Tangan Tuhan Di Kebon Jambu: Perbedaan revisi

48 bita ditambahkan ,  24 Juli 2024 12.53
tidak ada ringkasan suntingan
(←Membuat halaman berisi '''“Ya Allah, jadikan aku perempuan, sebagai tanda-tanda kebesaran-Mu, sehingga mereka akan melihat diri-Mu, saat melihat diriku.”'' (Doa Ibu Nyai Masriyah saat Pem...')
 
Baris 3: Baris 3:
Tidak henti-hentinya orang menyatakan salut, antusias, dan bangga dengan mata acara pembukaan [[KUPI]], 25 April 2017 malam. Sederhana tapi memukau. Tanah di pelataran acara boleh bergelombang dan tidak rata. Deretan kursi yang berjajar juga boleh terbuat dari plastik murahan terkepung tenda yang sama sekalit tidak istimewa. Kursi-kursi depan, tempat duduk para pejabat, [[tokoh]] ulama, dan tamu undangan, juga jauh dari kesan mewah.  
Tidak henti-hentinya orang menyatakan salut, antusias, dan bangga dengan mata acara pembukaan [[KUPI]], 25 April 2017 malam. Sederhana tapi memukau. Tanah di pelataran acara boleh bergelombang dan tidak rata. Deretan kursi yang berjajar juga boleh terbuat dari plastik murahan terkepung tenda yang sama sekalit tidak istimewa. Kursi-kursi depan, tempat duduk para pejabat, [[tokoh]] ulama, dan tamu undangan, juga jauh dari kesan mewah.  


Tetapi kalimat-kalimat yang digemakan di panggung pembukaan membuat banyak orang terkesima. Simbol-simbol yang digunakan peserta yang membuka acara (al-Qur’an, Hadist, Kitab Kuning, UUD 45, Pohon hidup, air dan tanah, serta konvensi internasional) menyentak kesadaran bersama. Ini Islam Indonesia. Islam yang ''wasatiyah'', berkemajuan, dari bumi Nusantara.
Tetapi kalimat-kalimat yang digemakan di panggung pembukaan membuat banyak orang terkesima. Simbol-simbol yang digunakan peserta yang membuka acara ([[al-Qur’an]], Hadist, Kitab Kuning, UUD 45, Pohon hidup, air dan tanah, serta konvensi internasional) menyentak kesadaran bersama. Ini Islam Indonesia. Islam yang ''wasatiyah'', berkemajuan, dari bumi Nusantara.


Saat itu, aku memilih duduk di belakang. Sengaja. Di deretan samping kiri dan kananku adalah tokoh-tokoh senior gerakan perempuan. Aku sendiri diapit dua orang kyai kharismatik di kalangan pesantren dan aktivis gerakan. Mereka bangga dengan acara ini. Aku tersenyum lepas. ''Sumringah'' tiada tara.  
Saat itu, aku memilih duduk di belakang. Sengaja. Di deretan samping kiri dan kananku adalah tokoh-tokoh senior gerakan perempuan. Aku sendiri diapit dua orang kyai kharismatik di kalangan pesantren dan aktivis gerakan. Mereka bangga dengan acara ini. Aku tersenyum lepas. ''Sumringah'' tiada tara.  
Baris 43: Baris 43:
“Tidak bisa. Saya tidak mungkin membedakan `yang peserta silahkan makan, yang pengamat silahkan keluar’,” kata Bu Nyai. “Kalau gitu, kami harus sedia makan untuk 1000 orang lebih. Tamu tidak mungkin kami tolak. Saya tidak akan minta lagi dana ke panitia KUPI untuk ini. Saya akan berdoa saja semoga Allah membantu acara ini agar sukses. Membantu segalanya,” tegasnya.
“Tidak bisa. Saya tidak mungkin membedakan `yang peserta silahkan makan, yang pengamat silahkan keluar’,” kata Bu Nyai. “Kalau gitu, kami harus sedia makan untuk 1000 orang lebih. Tamu tidak mungkin kami tolak. Saya tidak akan minta lagi dana ke panitia KUPI untuk ini. Saya akan berdoa saja semoga Allah membantu acara ini agar sukses. Membantu segalanya,” tegasnya.


Padahal akhir Februari dan awal Maret 2017, kami harus merayu jaringan tiga lembaga ([[Rahima]], [[Fahmina]], [[Alimat]]) untuk menjadi peserta. “Tiga hari ya mbak? Waduh aku gimana bisa izin kerja dari kantorku? Ngajarku siapa yang akan ganti? Pesantrenku apa bisa ditinggal ya.” Begitu kira-kira suara beberapa calon peserta yang ditelpon temanku, staf Fahmina. Dari 250 lebih nama-nama alumni Pengkaderan [[Ulama Perempuan]] (PUP) Rahima misalnya, yang diharapkan menjadi tulang punggung peserta, tidak sampai 100 orang yang memastikan bisa hadir sebagai peserta KUPI. “Waduh, gimana ya…,” gerutuku dalam hati.  
Padahal akhir Februari dan awal Maret 2017, kami harus merayu [[jaringan]] tiga lembaga ([[Rahima]], [[Fahmina]], [[Alimat]]) untuk menjadi peserta. “Tiga hari ya mbak? Waduh aku gimana bisa izin kerja dari kantorku? Ngajarku siapa yang akan ganti? Pesantrenku apa bisa ditinggal ya.” Begitu kira-kira suara beberapa calon peserta yang ditelpon temanku, staf Fahmina. Dari 250 lebih nama-nama alumni Pengkaderan [[Ulama Perempuan]] (PUP) Rahima misalnya, yang diharapkan menjadi tulang punggung peserta, tidak sampai 100 orang yang memastikan bisa hadir sebagai peserta KUPI. “Waduh, gimana ya…,” gerutuku dalam hati.  


Ini Maret. Tetapi di pertengahan April, peserta yang mendaftar justru berjibun, bahkan beberapa harus kami tolak, karena pertimbangan kapasitas dan kemampuan Panitia. Bahkan, Senin 24 April 2017, masih ada sekitar 30 orang yang nekat datang ke Cirebon, dan meminta jadi peserta. Di depan mata kepalaku sendiri mereka menyatakan bersedia tidak diakomodasi Panitia dan bersedia “bawa rantang makan” sendiri. Satu dari mereka maju memberi donasi uang untuk KUPI. “Nih, aku menyumbang satu juta rupiah,” tegasnya. Lebih dari itu, mereka bersedia mensukseskan agenda-agenda KUPI ke depan. “''Subhanallah,''” gumamku dalam hati berkali-kali. Aku teringat omongan Bu Nyai.
Ini Maret. Tetapi di pertengahan April, peserta yang mendaftar justru berjibun, bahkan beberapa harus kami tolak, karena pertimbangan kapasitas dan kemampuan Panitia. Bahkan, Senin 24 April 2017, masih ada sekitar 30 orang yang nekat datang ke Cirebon, dan meminta jadi peserta. Di depan mata kepalaku sendiri mereka menyatakan bersedia tidak diakomodasi Panitia dan bersedia “bawa rantang makan” sendiri. Satu dari mereka maju memberi donasi uang untuk KUPI. “Nih, aku menyumbang satu juta rupiah,” tegasnya. Lebih dari itu, mereka bersedia mensukseskan agenda-agenda KUPI ke depan. “''Subhanallah,''” gumamku dalam hati berkali-kali. Aku teringat omongan Bu Nyai.
Baris 90: Baris 90:


''(Wakil Ketua Yayasan Fahmina/Sekretaris Alimat/Ketua II KUPI)''
''(Wakil Ketua Yayasan Fahmina/Sekretaris Alimat/Ketua II KUPI)''
[[Kategori:Refleksi]]
 
[[Kategori:Refleksi Kongres]]
[[Kategori:Refleksi Kongres1]]