Menanti Fatwa Perempuan Ulama

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diklaim sebagai yang pertama di dunia, membahas berbagai isu terkait perempuan di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat, 25-27 April 2017. Tiga isu utama yang dibahas adalah kekerasan seksual, pernikahan anak, serta perusakan alam dalam konteks ketimpangann sosial, migrasi, dan radikalisme.

Kongres diharapkan menghasilkan rekomendasi, fatwa, dan ikrar keulamaan perempuan Indonesia. Perempuan ulama di dunia sejak dulu telah berjuang dan menjadi bagian setiap perkembangan peradaban Islam. Keberadaan perempuan ulama di Indonesia merupakan ciri sekaligus pembeda nyata wajah Islam daripada negara-negara berpenduduk mayoritas Islam lain. Perempuan berperan penting dalam dua organisasi keislaman besar, yakni NU dan Muhammadiyah.

Hal ini memastikan Islam Indonesia yang moderat, yang telah berlangsung sejak era kolonial. Ajaran Islam terpola kepada ajaran dasar dan non dasar. Ajaran dasar ialah ajaran yang termaktub dalam Alquran dan Sunnah mutawatir yang diyakini datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebaliknya, ajaran non dasar ialah ajaran berupa hasil ijtihad manusia dalam bentuk tafsir, interpretasi atau pemikiran ulama yang menjelaskan tentang ajaran dasar dan implementasinya dalam kehidupan nyata.

Ajaran dasar selalu bersifat absolut, abadi, dan tidak berubah. Sebaliknya, ajaran kedua bersifat ijtihadi, relatif, tidak abadi dan bisa berubah seiring dinamika masyarakat, serta perkembangan sains dan teknologi. Menarik dicatat, sebagian besar ajaran Islam yang menyinggung relasi gender, seperti perkawinan, pewarisan, hubungan keluarga, etika berbusana, kepemimpinan, masuk kategori kedua, ajaran non dasar, sehingga lebih banyak bersifat ijtihadi.

Untuk itu, diperlukan pembacaan ulang dan upaya-upaya rekonstruksi atas hasil ijtihad atau penafsiran lama yang dinilai bias gender dan nilai-nilai patriarki. Penafsiran baru teks-teks keislaman mendesak dilakukan untuk menemukan kembali pesan-pesan moral yang hakiki dan universal, seperti persamaan, persaudaraan, kebebasan, kesetaraan dan keadilan, termasuk di dalamnya kesetaraan keadilan gender.

Selama ini persoalan di atas lebih banyak dibincangkan ulama laki-laki, ulama perempuan nyaris belum pernah membincangnya. Saatnya ulama perempuan membincangkannya. Di samping pembacaan ulang penting disebutkan bahwa kesetaraan keadilan gender juga harus didukung instrumen-instrumen internasional dan nasional seperti dalam bidang perundang-undangan.

Harus diketahui, keseteraan keadilan gender bukanlah kemauan orang perorang, kesepakatan publik, tetapi rakyat dari pelbagai negara yang dirumuskan dalam pelbagai dokumen penting. Seperti Deklarasi Universal HAM 1947 yang diresmikan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. Lalu Convention on Ellimination of all forms of Discriminstion Against Women (CEDAW) yang disepakati PBB. CEDAW diberlakukan 3 September 1981. Sampai tahun 1998 sudah 97 negara yang menandatangani dan 161 meratifikasi. 41 negara yang menandatangani dan meratifikasi adalah negara muslim, termasuk Indonesia.

Instrumen Nasional

Dukungan terhadap kesetaraan keadilan gender tak hanya datang dari ajaran keagamaan dan instrumen internasional, tetapi juga oleh instrumen nasional. Jika kita lihat UUD negara kita, tidak ada pasal atau pembahasan yang mendiskriminasi laki-laki dan perempuan. Di bawah UUD, Indonesia juga memiliki serangkaian peraturan yang mendukung kesetaraan laki-laki dan perempuan. CEDAW sudah menjadi UU sejak 1986. Kita juga memiliki UU PKDRT sejak 2003.

Berpijak pada argumen di atas, posisi ulama begitu kuat dalam merumuskan pendapat hukum dalam tradisi masyarakat muslim. Otoritas fatwa akan selalu diserahkan kepada ulama karena merekalah yang dipandang memiliki kapasitas melakukan ijtihad. Produk intelektual ulama di bidang hukum telah dijadikan sebagai legitimasi oleh masyarakat dalam menyikapi hubungan antaragama di Indonesia.

Tak berlebihan jika organisasi massa Islam, seperti NU memilki Bahtsul Masaíil dan Muhammadiyah memiliki Majelis Tarjih yang melahirkan pendapat hukum dalam persoalan-persoalan aktual. Kini ulama perempuan Indonesia hadir, dan akan ikut memberikan fatwa dalam hubungan antaragama.  


Penulis: Dra. Hj. Muzayanah Bisri, M. Pd. (Aktivis Perempuan NU, Kepala SMA NU 01 Alhidayah Kendal)

(Sumber: http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/menanti-fatwa- perempuan-ulama/)