Perempuan Ulama Di Atas Panggung Sejarah: Perbedaan revisi

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
(Created blank page)
 
Baris 1: Baris 1:
'''PEREMPUAN ULAMA DI ATAS PANGGUNG SEJARAH'''


Oleh: KH. Husein Muhammad
''(Ketua Yayasan Fahmina, Anggota SC KUPI)''
Saya selalu merasa indah untuk menyanyikan puisi-puisi yang memesona ini, gubahan Raja Penyair Arab terkemuka Ahmad Syauqi.
هذا رسول الله لم   ينقص حقوق المؤمنات
العلم كان شريعة   لنسائه المتفقهات
رضن التجارة والسيا   سة والشؤون الأخريات
ولقد علت ببناته    لجج العلوم الزاخرات
كانت سكينة تملأ الدنـ   يا وتهزأ بالرواة
روت الحديث وفسرت   اي الكتاب البينات
وحضارة الإسلام تنـ   طق عن مكان المسلمات
بغداد دار العالما     ت ومنزل المتأدبات
ودمشق تحت أمية    ام الجواري النابغات
ورياض أندلس نميـ    ن الهاتفات الشاعرات 
''Lihatlah Utusan Tuhan ini''
''Ia tak pernah mencatut hak-hak perempuan beriman''
''Ilmu pengetahuan menjadi jalan hidup keluarganya''
''Mereka menjadi pedagang''
''Ahli hukum, Aktivis politik, kebudayaan dan sastra''
''Berkat putri-putri Nabi''
''Gelombang pengetahuan menjulang ke puncak langit''
''Lihatlah Sukainah''
''Namanya menebar harum di seluruh pojok bumi''
''Ia mengajarkan kata-kata Nabi''
''Dan menafsirkan kitab suci''
''Lihatlah''
''Buku-buku dan kaligrafi yang indah''
''Bercerita tentang ruang''
''Perempuan-perempuan Islam yang perrkasa''
''Baghdad''
''adalah rumah perempuan-perempuan cerdas''
''Padepokan perempuan-perempuan elok''
''Yang mengaji huruf-huruf suci dan menulis sastra''
''Damaskus''
''adalah sang ibu bagi perempuan-perempuan cendekia''
''Tempat perjumpaan seribu perempuan intelek''
''Taman-taman Andalusia''
''merekah bunga warna-warni''
''Perempuan-perempuan cantik bernyanyi riang''
''Dan gadis-gadis anggun membaca puisi''
Puisi-puisi di atas menggambarkan dengan jelas fakta perempuan Islam di atas panggung sejarah Islam awal. Pusat-pusat peradaban Islam, paling tidak di tiga tempat: Damaskus, Baghdad dan Andalusia, memperlihatkan posisi, peran dan aktifitas, kaum perempuan Islam. Betapa banyak perempuan yang menjadi ulama, cendikia dan intelektual, profesional dengan beragam keahlian dan dengan kapasitas intelektual yang relatif sama dengan bahkan sebagian mengungguli ulama laki-laki. Fakta-fakta historis ini dengan sendirinya telah menggugat anggapan banyak orang bahwa akal, intelektualitas dan moralitas perempuan lebih rendah dari akal, intelektualitas dan moralitas laki-laki. Islam memang hadir untuk sebuah cita-cita kemanusiaan: membebaskan penindasan, diskriminasi dan kebodohan. Islam mendukung perwujudan kehidupan yang setara berkeadilan dan berilmu pengetahuan untuk semua manusia: laki-laki dan perempuan.
Nama-nama perempuan ulama/intelektual/cendikia, perjalanan hidup dan karya-karya mereka terekam dalam banyak buku-buku klasik Islam. Ibnu Hajar, ahli hadits terkemuka dalam bukunya: ''“Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah”'', menyebut 500 perempuan ahli hadits. Imam Nawawi, ahli hadits terkemuka menulis nama-nama mereka dalam bukunya ''“Tahzib al-Asma wa al-Rijal”'', Khalid al-Baghdadi dalam ''“Tarikh Baghdad”'', Ibn Sa’d dalam ''“Al-Thabaqat”'' dan al-Sakhawi dalam ''“al-Dhaw al-Lami’ li Ahli al-Qarn al-Tasi’”'' dan lain-lain. Imam al-Dzahabi, ahli hadits masyhur, penulis buku ''“Mizan al-I’tidal”,''  menyebut 4000 Rijal Hadits, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ia selanjutnya mengatakan:
مَا عَلِمْتُ مِنَ النِّسَاءِ مَنْ اتُّهِمَتْ وَلَا مَنْ تُرِكَ حَدِيثُهَا
“Aku tidak mengetahui ada perempuan yang cacat dalam periwayatannya dan tidak pula ada yang tidak dipakai haditsnya). Katanya lagi: “Tidak ada kabar yang menyebutkan bahwa riwayat seorang perempuan adalah dusta”. 
Belakangan Umar Ridha Kahalah menulis buku khusus tentang ulama-ulama Perempuan di dunia Islam dan Arab: ''“A’lam al-Nisa fi ‘Alamay al-‘Arab wa al-Islam”'' (Ulama Perempuan di Dunia Islam dan Arab). Buku ini yang terdiri dari 3 jilid/volume ukuran tebal ini merekam dengan indah nama-nama perempuan ulama berikut keahlian, aktifitas dan peran mereka, berdasarkan urutan abjad. Ia mengatakan: 
وقد حاولت جهد استطاعتى فى البحث والتفتيش عن اكبر عدد يمكننى جمعه من شهيرات النسآء اللاتى خلدن فى مجتمعى العرب والاسلام أثرا بارزا فى العلم والحضارة والادب والفن والسياسة والدهاء والنفوذ والسلطان والبر والاحسان و الدين والصلاح والزهد والورع الخ. مما يميط اللثام عن الادوار المختلفة التى قضتها المرأة فى تاريخ العرب والاسلام.
“Aku telah bekerja sungguh-sungguh mencari dan meneliti sebanyak mungkin tokoh-tokoh perempuan terkenal dan tercatat dalam sejarah Arab dan Islam. Mereka mempunyai pengaruh dan kontribusi yang besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, sastra, seni, dan politik dan kepemimpinan social. Mereka juga terkenal tentang kecerdasan, kebaikan, ketakwaan, kezuhudan dan kebersihan diri. Mereka memainkan peran yang beragam dalam perjalanan sejarah Islam dan Arab ”.
Ignaz Goldziher, intelektual, peneliti dan orientalis masyhur menyebut paling tidak 15 % ulama ahli hadits adalah perempuan.  Harap dicatat bahwa dalam konteks Islam awal, makna “ilmu pengetahuan”, tidak terbatas hanya menunjuk pada ilmu pengetahuan keagamaan atau “''al-Ulum al-Diniyyah''”, melainkan semua disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran (''al-thibb''), fisika (''fiziya''), matematika (''al-riyadhiyat''), astronomi (''al-falak'') dan sastra (''al-Adab'').
Jumlah ulama perempuan yang lebih sedikit dari ulama laki-laki bukanlah sesuatu yang essensial. Satu atau dua orang perempuan ulama saja sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa perempuan tersebut memiliki potensi dan kwalitas intelektual dan moral yang tidak selalu lebih rendah atau lebih lemah dari kaum laki-laki. Ini merupakan konstruksi social, kebudayaan dan politik. Soalnya adalah terletak kepada apakah orang, masyarakat, budaya, politik, instrumen-instrumen hukum, pandangan agama dan kebijakan lain memberi ruang dan akses yang sama untuk laki-laki dan perempuan.
Para ulama perempuan tersebut telah mengambil peran-perannya sebagai tokoh agama, tokoh ilmu pengetahuan, tokoh politik dan tokoh spiritual, dan pribadi-pribadi dengan moralitas terpuji. Aktifitas mereka tidak hanya dari dan dalam ruang domestik (rumah) melainkan juga dalam ruang publik politik dalam arti yang lebih luas. Mereka bekerjasama dengan ulama laki-laki membangun peradaban Islam.
Adalah menarik bahwa kehadiran tubuh mereka di ruang publik bersama kaum laki-laki tidak pernah dipersoalkan. Dr. Asma al-Murabit, direktur Pusat Studi Islam dan Gender, Maroko, menulis dengan indah:
وَكَانَ تَدْرِيسُ الْعُلُومِ الْإِسْلَامِيَّةِ يَشْمَلُ الرِّجَالَ وِالنِّسَاءَ، وَلَا نَجِدُ مِنْ بَيْنِ الْأَوَّلِينَ إِلَّا عَدَداً قَلِيلاً لَمْ يَدْرُسْ عِنْدَ امْرَأَةٍ، لَقَدْ كَانَ طَلَبُ الْعِلْمِ حَقّاً لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ عَلَى حَدٍّ سَوَاء، وَلَمْ يَكُنْ ثَمَّةَ فَصْلٌ بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ أَثْنَاءَ التَّعَلُّمِ أَوْ التَّعْلِيمِ، وَفِي هَذَا الْعَصْرِ قَلَّمَا تَجِدُ عَالِماً لَمْ يدْرُسْ عَلى النِّسَاءِ الْعَالِمَاتِ
“Kuliah studi Islam diikuti oleh para mahasiswa laki-laki dan perempuan. Kami tidak menemukan, pada generasi Islam awal, para cendikia yang tidak belajar kepada perempuan, kecuali beberapa saja. Pendidikan diberikan untuk laki-laki dan perempuan secara sama, dan berada dalam ruang dan kesempatan yang sama. Pada masa ini jarang sekali seorang ulama laki-laki yang tidak belajar kepada perempuan ulama”.(www.annisae.ma).
Sukainah bint al-Husain (w. 735 M), cicit Nabi adalah tokoh perempuan ulama terkemuka pada zamannya. Pemikirannya cemerlang, budi pekertinya indah, penyair besar, guru penyair Arab tekemuka, Jarir al-Tamimy dan Farazdaq. Ayahnya, Imam Husain bin Ali, menyebut putri tercintanya ini: “''Amma Sukainah fa Ghalibun ‘alaiha al-Istighraq ma’a Allah''” (hari-harinya sering berkontempelasi). Ia sering memberikan kuliah umum di hadapan publik laki-laki dan perempuan, termasuk para ulama, di masjid Umawi. Ia dikenal juga sebagai tokoh kebudayaan. Rumahnya dijadikan sebagai pusat aktifitas para budayawan dan para penyair. 
'''Ulama Besar Laki-laki Murid Perempuan Ulama'''
Sejarah orang-orang besar adalah sejarah perempuan-perempuan. Mereka dilahirkan dan dididik oleh seorang perempuan. Sebagian para perempuan itu adalah ulama. Keulamaan perempuan dan peran mereka sebagai guru para ulama laki-laki telah hadir sejak awal sejarah Islam. Sebagian mereka menjadi guru para sahabat laki-laki. Antara lain:
Aisyah bint Abu Bakar. Ia disebut sebagai ''“A’lam al-Nas wa Afqah al-Nas wa Ahsan al-Nas Ra’yan fi al-‘Ammah”'' (orang paling pandai, paling faqih dan paling baik di antara semua orang). Al-Dzahabi dalam ''“Siyar A’lam al-Nubala”'' (riwayat hidup ulama-ulama cerdas) mengatakan: “tidak kurang dari 160 sahabat laki-laki mengaji pada Siti Aisyah”. Sebagian ahli hadits lain menyebutkan, murid-murid Aisyah ada 299 orang. 67 perempuan dan 232 laki-laki. Umm Salamah binti Abi Umayyah mengajar 101 orang, 23 perempuan dan 78 laki-laki. Hafshah binti Umar: 20 murid, 3 perempuan dan 17 laki-laki. Hujaimiyah al-Washabiyyah: 22 murid laki-laki. Ramlaha bint Abi Sufyan: 21 murid, 3 perempuan dan 18 laki-laki. Fatimah binti Qais: 11 murid laki-laki. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah, hlm. 16)
Pada periode berikutnya sejarah mencatat nama-nama perempuan ulama yang cemerlang. Beberapa di antaranya adalah Sayyyidah Nafisah (w. 208 H), cicit Nabi. Namanya dikenal sebagai perempuan cerdas, sumber pengetahuan keislaman (''Nafisah al-‘Ilm''), pemberani, sekaligus ''‘abidah zahidah'' (tekun menjalani ritual dan asketis). Sebagian orang bahkan mengkategorikannya sebagai Waliyullah perempuan dengan sejumlah keramat. Ia adalah guru Imam al-Syafi’I dan kemudian Imam ahmad bin Hanbal. Imam al-Syafi’i adalah ''“''ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji kepadanya, padahal ia seorang ahli fiqh besar”:
اَكْثَرُ الْعُلَمآءِ جُلُوساً اِلَيْهَا وَأَخْذاً عَنْهَا فِى وَقْتِ الَّذِى بَلَغَ فِيهِ مِنَ الْاِمَامَةِ فِى الْفِقْهِ مَكَاناً عَظِيماً.
“Ia (al-Syafi’i) adalah orang yang paling sering bersama-sama dia, mengaji kepadanya, justeru pada puncak karirnya sebagai ahli hukum terkemuka dan memiliki kedudukan terhormat”.
Bahkan disebutkan:
وَكَانَ يُصَلِّى بِهَا التَّرَاوِيحَ فِى مَسْجِدِهَا فِى شَهْرِ رَمَضَانَ
“Pada bulan Ramadan al-Syafi’i juga acap salat Tarawih bersama Nafisah di masjid perempuan ulama ini”.
Ibn Arabi, adalah sufi terbesar, (''al-Syekh al-Akbar'') sepanjang zaman. Kebesarannya diperolah antara lain dari paling tidak tiga orang perempuan ulama. Ia banyak menimba ilmu dari mereka. ''Pertama'', Fakhr al-Nisa. Perempuan ini adalah sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya dia mengaji kitab hadits “''Sunan al-Tirmidzîy''”. ''Kedua'', Qurrah al-Ain. Pertemuannya dengan perempuan ulama ini terjadi ketika Ibn Arabi tengah asyik tawaf, memutari Ka’bah. Katanya, “Hubunganku dengannya sangat dekat. Aku mengaji kepadanya. Aku memandang dia seorang perempuan yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan”. Perempuan ''ketiga'' adalah Sayyidah Nizham (Lady Nizham). Ia biasa dipanggil “''Ain al-Syams''” (mata matahari), dan “''Syaikhah al-Haramain''” (Guru Besar untuk wilayah Makkah dan Madinah). Ibn Arabi mengatakan: “Ia adalah matahari di antara ulama, taman indah di antara para sastrawan. Wajahnya jelita, tutur bahasanya lembut, otaknya sangat cemerlang, kata-katanya bagai untaian kalung yang gemerlap cahaya penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun. Jika dia bicara semua yang ada menjadi bisu”.
Ibnu Asakir, sejarawan Damaskus terkemuka dan bergelar “''Hafizh al-Ummah''” adalah murid/mahasiswa dari banyak ulama, delapan puluh lebih di antaranya adalah perempuan.   Syuhdah bin al-Abri, perempuan ulama, guru sejumlah ulama besar, antara lain Ibn al-Jauzi dan Ibn Qudamah al-Hanbali. Keduanya ahli hadits terkemuka. Ummu Habibah al-Ashbihani, adalah salah seorang guru dari al-Hafiz Ibn Mundzir. Fathimah bin ‘Ala al-Din al Samarqandi adalah ''faqihah jalilah'', ahli fiqh besar, suami Syeikh Ala al-Kasani, penulis buku “Al-Badai’ al-Shanai’”.
Tokoh cemerlang lain dalam dunia keilmuan Islam dan mujtahid besar adalah Ibn Hazm dari Andalusia. Pengetahuannya diperoleh pertama-tama dari kaum perempuan. Dari mereka ia belajar membaca al-Qur’an sekaligus mengafalnya, menulis, dan memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan dasar. Dalam bukunya “''Thauq al-Hamamah''” (Kalung Merpati), ia menceritakan:
لَقَدْ شَاهَدْتُ النِّسَاءَ وَعَلِمْتُ مِنْ اَسْرَارِهِنَّ مَا لَا يَكَادُ يَعْلَمُهُ غَيْرِى لاَنِّى رُبِّيتُ فِى حُجُورِهِنَّ وَنَشَأْتُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَلَمْ أَعْرِفْ غَيْرَهُنَّ وَلَا جَالَسْتُ الرِّجَالَ اِلَّا وَأَنَا فِى حَدِّ الشَّبَابِ وَحِينَ تَفِيلُ وَجْهِى . وَهُنَّ عَلَّمْنَنِى الْقُرآنَ وَرَوَيْنَنِى كَثِيراً مِنَ الْاَشْعَارِ وَدَرَّبْنَنِى فَى الْخَطِّ "
“Aku sering menyaksikan para perempuan dan aku mengetahui banyak isi hati mereka, karena aku dididik di pangkuan mereka. Aku tumbuh besar di tangan mereka. Aku tak mengenal laki-laki kecuali setelah aku menjadi dewasa. Para perempuanlah yang mengajari aku Al-Qur’an, puisi-puisi dan kaligrafi”.
Ada pula Khadijah bint Sahnun. Nama lengkapnya Khadijah bint al-Imam Abd al-Salam Sahnun bin Sa’id al-Tanukhi. Lahir di Qairawan, Tunisia, tahun 160 H. Ia adalah perempuan ulama. Al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh (w. 1149 M), penulis kitab “''al-Syifa''”, menulis dalam bukunya: “''Tartib al-Muluk wa Tartib al-Masalik fi Ma’rifah A’lam Madzhab Malik''”: “Khadijah bint Sahnun adalah perempuan ulama, cendikia, cerdas dan pribadi yang indah. Pengetahuan agamanya sangat luas, bahkan mengungguli kebanyakan ulama laki-laki. Ia memberi fatwa keagamaan dan melakukan advokasi-advokasi social-kemanusiaan”. Khadijah, bukan hanya memeroleh pengetahuan keagamaan yang luas melainkan juga kepribadian yang luhur: rendah hati, santun, pemurah dan religious. Popularitasnya sebagai perempuan ulama sangat menonjol.   Ayahnya, Sahnun, seorang hakim Mahkamah Agung, selalu meminta pertimbangan dan pendapat putrinya yang cerdas itu, sebelum ia mengetukkan palu di pengadilan. 
'''Perempuan-perempuan termarginalkan dari panggung Sejarah'''
Demikianlah beberapa saja ulama besar yang belajar dan berguru kepada para perempuan ulama.  Sayangnya, sejarah kaum muslimin sesudah itu, memasukkan kembali kaum perempuan ke dalam kerangkeng-kerangkeng rumahnya. Aktivitas intelektual dibatasi, kerja-kerja sosial-politik-kebudayaan mereka dipasung. Perempuan-perempuan Islam tenggelam dalam timbunan pergumulan sejarah. Mereka dilupakan dan dipinggirkan (al-muhammasyat) dari dialektika social-kebudayaan-politik. Sistem sosial patriarkhis kembali begitu dominan. Konon itu dilakukan atas nama kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan. Dengan kata lain, sikap dan tindakan tersebut dilakukan agar mereka tidak menjadi sumber "fitnah" (kekacauan sosial atau mengganggu ketertiban masyarakat).
Dr. Muhammad al-Habasy, sarjana Suriah, dalam bukunya: ''“Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah”'' mengatakan bahwa peminggiran kaum perempuan itu didasarkan pada argumen prinsip ''“Sadd al-Dzari’ah”'' (menutup pintu kerusakan). Keikutsertaan atau keterlibatan kaum perempuan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar maupun guru, dipandang mereka dapat menimbulkan “fitnah” dan “inhiraf” (penyimpangan) moral. Ini dua kata sakti yang membelenggu aktualisasi diri kaum perempuan. Jargonnya, “Demi melindungi” dan “Menjaga Kesucian Moral”. Dunia sepertinya telah kehilangan cara bagaimana “Melindungi tanpa Membatasi”. Tindakan selanjutnya adalah “membuat aturan-aturan yang membatasi gerak tubuh perempuan di ruang-ruang sosial, budaya dan politik secara terstruktur, sistemik dan massif.
Pandangan ini muncul menyusul kehancuran peradaban kaum muslimin akibat serbuan tentara Mongol ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam, tahun 1256 M. Kehancuran di wilayah kekuasan Islam ini diikuti oleh kehancuran peradaban Islam di Andalusia tahun 1492 M.  Akan tetapi sejumlah peneliti berpendapat bahwa peminggiran kaum perempuan dari ruang publik dan dalam dunia ilmu pengetahun secara khusus, sesungguhnya lebih disebabkan oleh kebijakan negara untuk pembekuan aktivitas intelektual dan kebebasan berpikir serta hilangnya kritisisme terhadap kekuasaan. Proses sejarah peradaban berlangsung stagnan, beku. Yang terjadi adalah pengulang-ulangan yang terus menerus, dan peniruan. Kritik-kritik atas pikiran terlarang dan dipandang kriminal. Marjinalisasi dan subordinasi menjadi massif dan terstruktur. Keadaan ini berlangsung selama berabad-abad, sekitar 6 abad.
'''Fajar Baru: Ulama Perempuan Hari ini'''
Sejak awal abad 20 sampai hari ini kita menyaksikan upaya-upaya baru yang menggugat keterpinggiran perempuan. Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873 M) adalah orang pertama yang membawa pembaruan pemikiran Islam sekaligus tokoh yang mengkritik pandangan-pandangan konservatif yang merendahkan dan memarjinalkan kaum perempuan. Ia mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender serta menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum perempuan. Ia menuliskan gagasan dan kritik-kritik ini dalam bukunya yang terkenal ; ''“Takhlish al-Ibriz fi Talkish Paris”'' dan ''“al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin”''.  Tokoh inilah yang kemudian memengaruhi pikiran para cendikiawan muslim progresif sesudahnya, antara lain Muhammad Abduh. Tetapi tokoh paling menonjol dan controversial dalam isu-isu perempuan adalah Qasim Amin. Tahun 1899, ia menulis bukunya yang terkenal; ''“Tahrir al-Mar’ah”'' (pembebasan perempuan), dan “''al-Mar’ah al-Jadiddah''” (Perempuan Baru).
Dari mereka kemudian lahirlah para ulama dan aktifis perempuan di banyak negara muslim. Tidak sedikit para ulama perempuan tampil kembali ke panggung sejarah. Pengetahuan mereka dalam bidang ilmu-ilmu agama (Islam) sangat mendalam dan luas. Beberapa di antaranya adalah Huda Sya'rawi, Aisyah Taymuriyah, Batsinah, Nabawiyah Musa, Zainab al-Ghazali, Aisyah Abdurrahman bint Syathi, Fatimah Mernisi, Asma Barlas, Aminah Wadud, Asma al-Murabith dan masih banyak lagi.
Nabawiyah Musa, perempuan ulama dari Mesir. Ia menuntut dibukanya akses dan kesetaraan pendidikan bagi kaum perempuan negerinya. Dalam sebuah ceramahnya dia mengatakan:
أُرِيدُ اَنْ تَحْيَا الْمِصْرِيَّاتُ حَيَاةً حَقِيقِيَّةً . فَيَقْبَلْنَ عَلَى الْعِلْمِ وَيَسْعَينَ سَعْياً مُتَوَاصِلاً . فَلاَ يَمْضِى زَمَانٌ حَتَّى أَرَى فِى هَذِهِ الدَّارِ مِائَةً مِنَ السَّيِّدَاتِ
''"Uridu an Tahya al Mishriyyat Hayah Haqiqiyyah. Fayaqbalna 'ala al 'Ilm wa Yas'ayanna Sa'yan Mutawashilan. Fa La Yamdhi Zaman Hatta Ara fi Hadzihi al Dar Mi-at min al Sayyidat"''(Aku berharap kaum perempuan Mesir bisa hidup dengan baik, mengapresiasi ilmu pengetahuan dan bekerja keras tanpa henti, sampai tiba masanya aku dapat melihat lahirnya ratusan tokoh/pemimpin perempuan dalam negeri tercinta ini).
Nazirah Zainuddin, juga perempuan ulama sekaligus perempuan aktivis. Ia bekerja dan berjuang membela kaumnya yang tertindas dan terdiskriminasi. Ia menggugat otoritas laki-laki dalam banyak hal, termasuk otoritas pengetahuan keagamaan. Baginya perempuan punya hak menjadi penafsir teks-teks suci, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi
"أَجَلْ إِنَّهُ كَمَا كَانَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَشْتَرِكَ فِي الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ، إِنَّ لَهَا الْحَقَّ الصَّرِيحَ أَنْ تَشْتَرِكَ فِي اْلِاجْتِهَادِ الشَّرْعِيِّ تَفْسِيراً وَتَأْوِيلاً. بَلْ إِنَّهَا أَوْلَى مِنَ الرَّجُلِ بِتَفْسِيرِ الْآيَاتِ الْقَائِمِ فِيهَا وَاجِبِهَا وَحَقِّهَا، لِأَنَّ صَاحِبَ الْحَقِّ وَالْوَاجِبِ أَهْدَى إِلَيْهِمَا مِنْ غَيْرِهِ سَبِيلاً. (ص. 179
“Tentu, jika perempuan, sebagaimana laki-laki, harus menjalankan hukum-hukum agama, maka dia berhak berijtihad baik melalui cara tafsir (pemahaman eksoterik) maupun takwil (heremeneutik). Bahkan perempuan lebih patut dan relevan untuk menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan hak dan kewajibannya, karena dia lebih mengerti tentang persoalan dirinya daripada orang lain”. (Nazzhirah, ''Al-fatat wa al-Syuyukh'', hlm. 179).
Nazhirah sering terlibat dalam debat dan polemik dengan sejumlah ulama besar Univeersitas Islam tertua di dunia, Al-Azhar, mengenai isu-isu perempuan yang diperlakukan secara diskriminatif (tidak adil). Kritik Nazhirah dalam buku ini cukup tajam, mengena, bahkan dapat dipandang sebagai mendekonstruksi pandangan keagamaan konservatif yang diwakili para ulama dari universitas Islam terkemuka di dunia itu. Dia tampil dengan pikiran-pikiran yang berani dan membuat  perseteruan dengan kaum ulama melalui argumen-argumen keagamaan yang sama, tetapi dengan interpretasi yang berbeda, dank arena itu juga menghasilkan produk pemikiran yang berbeda. Kajian Nazhirah mengenai topik yang dibicarakannya dilakukan dengan menganalisis secara langsung dari sumber otoritatif Islam; Al Qur-an dan hadits nabi saw. sambil melakukan studi komparasi dengan kitab-kitab Tafsir klasik seperti tafsir Baidhawi, Khazin, Nasafi, Thabari dan lain-lain. Dia juga menguasai kitab-kitab fiqh dan pendapat-pendapat ulama mazhab fiqh yang selalu menjadi rujukan fatwa keagamaan. Kemampuannya memahami kitab-kitab klasik tersebut tidak diragukan lagi. Selain itu dia mengajak para ulama untuk melihat fakta-fakta perkembangan dan perubahan sosial budaya dan politik. 
'''Ulama Perempuan Indonesia'''
Di Indonesia, kita mengenal sejumlah ulama perempuan, antara lain yang popular adalah Rahmah el-Yunusiyah, pendiri Perguruan Diniyah Putri, Padang Panjang. Dia memeroleh gelar doctor honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Penganugerahan puncak prestasi ilmiyah ini menjadi bukti pengakuan dunia atas perannya dalam mencerdaskan bangsa. Lalu ada Nyai Khoiriyah Hasyim, Jombang Jawa Timur. Intelektualitas Nyai Khairiyah Hasyim tidak ada seorangpun yang meragukannya. Di samping menguasai kitab kuning, ia juga piawai dalam manajemen pendidikan, ketrampilan, dan lainnya. Ia anggota komisi Bahsul Masail di Nahdlatul Ulama. Saat di Makkah, ia mendirikan madrasah Lil Banat, sekolah untuk kaum perempuan.
Tengku Fakinah, Aceh, Teungku Fakinah lahir sekitar tahun 1856 M di desa Lam Diran Kampung Lam Bunot (Lam Krak) Aceh Besar. Gelar “Teungku” yang melekat pada namanya karena beliau adalah seorang ulama, sebelum perang Aceh pecah beliau telah membangun Dayah (pesantren) di Aceh sebagai pusat pendidikan Islam. Pesantren yang beliau bangun dikenal dengan nama Dayah Lam Diran yang merujuk kepada nama lokasi di Desa Lam Diran. Di dayah tersebut terbuka untuk lelaki dan perempuan, namun demikian asramanya jauh terpisah. Di sana selain ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu umum dan kerajinan tangan seperti menjahit dan bertukang.
Perempuan ulama dari Aceh yang lain adalah Sultanah Safiatudin. Ia adalah sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.
Di Banjarmasin ada perempuan ulama terkenal bernama Fatimah. Ia adalah cucu ulama besar Syeikh Arsyad al-Banjari. Ia menulis kitab fiqh berjudul Perukunan Jamaluddin. Kitab ini berisi tentang persoalan fikih seperti Sholat, puasa dan penyelenggaraan jenazah.[Van Bruissen, Martin. Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning (Makalah Pembanding dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS].
Sejumlah penelitian belakangan menunjukkan kepada kita adanya ratusan bahkan boleh jadi ribuan perempuan Indonesia dengan kemampuan ilmiyah yang setara dengan laki-laki. Mereka bekerja dalam dunia ilmiyah dan memimpin lembaga-lembaga pendidikan tradisional, seperti madrasah, dayah, majelis ta’lim dan pesantren, maupun modern; Perguruan tinggi dan pusat-pusat riset sosial keagamaan. Mereka adalah ulama.
'''Untuk Kesalingan'''
Hari ini dunia sangat membutuhkan lahirnya banyak ulama perempuan dengan seluruh makna keulamaanya. Kehadiran perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki dalam segala akses kehidupan di ruang domestic maupun public, bukan dalam rangka untuk melawan laki-laki. Sama sekali tidak. Mereka dibutuhkan untuk bersama kaum laki-laki membangun negara dan bangsa ini demi terwujudnya cita-cita bersama : keadilan, kemajuan dan kesejahteraan. Mereka dibutuhkan untuk memberi makna-makna baru atas kehidupan yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Bangunan relasi antara laki-laki dan perempuan adalah bangunan relasi kesalingan, ''Resiprokal, Tabadul'', sebagaimana diajarkan teks-teks suci Al-Qur’an.
Abu Bakar al-Razi (w. 865 M), salah seorang pemikir besar Islam abad pertengahan menyatakan: "Tujuan tertinggi untuk apa kita diciptakan dan kemana kita diarahkan bukanlah kegembiraan atas kesenangan-kesenangan fisik. Akan tetapi pencapaian ilmu pengetahuan dan praktik keadilan".
Benar sekali. Keadilan adalah kebajikan tertinggi. Keadilan adalah essensi dan pilar tegaknya kehidupan semesta ini. Maka bila kehidupan kita hari ini masih belum mau melihat dengan jujur bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk mengubah dunia, dan jika kita masih terus mengabaikan bahkan mengingkari fakta bahwa perempuan relatif setara dengan laki-laki, baik secara secara intelektual maupun spiritual, dan bila kita menutup mata dan menolak eksistensi ulama  perempuan, maka sesungguhnya kita sedang melakukan ketidakadilan.
Cirebon, 25 April 2017
''*Dipresentasikan pada Seminar Nasional dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan Ciwaingin, Cirebon, 25-27 April 2017.''
[[Category:Diskursus]]

Revisi per 25 Juli 2021 03.34

PEREMPUAN ULAMA DI ATAS PANGGUNG SEJARAH

Oleh: KH. Husein Muhammad

(Ketua Yayasan Fahmina, Anggota SC KUPI)


Saya selalu merasa indah untuk menyanyikan puisi-puisi yang memesona ini, gubahan Raja Penyair Arab terkemuka Ahmad Syauqi.

هذا رسول الله لم   ينقص حقوق المؤمنات

العلم كان شريعة   لنسائه المتفقهات

رضن التجارة والسيا   سة والشؤون الأخريات

ولقد علت ببناته    لجج العلوم الزاخرات

كانت سكينة تملأ الدنـ   يا وتهزأ بالرواة

روت الحديث وفسرت   اي الكتاب البينات

وحضارة الإسلام تنـ   طق عن مكان المسلمات

بغداد دار العالما     ت ومنزل المتأدبات

ودمشق تحت أمية    ام الجواري النابغات

ورياض أندلس نميـ    ن الهاتفات الشاعرات

Lihatlah Utusan Tuhan ini

Ia tak pernah mencatut hak-hak perempuan beriman

Ilmu pengetahuan menjadi jalan hidup keluarganya

Mereka menjadi pedagang

Ahli hukum, Aktivis politik, kebudayaan dan sastra

Berkat putri-putri Nabi

Gelombang pengetahuan menjulang ke puncak langit

Lihatlah Sukainah

Namanya menebar harum di seluruh pojok bumi

Ia mengajarkan kata-kata Nabi

Dan menafsirkan kitab suci

Lihatlah

Buku-buku dan kaligrafi yang indah

Bercerita tentang ruang

Perempuan-perempuan Islam yang perrkasa

Baghdad

adalah rumah perempuan-perempuan cerdas

Padepokan perempuan-perempuan elok

Yang mengaji huruf-huruf suci dan menulis sastra

Damaskus

adalah sang ibu bagi perempuan-perempuan cendekia

Tempat perjumpaan seribu perempuan intelek

Taman-taman Andalusia

merekah bunga warna-warni

Perempuan-perempuan cantik bernyanyi riang

Dan gadis-gadis anggun membaca puisi

Puisi-puisi di atas menggambarkan dengan jelas fakta perempuan Islam di atas panggung sejarah Islam awal. Pusat-pusat peradaban Islam, paling tidak di tiga tempat: Damaskus, Baghdad dan Andalusia, memperlihatkan posisi, peran dan aktifitas, kaum perempuan Islam. Betapa banyak perempuan yang menjadi ulama, cendikia dan intelektual, profesional dengan beragam keahlian dan dengan kapasitas intelektual yang relatif sama dengan bahkan sebagian mengungguli ulama laki-laki. Fakta-fakta historis ini dengan sendirinya telah menggugat anggapan banyak orang bahwa akal, intelektualitas dan moralitas perempuan lebih rendah dari akal, intelektualitas dan moralitas laki-laki. Islam memang hadir untuk sebuah cita-cita kemanusiaan: membebaskan penindasan, diskriminasi dan kebodohan. Islam mendukung perwujudan kehidupan yang setara berkeadilan dan berilmu pengetahuan untuk semua manusia: laki-laki dan perempuan.

Nama-nama perempuan ulama/intelektual/cendikia, perjalanan hidup dan karya-karya mereka terekam dalam banyak buku-buku klasik Islam. Ibnu Hajar, ahli hadits terkemuka dalam bukunya: “Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah”, menyebut 500 perempuan ahli hadits. Imam Nawawi, ahli hadits terkemuka menulis nama-nama mereka dalam bukunya “Tahzib al-Asma wa al-Rijal”, Khalid al-Baghdadi dalam “Tarikh Baghdad”, Ibn Sa’d dalam “Al-Thabaqat” dan al-Sakhawi dalam “al-Dhaw al-Lami’ li Ahli al-Qarn al-Tasi’” dan lain-lain. Imam al-Dzahabi, ahli hadits masyhur, penulis buku “Mizan al-I’tidal”,  menyebut 4000 Rijal Hadits, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ia selanjutnya mengatakan:

مَا عَلِمْتُ مِنَ النِّسَاءِ مَنْ اتُّهِمَتْ وَلَا مَنْ تُرِكَ حَدِيثُهَا

“Aku tidak mengetahui ada perempuan yang cacat dalam periwayatannya dan tidak pula ada yang tidak dipakai haditsnya). Katanya lagi: “Tidak ada kabar yang menyebutkan bahwa riwayat seorang perempuan adalah dusta”. 

Belakangan Umar Ridha Kahalah menulis buku khusus tentang ulama-ulama Perempuan di dunia Islam dan Arab: “A’lam al-Nisa fi ‘Alamay al-‘Arab wa al-Islam” (Ulama Perempuan di Dunia Islam dan Arab). Buku ini yang terdiri dari 3 jilid/volume ukuran tebal ini merekam dengan indah nama-nama perempuan ulama berikut keahlian, aktifitas dan peran mereka, berdasarkan urutan abjad. Ia mengatakan: 

وقد حاولت جهد استطاعتى فى البحث والتفتيش عن اكبر عدد يمكننى جمعه من شهيرات النسآء اللاتى خلدن فى مجتمعى العرب والاسلام أثرا بارزا فى العلم والحضارة والادب والفن والسياسة والدهاء والنفوذ والسلطان والبر والاحسان و الدين والصلاح والزهد والورع الخ. مما يميط اللثام عن الادوار المختلفة التى قضتها المرأة فى تاريخ العرب والاسلام.

“Aku telah bekerja sungguh-sungguh mencari dan meneliti sebanyak mungkin tokoh-tokoh perempuan terkenal dan tercatat dalam sejarah Arab dan Islam. Mereka mempunyai pengaruh dan kontribusi yang besar bagi pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, sastra, seni, dan politik dan kepemimpinan social. Mereka juga terkenal tentang kecerdasan, kebaikan, ketakwaan, kezuhudan dan kebersihan diri. Mereka memainkan peran yang beragam dalam perjalanan sejarah Islam dan Arab ”.

Ignaz Goldziher, intelektual, peneliti dan orientalis masyhur menyebut paling tidak 15 % ulama ahli hadits adalah perempuan.  Harap dicatat bahwa dalam konteks Islam awal, makna “ilmu pengetahuan”, tidak terbatas hanya menunjuk pada ilmu pengetahuan keagamaan atau “al-Ulum al-Diniyyah”, melainkan semua disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran (al-thibb), fisika (fiziya), matematika (al-riyadhiyat), astronomi (al-falak) dan sastra (al-Adab).

Jumlah ulama perempuan yang lebih sedikit dari ulama laki-laki bukanlah sesuatu yang essensial. Satu atau dua orang perempuan ulama saja sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa perempuan tersebut memiliki potensi dan kwalitas intelektual dan moral yang tidak selalu lebih rendah atau lebih lemah dari kaum laki-laki. Ini merupakan konstruksi social, kebudayaan dan politik. Soalnya adalah terletak kepada apakah orang, masyarakat, budaya, politik, instrumen-instrumen hukum, pandangan agama dan kebijakan lain memberi ruang dan akses yang sama untuk laki-laki dan perempuan.

Para ulama perempuan tersebut telah mengambil peran-perannya sebagai tokoh agama, tokoh ilmu pengetahuan, tokoh politik dan tokoh spiritual, dan pribadi-pribadi dengan moralitas terpuji. Aktifitas mereka tidak hanya dari dan dalam ruang domestik (rumah) melainkan juga dalam ruang publik politik dalam arti yang lebih luas. Mereka bekerjasama dengan ulama laki-laki membangun peradaban Islam.

Adalah menarik bahwa kehadiran tubuh mereka di ruang publik bersama kaum laki-laki tidak pernah dipersoalkan. Dr. Asma al-Murabit, direktur Pusat Studi Islam dan Gender, Maroko, menulis dengan indah:

وَكَانَ تَدْرِيسُ الْعُلُومِ الْإِسْلَامِيَّةِ يَشْمَلُ الرِّجَالَ وِالنِّسَاءَ، وَلَا نَجِدُ مِنْ بَيْنِ الْأَوَّلِينَ إِلَّا عَدَداً قَلِيلاً لَمْ يَدْرُسْ عِنْدَ امْرَأَةٍ، لَقَدْ كَانَ طَلَبُ الْعِلْمِ حَقّاً لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ عَلَى حَدٍّ سَوَاء، وَلَمْ يَكُنْ ثَمَّةَ فَصْلٌ بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ أَثْنَاءَ التَّعَلُّمِ أَوْ التَّعْلِيمِ، وَفِي هَذَا الْعَصْرِ قَلَّمَا تَجِدُ عَالِماً لَمْ يدْرُسْ عَلى النِّسَاءِ الْعَالِمَاتِ


“Kuliah studi Islam diikuti oleh para mahasiswa laki-laki dan perempuan. Kami tidak menemukan, pada generasi Islam awal, para cendikia yang tidak belajar kepada perempuan, kecuali beberapa saja. Pendidikan diberikan untuk laki-laki dan perempuan secara sama, dan berada dalam ruang dan kesempatan yang sama. Pada masa ini jarang sekali seorang ulama laki-laki yang tidak belajar kepada perempuan ulama”.(www.annisae.ma).

Sukainah bint al-Husain (w. 735 M), cicit Nabi adalah tokoh perempuan ulama terkemuka pada zamannya. Pemikirannya cemerlang, budi pekertinya indah, penyair besar, guru penyair Arab tekemuka, Jarir al-Tamimy dan Farazdaq. Ayahnya, Imam Husain bin Ali, menyebut putri tercintanya ini: “Amma Sukainah fa Ghalibun ‘alaiha al-Istighraq ma’a Allah” (hari-harinya sering berkontempelasi). Ia sering memberikan kuliah umum di hadapan publik laki-laki dan perempuan, termasuk para ulama, di masjid Umawi. Ia dikenal juga sebagai tokoh kebudayaan. Rumahnya dijadikan sebagai pusat aktifitas para budayawan dan para penyair.

Ulama Besar Laki-laki Murid Perempuan Ulama

Sejarah orang-orang besar adalah sejarah perempuan-perempuan. Mereka dilahirkan dan dididik oleh seorang perempuan. Sebagian para perempuan itu adalah ulama. Keulamaan perempuan dan peran mereka sebagai guru para ulama laki-laki telah hadir sejak awal sejarah Islam. Sebagian mereka menjadi guru para sahabat laki-laki. Antara lain:

Aisyah bint Abu Bakar. Ia disebut sebagai “A’lam al-Nas wa Afqah al-Nas wa Ahsan al-Nas Ra’yan fi al-‘Ammah” (orang paling pandai, paling faqih dan paling baik di antara semua orang). Al-Dzahabi dalam “Siyar A’lam al-Nubala” (riwayat hidup ulama-ulama cerdas) mengatakan: “tidak kurang dari 160 sahabat laki-laki mengaji pada Siti Aisyah”. Sebagian ahli hadits lain menyebutkan, murid-murid Aisyah ada 299 orang. 67 perempuan dan 232 laki-laki. Umm Salamah binti Abi Umayyah mengajar 101 orang, 23 perempuan dan 78 laki-laki. Hafshah binti Umar: 20 murid, 3 perempuan dan 17 laki-laki. Hujaimiyah al-Washabiyyah: 22 murid laki-laki. Ramlaha bint Abi Sufyan: 21 murid, 3 perempuan dan 18 laki-laki. Fatimah binti Qais: 11 murid laki-laki. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah, hlm. 16)

Pada periode berikutnya sejarah mencatat nama-nama perempuan ulama yang cemerlang. Beberapa di antaranya adalah Sayyyidah Nafisah (w. 208 H), cicit Nabi. Namanya dikenal sebagai perempuan cerdas, sumber pengetahuan keislaman (Nafisah al-‘Ilm), pemberani, sekaligus ‘abidah zahidah (tekun menjalani ritual dan asketis). Sebagian orang bahkan mengkategorikannya sebagai Waliyullah perempuan dengan sejumlah keramat. Ia adalah guru Imam al-Syafi’I dan kemudian Imam ahmad bin Hanbal. Imam al-Syafi’i adalah ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji kepadanya, padahal ia seorang ahli fiqh besar”:

اَكْثَرُ الْعُلَمآءِ جُلُوساً اِلَيْهَا وَأَخْذاً عَنْهَا فِى وَقْتِ الَّذِى بَلَغَ فِيهِ مِنَ الْاِمَامَةِ فِى الْفِقْهِ مَكَاناً عَظِيماً.


“Ia (al-Syafi’i) adalah orang yang paling sering bersama-sama dia, mengaji kepadanya, justeru pada puncak karirnya sebagai ahli hukum terkemuka dan memiliki kedudukan terhormat”.

Bahkan disebutkan:

وَكَانَ يُصَلِّى بِهَا التَّرَاوِيحَ فِى مَسْجِدِهَا فِى شَهْرِ رَمَضَانَ

“Pada bulan Ramadan al-Syafi’i juga acap salat Tarawih bersama Nafisah di masjid perempuan ulama ini”.

Ibn Arabi, adalah sufi terbesar, (al-Syekh al-Akbar) sepanjang zaman. Kebesarannya diperolah antara lain dari paling tidak tiga orang perempuan ulama. Ia banyak menimba ilmu dari mereka. Pertama, Fakhr al-Nisa. Perempuan ini adalah sufi terkemuka dan idola para ulama laki-laki dan perempuan. Kepadanya dia mengaji kitab hadits “Sunan al-Tirmidzîy”. Kedua, Qurrah al-Ain. Pertemuannya dengan perempuan ulama ini terjadi ketika Ibn Arabi tengah asyik tawaf, memutari Ka’bah. Katanya, “Hubunganku dengannya sangat dekat. Aku mengaji kepadanya. Aku memandang dia seorang perempuan yang sangat kaya pengetahuan ketuhanan”. Perempuan ketiga adalah Sayyidah Nizham (Lady Nizham). Ia biasa dipanggil “Ain al-Syams” (mata matahari), dan “Syaikhah al-Haramain” (Guru Besar untuk wilayah Makkah dan Madinah). Ibn Arabi mengatakan: “Ia adalah matahari di antara ulama, taman indah di antara para sastrawan. Wajahnya jelita, tutur bahasanya lembut, otaknya sangat cemerlang, kata-katanya bagai untaian kalung yang gemerlap cahaya penuh keindahan dan penampilannya benar-benar anggun. Jika dia bicara semua yang ada menjadi bisu”.

Ibnu Asakir, sejarawan Damaskus terkemuka dan bergelar “Hafizh al-Ummah” adalah murid/mahasiswa dari banyak ulama, delapan puluh lebih di antaranya adalah perempuan.   Syuhdah bin al-Abri, perempuan ulama, guru sejumlah ulama besar, antara lain Ibn al-Jauzi dan Ibn Qudamah al-Hanbali. Keduanya ahli hadits terkemuka. Ummu Habibah al-Ashbihani, adalah salah seorang guru dari al-Hafiz Ibn Mundzir. Fathimah bin ‘Ala al-Din al Samarqandi adalah faqihah jalilah, ahli fiqh besar, suami Syeikh Ala al-Kasani, penulis buku “Al-Badai’ al-Shanai’”.

Tokoh cemerlang lain dalam dunia keilmuan Islam dan mujtahid besar adalah Ibn Hazm dari Andalusia. Pengetahuannya diperoleh pertama-tama dari kaum perempuan. Dari mereka ia belajar membaca al-Qur’an sekaligus mengafalnya, menulis, dan memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan dasar. Dalam bukunya “Thauq al-Hamamah” (Kalung Merpati), ia menceritakan:

لَقَدْ شَاهَدْتُ النِّسَاءَ وَعَلِمْتُ مِنْ اَسْرَارِهِنَّ مَا لَا يَكَادُ يَعْلَمُهُ غَيْرِى لاَنِّى رُبِّيتُ فِى حُجُورِهِنَّ وَنَشَأْتُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَلَمْ أَعْرِفْ غَيْرَهُنَّ وَلَا جَالَسْتُ الرِّجَالَ اِلَّا وَأَنَا فِى حَدِّ الشَّبَابِ وَحِينَ تَفِيلُ وَجْهِى . وَهُنَّ عَلَّمْنَنِى الْقُرآنَ وَرَوَيْنَنِى كَثِيراً مِنَ الْاَشْعَارِ وَدَرَّبْنَنِى فَى الْخَطِّ "


“Aku sering menyaksikan para perempuan dan aku mengetahui banyak isi hati mereka, karena aku dididik di pangkuan mereka. Aku tumbuh besar di tangan mereka. Aku tak mengenal laki-laki kecuali setelah aku menjadi dewasa. Para perempuanlah yang mengajari aku Al-Qur’an, puisi-puisi dan kaligrafi”.

Ada pula Khadijah bint Sahnun. Nama lengkapnya Khadijah bint al-Imam Abd al-Salam Sahnun bin Sa’id al-Tanukhi. Lahir di Qairawan, Tunisia, tahun 160 H. Ia adalah perempuan ulama. Al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh (w. 1149 M), penulis kitab “al-Syifa”, menulis dalam bukunya: “Tartib al-Muluk wa Tartib al-Masalik fi Ma’rifah A’lam Madzhab Malik”: “Khadijah bint Sahnun adalah perempuan ulama, cendikia, cerdas dan pribadi yang indah. Pengetahuan agamanya sangat luas, bahkan mengungguli kebanyakan ulama laki-laki. Ia memberi fatwa keagamaan dan melakukan advokasi-advokasi social-kemanusiaan”. Khadijah, bukan hanya memeroleh pengetahuan keagamaan yang luas melainkan juga kepribadian yang luhur: rendah hati, santun, pemurah dan religious. Popularitasnya sebagai perempuan ulama sangat menonjol.   Ayahnya, Sahnun, seorang hakim Mahkamah Agung, selalu meminta pertimbangan dan pendapat putrinya yang cerdas itu, sebelum ia mengetukkan palu di pengadilan.

Perempuan-perempuan termarginalkan dari panggung Sejarah

Demikianlah beberapa saja ulama besar yang belajar dan berguru kepada para perempuan ulama.  Sayangnya, sejarah kaum muslimin sesudah itu, memasukkan kembali kaum perempuan ke dalam kerangkeng-kerangkeng rumahnya. Aktivitas intelektual dibatasi, kerja-kerja sosial-politik-kebudayaan mereka dipasung. Perempuan-perempuan Islam tenggelam dalam timbunan pergumulan sejarah. Mereka dilupakan dan dipinggirkan (al-muhammasyat) dari dialektika social-kebudayaan-politik. Sistem sosial patriarkhis kembali begitu dominan. Konon itu dilakukan atas nama kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan. Dengan kata lain, sikap dan tindakan tersebut dilakukan agar mereka tidak menjadi sumber "fitnah" (kekacauan sosial atau mengganggu ketertiban masyarakat).

Dr. Muhammad al-Habasy, sarjana Suriah, dalam bukunya: “Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah” mengatakan bahwa peminggiran kaum perempuan itu didasarkan pada argumen prinsip “Sadd al-Dzari’ah” (menutup pintu kerusakan). Keikutsertaan atau keterlibatan kaum perempuan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar maupun guru, dipandang mereka dapat menimbulkan “fitnah” dan “inhiraf” (penyimpangan) moral. Ini dua kata sakti yang membelenggu aktualisasi diri kaum perempuan. Jargonnya, “Demi melindungi” dan “Menjaga Kesucian Moral”. Dunia sepertinya telah kehilangan cara bagaimana “Melindungi tanpa Membatasi”. Tindakan selanjutnya adalah “membuat aturan-aturan yang membatasi gerak tubuh perempuan di ruang-ruang sosial, budaya dan politik secara terstruktur, sistemik dan massif.

Pandangan ini muncul menyusul kehancuran peradaban kaum muslimin akibat serbuan tentara Mongol ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam, tahun 1256 M. Kehancuran di wilayah kekuasan Islam ini diikuti oleh kehancuran peradaban Islam di Andalusia tahun 1492 M.  Akan tetapi sejumlah peneliti berpendapat bahwa peminggiran kaum perempuan dari ruang publik dan dalam dunia ilmu pengetahun secara khusus, sesungguhnya lebih disebabkan oleh kebijakan negara untuk pembekuan aktivitas intelektual dan kebebasan berpikir serta hilangnya kritisisme terhadap kekuasaan. Proses sejarah peradaban berlangsung stagnan, beku. Yang terjadi adalah pengulang-ulangan yang terus menerus, dan peniruan. Kritik-kritik atas pikiran terlarang dan dipandang kriminal. Marjinalisasi dan subordinasi menjadi massif dan terstruktur. Keadaan ini berlangsung selama berabad-abad, sekitar 6 abad.

Fajar Baru: Ulama Perempuan Hari ini

Sejak awal abad 20 sampai hari ini kita menyaksikan upaya-upaya baru yang menggugat keterpinggiran perempuan. Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873 M) adalah orang pertama yang membawa pembaruan pemikiran Islam sekaligus tokoh yang mengkritik pandangan-pandangan konservatif yang merendahkan dan memarjinalkan kaum perempuan. Ia mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender serta menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum perempuan. Ia menuliskan gagasan dan kritik-kritik ini dalam bukunya yang terkenal ; “Takhlish al-Ibriz fi Talkish Paris” dan “al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin”.  Tokoh inilah yang kemudian memengaruhi pikiran para cendikiawan muslim progresif sesudahnya, antara lain Muhammad Abduh. Tetapi tokoh paling menonjol dan controversial dalam isu-isu perempuan adalah Qasim Amin. Tahun 1899, ia menulis bukunya yang terkenal; “Tahrir al-Mar’ah” (pembebasan perempuan), dan “al-Mar’ah al-Jadiddah” (Perempuan Baru).

Dari mereka kemudian lahirlah para ulama dan aktifis perempuan di banyak negara muslim. Tidak sedikit para ulama perempuan tampil kembali ke panggung sejarah. Pengetahuan mereka dalam bidang ilmu-ilmu agama (Islam) sangat mendalam dan luas. Beberapa di antaranya adalah Huda Sya'rawi, Aisyah Taymuriyah, Batsinah, Nabawiyah Musa, Zainab al-Ghazali, Aisyah Abdurrahman bint Syathi, Fatimah Mernisi, Asma Barlas, Aminah Wadud, Asma al-Murabith dan masih banyak lagi.

Nabawiyah Musa, perempuan ulama dari Mesir. Ia menuntut dibukanya akses dan kesetaraan pendidikan bagi kaum perempuan negerinya. Dalam sebuah ceramahnya dia mengatakan:

أُرِيدُ اَنْ تَحْيَا الْمِصْرِيَّاتُ حَيَاةً حَقِيقِيَّةً . فَيَقْبَلْنَ عَلَى الْعِلْمِ وَيَسْعَينَ سَعْياً مُتَوَاصِلاً . فَلاَ يَمْضِى زَمَانٌ حَتَّى أَرَى فِى هَذِهِ الدَّارِ مِائَةً مِنَ السَّيِّدَاتِ

"Uridu an Tahya al Mishriyyat Hayah Haqiqiyyah. Fayaqbalna 'ala al 'Ilm wa Yas'ayanna Sa'yan Mutawashilan. Fa La Yamdhi Zaman Hatta Ara fi Hadzihi al Dar Mi-at min al Sayyidat"(Aku berharap kaum perempuan Mesir bisa hidup dengan baik, mengapresiasi ilmu pengetahuan dan bekerja keras tanpa henti, sampai tiba masanya aku dapat melihat lahirnya ratusan tokoh/pemimpin perempuan dalam negeri tercinta ini).

Nazirah Zainuddin, juga perempuan ulama sekaligus perempuan aktivis. Ia bekerja dan berjuang membela kaumnya yang tertindas dan terdiskriminasi. Ia menggugat otoritas laki-laki dalam banyak hal, termasuk otoritas pengetahuan keagamaan. Baginya perempuan punya hak menjadi penafsir teks-teks suci, baik al-Qur’an maupun hadits Nabi


"أَجَلْ إِنَّهُ كَمَا كَانَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَشْتَرِكَ فِي الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ، إِنَّ لَهَا الْحَقَّ الصَّرِيحَ أَنْ تَشْتَرِكَ فِي اْلِاجْتِهَادِ الشَّرْعِيِّ تَفْسِيراً وَتَأْوِيلاً. بَلْ إِنَّهَا أَوْلَى مِنَ الرَّجُلِ بِتَفْسِيرِ الْآيَاتِ الْقَائِمِ فِيهَا وَاجِبِهَا وَحَقِّهَا، لِأَنَّ صَاحِبَ الْحَقِّ وَالْوَاجِبِ أَهْدَى إِلَيْهِمَا مِنْ غَيْرِهِ سَبِيلاً. (ص. 179

“Tentu, jika perempuan, sebagaimana laki-laki, harus menjalankan hukum-hukum agama, maka dia berhak berijtihad baik melalui cara tafsir (pemahaman eksoterik) maupun takwil (heremeneutik). Bahkan perempuan lebih patut dan relevan untuk menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan hak dan kewajibannya, karena dia lebih mengerti tentang persoalan dirinya daripada orang lain”. (Nazzhirah, Al-fatat wa al-Syuyukh, hlm. 179).

Nazhirah sering terlibat dalam debat dan polemik dengan sejumlah ulama besar Univeersitas Islam tertua di dunia, Al-Azhar, mengenai isu-isu perempuan yang diperlakukan secara diskriminatif (tidak adil). Kritik Nazhirah dalam buku ini cukup tajam, mengena, bahkan dapat dipandang sebagai mendekonstruksi pandangan keagamaan konservatif yang diwakili para ulama dari universitas Islam terkemuka di dunia itu. Dia tampil dengan pikiran-pikiran yang berani dan membuat  perseteruan dengan kaum ulama melalui argumen-argumen keagamaan yang sama, tetapi dengan interpretasi yang berbeda, dank arena itu juga menghasilkan produk pemikiran yang berbeda. Kajian Nazhirah mengenai topik yang dibicarakannya dilakukan dengan menganalisis secara langsung dari sumber otoritatif Islam; Al Qur-an dan hadits nabi saw. sambil melakukan studi komparasi dengan kitab-kitab Tafsir klasik seperti tafsir Baidhawi, Khazin, Nasafi, Thabari dan lain-lain. Dia juga menguasai kitab-kitab fiqh dan pendapat-pendapat ulama mazhab fiqh yang selalu menjadi rujukan fatwa keagamaan. Kemampuannya memahami kitab-kitab klasik tersebut tidak diragukan lagi. Selain itu dia mengajak para ulama untuk melihat fakta-fakta perkembangan dan perubahan sosial budaya dan politik.


Ulama Perempuan Indonesia

Di Indonesia, kita mengenal sejumlah ulama perempuan, antara lain yang popular adalah Rahmah el-Yunusiyah, pendiri Perguruan Diniyah Putri, Padang Panjang. Dia memeroleh gelar doctor honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Penganugerahan puncak prestasi ilmiyah ini menjadi bukti pengakuan dunia atas perannya dalam mencerdaskan bangsa. Lalu ada Nyai Khoiriyah Hasyim, Jombang Jawa Timur. Intelektualitas Nyai Khairiyah Hasyim tidak ada seorangpun yang meragukannya. Di samping menguasai kitab kuning, ia juga piawai dalam manajemen pendidikan, ketrampilan, dan lainnya. Ia anggota komisi Bahsul Masail di Nahdlatul Ulama. Saat di Makkah, ia mendirikan madrasah Lil Banat, sekolah untuk kaum perempuan.

Tengku Fakinah, Aceh, Teungku Fakinah lahir sekitar tahun 1856 M di desa Lam Diran Kampung Lam Bunot (Lam Krak) Aceh Besar. Gelar “Teungku” yang melekat pada namanya karena beliau adalah seorang ulama, sebelum perang Aceh pecah beliau telah membangun Dayah (pesantren) di Aceh sebagai pusat pendidikan Islam. Pesantren yang beliau bangun dikenal dengan nama Dayah Lam Diran yang merujuk kepada nama lokasi di Desa Lam Diran. Di dayah tersebut terbuka untuk lelaki dan perempuan, namun demikian asramanya jauh terpisah. Di sana selain ilmu-ilmu agama juga diajarkan ilmu umum dan kerajinan tangan seperti menjahit dan bertukang.

Perempuan ulama dari Aceh yang lain adalah Sultanah Safiatudin. Ia adalah sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.

Di Banjarmasin ada perempuan ulama terkenal bernama Fatimah. Ia adalah cucu ulama besar Syeikh Arsyad al-Banjari. Ia menulis kitab fiqh berjudul Perukunan Jamaluddin. Kitab ini berisi tentang persoalan fikih seperti Sholat, puasa dan penyelenggaraan jenazah.[Van Bruissen, Martin. Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning (Makalah Pembanding dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS].

Sejumlah penelitian belakangan menunjukkan kepada kita adanya ratusan bahkan boleh jadi ribuan perempuan Indonesia dengan kemampuan ilmiyah yang setara dengan laki-laki. Mereka bekerja dalam dunia ilmiyah dan memimpin lembaga-lembaga pendidikan tradisional, seperti madrasah, dayah, majelis ta’lim dan pesantren, maupun modern; Perguruan tinggi dan pusat-pusat riset sosial keagamaan. Mereka adalah ulama.

Untuk Kesalingan

Hari ini dunia sangat membutuhkan lahirnya banyak ulama perempuan dengan seluruh makna keulamaanya. Kehadiran perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki dalam segala akses kehidupan di ruang domestic maupun public, bukan dalam rangka untuk melawan laki-laki. Sama sekali tidak. Mereka dibutuhkan untuk bersama kaum laki-laki membangun negara dan bangsa ini demi terwujudnya cita-cita bersama : keadilan, kemajuan dan kesejahteraan. Mereka dibutuhkan untuk memberi makna-makna baru atas kehidupan yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Bangunan relasi antara laki-laki dan perempuan adalah bangunan relasi kesalingan, Resiprokal, Tabadul, sebagaimana diajarkan teks-teks suci Al-Qur’an.

Abu Bakar al-Razi (w. 865 M), salah seorang pemikir besar Islam abad pertengahan menyatakan: "Tujuan tertinggi untuk apa kita diciptakan dan kemana kita diarahkan bukanlah kegembiraan atas kesenangan-kesenangan fisik. Akan tetapi pencapaian ilmu pengetahuan dan praktik keadilan".

Benar sekali. Keadilan adalah kebajikan tertinggi. Keadilan adalah essensi dan pilar tegaknya kehidupan semesta ini. Maka bila kehidupan kita hari ini masih belum mau melihat dengan jujur bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk mengubah dunia, dan jika kita masih terus mengabaikan bahkan mengingkari fakta bahwa perempuan relatif setara dengan laki-laki, baik secara secara intelektual maupun spiritual, dan bila kita menutup mata dan menolak eksistensi ulama  perempuan, maka sesungguhnya kita sedang melakukan ketidakadilan.


Cirebon, 25 April 2017

*Dipresentasikan pada Seminar Nasional dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan Ciwaingin, Cirebon, 25-27 April 2017.