Maria Ulfah Anshor
Maria Ulfah Anshor, lahir di Cirebon Jawa Barat pada 15 Oktober 1960 adalah pendiri Yayasan Pendidikan dan Pesantren Terpadu An-Nahla Bogor. Ia aktif dalam berbagai organisasi sosial dan gender. Ia menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI) selama dua periode 2012-2017 dan 2017-2022. Pernah menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Fatayat NU dua periode tahun 2000-2005 dan 2005-2010, serta Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2010-2012. Ia termasuk anggota Tim Pengarah World Population Foundation (WPF) Indonesia untuk pembuatan Modul Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Berbasis Teknologi “DAKU” (Dunia Remajaku Seru!) pada tahun 2005-2008. Ia juga termasuk dalam panitia Ahli Bidang Advokasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) periode 2006-2010. Saat ini Maria menjabat sebagai komisioner Komnas Perempuan tahun 2020-2024.
Maria terlibat di dalam KUPI sejak Pra KUPI hingga paska KUPI. Keterlibatannya ini tak lepas dari peran aktifnya di dalam dua organisasi penyelenggara KUPI selain Fahmina, yaitu Alimat dan Rahima. Sebelum KUPI digelar, Maria saat itu menjabat sebagai Sekjen Alimat. Alimat merupakan lembaga konsorsium dari beberapa lembaga keagamaan, ormas keagamaan dan organisasi perempuan, yang kelahirannya dibidani oleh Komnas Perempuan. Ia juga beberapa kali terlibat di dalam program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) yang diselenggarakan oleh Rahima sebagai fasilitator. Jauh sebelum pelaksanaan KUPI, sebenarnya sudah ada gagasan untuk membentuk satu wadah pertemuan bagi ulama perempuan, terutama di kalangan Rahima.
Riwayat Hidup
Maria berasal dari keluarga petani. Aktivitas sehari-hari Ayahnya mengelola tajug atau mushala dan mengajar di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Yapin Kertasemaya. Ketika sudah sepuh, Ayahnya hanya mengurus tajug dan pengajian bapak-bapak. Sementara Ibu Maria, sewaktu muda ia berkeliling mengaji dari majelis taklim satu ke majelis taklim yang lain. Maria menempuh Pendidikan Dasar di SDN Kertasemaya, bersamaan dengan sekolah di Madrasah Diniyyah di Tulung Agung, Kertasemaya Indramayu. Ia melanjutkan sekolah ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) sambil nyantri di pesantren Darul Tauhid Arjawinangun, Cirebon. Sementara pendidikan Madrasah Aliyah ia selesaikan di Pesantren Al Muayyad, Surakarta. Di sanalah ia aktif dalam organisasi kader untuk perempuan NU, yaitu IPPNU cabang Solo. Lulus dari Solo, Maria pun pergi ke Jakarta untuk melanjutkan studinya di Fakultas Syariah di Institut Ilmu al Qur’an (IIQ) Jakarta. Semasa kuliah, ia aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan sempat masuk di jajaran pengurus besar PMII. Selesai S1, ia sempat mengajar di SMA dan MA Al-Muhlisin di Parung Bogor.
Maria mengawali kariernya sebagai dosen di IIQ sampai tahun 2018. Pada tahun 2019, ia diminta mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta. Saat ini Maria mendapat amanat sebagai Kepala Program Studi S3 Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Sementara untuk karier organisasi, Maria aktif di beberapa organisasi berikut: IPPNU cabang Solo, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), PP Fatayat NU sebagai Litbang (1990-1995), Ketua IV yang membidangi ekonomi dan litbang (1995-2000), Ketua Umum PP Fatayat NU (2000-2005), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Pengganti Antar Waktu (PAW) (2007-2009) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Staff khusus Menteri Koordinator kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia untuk Pemberdayaan Perempuan dan Anak (2004-2005), Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI), periode 2009.
Tokoh Dan Keulamaan Perempuan
Maria memainkan peran penting di dalam kelahiran KUPI. Kebetulan waktu itu, Fatayat NU juga mempunyai program penguatan hak-hak perempuan. Untuk membangun keberlanjutan dan solidaritas antaralumni, Fatayat NU melakukan pertemuan rutin untuk mendiskusikan masalah-masalah yang ditemui teman-teman di daerah dan mencarikan solusinya. Pola itu menurut Maria hampir sama dengan alumni program PUP. Jadi para ulama perempuan yang sudah dilatih itu juga membutuhkan forum perjumpaan secara regular agar bisa menyelesaikan masalah-masalah sosial yang mereka hadapi. Apalagi, kader ulama perempuan Rahima sudah bertambah dan banyak tersebar di beberapa daerah, ditambah dengan simpul-simpul ulama perempuan yang bergerak sendiri dan terwadahi di beberapa lembaga. Sehingga, perlu ada forum untuk memfasilitasi perjumpaan mereka.
Pada saat itu, pertama kali yang disepakati adalah soal perspektif. Bahwa ulama perempuan adalah mereka yang mempunyai perspektif gender, memahami teks dan konteks, dan selama ini sudah memiliki pengalaman untuk mengimplementasikannya. Setelah itu, penyelenggaraan KUPI pertama disepakati. Persiapan KUPI sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2015, melalui Pra Kongres dan kegiatan-kegiatan di beberapa daerah untuk menjaring isu dan persoalan yang dihadapi oleh teman-teman di daerah. Isu dan persoalan itu lalu diidentifikasi dan disepakati menjadi agenda KUPI 2017.
Di dalam KUPI, berlangsung pembahasan 3 isu besar, yaitu bagaimana mencegah perkawinan anak, penghapusan kekerasan seksual, dan perusakan lingkungan. Dari ketiga isu tersebut, Maria bertanggung jawab dengan konten pencegahan perkawinan anak bersama anggota tim yang lain. Tim tersebut merumuskan draft usulan yang dibahas di dalam KUPI, dengan argumentasi baik yang berdasarkan teks keagamaan maupun hasil penelitian. Secara kebetulan pada tahun 2015, Maria melakukan literature review terkait perkawinan anak dan dampaknya pada kesehatan reproduksi. Hasil penelitian itu digunakan sebagai argumentasi di dalam usulan tentang pentingnya upaya penghentian perkawinan anak. Saat musyawarah keagamaan KUPI, Maria ikut mengawal dengan menjadi pimpinan sidang pembahasan Pencegahan Perkawinan Anak.
Paska KUPI, banyak daerah yang meminta penjelasan terkait KUPI karena istilah ulama perempuan memang belum terdengar familiar. Penggunaan istilah ulama perempuan, satu sisi bisa jadi mengagetkan sebagian kalangan, namun di sisi yang lain menggembirakan kalangan yang lain. Maria lalu melakukan sosialisasi hasil KUPI di forum-forum, termasuk di beberapa Ma’had Aly di pesantren, antara lain di Malang dan Brebes.
Maria sudah lama bergelut dengan isu dan persoalan perkawinan anak. Ia sering mengusulkan di beberapa kali kesempatan rapat tingkat kementerian bahwa perkawinan anak harus menjadi indikator keberhasilan pembangunan, mulai dari tingkat desa hingga nasional. Antara tahun 2016–2018, Maria bekerja sebagai verifikator kota layak anak. Karena pengalaman ini, usulan Maria dengan mudah diterima oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa perkawinan anak menjadi indikator kota layak anak di tingkat kabupaten. Indikator ini kemudian disepakati juga di semua kota yang sudah mendaftarkan diri menjadi kota layak anak.
Masih di tahun yang sama, Maria juga diminta oleh Bappenas untuk menjadi konsultan nasional dalam penyusunan rencana strategis pencegahan perkawinan anak. Ia menggunakan literature review sebagai landasan akademik, sementara untuk landasan keagamaannya menggunakan keputusan KUPI. Perencanaan itu dikuatkan juga dengan strategi nasional yang diputuskan bersama dengan kementerian dan lembaga terkait. Sehingga paska KUPI, Indonesia telah mempunyai strategi nasional pencegahan perkawinan anak yang disusun dan dikeluarkan oleh Bappenas, dan digunakan oleh seluruh kementerian dan lembaga terkait di tingkat nasional.
Menurut Maria, tantangan yang dihadapi KUPI, pertama masih banyak kalangan yang menganggap bahwa ulama itu harus laki-laki, maka ketika KUPI memperkenalkan istilah ulama perempuan, khalayak masih menerka-nerka. Di dalam beberapa pertemuan juga menjadi bahan pembicaraan, misalnya, mengapa harus ada Kongres Ulama Perempuan Indonesia, bukankah sudah ada MUI? Tetapi kemudian dijelaskan bahwa KUPI bukan sekadar untuk berkumpul dan sekadar membahas masalah tertentu. Lalu muncul pertanyaan lagi, mengapa tidak menggunakan lembaga yang sudah ada, seperti MUI? Bukankan perempuan juga bisa masuk MUI? Maria mencoba menjelaskan bahwa di dalam KUPI ada hal lain yang selama ini belum disentuh, yang pertama adalah soal perspektif.
Kedua, seluruh gagasan KUPI menggunakan perspektif gender, atau mubadalah yang digagaskan oleh Kiai Faqihuddin Abdul Kodir. Jadi, selain keadilan gender, KUPI tidak memisahkan paradigm ilmu fikih dengan ilmu-ilmu yang lain. KUPI tidak membedakan antara ilmu yang berbasis agama dengan ilmu yang berbasis umum. Ini menjadi landasan bahwa siapa pun yang memiliki ilmu bisa disebut sebagai ulama, apa pun disiplin ilmunya. Itu perbedaan mendasar penamaan ulama antara MUI dengan KUPI. Kalau MUI menamakan ulama sebagai ahli agama, di luar itu tidak disebut ulama. Sementara KUPI, mereka yang menguasai disiplin ilmu apa pun bisa menjadi ulama. Karena mereka ahli ilmu, apa pun ilmunya.
Ketiga, MUI dan KUPI berbeda dalam soal maraji’ atau referensi di dalam membahas persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Di dalam KUPI, persoalan keagamaan atau sosial kemanusiaan dibedah dengan menggunakan berbagai perspektif. Perspektif keagamaan KUPI menggunakan rujukan-rujukan yang bersumber dari Al-Qur’an, hadits, dan pandangan para ulama dari kitab-kitab dan literatur-literatur yang lain. Dilengkapi dengan perspektif yang lain, termasuk konstitusi nasional dan internasional yang menjadi dasar pertimbangan untuk merumuskan pandangan keagamaan KUPI.
Setelah pelaksanaan KUPI, Maria merasa bahagia melihat respon positif dari masyarakat. Tidak ada yang menolak keputusan-keputusan KUPI terkait tiga isu besar tersebut. Selain mengenai tiga isu, KUPI juga menggelar diskusi parallel yang membahas 6 tema, di antaranya tentang ekstremisme dan pekerja migran. Menurut Maria, tidak adanya reaksi penolakan ini merupakan satu bentuk capaian gerakan KUPI paska kongres.
Keberhasilan ini tak luput dari banyaknya bantuan dan dukungan dari beberapa ormas besar, seperti NU, Muhammadiyah, dan sejumlah pesantren. Bahkan, Wakil Presiden pada waktu itu, Jusuf Kalla juga memberikan dukungan. Bantuan dan dukungan semacam ini merupakan peluang yang bisa dijaga untuk kesuksesan gerakan KUPI.
Maria berpendapat bahwa kekuatan ekstremisme masih menjadi tantangan KUPI ke depan, yaitu bagaimana melunakkan kelompok ini tanpa harus mengubah keragaman. Pekerjaan rumahnya adalah untuk lebih memahami konteks dakwah mereka dan bisa berdakwah bersama-sama memperkenalkan Islam yang ramah; bagaimana agar tidak mempertentangkan antara keagamaan dan kebangsaan karena posisi kita sama-sama ada di Indonesia dan patuh pada konstitusi dan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Penghargaan Dan Prestasi
Beberapa penghargaan yang Maria raih adalah Saparinah Sadli Award untuk penelitian “Fikih Aborsi untuk Pemberdayaan Hak dan Kesehatan Reproduksi", pada tahun 2004. Pada tahun 2005 pernah dinobatkan sebagai Women of the Year dari ANTV Award kategori gender dan sosial.
Karya-Karya
- Parenting with Love: Panduan Islami Mendidik Anak Penuh Cinta dan Kasih Sayang, diterbitkan oleh Mizan Pustaka, Bandung, 2010.
- Islam and Gender in Contemporary Indonesia: Public Discourses on Duties, Rights and Morality, co-author bersama Sally White, ISEAS Publishing, 2008.
- “Tantangan Kepemimpinan Perempuan di Tingkat Lokal”, di dalam Yinyang Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 3 No. 1 (2008). http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/view/189
- Memutus Rantai Ketidakadilan Global Care Dalam Pengasuhan Anak Tenaga Kerja Perempuan Indonesia: Studi Pengasuhan anak TKI Perempuan pada Pesantren di Indramayu, diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2017.
- “Contribution of Indonesian Women Migrant Workers (TKIP) to Child Welfare”, di dalam Jurnal Perempuan Vol. 22 No. 3 (2017). http://indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/article/view/196
- “Girls’ Vulnerability in Child-Marriage”, di dalam Jurnal Perempuan, Vol. 1 No. 21 (2016) http://www.indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/article/view/4
- “Status of Girls under International Covenants: a Study of Advocacy of Child-Marriage”, di dalam Jurnal Perempuan No. 20 Vo. 2 (2015). http://www.indonesianfeministjournal.org/index.php/IFJ/article/view/32
- “Mengakhiri Perkawinan Anak Perempuan: Antara Konvenan Internasional dan Advokasi yang Belum Berakhir,” disampaikan pada Lokakarya tentang Perkawinan Anak di Indonesia, Kajian Gender Universitas Indonesia, bekerjasama dengan Leiden University, Jakarta 9-10 Juni 2015.
- “Fikih Aborsi Alternatif untuk Penguatan Hak Reproduksi Perempuan di Indonesia”, Program Kajian Wanita, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2004.
- “Wacana Politik Perempuan Pesantren”, Fahmina Institut, 2006.
- Apa Kata Kyai dan Nyai Tentang Aborsi: Edisi Karikatur, diterbitkan oleh Yayasan Mitra Inti, 2004.
- Pengasuhan Anak dalam Perspektif Gender, diterbitkan oleh LKAJ dan Gramedia, 2004.
- “Fundamentalisme Agama dan Dampaknya terhadap Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas”, penelitian bersama.
Penulis | : | Zahra Amin |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |