Fikih Disabilitas
Fikih dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan hukum Islam. Dalam bahasa arab secara etimologi, fikih artinya adalah pemahaman (al-Fahmu). Sementara secara terminologi, banyak definisi yang ditawarkan oleh ulama. Misal, seperti yang disebut oleh al-Syafi’i.
العلم بالاحكام العملية المكتسب من أدلتها التفصلية
“Ilmu terhadap sebuah hukum yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil terperinci”.[1]
Lebih dulu dari definisi ini, Abu Hanifah menawarkan definisi fikih yang cakupannya lebih luas. Yaitu:
الفقه معرفة النفس ما لها وما عليها
“Fikih adalah pengetahuan seseorang terhadap segala hal yang bermanfaat untuk dirinya dan membahayakan dirinya".[2]
Definisi yang ditawarkan oleh Abu Hanifah ini mencakup berbagai elemen dalam Islam, seperti akidah, fikih dan ilmu ihsan. Oleh karena itu definisi ini disebut dengan al-Fiqh al-Akbar. Namun belakangan definisi seperti yang ditawarkan al-Syafi’i kemudian mengkristal dalam pandangan banyak orang dan itu menjadi definisi yang diterima bersama.
Secara garis besar, fikih itu ada dua. Pertama fikih ibadah seperti salat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. kedua, fikih muamalah, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, pidana, tata Negara dan lain-lain. Keduanya di samping memiliki banyak persamaan juga memiliki banyak perbedaan. Salah satu perbedaanya adalah, sekiranya fikih ibadah bersifat konstan, tegas dan universal maka fikih muamalah bersifat lentur, elastis dan kompatibel dengan zaman. Al-Syatibi dalam al-Muwafawat fi Ushul al-Syariah menuturkan:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي
“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada orang mukallaf adalah penghambaan-dogmatis bukan menoleh kepada substasi sementara dalam fikih muamalah prinsipnya adalah melihat isi dan substansi”.[3]
Hal ini dikuatkan dengan kaidah lain yang berbunyi:
اِنَّ اللهَ لاَ يُعْبَدُ اِلاَّ بِمَا شُرِعَ
“Sesunggunya Allah ialah tidak disembah kecuali dengan cara atau mekanisme yang telah ditetapkan”[4]
Dua kaidah di atas menyiratkan bahwa ruang dalam fikih ibadah begitu sempit. Semua hal menyangkut mekanisme ibadah haruslah dikonfirmasi langsung oleh syar’ī baik dalam Alquran atau al-Sunnah. Ini bertujuan agar seseuai ketentuan dari Allah. Karena ibadah-ibadah yang tak mendapat petunjuk langsung maka disebut dengan bidah. Dan hal ini sangat dicela dalam agama.
Sementara yang dijadikan pedoman dasar dalam fikih muamalah adalah kaidah:
لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهَا الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي دُونَ التَّعَبُّدِ، وَالْأَصْلَ فِيهَا الْإِذْنُ حَتَّى يدل الدليل على خلافه
”Konsep dasar dalam fikih muamalah adalah berpijak pada substansi bukan dogmatis. Dan asal dari fikih muamalah adalah boleh sehingga ada dalil yang memerintah sebaliknya”.[5]
Sesuai dengan kaidah di atas:
االمعاملة طلق حتي يعلم المنعُ
”Fikih muamalah itu bersifat bebas sehingga diketahui seseatu yang melarang”.[6]
Kaidah-kaidah ini memberi pengertian bahwa medan dalam fikih muamalah itu luas tak terbatas. Sekiranya dalam fikih ibadah keabsahan sebuah ibadah haruslah dikonfirmasi langsung, maka dalam fikih muamalah cukup tidak ada dalil yang melarang. Bukan hanya itu, jika dalam fikih ibadah yang dilihat adalah bentuk atau format maka dalam fikih mumalah adalah isi dan substansi.
Disabilitas dalam perbicangan internasional menggunakan istilah affilction (penderitaan). Tahun 1976, WHO menyempurnakan panduan International Classification of Diseases dimana disabilitas dimasukkan ke dalamnya sebagai konsekuensi dari penyakit[7] Ada tiga Istilah yang dirumuskan WHO terkait dengan disabilitas:
- Impairment; adalah hilangnya atau kondisi tidak normal pada aspek psikologi, fisik, atau struktur dan fungsi anatomi tubuh;
- Disability adalah keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk melakukan aktivitas sebagaimana orang pada umumnya.
- Handicap adalah ketidakberuntungan pada individu akibat dari kelemahan atau disabilitas yang membatasi dan mencegah individu dalam melaksanakan peran sosial dan budaya di masyarakat.
Dalam undang-undang no 19 tahun 2011, disabilitas didefinisikan sebagai sebuah hasil dari interaksi antara orang-orang dengan keterbatasan kemampuan dan sikap dan lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Inilah yang kemudian dijadikan definisi resmi terkait konsep disabilitas.
Karakter disibilitas dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, Disabilitas berat, yaitu para penyandang yang dalam melakukan kegiatan sehari-hari bergantung pada orang lain. kedua, disabilitas sedang, yaitu penyandang disabilitas yang masih mampu melakukan kegiatan sehari-hari termasuk merawat diri sendiri seperti membebersihkan diri, makan, berganti pakaian dan pindah tempat. Ketiga, disabilitas ringan, yaitu penyandang disabilitas yang masuk dalam kategori dapat hidup mandiri, mampu melakukan aktivitas keseharian dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.[8]
Pada tahun 2018, PBNU melalui Lembaga Bahtsul Masail bekerjasama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Pusat Studi Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, Malang Menyusun buku bertajuk Fiqh Pengunatan Penyandang Disabilitas.
Buku ini, sebagaimana disebut dalam kata pengantar diharapkan menjadi pedoman untuk melakukan upaya mengatasi tantangan dan hambatan penyandang disabilitas, khususnya yang berkaitan dengan diktum-diktum agama (baca fikih).
Secara umum dalam buku itu dibahas mula-mula soal kenapa menulis fiqh disabilitas. Setelah itu konsep disabilitas dijelaskan secara lengkap, utamanya dinamika disabilitas di Indonesia. Setelah panjang lebar membahas disabilitas, kemudian bagaimana Pandangan Islam terkait disabilitas; meliputi penciptaan manusia sebagai ciptaan terbaik (ahsan al-Taqwim), larangan stigma dan diskriminasi serta prisip kemudahan (al-Taisir wa al-Rukhos) dalam Islam.
Bagian keempat secara khusus masuk ke dalam pembahasan fiqh, segmen dalam Islam yang sangat bersentuhan dengan prilaku manusia, termasuk penyandang disabilitas. Dalam bab ini dibahas bagaimana konsep ibadah bagi penyandang disabilitas. Cara bersesuci, salat menggunakan kursi roda, membawa kursi roda ke dalam masjid dan lain sebagainya.
Setelah membahas terkait tema ibadah, bagian keempat selanjutnya membahas tema-tema yang terkait dengan fikih muamalah (aturan transaksional manusia) seperti hukum jual beli disabilitas netra, upah di bawah standart bagi mereka, hukum mengeskploitasi mereka untuk mengemis dan lain sebagainya.
Tema selanjutnya adalah terkait Hak Penyandang Disabilitas di Bidang Hukum dan Kewajiban. Misalnya soal Kesamaan Hak Disabilitas dan non-disabilitas, hak-hak politik dan lain sebagainya. Bagian akhir adalah menyangkut disabilitas dan kaitannya dengan fikih pernikahan. Misal Kafaah dalam penyandang disabilitas, pernikahan sesama penyandang disabilitas dan lain sebagainya.
Jadi fikih disabilitas adalah fikih yang hadir sebagai respons terhadap masalah-masalah yang terkait dengan disabilitas: baik menyangkut ibadah, muamalah, munakahah, hukum, sosial, politik dan semua hal yang terkait dengan mereka baik di dunia hingga akhirat dalam pandangan fikih secara khusus dan agama secara umum.
Kenapa fikih? Fikih dipilih karena ia dianggap sebagai perwujudan paling riil dan menyeluruh dalam perwajahan agama daripada akidah dan tasawuf misalnya. Dianggap paling riil dan menyeluruh karena fikih berkaitan dengan tidak tanduk dengan perbuatan orang mukallaf (af’al al-Mukallafin).
Terkait sifatnya menyeluruhnya fikih, Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh, menulis[9]
من المتفق عليه بين علماء المسلمين على اختلاف مذاهبهم أن كل ما يصدر عن الإنسان من أقوال وأفعال سواء أكان من العبادات أم المعاملات أم الجرائم أم الأحوال الشخصية أم من أي نوع من أنواع العقود أو التصرفات له في الشريعة الإسلامية حكم
“Termasuk kesepakatan antara ulama dari Kaum Muslimin dalam ruang lingkup perbedaan mereka bahwa semua hal yang muncul dari manusia baik berupa perkataan, perbuataan, sama saja apakah ia dari ranah ibadah, transaksional, pidana atau hukum keluarga atau dari macam apapun dari akad-akad dan jenis transaksional semuanya memiliki kaitan dalam hukum Islam”.[]
Oleh: Ahmad Husain Fahasbu
Footnote
- ↑ Al-Subki, Jam’u al Jawami’, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), juz 1, halaman 43.
- ↑ Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 2017), juz 1, halaman 30.
- ↑ Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi. al-Muwafaqat Fi Uṣul al-Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997) hal 513.
- ↑ Muḥammad Ibn Alawi. Muḥammad al-Insan al-Kamil, (Jeddah: Dar al-Salam, 1996), hal 306.
- ↑ Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi. al-Muwafaqat Fi Uṣul al-Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997) hal 513.
- ↑ Muḥammad Ibn Alawi. Muḥammad al-Insan al-Kamil, (Jeddah: Dar al-Salam, 1996), hal 306..
- ↑ Sarmidi Husna (Ed) Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, (Jakarta: LBM PBNU, 2018) Halaman 16
- ↑ Sarmidi Husna (Ed) Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, (Jakarta: LBM PBNU, 2018) Halaman 22
- ↑ Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2016), halaman 9.