Tidak bisa dielakkan fiqh merupakan salah satu disiplin keilmuan inti dalam kajian keislaman. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa disiplin ini telah menghadirkan dirinya dalam diskursus keislaman sejajar dengan disiplin lainnya seperti tafsir, hadits, tasawuf, falsafah, tarikh. Keberadaan yang demikian menjadikan pembicaraan tentang ajaran Islam tidak akan lengkap dan "bunyi" tanpa melibatkan fiqh sebagai salah satu cabang utamanya.

Meski disiplin ini merupakan hasil interpretasi dari teks‑teks keagamaan, baik berupa al‑Qur'an maupun as‑Sunnah, keberadaannya menjadi "tulang‑punggung” wacana keislaman selama berabad‑abad, khususnya setelah kodifikasi, yang oleh beberapa pengamat dikatakan setelah abad ke dua Hijrah. Hal ini dikarenakan ekspansi dan panyebaran ajaran Islam ke berbagai wilayah banyak diwarnai oleh khazanah keilmuan ini, ketimbang disiplin keislaman lainnya. Untuk kasus Indonesia, misalnya, menurut para peneliti Islam yang diajarkan adalah Islam fiqh dengan kombinasi tasawuf atau tarekat.[1]

Fiqh tidak berkembang dari kehampaan, oleh karena ia didefinisikan sebagai "ilmu untuk mengetahui kumpulan‑kumpulan dari berbagai aturan hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci”.[2] Perkembangannya tidak bisa dilepaskan beberapa faktor, baik internal individu, kelompok atau zaman yang mengembangkan, maupun eksternal sosial, geografis, politis dan kultural yang mengitarinya. Dalam sejarah Islam, bangunan fiqh telah "mapan" pada abad ke dua dan tiga hijrah, sementara embrionya dapat dilacak pada masa Nabi dan Sahabat.[3] Hal ini dikarenakan, Nabi memberikan interpretasi terhadap, teks‑teks keagamaan, yang kemudian dijadikan sebagai salah satu rujukan dan sumber dalam hukum Islam.

Dalam perkembangannya, fiqh dinilai oleh beberapa kalangan tidak "berpihak"' kepada kaum hawa, mengingat banyak kasus‑kasus fiqh yang tertulis dalam literatur fiqh ternyata lebih banyak menonjolkan peran kaum Adam. Issu‑issu sensitif tentang gender agaknya kurang begitu mengemuka di dalam khazanah fiqh madzhab yang menjadikan fiqh terkesan amat “maskulin". Untuk itu, pertanyaan yang diajukan salah satunya adalah benarkan kesan tersebut di dalam literatur fiqh, jika memang benar, apa faktor‑faktor yang menyebabkannya, dan bagaimana upaya untuk menyeimbangkan kepentingan kaum Adam dan Hawa dalam fiqh kontemporer. Jika tidak, mengapa kesan fiqh "diskriminatif.", tersebut begitu kuat di negeri‑negeri Muslim. Uraian berikut mencoba memberikan jawaban dengan menghadirkan kasus‑kasus fiqh yang didiskusikan dalam khazanah fiqh klasik, dan kemungkinan melakukan dekonstruksi terhadapnya.


Fiqh, Fatwa, Qada’ dan Qanun

Empat istilah tersebut merupakan terminologi dalam hukum Islam, yang memiliki definisi serta fungsi berbeda. Urutan keempatnya diawali dengan fiqh yang paling besar warna teoritisnya, mengingat ia bergandengan teori hukumnya yang lebih dikenal dengan ushul fiqh, disusul fatwa, qada' dan qanun. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, uraian berikut mencoba memberikan batasan‑batasan pengertian sekaligus; fungsinya dalam. bangunan sistem hukum Islam secara umum.

Dalam stratifikasi empat istilah, fiqh merupakan yang terluas dan umum cakupannya. Hal ini dikarenakan, ia merupakan bangunan hukum Islam secara keseluruhan yang dilahirkan dari metodologi ushul fiqh. Ditinjau dari materi dalam rentang sejarah, fiqh merupakan bangunan yang amat kompleks karena terdiri dari kekayaan pendapat. Disamping karena kentalnya variant madhhab, fiqh juga diwarnai diskursus yang terkadang tidak semata‑mata aplikabel untuk masa dimana fiqh tersebut digubah. Dengan kata lain, bangunan fiqh lebih didominasi oleh teorisasi hukum Islam yang dalam hal ini diwakili oleh ushul fiqh, serta wacana-wacana yang acapkali tidak landing di tengah‑tengah realitas yang mengitarinya. Hal ini bisa dilihat di dalam pelbagai literatur fiqh yang digubah, baik oleh para pendiri dan imam madhhab, maupun para pengarang penganut madhhab tertentu.

Dengan kondisi seperti ini, fiqh merupakan kumpulan pendapat dari hasil interpretasi terhadap teks‑teks keagamaan, yang fungsinya tidak seratus persen merupakan aturan‑aturan hukum yang berlaku dalam komunitas dan wilayah tertentu. Kekayaan pendapat dalam fiqh merupakan khazanah yang lebih mencerminkan keanekaragaman diskursus dalam hukum Islam. Untuk itu, fiqh tidak merepresentasikan sistem hukum sebuah negara dalam konteks dan waktu tertentu. Kehadirannya, dalam rentang sejarah, memang seringkali memberikan masukan terhadap sistem hukum publik sebuah pemerintahan, akan tetapi, itupun berupa salah satu dari berbagai madhhab fiqh yang pernah eksis. Meski demikian, fiqh merupakan sesuatu yang paling umum diantara keempat istilah di atas, mengingat tiga peristilahan, fatwa, qada' dan qanun, dibicarakan dalam literatur fiqh, baik yang klasik maupun yang kontemporer.

Fatwa yang merupakan bagian dari diskusi fiqh merupakan alat bantu di dalam sebuah kasus hukum. Kemunculannya merupakan reaksi terhadap komunitas atau realitas yang menuntut munculnya sebuah fatwa, yang komunitas tersebut disebut dengan istilah mustafti.[4] Karena merupakan respon dan reaksi terhadap persoalan, maka sifatnya kasuistik dan materinya sangat tergantung kepada pihak yang meminta fatwa. Dengan demikian, fatwa merupakan cerminan realitas zaman dikeluarkannya fatwa tersebut. Pada gilirannya, ia tidak lagi banyak berteorisasi sebagaimana fiqh dengan ushul fiqhnya, akan tetapi merupakan olah fikir secara langsung untuk memberikan jawaban terhadap persoalan yang diajukan oleh mustafti.

Qadha' adalah lembaga peradilan atau pengadilan Islam. Oleh karena ia merupakan lembaga, maka keberadaannya menjadi penting ketika ada kasus yang membutuhkan penyelesaian hukum islam ditengah‑tengah komunitas Muslim. Dibandingkan dengan fiqh, qada memiliki aspek teorisasi hukum sangat minim. Hanya saja, kasus‑kasus fiqh yang diselesaikan sangat real dan tidak ”mengawang‑awang" sebagaimana sebagian pendapat dalam khazanah fiqh. Oleh karena ia merupakan "penyelesai" dari kasus‑kasus yang diajukan, meski teorisasinya tidak serumit fiqh, ia lebih fleksibel dan dinamis. Sebagai lembaga peradilan, eksistensi qada’ diakui dalam sejarah Islam, terutama pemerintahan yang menjadikan hukum Islam sebagai sistem hukumnya.

Sedangkan qanun adalah kitab undang‑undang. Keberadaannya di dalam sejarah Islam sangat tergantung kepada political will penguasa untuk merumuskan dan mengundangkan salah satu pendapat dalam madhhab fiqh sebagai hukum atau undang‑undang negara. Di masa modern salah satu qanun yang disusan dan diberlakukan adalah al‑Mudawanah di Maroko. Disamping cakupannya tidak seluas cakupan fiqh, qanun juga bergantung kepada keinginan sistem tertentu, apakah dengan mengadopsi keseluruhan pendapat dalam madhhab tertentu sebagai aturan, ataukah dipilih secara eklektif. Dalam catatan tarikh Islam sumber‑sumber yang berbicara tentang qanun jauh tebih sedikit ketimbang yang berbicara tentang fiqh.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pembicaraan hukum Islam akan lebih didominasi oleh fiqh sebagai istilah, ketimbang tiga istilah lainnya. Hal ini penting untuk diketahui agar kajian dan diskusi tentang fiqh tidak terjebak dalam kesan sakral, karena di dalamnya sarat dengan keanekaragaman pendapat serta teorisasi yang kesemuanya merupakan produk pemikiran. Oleh karenanya, perbincangan tentang fiqh selalu berada pada level profan dan tidak steril dari kaiian kritis bahkan dekonstruktif.


Sejarah Pembentukan Fiqh

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa embrio fiqh sebagai disiplin telah ada masa Nabi yang benih‑benih kasusnya banyak diwarnai budaya Arab pra‑Islam. Beberapa penyelesaian kasus menunjukkan peran hukum adat Arab, yang kemudian dipadukan dengan pemahaman terhadap beberapa teks keagamaan. Ibn Hazm memberikan contoh kasus yang pernah terjadi pada masa awal Islam, yakni, penyelesaian kasus pembunuhan. Tatkala jasad orang terbunuh ditemukan dalam wilayah yang dikuasai oleh sebuah suku, maka lima puluh dari anggota suku tersebut harus bersumpah bahwa mereka tidak ambil bagian dalam pembunuhan tersebut atau sama sekali tidak mengetahui sebab‑sebab terbunuhnya orang tersebut. Seandainya yang bersumpah. tersebut kurang dari lima puluh, maka, yang hadir dalam sumpah tersebut haruslah bersumpah lebih dari satu kali sampai berjumlah lima puluh sumpah. Model seperti ini yang kemudian dikenal dengan hukum Adat pra Islam yang dijalankan dan sebagai hakimnya adalah Nabi sendiri.[5]

Keberadaan hukum adat Arab dengan demikian masih diberlakukan selagi tidak bertabrakan dan bertentangan dengan filosofi hukum yang dibawa oleh pesan al‑Qur’an, meski dalam perjalanan selanjutnya segala sesuatu tidak lagi disandarkan kepada pranata adat, akan tetapi didasarkan kepada al‑Qur'an. Model seperti ini tidak lagi terjadi semasa Nabi masih hidup, melainkan setelah alih generasi di masa Sahabat. Dikisahkan bahwa tatkala Abu Bakr mengirim pasukan untuk menaklukkan Syria, dia berpesan kepada pemimpin pasukan sebagai berikat:

“when you enter the land, kill neither old man nor child... Establish a covenant with every city and people who receives you, give them your assurances and let them live according to their laws... Those who do not receive you, you are to fight, conducting Yourselves carefully in accordance with the ordinances and upright laws transmitted to you from God, at the hands of our Prophet".[6]

Pemikiran‑pemikiran fiqh pada masa‑masa awal Islam erat kaitannya dengan tradisi interpretasi teks kitab suci. Hal ini memang tidak bisa dipisahkan dari ikatan keilmuan dalam disiplin keislaman pada masa itu, dimana masing‑masing disiplin memiliki hubungan yang erat. Tafsir al-Qur'an sebagai sebuah disiplin keilmuan, misalnya, erat kaitannya dengan disiplin hadits, serta fiqh sebagai ilmu yang kemunculannya bisa dikatakan pasca kemunculan tafsir. Hubungannya dengan tafsir, fiqh merupakan kreativitas ijtihad. Hasil pemahaman generasi awal lslam dari pelbagai ayat-­ayat yang mengandung unsur aturan hukum merupakan bangunan pemikiran yang menjadi dasar peletakan disip1in fiqh. Misal, ketika Abu Bakr sebagai khalifah pertama mengetrapkan aturan‑aturan hukum terhadap masyarakat dengan menginstruksikan ketidak bolehan mengkonsumsi alkohol serta hukuman denda bagi yang melanggar norma agama,[7] merupakan bentuk dari pernahaman Abu Bakr terhadap teks keagamaan yang kemudian menjadi salah satu pilar berkembangnya fiqh.

Selaras dengan meluasnya wilayah Islam dan berkembangnya pemikiran keislaman, fiqh sebagai salah satu disiplinpun mengalami perkembangan yang pesat, terutama setelah muncul "aliran" pemikiran ra'yu, disamping model leksikal tekstualis yang sebelumnya subur di kawasan pusat Islam, yakni Medinah.[8] Salah satu lokasi yang mempengaruhi berkembangnya pemikiran Islam, dan fiqh termasuk di dalamnya, adalah Irak dan Syam, yang dalam beberapa literatur tarikh disebut sebagai madhhab Iraqi dan Syami. Hal ini kemudian yang melahirkan pelbagai variant di dalam fiqh. Pada saat yang sama, munculnya variasi pendapat dan madhhab sejatinya memperkokoh tesis bahwa fiqh tidak pernah lahir dari kehampaan, sebaliknya, ia amat dipengaruhi oleh faktor penggagasnya, yang ideologi, intelektual, bahkan politis, sekaligus faktor‑faktor eksternal, berupa milieu tempat seorang faqih (ahli fiqh) melakukan aktifitas berfikirnya.


Madzhab‑Madzhab dalam Fiqh.

Seperti telah disinggung sebelumnya, pemikiran fiqh mengalami diversifikasi sebagai konsekwensi terbukanya kreatifitas berfikir dan pintu ijtihad. Aliran pemikiran yang dikembangkan generasi tabi'in, seperti banyak diungkap oleh pemerhati sejarah fiqh Islam, memunculkan paling tidak empat arus utama, yakni Madinah, Kufah, Syam dan Basrah. Diversifikasi ini pada umumnya tidak berhenti pada lokal pendapat tersebut berkembang, akan tetapi pada masa‑masa berikutnya lebih diwarnai corak individu. Madhhab yang berkembang bukan lagi Kufah, Madinah maupun Syam, melainkan Hanafi (dinisbatkan kepada Abu Hanifah (w. 150/767)), Maliki (dinisbatkan pada Malik ibn Anas (w. 179/795)), Syafi'i (dinisbatkan kepada Muhammad Ibn Idris al‑Syafi'i (w. 204/819)), Hambali (dinisbatkan kepada Ahmad ibn Hanbal (w. 241/855)). "Pemilahan" madhhab ini bisa dikelompokkan menjadi madlihab "geografis" dan"personal".

Faktor sosiologis, kultural dan politis turut memberikan andil dalam pembentukan sekaligus disseminasi madhhab pemikiran dalam fiqh. Meski dalam kasus madhhab personal peran pendiri madhhab tidak menonjol, karena yang memproklamirkan madhhab tersebut bukanlah para pendiri, melainkan para penganut setia, tidak bisa dipungkiri bahwa faktor perbedaan perangkat sckaligus setting yang berbeda menjadi unsur penting dalam pembentukan madhhab. Hal ini setidaknya pernah diungkap peneliti sejarah hukum Islam (fiqh) bahwa perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan generasi Muslim pasca sahabat, banyak disebabkan oleh faktor‑faktor lokal dan regional.[9]

Keragaman aliran berfikir dalam fiqh pada mulanya masih membawa banyak ekses positif, diantaranya, masih hidupnya budaya berfikir kreatif dan ijtihad. Hal ini pada gilirannya turut memperkaya tidak saja fiqh sebagai produk yang terlihat dalam banyaknya karya fiqh madhhab, melainkan juga pada level epistemologi, yang dikenal dengan ushul fiqh.


Kaidah Fiqhiyyah dan Maqâshid asy‑syarî'ah

Salah satu rumusan penting dalam ushul fiqh dari kebebasan dan kreatifitas berfikir pengikut madhhab adalah lahirnya kaidah‑kaidah fiqh yang diakui sebagai model berfikir jenius dan kreatif. Meski terjadi perbedaan di dalam kuantitas kaidah yang dirumuskan diantara madhhab yang ada, akan tetapi filosofi dirumuskannya kaidah tersebut nampaknya memiliki kesamaan. Baik madhhab Hanafi,[10] Maliki, Syafi'i maupun Hambali ikut bertarsipasi dalam merumuskan kaidah‑kaidah fiqh. Hal ini menandakan adanya perhatian serius ulama madhhab untuk mensosialisasikan filosofi fiqh sebagai aturan yang memiliki keberpihakan terhadap kepentingan‑kepentingan kemanusiaan.

Dari rumusan yang begitu varian setidaknya ada lima kaidah pokok yang sangat penting dan menjadi rujukan dalam setiap perbincangan fiqh. kelimanya adalah; 

  1. segala urusan bergantung kepada niatnya,
  2. kemudharatan harus dihindari,
  3. adat itu bisa ditetapkan sebagai hukum,
  4. keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan,
  5. kesukaran itu menarik kemuclahan.[11]

Kelimanya sebenarnya memberikan landasan filosofis sangat mendalam akan aturan atau pranata hukum yang peduli terhadap keadilan, persamaan, dan menghargai hak‑hak kemanusiaan.

Hanya saja, di dalam perkembangan fiqh madhhab, apalagi setelah kemunduran peradaban Islam terjadi dengan ditutupnya pintu ijtihad, lima filosofi di atas menjadi tidak menonjol, bahkan di sana sini terjadi banyak memunculkan pendapat‑pendapat fiqh yang tidak membela hak kemanusiaan yang salah satu wujudnya adalah pendapat‑pendapat fiqh yang bias jender. Hal ini tentunya sangat disayangkan, mengingat rumusan lima kaidah merupakan prestasi gemilang dalam pemikiran ushul fiqh.

Aplikasi kelima kaidah di atas mencerminkan ciri fiqh yang sejatinya amat fleksibel, elastis, sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan serta up to date. Kaidah "segala urusan bergantung kepada niatnya" Merangkum segala motif ibadah maupun aktivitas lainnya. Dalam pandangan kaidah ini baik dan buruknya suatu aktivitas tergantung kepada motifnya. Demikian pula segala bentuk kemudharatan harus dihindari. Aturan hukum dalam bingkai kaidah ini harus senantiasa mengedepankan kebaikan dan menghindari diri dari ketercelaan. Sedangkan "adat yang bisa dijadikan sebagai hukum”  merupakan pengakuan fiqh terhadap konvensi baik tertulis maupun tidak dalam wilayah tertentu sebagai bagian dari aturan yang harus di hormati.

Filosofi lima kaidah tersebut sejalan dengan prinsip tujuan hukum atau maqashid asy‑syarî'ah. Dalam dunia ushul fiqh, maqashid asy-syarî’ah berorientasi kepada perlindungan hak‑hak kemanusiaan, karena ia berorientasi kepada maslahat atau kepentingan. Abu Ishaq al‑Syatibi mengemukakan dengan tegas akan prinsip maslahat sebagai tujuan hukum atau syariat sebagai upaya mewujudkan perlindungan terhadap lima kepentingan, yakni: i) menjaga agama; ii) menjaga jiwa; iii) menjaga akal; iv) menjaga keturunan dan martabat; serta v) menjaga harta.[12]

Kelima kepentingan yang hendak dijaga melalui aturan hukum (fiqh) sejatinya merupakan model perlindungan yang sangat universal, bahkan jauh lebih universal ketimbang pranata‑pranata hukum di luar bangunan fiqh Islam. Menjaga jiwa merupakan perhatian fiqh terhadap hak hidup manusia, salah satu hak yang paling asasi bagi umat manusia. Menjaga akal berimplikasi pada kebebasan akal untuk berfikir dan mengaktualisasikan gagasan‑gagasan. Termasuk di dalamnya adalah memberikan porsi yang sangat luas terhadap rasionalitas, Fides Quaerens Wellectum, (ad-dînu huwa al-’aqlu lâ dina li man lâ ’aqla lah). Menjaga keturunan dan martabat merupakan bentuk kepedulian fiqh terhadap martabat kemanusiaan sebagai makhluk biologis, dan insan sosial. Sedangkan menjaga harta merupakan manifestasi kepedulian fiqh terhadap kepemilikan dan hak‑hak kebendaan yang sah.


Fiqh antara das Sein dan das Sollen.

Dengan "kesempurnaan"' maksud syari'ah dan kaidah fiqh yang telah dirumuskan di atas sebenarnya tidak ada alasan literatur fiqh terkesan diskriminatif terhadap kaum hawa. Sayangnya, di sebagian besar literatur fiqh dalam beberapa kasus, misal, ruang gerak wanita, hak‑hak kaum wanita, kedudukan wanita di depan pengadilan, kepemimpinan wanita, dan pelbagai issu lainnya terkesan tidak "dibela" oleh literatur fiqh. Kalau toh ada, hanya berupa pendapat minoritas di tengah arus utama pendapat yang cenderung "mengunggulkan" kaum pria. Dengan demikian, cita‑cita ideal, das sollen, fiqh masih belum terwujud, apalagi jika dihubungkan dengan fatwa dan peradilan di beberapa negara lslam Timur Tengah, sampai saat ini, kesan diskriminasi tersebut masih transparan.

Seperti disinggung di atas, issu‑issu tentang kesetaraan perempuan dan laki‑laki yang terwakili dalam beberapa kasus telah disingung dalam literatur fiqh klasik yang minor. Ini menandakan adanya kepedulian sebagian madhhab fiqh terhadap pembelaan hak‑hak kemanusiaan sejalan dengan prinsip maksud syari"ah dan rumusan kaidah fiqh. Kasus wanita yang menjadi imam shalat bagi laki‑laki, meski mayoritas ulama madhhab melarang, al‑Muzanni dan Abu Tsaur (w. 240/87A) tidak sependapat, alias memperbolehkannya. Hal yang senada dikemukakan oleh al‑Tabari, hanya saja kasus shalatnya bukanlah salat wajib, melainkan shalat tarawih, inipun apabila tidak ada laki‑laki yang mampu menjadi imam shalat.[13]

Kasus lain yang bisa ditemukan dalam literatur fiqh madhhab adalah kebolehan" seorang wanita menikahkan dirinya tanpa perantaraan wali. Meski ada teks hadits yang berbunyi "seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri", lâ tuzawwiju al‑mar’atu al‑mar’ata wa lâ tuzawwiju al‑mar’atu nafsaha, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, kalangan Hanafi memperbolehkan wanita yang berakal untuk menikahkan dirinya, maupun menikahkan putrinya.[14]

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan menjadi hakim, yang oleh mayoritas ulama madhhab kaurn wanita tidak diperkenankan. Dalam pandangan mereka dzukurah (maskulinitas) merupakan syarat menjadi hakim. Meski demikian, tokoh Kufah, Abu Hanifah (w. 150 H) tidak berpendapat demikian. Menurutnya, seorang perempuan dapat menjadi hakim dalam persengketaan harta benda. Pendapat ini kemudian ditopang oleh ibn Jarir al‑Thabari (w. 310 H) yang menyatakan bahwa perempuan dapat menjadi hakim secara mutlak, alias diperbolehkan menangani segala macam perkara.[15]

Beberapa kasus di atas -jika memungkinkan untuk dijadikan sebagai sample kasus yang tidak berpihak kepada perempuan- ternyata tidak sepenuhnya terabaikan dalam literatur fiqh klasik. Pendapat fiqh yang mendominasi terjadi di tengah‑tengah umat Islam hanyalah yang masyhur, sedangkan yang minor jarang dianut dan diaplikasikan. Hal yang demikian selaras dengan perjalanan waktu, pendapat yang masyhur sajalah yang dikemukakan, bahkan tidak jarang yang kemudian ”naik drajat” menjadi doktrin Islam itu sendiri. Akibatnya kesan khazanah fiqh penuh dengan bias jender dan berat sebelah menjadi semakin kentara.


Ke Arah Rekonstruktif

Dengan pertimbangan realitas yang telah digambarkan di atas, pembacaan dekonntruktif terhadap literatur fiqh, melalui telaah kritis epistemologinya (Ushul Fiqh) menjadi keniscayaan. Kaidah fiqh yang menyatakan bahwa taghayyur al‑ahkam bi‑taghyyur al‑azmân wa al-amkinah, (Perubahan ketetapan hukum didasarkan pada perubahan masa dan tempat) menjadi legitimator cara pandang yang egaliter dalam mengkaji literatur fiqh, yang sejatinya pada masa‑masa klasik tidaklah se‑"berat sebelah" dibandingkan dengan periode‑periode setelahnya.

Untuk mengeliminir kesan fiqh yang tidak berimbang tersebut, kiranya diperlukan penghadiran sebanyak mungkin ijtihad‑ijtihad yang dilakukan para pengkaji fiqh klasik. Pada saat yang sama, pembatasan "hak ekspos" untuk qawl‑qawl yang tidak masyhur hendaknya juga dihilangkan, mengingat hal tersebut justru akan kontra produktif. Dengan menghidupkan kembali the spirit of kaidah fiqh dan maqashid asy‑syarî'ah, maka fiqh akan menjadi rujukan moral sekaligus pranata sosial yxag lebih berpihak kepada kesetaraan dan keadilan kemanusiaan.

Sikap intelektual yang seharusnya dikembangkan adalah tidak lagi terjerembab di dalam kekakuan pendapat madzhab yang biasanya banyak terjadi di tengah‑tengah komunitas muslim. Muslim Indonesia, yang dikenal sebagai pengikut madhhab Syafi’i yang kental, misalnya, hendaknya tidak membatasi pada madhhab ini saja, mengingat konteks Indonesia juga banyak memerlukan sentuhan ijtihad akibat problem yang dihadapinya lebih kompleks ketimbang komunitas Muslim di Timur Tengah. Pengaruh budaya patriarkhi Arab terhadap sebagian komunitas Islarn Indonesia juga masih mencolok. Dengan mengambil pendapat selain Syafi'i, misalnya, maka corak fiqh Indonesia akan lebih membela kaum, perempuan, mengingat jumlah kaum perempuan yang meramaikan sektor publik di negeri ini jauh lebih besar dibandingkan dengan komunitas perempuan di negara Arab. Hal yang sama juga terjadi bagi wanita Muslimah yang hidup di negeri sekuler, baik Eropa maupun Amerika. Yang dibutuhkan mereka adalah tidak lagi corak fiqh yang sempit karena pengaruh madhhab, melainkan fiqh‑fiqh yang memihak kepada mereka sebagai kelompok "minoritas" yang dituntut lebih bisa membawa diri.

Hanya dengan pembacaan kritis terhadap literatur fiqh dan ushul fiqh‑lah harapan munculnya fiqh yang berkeadilan akan bisa terwujud. ”Ulah" agamawan yang hanya mengedepankan pendapat masyhur dan "menyembunyikan" alternatif pendapat lain, dengan demikian, bisa dianggap sebagai yang "bertanggung jawab" atas munculnya kesan fiqh yang diskriminatif. Untuk itu, pengarus utamaan, mainstreaming, agamawan yang memiliki awareness akan varian fiqh menjadi keharusan. Hal ini tentunya memerlukan kerja keras, mengingat resistensi dari kalangan agamawan sendiri cukup besar, tatkala mereka diajak untuk ”mengkritisi” fiqh yang dipakai.

Untuk kasus Indonesia keterlibatan para kyai pesantren dalam pengarus uatamaan fiqh berimbang menjadi sangat penting, mengingat mereka-lah yang berada digaris depan dalam khalaqah-khalaqah fiqh. Disamping itu, mereka-mereka juga secara tidak langsung terlibat di dalam proses ”penyempitan” keilmuan di dunia pesantren. Oleh karenanya, para kyai pesantren hendaknya memiliki awareness ganda. Pertama, memperbaiki kwalitas diri dengan tidakhanya membatasi pada literatur Syafi’iyah, tetapi juga karya babon Syafi’i. Kedua, sebagai transformer pengetahuan terhadap santri, mereka hendaknya menempatkan diri sebagai lokomotif berfikir kritis. Dengan kesadaran ganda inilah, fiqh yang berpihak kepada laki-laki dan perempuan bisa digagas dan diwujudkan.



Penulis: H. M. Nur Kholis Setiawan


Referensi

  1. Lihat misalnya karya-karya kesarjanaan yang membahas tentang masuknya islam di nusantara, meursinge, Handboek van het mohammedaansche Regt in de malaische Taal, Amesterdam 1844; van den Berg, Le Hadramaut et les colonies arabes dans I’archipel Indien, Batavia 1886; Djajadiningrat, Critische Beschouwing van de sedjarah Banten, Leiden 1913; Pijper, Studien over der Geschiedenid van de Islam in Indonesia 1900-1950, Leiden 1977.
  2. Lihat Abu Zahrah, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqh, Cairo 1978, 23; disamping definisi yang diberikan oleh Abu Zahrah masih ada beberapa definisi yang satu sama lain saling berdekatan. Misalnya definisi yang diberikan oleh al-Syirazi, yakni ”menemukan ataumengetahui hukum syar’i yang caranya melalui ijtihad, lihat al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, Cairo: Muhammad Ali Shabih 1900,4; serta definisi dari Abd al-Wahab Khalaf, yakni “kumpulan hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan atau tindakan yang terambil dari dalil-dalilnya yang spesifik”, lihat Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, 25.
  3. Wael Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, Cambridge University Press 1997, 6-7
  4. Informasi detail tentang fatwa bisa dilihat dalam Ibnu Taimiyah, Minhajul Abidin, Jilid III, 267. sedangkan pengumpulan fatwa menjadi karya khusus tentangnya menurut beberapa peneliti dimulai abad keenam Hijrah atau 12 Masehi, alias pasca pembentukan madhhab. Untuk kumpulan fatwa berhaluan Hanafi diawali oleh karya Burhanuddin Ibn Mazza (w. 570/1174) dalam Dzakhirat al-Burhâniyyah, sedangkan madzhab Maliki adalah al-Miyar al-Maghribi karya al-Wansairisi (w. 914/1508) dan Hanbali karya Ibn Taimiyya Fatâwâ al-Kubra.
  5. Muhammad Ibn Hazm, Mu’jam al-Fiqh, 2 vols., Damaskus: Matba’at Jami’at Dimashq 1996, II, 838-839.
  6. Dikutip dari S.P. Brock, “Syriac view of emergent Islam” dalam G.H.A. Juynboll, (ed), Studies on the First Century of Islamic Society, Carbondale: Southern Illinois University press 1982, 12, 200.
  7. Abd al-Ghani Abd al-Wahid al-Jamaili, al-‘Umdah fi al-Ahkâm fi Ma’âlim al-Halal wa al-Harâm, (ed), Mustafa Ata, Bbeirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyya 1986,463.
  8. Tentang fiqh corak awal di Madinah dan juga di Makkah, lihat Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools, Leiden: E.J. Brill 2002.
  9. Bandingkan Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Islamabad; Islamic Research Institute 1988, 19 dan 29 Joseph Schacht, An introduction to Islamic law, oxford 1984, 16.
  10. Sarjana Hanafiyah yang menyususn kaidah fiqh diantaranya Ibn Umaruddin al-Dabusi (w. 478) dalam Ta’sîs al-Nadzar. Dari Maliki tercatat Ahmad ibn idris al-Qarafi (w. 684) dalam Anwar l-Furuq fi Anwa’I l-Furuq. Sedangkan dari kalangan Syafi’iyah Izzuddin ibn Salam (w. 660) dalam Qawâ’id al-Ahkâm fi Mashâlih al-Anâm; dan dari kalangan Hanbali adalah Najmuddin al-Tufi (w. 717) dalam al-Qawa’id al-Kubra dan al-Qawa’id ash-Shughra.
  11. Untuk lebih detail tentang lima kaidah ini, lihat, Ibrahim al-Misri, al-Asybah wa al-Nazhâ’ir, Cairo 1978; Jalaluddin al-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazhâ’ir fi al-Furû’, Maktaba Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arbiyya tt. 35-122.
  12. Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (ed) Abdullah Darraz, tt. Ttp. Jilid II, 8-9.
  13. Lihat al-San’ani, Subul al-Salam, jilid I, 28-29.
  14. Ibid, 118-119. munculnya pendapat Hanafiyah yang demikian perlu diberi catatan, agar tesis fiqh terkonstruk secara sosisal menemukan akurasinya. Maslah yang disebutkan di atas adalah perwalian, yang bagi madhhhab madinah, karena masyarakat masih teguh pada konsep-konsep hukum yang mempertahankan sisten kesukuan Arab, Perkawinan merupakan hak Prerogative anggota keluarga laki-laki, karenanya dalam fiqh Madinah, tidak diperbolehkan wanita menikahkan dirinya, apalagi menikahkan orang lain. Di Kuffah (Irak), kondisi masyarakat lebih heterogen dan unsur lokal lebih mendominasi budaya disana, sehingga putusan fiqhnya pun berbeda, yakni dibolehkannya seorang perempuan yang dewasa untuk menikahkan dirinya tanpa melalui wali.
  15. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid II, 344.