik karena masih kecil (belum ''baligh'') maupun akibat sudah menopause<ref>Para ulama berbeda pendapat tentang batas umur terjadinya menopause (putus haid). Sebagian berkata 50 tahun dan sebagian yang lain 60 tahun. Dan memang antara perempuan yang satu dengan yang lain berlainan. Ibnu Taymiyyah menyatakan bahwa umur putus haid itu berbeda antara seorang perempuan dengan perempuan yang lain. Tidak ada batas umur yang disepakati oleh perempuan. Baca Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' hlm. 147. Bandingkan dengan Zakaria al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 104. Lebih lanjut al-Fakhr al-Raziy menegaskan, jika seorang perempuan ragu apakah ia sudah sampai kepada masa menopause atau tidak, maka ia dapat menentukan antara usia 60 tahun dan 55 tahun, sehingga darah yang keluar dari vaginanya dapat ditentukan sebagai darah haid atau istihadlah. Lihat al-Fakhr al-Rziy, ''Tafsîr al-Fakhr al-Râziy'', Beirut: Dar al-Fikr,  1985, Juz 29, hlm. 35.</ref>, masa ''‘iddah''nya adalah tiga bulan. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah SWT: “''Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu tentang masa ‘iddahnya maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid'' (al-Thalaq: 4).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya ''‘iddah'' dihitung dengan ''qurû`''. Akan tetapi, bagi perempuan yang belum baligh (''lam yahidlna'') dan yang sudah memasuki masa menopause (''al-ya`isat''), perhitungan ''qurû`'' tidak mungkin lagi dilakukan. Oleh karena itu, al-Qur`an memberikan petunjuk agar perhitungan dilakukan dengan menghitung hari, yaitu tiga bulan. Hal ini menunjukkan bahwa tiga ''quru`'' itu sama dengan tiga bulan<ref>Fatima Mernissi, seorang pemikir Muslim dari Maroko, menyatakan bahwa masa ‘i''ddah'' merupakan hukuman paling keras bagi semua wanita yang baru diceraikan, terutama bagi wanita yang telah memasuki usia menopause yang memiliki banyak kekurangan karena telah berusia menengah, dalam tatanan masyarakat di mana usia muda sangat digemari. Lihat Fatima Mernissi, ''Beyond the Veil: Seks dan Kekuasaan,'' Surabaya: al-Fikr, 1997, hlm. 135.</ref>.
c. Dalam Keadaan Hamil atau Tidak Hamil
Pokok soal ketiga yang dapat dijadikan standar penetapan ''‘iddah'' bagi seorang istri adalah apakah ia hamil atau tidak. Dalam hal ini, al-Qur`an mengatakan jika perceraian terjadi sewaktu perempuan berada dalam keadaan hamil, maka ''‘iddah''nya sampai melahirkan anaknya. Ketentuan ini secara ''nashshy'' (tekstual) ditunjukkan al-Qur`an dalam ayat 4 Surat al-Thalaq: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddahnya adalah sampai mereka melahirkan”<ref>Ayat ini menunjukkan bahwa sekiranya ia hamil dengan anak kembar, maka ''‘iddah''nya belum habis sebelum anak kembarnya lehir semua. Begitu juga, perempuan yang keguguran ''‘iddah''nya adalah sesudah melahirkan pula. Lihat Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' Juz II hlm. 148. Berkaitan dengan ''iddah'' hamil ini dapat dibaca pada, Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah,'' hlm. 378-379.</ref>''.''
Ketetapan ''‘iddah'' bagi perempuan dalam keadaan ini begitu tegas dan jelas. Ketentuan ini tidak memandang jumlah hari. Mungkin saja ''‘iddah'' perempuan seperti ini berlangsung selama 9 bulan atau lebih. Akan tetapi, juga mungkin hanya sesaat karena begitu ia dicerai oleh suaminya lantas ia melahirkan.
'''2. Status Perceraian: Sebagai Penentu'''
Dalam prosesnya, perceraian terjadi karena dua hal; karena ditinggal mati suami (biasa disebut dengan cerai mati) atau karena ditalak suami (cerai hidup). Perbedaan status perceraian ini merupakan salah satu faktor penentu jenis ''‘iddah'' yang akan dijalani seorang istri.
Firman Allah pada ayat 234 Surat ''al-Baqarah'', seperti dikemukakan sebelumnya, mengatakan bahwa masa ‘''iddah'' perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Ini berarti bahwa ''‘iddah'' perempuan yang cerai karena ditalak suaminya (cerai hidup) lebih pendek dari cerai mati, yaitu tiga ''qurû`'' bagi mereka yang berada dalam masa haid, dan tiga bulan bagi mereka yang belum ''baligh'' atau sudah menopause.
Tidak jelas, mengapa al-Qur`an tidak menyebutkan alasan tentang lebih panjangnya masa ''‘iddah'' perempuan akibat kematian suaminya daripada ditalak<ref>Dalam perspektif ''ushul al-fiqh'', ''nash'' yang dinyatakan dalam bentuk angka adalah ''qath’iyyat,'' yang tidak bisa diambil ''mafhum mukhalafah''nya. ''Dus'', batasan hari ini (atau bulan) praktis tidak bisa diturunkan dan dinaikkan.Ia tidak bisa ditelusuri ''illat'' hukumnya. ''Mujtahid'' hanya mampu menangkap hikmahnya. Berkaitan dengan konsep hikmah ini, Waliyullah al-Dihlawiy mengajukan dua bentuk hikmah dalam penetapan empat bulan sepuluh hari ini. ''Pertama'', karena ditiupkannya ruh ke dalam janin tidak kurang dari 4 bulan. Ditambahkan 10 hari, karena padamasa itulah mulai munculnya gerakan-gerakan pada janin. ''Kedua'', masa 4 bulan 10 hari adalah separuh dari masa kehamilan. Dalam masa ini, kehamilan perempuan sudah mulai tampak dengan jelas. Baca Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah'', hlm. 379.</ref>. Akan tetapi, para ulama memahaminya sebagai masa berkabung bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Seandainya dikaitkan dengan ''barâ`ah al-rahim'' tentu ''‘iddah''nya akan sama dengan perempuan yang dicerai dalam kondisi yang masih memungkinkan hamil, yaitu tiga ''qurû`''. Demikian pula, ''‘iddah'' dalam keadaan ini bukanlah masa untuk berfikir bagi kemungkinan terjadinya ''ruju’'' antara suami dan istri.
Kalau keadaannya memang demikian, maka sesungguhnya ''‘iddah'' juga berhubungan dengan masalah etika gender [''gender ethics'']. Yang dimaksud bahwa dengan iddah seorang perempuan harus merasakan duka dengan kematian mendiang suaminya. Konsisten dengan landasan etis ini, para ulama menetapkan kewajiban ''hidâd'' atas perempuan.
Pada umumnya, perceraian yang terjadi akibat kematian suami adalah musibah bagi perempuan yang menjadi istrinya. Perceraian seperti ini merupakan perceraian yang tidak terelakkan.
Dalam suasana batin yang gundah ini, al-Qur`an melarang pria lain untuk menyatakan pinangannya terhadap perempuan itu secara terbuka (''tashrih''), meskipun perempuan yang cerai akibat ditinggal mati suaminyya sudah tidak mungkin lagi ''rujû’'', Secara doktrinal, lelaki yang meminang (''al-khâthib'') itu diminta untuk menyembunyikan hasrat peminangannya itu. Kalaupun hasrat itu sudah tak terbendung lagi, maka ia hanya boleh dikemukakan dalam bentuk sindiran (''ta’ridl''). Ketentuan ini, tampaknya, tidak luput dari upaya menjaga perasaan perempuan yang sedang dalam keadaan duka tersebut.
Terus terang, ketentuan ''‘iddah'' dalam kasus cerai mati ini dapat dengan mudah dilaksanakan. Akan tetapi, persoalan timbul ketika perempuan bersangkutan berada dalam keadaan hamil: bagaimana menentukan ''‘iddah'' wafat dan ''‘iddah'' hamil sekaligus? Apakah cukup melaksanakan salah satunya? Jika ya, ''‘iddah'' wafat atau ''‘iddah'' hamil yang harus dilaksanakan? Mungkinkah seorang perempuan yang melahirkan anaknya sesaat setelah suaminya meninggal dunia tidak menghadapi ''‘iddah''?
Dalam merespon persoalan di atas para ulama terbelah kepada dua kelompok. ''Pertama'', pendapat jumhur yang mengatakan bahwa patokan ''‘iddah'' adalah kelahiran anaknya, meskipun kelahiran itu terjadi sesaat setelah kematian suaminya.  Alasan yang biasa dirujuk adalah a] pernyataan Umar ibn Khattab bahwa ''‘iddah'' perempuan semacam itu ialah melahirkan bayinya, walaupun mayat suaminya masih terbaring di rumah duka. b] berdasar kepada ke-''’umum''-an ayat ''ûlât al-ahmâl.'' Oleh karena itu, bila keduanya bertemu, maka mereka berpegang kepada ayat ''ulat al-ahmal''. Hal ini,  juga erat kaitannya dengan pandangan mereka tentang fungsi ''‘iddah''. Bagi mereka, ''‘iddah'' hanya berfungsi sebagai pembersih rahim. c] didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad kepada Sabi’ah al-Aslamiyah yang melahirkan anak praktis setengah bulan dari kematian suaminya. Nabi bersabda, “anda sudah halal, maka nikahlah dengan orang yang kau suka”.
''Kedua'', ulama yang menyatakan bahwa ''‘iddah'' perempuan hamil yang ditinggal mati suami adalah dengan mengambil tenggang waktu terlama (''ab’ad al-ajalaini'') di antara dua alternatif: 4 bulan 10 hari (iddah wafat) atau kelahiran bayinya (karena ''‘iddah'' hamil). Pendapat ini biasanya dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan Ali ibn Abi Thalib. Kelompok kedua ini menghendaki dikompromikannya (''al-jam’u'') antara keumuman ayat hamil dan ayat wafat<ref>Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid'', Juz II, hlm. 72; Bandingkan dengan Ibnu Katsir, ''Tafsir al-Qur`an al-’Adhim'', (Riyadl: Dar ‘Alam al-Kutub),  1997, jilid I, hlm.353.</ref>. Saya menduga ada alasan lain yang secara eksplisit tak terucapkan oleh mereka. Yaitu, bahwa fungsi ''‘iddah'', di samping pembersih rahim, adalah sebagai perlambang solidaritas kekeluargaan [''tafajju’''].
=== Etika Sosial Perempuan dalam Masa ''‘Iddah'' ===
Ulama fikih mengemukakan ada beberapa etika sosial [''social ethics''] bagi perempuan yang sedang menjalani masa ''‘iddah''. Di antaranya adalah: ''pertama'', ia tidak boleh menerima pinangan dari laki-laki, baik secara terang-terangan (''tashrîh'') maupun secara sindiran (''ta’rîdl''). Akan tetapi, untuk perempuan yang menjalani ''‘iddah'' kematian sang suami, pinangan boleh dilakukan namun dengan cara sindiran. Alasan ulama fikih menetapkan hukum ini adalah firman Allah dalam Surat ''al-Baqarah'' (2) ayat 235 yang artinya: “''Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang “''perempuan-perempuan itu” ''dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf….''”. Yang dimaksud dengan “perempuan-perempuan itu”adalah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.
Lebih jauh dari itu, perempuan yang sedang dalam ''‘iddah'' tidak boleh mengadakan akad perkawinan (kawin atau dikawini) secara mutlak. Hal ini didasarkan pada lanjutan Surah ''al-Baqarah'' (2) ayat 235 di atas, yaitu: “….''Dan janganlah kamu ber’azam (berketetapan hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ‘iddahnya…''”
''Kedua'', perempuan yang sedang menjalani ‘''iddah'' dilarang keluar rumah<ref>]Lihat al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,''hlm. 373.</ref>. Jumhur ulama fikih (al-Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan al-Layts) sepakat bahwa perempuan yang menjalani ''‘iddah'' dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kecuali itu, antara Malik dan al-Syafi’i memiliki perbedaan. Bagi Malik, larangan keluar rumah bagi ''mu’taddah'' adalah mutlak tanpa membedakan antara talak ''raj’i'' dan talak ''bâ`in''. Sedangkan bagi al-Syafi’i, ''mu’taddah'' yang ditalak ''raj’i'' tidak diperkenankan untuk keluar rumah, baik siang maupun malam. Keluar rumah pada siang hari hanya diperbolehkan bagi ''mabtutah'' (perempuan yang ditalak ''bâ`in'')<ref>Al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Juz XIIIX. hlm. 154-155.</ref>.
Alasan yang dikemukakan mereka adalah sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah; “Jabir berkata: Bibiku dari ibu ditalak tiga kali oleh suaminya lalu ia keluar untuk memotong kurmanya. Tiba-tiba ia ditemui oleh seorang laki-laki, lalu melarangnya keluar. Maka saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, pergilah engkau ke kebunmu itu untuk memetik buah kurma itu, mudah-mudahan engkau bersedekah dengan buah kurma itu dan lakukanlah sesuatu yang baik menurutmu.” (HR.al-Nasa’i dan Abu Dawud).
Dalam riwayat Mujahid, dikatakan bahwa beberapa orang laki-laki mati syahid ketika perang Uhud. Lalu istri-istri mereka mendatangi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW ditanya apakah mereka dibolehkan keluar malam ini. Ia menjawab “silakan kalian semua (yang ditinggal oleh kematian suaminya itu) berkumpul bersama di malam hari dan apabila telah mengantuk, maka kembalilah ke rumah masing-masing. (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, al-Nasa`i, al-Timidzi dan Ibnu Majah)<ref>Lihat Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' Juz II, hlm. 158-159.</ref>. Alasan yang lain adalah firman Allah dalam Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1 yang artinya; “...''Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diijinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan keji yang terang...''”.
Persoalannya kemudian, bagaimana dengan perempuan yang ber''’iddah'' wafat? Tampaknya, larangan keluar rumah bagi perempuan yang ber''’iddah'' wafat, tidak dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ketentuan ini didapat dari hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari beberapa jalur, bahwa Nabi bersabda kepada Furai’ah  binti Malik bin Sanan yang ditinggal mati suaminya; ''umkutsî fiy baitiki hattâ yablugha al-kitâb ajalah.'' Kemudian Furai’ah menjalani ''‘iddah'' selama empat bulan sepuluh hari<ref>Al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an,''  Juz III, 171. Bandingkan dengan al-Syairaziy, ''al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imam al-Syafi’i,'' Juz II, hlm. 147.</ref>.
Namun, Imam Dawud menyangkal dengan menyatakan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak wajib ber''’iddah'' di rumahnya. Ia boleh ber''’iddah'' di tempat mana saja yang disukai karena kewajiban menempati tempat tinggal yang terdapat dalam al-Qur`an hanya berlaku bagi perempuan ''muthallaqah''. Ulama yang mendukung pendapat ini mengatakan bahwa hadits riwayat Malik tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang perempuan yang tidak populer (''ghair ma’rufah'') di kalangan para perawi hadits. Ini artinya, hadits yang dijadikan dasar pelarangan keluar rumah bagi perempuan yang ber''’iddah'' wafat, derajat keshahihannya belum disepakati oleh seluruh ulama. Jauh sebelum Dawud, pendapat ini konon pernah dikemukakan oleh Ali, Ibnu Abbas, Jabir, dan ‘Aisyah. Kecuali itu, ada riwayat dari Ma’mar bahwa ‘Aisyah pernah keluar rumah, melakukan umrah ke Mekah pada saat ditinggal mati suaminya, Thalhah ibn ‘Ubaidillah<ref>Al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an,'' Juz III hlm. 177.</ref>.
''Ketiga'', ''al-mu’taddah'' berkewajiban untuk ''ihdâd''. Bagian yang ketiga akan dijelaskan secara agak detail pada bagian berikut.
=== ''Ihdâd'': Pengertian dan Dasar Hukum ===
Secara etimologis, ''ihdâd'' atau juga disebut ''hidâd'' berarti mencegah [''imtinâ’''] dari memakai perhiasan. Dalam ''vocabulary'' Arab,  ''ihdâd'' berarti keadaan perempuan yang tidak menghias dirinya sebagai tanda perasaan berkabung atas kematian suaminya atau keluarganya<ref>Ibnu Qudamah, ''al-Muqni’ fiy Fiqh Imam al-Sunnah Ahamd ibn Hanbal al-Syaibaniy,'' Juz III'','' hlm. 289-291. Baca juga, Muhammad ibn Abdurrahman al-Dimasyqiy, ''Rahmat al-Ummah fiy Ikhtilaf al-A`immah,'' Katar: Tanpa Penerbit, 1981, hlm. 314.</ref>. Kalau bagi selain suami, ''ihdâd'' hanya dilakukan sampai masa tiga hari. Dalam ajaran fikih konvensional, ''ihdâd'' hanya berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya, dan tidak berlaku terhadap suami yang ditinggal mati istrinya. ''Ihdâd'' juga tidak dapat dikenakan kepada istri yang ditalak ''raj’i'' dan talak ''bâ`in''<ref>Al-Syairaziy, ''al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imam al-Syafi’I,'' hlm. 149. Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 294. Bandingkan dengan Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid'', Juz II, hlm. 92. Sebagian ulama berpendapat, ''ihdad'' hanya disunatkan bagi perempuan yang ditalak (''muthallaqah''). Lihat Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 107.</ref>.
''Ihdâd,'' dalam kitab-kitab kuning, selalu dinyatakan wajib dilakukan bagi istri yang suaminya wafat dengan tujuan menyempurnakan penghormatan terhadap suami dan memelihara haknya<ref>Abd ‘al-Bar al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' Beirut: Dar al-Kutub, 1992, hlm. 294.</ref>. ''Ihdâd'' disyari’atkan dalam ajaran Islam berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka dapat (menghadapi) ''‘iddah''-nya (yang wajar) dan hitunglah waktu ''‘iddah'' itu serta bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”. Selain itu, ''ihdâd'' juga didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “seorang perempuan tidak boleh melakukan ''ihdâd'' lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka ia melakukan ''ihdâd'' selama empat bulan sepuluh hari…” (HR. al-Jama’ah kecuali al-Tirmidzi)<ref>Hadits ini banyak dikutip oleh para ahli fikih dalam karya-karyanya, misalnya: Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, ''al-Umm,'' hlm. 246. Ibnu Hazm, ''al-Muhalla,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz IX, hlm. 256; Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,'' hlm. 101.</ref>.
Dalam hadits Ummi Salamah dikatakan: “Terhadap perempuan yang ditinggal mati suaminya, janganlah ia memakai pakaian yang dicelup, jangan memakai perhiasan, jangan memakai pewarna wajah, dan jangan bercelak” (HR. Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, dan al-Nasa`i). Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang berasal dari Ummu ‘Athiyah juga berisi larangan yang sama dengan hal di atas. Dinyatakan bahwa jika seorang istri yang ditinggal wafat suaminya mengetahui bahwa ''ihdâd'' wajib dilakukan selama masa ''‘iddah'', namun ia tidak melakukannya, maka tindakannya termasuk mendurhakai Allah<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 662.</ref>.
Menurut kitab-kitab fikih konvensional, perempuan yang ditinggal mati oleh suami atau keluarganya diharuskan melakukan ''ihdâd'' dengan cara menjauhi hal-hal berikut: [1] memakai perhiasan cincin atau perak. Larangan ini diakui oleh ahli fikih pada umumnya, kecuali menurut sebagian madzhab Syafi’i; [2] memakai pakaian yang terbuat dari sutera berwarna putih; [3] memakai pakaian yang berbau wangi; [4] memakai pakaian yang dicelup dengan warna mencolak, misalnya warna merah atau kuning. Pada umumnya ahli fikih menyatakan bahwa perempuan tersebut boleh memakai pakaian yang berwarna hitam. Akan tetapi, menurut madzhab Maliki, pakaian yang berwarna hitam pun tidak boleh dipakai kecuali jika di kalangan masyarakatnya warna hitam dipandang untuk mempercantik diri; [5] memakai wewangian (parfum) pada tubuhnya, kecuali untuk keperluan menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya sehabis haid. Bahkan, madzhab Maliki berpendapat bahwa perempuan yang sedang melakukan ''ihdâd'' tidak boleh melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wewangian, misalnya menjadi pembuat atau pedagang minyak wangi; [6] meminyaki rambut, baik minyak yang mengandung wewangian maupun tidak mengandung wewangian; [7] memakai celak, karena hal itu akan memperindah mata. Menurut ahli fikih, jika bercelak untuk keperluan pengobatan boleh dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari tetap tidak dibenarkan; [8] mewarnai kuku dengan inai dan semua yang berkaitan dengan pewarnaan wajah. Seluruh larangan ini didasarkan kepada hadits riwayat Bukhari dan Muslim ditambah dengan hadits al-Nasa`i dan Ahmad ibn Hanbal<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII hlm. 662. Bandingkan dengan Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 293. Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 134-136. Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 107. Hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan-larangan yang mesti dijauhi oleh perempuan yang menjalani ''ihdâd'' dapat diketemukan dalam al-Syawkaniy, ''Nayl al-Awthâr'', (Mesir: Dar al-Kutub, 1993),  Juz VI hlm. 296.</ref>.
Di samping itu, larangan lain dalam ''ihdâd'' adalah larangan untuk keluar rumah, kecuali untuk keperluan tertentu dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar, seperti mencari nafkah. Larangan keluar rumah ini juga didasarkan pada firman Allah SWT pada Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1 tersebut di atas.
Adanya perbedaan pendapat ulama mengenai  tata cara melakukan ''ihdâd'' di atas, seperti tentang jenis dan warna pakaian yang boleh dipakai perempuan berkabung, disebabkan karena adanya perbedaan pandangan mengenai hal-hal yang dapat dianggap mempercantik diri dan menjadi daya tarik perempuan. Hadits-hadits yang ada hanya menyebutkan hal-hal yang dipandang dapat mempercantik diri pada masa Rasulullah SAW. Sesungguhnya, hal ini berkaitan erat dengan penilaian dan adat istiadat (''‘uruf'') yang berkembang pada setiap masyarakat.
Para ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang wajib melakukan ''ihdâd'' karena kematian suaminya adalah perempuan yang beragama Islam, ''baligh'', merdeka, atau budak, dan melakukan perkawinan yang sah dengan suaminya yang wafat itu. Akan tetapi, para ahli fikih berbeda pendapat mengenai kewajiban melakukan ''ihdâd'' bagi istri yang masih kecil (''shaghirah''), atau istri yang beragama Yahudi dan Nashrani (perempuan ''kitâbiyyah''; ''ahlu al-kitâb'').
''Fuqahâ`'' dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa istri yang masih kecil (belum baligh) tidak wajib melakukan ''ihdâd'', karena ia tidak ''mukallaf''. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Maliki, istri yang masih kecil wajib melakukan ''ihdâd'' juga, karena ia tetap berstatus sebagai istri. Sementara itu, mengenai perempuan ''kitâbiyyah'' dan ''dzimmiyah'', madzhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak wajib melakukan ''ihdâd'', sebagaimana ''shaghirah'', karena tidak mukallaf. Sedangkan menurut madzhab Maliki, ia wajib melakukannya karena perempuan ''kitâbiyyah'' dan ''dzimmiyah'' yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan hak-hak perempuan yang beragama Islam<ref>Lihat Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 292.</ref>. Perempuan yang dinikahi dengan nikah ''fâsid'' (pernikahan yang salah satu syaratnya tidak terpenuhi) tidak wajib melakukan ''ihdâd''.
Berseberangan dengan pendapat para ahli fikih pada umumnya, kalangan madzhab Hanafi mewajibkan ''ihdâd'' kepada istri yang menjalani masa ''‘iddah'' setelah dijatuhi talak tiga oleh suaminya<ref>Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,'' hlm. 100.</ref>. Sedangkan ahli fikih lainnya berpendapat bahwa hukumnya hanya sunnah. Madzhab Hanafi memandangnya wajib karena perbuatan itu merupakan ungkapan rasa berduka atas hilangnya karunia Allah SWT. dalam bentuk perkawinan dari diri istri. Karena itu, kewajiban melaksanakan ''ihdâd'', juga berlaku terhadap perempuan tersebut. Dalam hal ini, madzhab Hanafi menyamakan kedudukannya dengan istri yang suaminya wafat<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 661.</ref>. Berbeda dengan Hanafi, madzhab Ja’fariy menyatakan bahwa hanya perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang dikenakan kewajiban untuk ''ihdâd''. Pasalnya, dalam kasus ini sudah tidak bermakna lagi adanya masa “berkabung” tersebut. Karena, suami melakukan talak dengan ''ikhtiyâr''<ref>Lihat al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 374.</ref>''.''
Lebih lanjut, '' fuqahâ`'' lainnya berpendapat bahwa ''ihdâd'' bagi perempuan seperti itu tidak wajib, karena ia masih memiliki kemungkinan untuk kawin lagi dengan suaminya itu, jika terlebih dahulu ia kawin dengan laki-laki lain yang kemudian menceraikannya. Di samping itu, ia juga memiliki masa ''‘iddah'' yang sama dengan istri yang dijatuhi talak ''raj’i''. Sedangkan anjuran untuk melakukan ''ihdâd'' selama masa ''‘iddah'' talak ''bâ`in'' hanya dimaksudkan untuk menghindarkan dirinya dari fitnah yang mungkin muncul jika ia berhias diri.
Para ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang menjalani masa ''‘iddah'' talak ''raj’i'' tidak wajib melakukan ''ihdâd'', karena selama berada dalam masa ''‘iddah'' ini pada hakikatnya ia masih berada  dalam status perkawinan<ref>Lihat Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' hlm. 134.</ref>. Karenanya, ia berhak untuk menghias diri, bahkan hal tersebut dianjurkan kepadanya dengan tujuan agar suaminya tertarik untuk melakukan ''rujû’''<ref>al-Bujairimiy, ''Bujairimiy ‘ala al-Khathib,'' hlm. 47.</ref>.
=== Fiqh yang Berlandaskan Etik-Moral ===
Dengan memfokuskan perhatian pada sudut pandang fikih semata, paparan-paparan normatif tentang ''‘iddah'' dan ''ihdâd'' di atas kiranya tidak ada persoalan berarti. Bahkan, itu mungkin akan terus memperteguh dan mengutuhkan kecenderungan tekstualisme seperti yang selama ini mencoraki alam pikiran umat. Namun, dilihat dari perspektif keadilan relasi lelaki-perempuan [''gender relation''] dan ditambah dengan perkembangan tehnologi yang semakin canggih (''sophisticated technology''), maka paradigma tekstualisme tersebut agaknya tidak cukup memadai. Oleh karena itu, harus ada pertimbangan lain yang bukan semata-mata teks-''nash''.
Dalam kerangka itu, tampaknya perlu ada beberapa hal yang menarik untuk dipertanyakan disekitar ''‘iddah'' dan ''ihdâd'' ini. ''Pertama'', mengapa ''‘iddah'' hanya dikenakan pada perempuan, dan tidak pada laki-laki? Untuk menjawab pertanyaan ini tidak begiru sulit, kalau kita telah menerima secara ''taken for granted'' penjelasan fiqh bahwa ''‘iddah'' disyari’atkan dengan alasan pokok (''‘illat al-hukm'') untuk mengetahui kondisi terakhir rahim perempuan. Karena yang punya rahim hanya perempuan, sementara laki-laki tidak, maka normal dan rasional saja jika ‘''iddah'' hanya dapat dibebankan pada perempuan. Dengan menggunakan logika ini, maka penerapan ''‘iddah'' bagi laki-laki bukan saja tidak tepat, melainkan juga tidak realistis.
Akan tetapi, berargumen bahwa ''‘iddah'' diundangkan untuk mengetahui kondisi terakhir rahim perempuan agaknya tidak bisa dipertahankan lagi. Sebab, dengan kecanggihan tehnologi modern sekarang, pelacakan terhadap bagian terdalam rahim seorang perempuan bukanlah sesuatu yang sulit lagi untuk dilakukan. Tehnologi sudah dapat mendeteksi  dengan sangat akurat dan valid tentang ada dan tidak adanya bibit atau benih dalam rahim perempuan. Jaminan akurat dari tehnologi ini terus terang membuat kelompok agamawan ortodoks-tradisional khawatir terhadap kemungkinan ditanggalkannya ketentuan ''‘iddah'' ini.
Dengan latar tersebut, dalam perkembangan berikutnya, kelompok tekstualis ini mulai menolak keberadaan ''‘illat'' hukum dari ketentuan ''‘iddah.'' Sebagai argumen pengganti, dihadirkanlah teori lain yang mengatakan bahwa alasan utama ''‘iddah'' bukan untuk ''ma’rîfah barâ`ah al-rahim'' (mengetahui keadaan rahim), melainkan lebih karena tuntutan teks ajaran agama. Menurut mereka, meminjam bahasa ''ushûl al-fiqh'', ''‘iddah'' disyari’atkan tidak mengandung ‘''illat'' apapun. Dengan mengikuti ketegorisasi hukum dalam ''ushul fiqh'', ''‘iddah'' termasuk ke dalam hukum ''ghayr al-ma’qûlat al-ma’nâ'', sebuah ketentuan hukum yang harus diimani dan dilaksanakan oleh ''mukallaf'' tanpa perlu mempertanyakan apalagi menggugatnya<ref>Para ulama ''ushûl al-fiqh'' biasanya membagi hukum kepada dua bagian. ''Pertama'', hukum-hukum yang disyari’atkan Allah tanpa disertai ‘''illat'' hukumnya. Pada jenis ini, ''mukallaf''  hanya mampu menangkap hikmah--bukan ''‘illat''--yang ada dibalik hukum tersebut. Hukum ini biasa disebut dengan ''ahkâm ta’abbudiyah'' atau ''ghayr ma’qûlat al-ma’nâ.'' Sekedar contoh, jumlah rakaat shalat. Percuma saja jika mukallaf mau mencari dimensi rasionalitasnya, kenapa mesti dua rakaat, tiga rakaat dan tidak yang lain. Dengan perkataan lain, hukum jenis pertama ini merupakan hak prerogatif Tuhan. ''Kedua'', hukum yang disyari’atkan dengan disertai ''‘illat'' hukumnya. Dalam wacana ''ushûl al-fiqh'', hukum ini disebut ''ahkâm ta’aqquliyah'' atau ''ma’qûlat al-ma’nâ''. Bagian kedua ini, dengan nalar, mukallaf dapat menangkap alasan dari hukum ini. Secara lebih dalam baca, Abdul Wahab Khallaf, ''Ilmu Ushûl al-Fiqh'', (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah), 1956, hlm. 62; Ali Hasballah, ''Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmiy'', (Kairo: Dar al-Ma’arif), Tanpa Tahun, hlm. 145; Abu Ishaq al-Syathibiy, ''al-Muwâfaqât fiy Ushûl al-Syarî’ah'', (''Tahqiq'' Abdullah Daraz), Tanpa Tahun, Juz II, hlm. 238; Abu Hamid al-Ghazali, ''al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushûl'', (Beirut: Dar al-Fikr), Tanpa Tahun, hlm. 250. Bahasan lengkap tentang ''ta’aqquliy'' dan ''ta’abbudiy'' ini dapat dibaca, Abd Moqsith Ghazali, ''Ta’aqquliy'' dan ''Ta’abbudiy:'' Formulasi Hukum dalam Ayat-Ayat al-Qur`an, dalam ''Majalah AULA'' PWNU Jawa Timur, No. 03/Tahun XXII Maret 2000, hlm. 64-74.</ref>. Berangkat dari logika ini, kalaulah ''‘iddah'' memuat hal-hal yang rasional, maka ia tetap tidak diakui sebagai ''‘illat'' hukum, melainkan sebagai ''hikmah al-hukm''. Dalam ''ushûl al-fiqh'' syafi’iyyah, hukum tidak bertumpu pada ''hikmah'' melainkan pada ''illat''.
Jika mau dilacak secara agak dalam, sejatinya terdapat aturan dalam al-Qur`an bahwa lelaki harus menanggung beban material dari pernikahan dan perceraian. Beban itu adalah pemberian nafkah oleh suami untuk istri dalam masa pernikahan atau ''mut’ah''--bedakan dengan nikah ''mut’ah''--bagi istri yang baru diceraikan selama masa ''‘iddah''. Allah SWT. berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2, “Kepada perempuan-perempuan yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) ''mut’ah'' menurut yang ''ma’ruf,'' sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa”<ref>Yusuf Ali menterjemahkan ayat tersebut, “Bagi perempuan yang dicerai harus diberikan nafkah menurut kadar yang masuk akal. Ini adalah tugas bagi mereka yang takwa. [Lihat Abdullah Yusuf Ali, ''The Holy Qur`an: Text, Translation, and Commentary,'' Leicester: The Islamic Foundation, 1975, hlm. 63]. Al-Syinqithiy mengatakan bahwa ''mut’ah'' merupakan hak bagi setiap istri yang diceraikan, baik telah terjadi hubungan seksual maupun tidak; dan sebaliknya merupakan kewajiban bagi seorang suami yang takwa. [Lihat al-Syinqithiy, ''Adhwa` al-Bayan fiy Iydhah al-Qur`an bi al-Qur`an,'' Beirut: Alam al-Kutub, Tanpa Tahun, Juz I, hlm. 219]. Terkait dengat ayat tersebut, Muhammad Asad mengatakan bahwa ayat ini terkait dengan perempuan yang diceraikan tanpa ada kesalahan yang bisa dibenarkan menurut hukum. Sementara tentang besarnya nafkah yang harus ditanggung oleh suami tampaknya tidak ada ketentuan yang pasti. Dengan demikian, besar dan kecilnya nafkah dapat disesuaikan dengan kondisi perekonomian suami dan kondisi sosial waktu itu. Baca Muhammad Asad, ''The Message of the Quran,'' Gibraltar, 1980, hlm. 54.</ref>.
Para ulama sepakat bahwa wanita yang berada dalam ‘''iddah'' talak ''raj’i'' berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (''al-suknâ'') dari suami yang menceraikannya. Begitu juga, mereka sepakat bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya (baik talak ''raj’i'' maupun talak ''ba`in'') berhak untuk mendapatkan nafkah dan tempat tinggal hingga melahirkan<ref>Al-Bujairimiy, ''Bujairimy ‘ala al-Khathib,'' hlm. 45. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban memberikan nafkah dan tempat tinggal bagi perempuan yang ditalak ''ba`in'' sementara ia tidak dalam keadaan hamil. Dalam hal ini, dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendapat. ''Pertama'', pendapat ulama Kufah bahwa perempuan tersebut berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.  ''Kedua'', pendapat Ahmad, Dawud, Abu Tsawr, Ishaq bahwa perempuan tersebut tidak berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Pendapat ini didasarkan kepada hadits al-Dar Qutni bahwa nafkah dan tempat tinggal itu hanya bagi perempuan yang ditalak ''raj’i''. ''Ketiga'', pendapat yang dikemukakan oleh Malik, Syafi’ie bahwa perempuan tersebut hanya mendapat tempat tinggal tidak nafkah. Lihat Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,'' hlm. 76. Bandingkan Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' hlm. 132. </ref>. Allah SWT. berfirman (65:6), “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin…”. Allah SWT. berfirman Selanjutnya, Allah SWT juga berfirman (65:6), “….Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin..”.
Namun, dalam realitasnya, wacana yang berkembang di kalangan umat Islam justru bukan masalah nafkah yang harus ditunaikan oleh “bekas” suami, melainkan kewajiban ‘''iddah'' yang mesti dijalankan oleh “mantan” istri. Sangat terasa bahwa ketentuan ''‘iddah'' yang dalam praktiknya telah dipahami sebagai beban dan urusan istri (perempuan) telah memperoleh perhatian yang jauh lebih serius baik dari sudut teoritisnya maupun pengawasan dan pelaksanaannya di lapangan ketimbang  urusan nafkah yang pada dasarnya merupakan kewajiban lelaki (suami)--juga baik dari sudut teoritisnya maupun aplikatifnya<ref>Masdar F. Mas’udi, ''Ihdâd dan ‘iddah dalam Kehidupan Umat yang Berubah,'' hlm. 4.</ref>.
Sesungguhnyalah, di samping untuk mengetahui tentang positif dan negatifnya rahim'', s''esuai dengan struktur masyarakat Arab yang patriarkhal, ‘''iddah'' pada saat diturunkannya telah berfungsi secara efektif sebagai upaya minimal untuk melindungi hak-hak perempuan pasca-perceraian dan kematian. Dalam batas waktu ''‘iddah'' itu, perempuan masih berhak untuk mendapat perlindungan ekonomi dan perlindungan sosial. Perlindungan ini misalnya terlihat dari desakan al-Qur`an pada suami untuk membuat wasiat khusus sebelum meninggal dunia untuk mempertahankan istrinya di dalam rumahnya paling tidak selama satu tahun dan untuk nafkah hidupnya.
Allah SWT. berfirman (2:240), “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya. Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka”<ref>Menurut Imam Syafi’ie, ayat ini turun sebelum turunnya ayat-ayat tentang ''mawarits'' dalam Islam. Ayat ini juga telah ''di­nasakh'' oleh ayat 234 surat al-Baqarah dalam al-Qur`an. Baca Imam Syafi’ie, ''al-Umm,'' Juz 5'','' hlm. 238. Pertanyannya, kenapa ayat 234 me''nasakah'' ayat 240, padahal ayat yang menjelaskan tentang ''‘iddah'' 4 bulan 10 9 (ayat 234) hari lebih awal turun ketimbang ayat yang menjelaskan satu tahun. Dalam menjawab pertanyaan ini, al-Bujairimi menyatakan bahwa ayat 234 lebih belakangan turunnya (''mutaqaddimah al-nuzul''), dan lebih awal bacaannya (''mutaqaddimah al-tilawah'')''.'' Lihat al-Bujairimiy, ''Bujairimiy'' ''‘ala'' ''al-Khathib,'' Jilid 4, hlm. 37.</ref>. Dengan demikian, jika ayat ini dibaca dalam perspektif sosial yang berlaku pada saat itu, maka akan terlihat bahwa perlindungan khusus diambil untuk melindungi hak-hak perempuan yang waktu itu banyak yang terampas.
Bahkan, jika berpedoman pada konteks masyarakat Arab dalam era pra-Islam dan awal Islam, perlindungan semacam ini jelas sangat signifikan, karena dua hal. ''Pertama'', pada masa itu secara kultural perempuan memang tidak memperoleh hak apapun. ''Kedua'', dalam fakta obyektif dan realitas empiriknya, tidak banyak dijumpai (kecuali hanya sedikit saja) perempuan yang bekerja untuk mencari nafkah. Pada saat itu, secara ekonomis dan sosial istri memang berada dalam tanggung jawab suaminya. Dengan demikian, apa yang akan terjadi jika tidak ada prakondisi, misalnya dengan tersedianya waktu tertentu (''‘iddah'') untuk mencadangkan diri memasuki kehidupan mandiri, setelah terjadi perceraian<ref>Baca Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' hlm. 185-201. Bandingkan dengan Lies Marcos Natsir, ''Haidl dan ‘Iddah: Sebuah Tinjauan Analisis Gender,'' Makalah disampaikan dalam diskusi tentang “Implikasi Transformasi Global terhadap Konsep ''‘iddah''”, Lis-Sakinah, Situbondo 27 Pebruari 1997, hlm. 3</ref>.
Dalam kondisi demikian, ''‘iddah'' menjadi sangat dibutuhkan untuk menunjang masa transisional perempuan tersebut (''muthallaqah'' atau ''al-mutawaffa ‘anha zawjuhâ''). Dengan pengertian seperti ini, konsep ''‘iddah'' pada mulanya jelas sebuah lompatan radikal dari Nabi Muhammad SAW, setidaknya karena dua hal. ''Pertama'', untuk menggantikan cara-cara ber''iddah'' sekaligus ber''ihdad'' yang di luar batas kewajaran--seperti telah dijelaskan sebelumnya--pada cara yang lebih berperikemanusiaan. ''Kedua'', agar setelah diceraikan, perempuan tidak segera tercampakkan dan kehilangan hak-haknya.
Di samping pertimbangan-pertimbangan di atas, pertimbangan lain yang bisa diajukan seputar disyari’atkannya ''‘iddah'' dan ''ihdâd'' adalah pertimbangan etis-moral. Dengan pertimbangan ini, walaupun dengan perkembangan teknologi modern yang dengan cermat keadaan rahim bisa diketahui melalui tes urine, misalnya, ''‘iddah'' tetap harus dijalankan. Pertimbangan etik-moral dimaksud tentunya berbeda-beda aksentuasinya dari kasus per kasus, seiring dengan keberagaman latar belakang dan motivasi yang menyertai terjadinya perceraian.
''Pertama'', dalam kasus perceraian karena suami meninggal. Pada bagian ini, ''‘iddah'' di samping untuk tujuan memperjelas status genetika juga dimaksudkan sebagai pernyataan sikap berkabung (''ihdâd''). Tentu saja, berkabung yang perlu dijalani istri tidak boleh dijalani dengan cara-cara yang tidak manusiawi, seperti yang telah ditampilkan masyarakat Arab jahiliyyah yang melarang perempuan ''mu’taddah'' untuk menyisir rambut, memotong kuku, dan sebagainya. Dengan demikian, selama masa ''‘iddah''nya (4 bulan 10 hari), di samping perempuan tersebut harus membiarkan rahimnya tidak menampung benih baru, yang bersangkutan juga diminta untuk tidak mengekspresikan satu sikap yang mengesankan bahwa dirinya tidak sedang tertimpa musibah.
Dalam bingkai pemikiran ini, boleh jadi prinsip yang diletakkan dalam ''ihdâd'' ini tidak untuk berkabung atas meninggalnya mendiang suami atau keluarga. Sebab, tanpa dikondisikan pun seorang istri atau suami yang ditinggal pasangan yang sangat mencintai dan menyayanginya tentu akan berkabung, bahkan bisa hingga beberapa tahun. Dengan demikian, ''ihdâd'' adalah kriteria kepantasan bagi mereka yang baru ditimpa musibah kematian. Karena itu, maka baik istri maupun suami mesti menjaga takaran kepantasan tersebut dengan tidak menunjukkan kepada publik suatu cita rasa bahagia dan senang dengan kematian mitra hidupnya itu<ref>Secara etik-moral, tidak selayaknya bagi seorang suami yang baru ditinggal mati oleh istrinya untuk melangsungkan pernikahan dengan perempuan lain. Dalam kaitan ini, terus terang, fiqh yang memberikan perkenan bagi seorang laki-laki untuk nikah dengan perempuan lain tatkala istrinya baru meninggal, adalah fiqh patriarkhal yang kurang mempertimbangkan ukuran-ukuran etik-moral. Dilihat dengan mata curiga, fiqh seperti itu menunjukkan adanya arogansi kelelakian.</ref>.
''Kedua'', dalam kasus talak ''raj’i''. Dalam tataran ini, fungsi ''‘iddah'' di samping untuk kerangka kejelasan genetika juga untuk membuka kesempatan selebar-lebarnya khusus kepada mereka berdua (suami-istri) untuk segera kembali sebagai suami istri. Sejatinya, kewajiban memberikan nafkah atas suami terhadap istri yang dicerainya, terutama dalam talak ''raj’i'', merupakan cara lain untuk menggiring suami-istri tersebut ke arah perdamaian (rekonsiliasi). Suami tetap dibebani tanggung jawab nafkah sekalipun ia tidak memperoleh haknya secara penuh. Sebaliknya, wanita menerima pemberian itu agar tidak mudah larut dalam godaan lelaki lain. Ujungnya, diharapkan agar alternatif utama yang menjadi pilihan mereka adalah ''ruju’'', bersatu kembali dalam rumah keluarga.
Ini paralel dengan dambaan Islam agar sekali pernikahan dilangsungkan maka harus diusahakan dengan sekuat tenaga untuk tidak cerai, karena Allah akan sangat marah. Nabi bersabda, ''abghadl al-halâl ‘inda Allah al-thalâq''<ref>Hadits ini dapat dibaca dalam Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, ''Bulugh al-Maram,'' Semarang: Thaha Putera, 1982, hlm. 321.</ref>. Artinya, pernikahan yang dalam al-Qur`an digambarkan sebagai perjanjian yang kukuh (''mitsâqan ghalidhan'') tidak bisa dianggap remeh dan tidak boleh diputuskan kecuali dalam keadaan yang luar biasa<ref>Dalam Islam, perceraian diperbolehkan karena pernikahan dianggap sebagai sebuah kontrak, yang dapat diputuskan baik karena kehendak keduanya atau karena kemauan salah satu pihak darinya. Dengan menganggap pernikahan sebagai sebuah kontrak, maka perceraian menjadi sebuah konsep yang alamiah terjadi, walaupun dalam praktiknya seringkali disalahgunakan oleh pihak yang lebih kuat, yang dalam masyarakat patriarkhal pihak yang kuat itu adalah laki-laki. Karena itu, perempuan juga mempunyai hak cerai, yang dikenal dengan istilah ''khulu’.'' Lihat Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' hlm. 185.</ref>. Namun, kalaulah perceraian tidak juga bisa dihindari, Islam masih memberikan kesempatan (''‘iddah'') agar keduanya bisa kembali lagi menyatu dalam bangunan rumah tangga. Selama masa penantian itu, perempuan tersebut (''muthallaqah'') dilarang menjalin pernikahan, baik secara ''tashrîh'' (terang-terangan) maupun ''ta’rîdl'' (misalnya dengan sindiran) dengan lelaki lain.
Dengan ketentuan ''‘iddah'' ini, sesungguhnya Islam mengharapkan mereka berdua untuk kembali sebagai suami istri. Jika kedua belah pihak telah sepakat untuk ''ruju’'' kembali, maka tidak ada seseorang yang bisa melarangnya hingga orang tua (wali) yang bersangkutan sekalipun. Dan Islam tidak mempersulit aturan tehnikalnya; tidak perlu ''mahar'' (maskawin), tidak perlu menghadirkan saksi, dan apalagi seorang wali. Pihak lelaki (suami) cukup mengemukakan komitmennya untuk kembali, dengan mengatakan “sekarang saya kembali ke pangkuanmu”, ''raja’tuki''.
Walaupun demikian, Islam masih memberikan persyaratan bahwa jika sang suami sudah memutuskan untuk merujukinya, maka dia tidak boleh melakukannya dengan maksud menimbulkan kemudaratan bagi istrinya, baik fisik maupun mental, tetapi untuk menggaulinya dengan cara yang baik<ref>Al-Syinqithiy, ''Adhwa` al-Bayan fiy Iydhah al-Qur`an bi al-Qur`an,'' hlm. 219.</ref>. Allah SWT. berfirman (2:231), “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir ''‘iddah-''nya, maka rujukilah  mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf pula. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan…”.
Selanjutnya, setelah masa ‘''iddah''nya habis, sementara rekonsiliasi (''ruju’'') sudah tidak dimungkinkan lagi, maka istri tersebut harus dilepaskan dengan cara yang baik. Dan jika akhirnya ia diceraikan, maka dua orang harus dihadirkan sebagai saksi<ref>Al-Qur`an (65:2) yang artinya, “apabila mereka telah mendekati akhir ''‘iddah''nya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah..”.</ref>. Para saksi ini harus saleh, jujur, dan memiliki komitmen kuat untuk melindungi kepentingan pihak yang lemah, yang biasanya adalah pihak isteri. Sepanjang sejarah kemanusiaan, perempuan selalu berada pada posisi periferal, tertindas, dan dirugikan.
Akhirnya, dalam kaitan ini, ingin saya katakan tentang perlunya reformasi dari fiqh legal-formal yang bersifat partikular (''juz’iy'') semata kepada fiqh yang bersendikan etis-moral yang bersifat universal. Fiqh yang legal formal harus senantiasa berada dalam sinaran dan kontrol etik-moral. Dengan langgam seperti ini, fiqh tidak akan pernah kerontang dari spirit-ruhaniyahnya dalam merespon tantangan zaman. Sekarang, ikhtiar dalam memikirkan konstruksi fiqh baru yang lebih komit kepada nilai-nilai moralitas kolektif, demokratif, dan aplikatif sudah layak dilakukan.^
{| class="wikitable"
|'''Penulis'''
|''':'''
|'''Abd.  Moqsith Ghazali'''
|-
|'''Editor'''
|''':'''
|'''[[Faqihuddin Abdul Kodir]]'''
|}
== Referensi ==


[[Kategori:Hukum Keluarga]]
[[Kategori:Hukum Keluarga]]