Lies Marcoes
Lies Marcoes adalah konsultan, peneliti, dan pakar gender. Saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB).
Perempuan yang lahir pada 17 Februari 1958 ini termasuk aktivis perempuan senior yang mengawali gerakan advokasi keadilan gender yang menjadi cikal-bakal lahirnya gerakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Ia adalah guru gender bagi tokoh-tokoh KUPI, seperti KH. Husein Muhammad, Dr. Nur Rofiah, dan AD Eridani.
Pada penyelenggaraan KUPI 2017, Lies Marcoes terlibat aktif dalam persiapan, pelaksanaan, dan paska kongres. Ia terlibat dalam pertemuan untuk merumuskan metodologi musyawarah keagamaan KUPI dan pertemuan-pertemuan penting lainnya. Dalam struktur organisasi kepanitian KUPI, ia bertanggung jawab pada Divisi Kerja Kongres. Bersama dengan Kathryn Robinson dan tim peneliti Rumah KitaB, ia membahas topik “Perlindungan anak dari pernikahan dalam perspektif ulama perempuan” dalam rangkaian diskusi parallel perhelatan KUPI. Ia dengan aktif menyuarakan kampanye larangan perkawinan anak, salah satu isu utama dalam diskusi dan fatwa KUPI, yang memang sudah menjadi concernnya bersama dengan Rumah KitaB.
Riwayat Hidup
Lies Marcoes lahir sebagai anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ibunya adalah anggota Aisyiyah, sayap perempuan dari organisasi Muslim modernis Muhammadiyah. Ayahnya adalah tokoh agama dan tokoh masyarakat di Kota Banjar.
Lies masuk IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN) pada 1978. Ia menyelesaikan pendidikan strata satunya (1984) pada Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan memperoleh gelar Master (2000) di bidang Antropologi Kesehatan dari University of Amsterdam, Belanda.
Pada saat Lies mengenyam pendidikan di IAIN, ilmu pengetahuan sedang populer dengan munculnya penerbit LP3ES yang menerbitkan buku-buku sosial kritis. Saat itu, Lies juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan terlibat dalam kelompok diskusi bersama Cak Nur dan Azyumardi Azra. Ismed Natsir—yang kemudian menjadi suaminya—mengenalkan bacaan kritis kepada Lies, seperti Piramida Kurban Manusia, The Asian Drama, atau buku-buku terbitan British Council, dan Majalah Prisma. Lies mengaku pada saat itu kemampuan bahasa Inggrisnya masih terbatas, tetapi Ismed yang memiliki kecakapan Bahasa Inggris membantunya memahami bacaan tersebut. Tak jarang, Ismed juga menjelaskan gagasan atau buku tertentu kepada Lies, misalnya gagasan double movement-nya Fazlur Rahman.
Perkenalan Lies dengan isu perempuan terjadi Ketika ia bertemu dengan Martin van Bruinessen saat melakukan riset tentang satu tarekat di salah satu kota di Jawa Barat. Lies menyebut beberapa nama yang berjasa membentuk dirinya dalam memahami isu perempuan, seperti Saskia Wieringa, Mies Grijns, Ratna Saptari, Julia Suryakusuma—yang mengenalkan Lies pada pemikiran Fatima Mernissi, dan Wardah Hafidz—yang mengenalkan referensi tentang feminis Muslim.
Lies pernah bekerja di Yayasan Kalyanamitra, lalu bekerja di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Setelah bekerja sebagai peneliti lepas untuk isu kemiskinan dan energi (2001), Lies bergabung dengan The Asia Foundation (2002- 2012). Pada 2013, bersama dengan para tokoh, Lies mendirikan sebuah lembaga riset bernama Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB).
Saat ini Lies tinggal di Bogor dengan beragam aktivitas. Selain menjadi Direktur Eksekutif Rumah KitaB, perempuan ahli gender ini juga aktif menjadi peneliti, penulis konsultan independen, fasilitator pelatihan gender, kesehatan reproduksi, keluarga berencana, dan gender dalam Islam.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Pada saat bergabung dengan P3M, Lies dan koleganya “sowan” ke pesantren-pesantren untuk berdialog dengan para pemimpin dan pengajar di pesantren mengenai Islam dan gender. Saat itu, Lies masuk melalui sebuah program bernama Fiqh an-Nisa—satu unit di bawah P3M yang konsen pada isu reproduksi perempuan. Dari kerja-kerja dalam mendialogkan gagasan tentang Islam dan gender itu, menurut Nong Dara Afiah, Lies merupakan sebagai salah satu tokoh penting feminis Muslim Indonesia. Menurut Lies, konvergensi gagasan Islam dan gender adalah mempertemukan metodologi atau alat untuk melakukan kajian.
Saat bicara tentang terminologi feminisme yang saat ini masih diperdebatkan, Lies mengingatkan bahwa saat ini ilmu pengetahuan perlu menggunakan satu kata yang solid untuk menjelaskan tentang sebuah kesadaran kritis tentang ketertindasan perempuan yang disebabkan oleh prasangka, stigma, dan stereotip yang dibangun oleh macam-macam elemen—antara lain agama. Dan kata itu adalah feminisme.
Karena feminisme adalah sebuah gagasan yang generik, menurut Lies, penting bagi penggiat isu perempuan di Indonesia untuk tidak mengadopsinya begitu saja. Feminisme harus terus didialogkan dengan konteks masyarakat Indonesia yang telah memiliki akar tradisi dan pemahaman keagamaan yang menempatkan sebagai subordinat. Indonesia dan masyarakatnya bukanlah ruang kosong, sehingga pada awal gagasan feminisme masuk di Indonesia, para penggiat isu perempuan mengalami pergulatan batin. Semula subordinasi perempuan tidak dipersoalkan, tetapi feminisme kemudian membawa pertanyaan-pertanyaan kritis atas realitas.
Lies memberikan contoh bagaimana penggiat isu perempuan berdialog dengan kitab Uqudullujain. Meskipun di dalam kitab tersebut banyak hal yang tidak disepakati, tidak lantas kitab itu disingkirkan begitu saja, karena telah dikaji selama bertahun-tahun di pesantren-pesantren di Indonesia. Tetapi, kitab Uqudullujain diberi pemaknaan baru dengan menggunakan kacamata feminis.
Bagi Lies, kacamata feminis penting karena kacamata atau alat analisis yang ada tidak cukup lengkap atau lumpuh dalam melihat ketertindasan perempuan. Misalnya dalam persoalan kawin Anak. Menurut Lies, masalah perkawinan anak selama ini kerap dibaca menurut kacamata hukum. Padahal, ia menilai aspek hukum hanya puncak persoalan sedangkan problem lain yang justru menjadi penyebab utama tak ditangani.
Bersama dengan Rumah KitaB, Lies melakukan serangkaian riset menelusuri akar persoalan kawin anak. Akar dari masalah kawin anak menurut Lies adalah menyempitnya ruang hidup yang menyebabkan perbedaan akses laki-laki dan perempuan, sehingga memunculkan problem yang besar bagi perempuan. Dengan berbekal riset tersebut, ia aktif melakukan advokasi tentang pencegahan kawin anak. Advokasi yang dilakukan oleh Lies dan Rumah KitaB sejalan dengan salah satu dari tiga fatwa yang dikeluarkan oleh KUPI.
Bagi Lies, KUPI berhasil mendialogkan teks dan realitas, sehingga menjadi kekuatan. KUPI juga menebalkan lapis-lapis civil society di dalam gerakan perempuan di Indonesia—sesuatu yang tidak pernah berhasil dilakukan di negara-negara Islam lain. Menurut Lies, hanya Indonesia yang melahirkan feminis Muslim karena memiliki civil society, seperti NU dan Muhammadiyah.
Menurut Lies, menggunakan kacatama feminis dalam setiap melihat teks dan konteks dan mencatat pengetahuan dan pengalaman perempuan adalah sebuah jihad supaya tak hilang ditelan sejarah dan sebagai alat untuk melawan narasi tunggal (single story).
Lies berkali-kali mengatakan bahwa narasi tunggal sangatlah berbahaya karena berpotensi untuk melahirkan stereotip. Ia memberikan permisalan tentang narasi tunggal dalam memahami Al-Quran. Sebegitu banyak ayat dan surat di dalam Al-Quran, tetapi sayangnya ketika membahas tentang perempuan yang dikutip hanya empat hal saja; aurat, boleh dipukul saat sedang nusyuz, boleh dipoligami, dan bagian warisan. Menurut Lies, empat ayat tersebut menunjukkan tentang subordinasi perempuan yang kuat sekali.
Sedangkan pada sisi yang lain, ketika Lies merefleksikannya pada kehidupan, ia melihat ibunya sebagai breadwinner (pencari nafkah) yang mencukupi seluruh kebutuhan keluarga, termasuk kebutuhan sekolah Lies dan saudara-saudaranya. Sementara Lies melihat ayahnya berperan sebagai goodfather yang dihormati karena posisinya sebagai tokoh. Ayahnya menikmati patriarki dengan menggunakan privilege dan warisan yang cukup untuk hidup, padahal sesungguhnya pendukung utamanya adalah ibunya. Ketika ibunya meninggal, terlihat bahwa ayahnya tidak memiliki apa-apa. Jadi, kewajiban ayahnya sebagai suami ternyata tidak dipenuhi karena semuanya dibayar oleh ibunya.
Menurut Lies, narasi tunggal mengenai perempuan dalam Islam yang bertabrakan dengan realitas-realitas melahirkan pergulatan—sebuah pencarian lahir batin. Pergulatan itu menjadi arah bagi Lies, dan dari sinilah titik berangkat mengapa Lies tertarik dengan isu perempuan.
Selama menjadi aktivis perempuan, Lies merasa wajar jika dalam perjalanannya ada dinamika. Sembari mengutip Romo Magnis Suseno, Lies mengatakan bahwa dinamika dapat menumbuhkan semangat. Oleh karena itu, Lies melihat tantangan yang dihadapi oleh gerakan perempuan sebagai sesuatu yang wajar. Kadang memang membosankan, kata Lies, karena harus berjibaku dengan isu atau persoalan yang sudah lama dibahas pada masa Orde Baru, tetapi harus dibuka kembali pada saat ini, misalnya tentang isu kesehatan reproduksi.
Kebanggaan bagi Lies adalah ketika mampu bisa "memberi" dan bermanfaat kepada yang lain lebih banyak. Ia selalu merasa sedih jika tak mampu berbuat apa-apa ketika melihat ketidakberdayaan. Pada satu waktu setelah menyelesaikan satu undangan fasilitasi, Lies tak sengaja bertemu seorang perempuan yang tengah bingung di bandara. Lies kemudian menyapa perempuan itu dan mendapatkan informasi bahwa si perempuan ingin pulang ke salah satu kota di Indonesia Timur. Perempuan itu memegang beberapa lembar uang yang digulung-gulung. Melihat itu, jiwa Lies langsung bergerak. Ia kemudian lari menuju salah satu loket penjualan tiket. Membelikan satu kursi pesawat untuk perempuan yang baru ia temui, meskipun uang yang ada di rekeningnya saat itu tak banyak. Hal demikianlah yang mampu membuat Lies lega dan mantap untuk berjalan di dalam perjuangan perempuan.
Penghargaan dan Prestasi
Pada tahun 2019, Lies bersama lembaga yang dipimpinnya pernah mendapatkan penghargaan "Hän Honours" dari pemerintah Finlandia. Penghargaan itu diberikan karena kerja-kerja Lies dan Rumah KitaB dalam upaya mempromosikan kesetaraan di Indonesia.
Karya-Karya
Sejak masih remaja, Lies aktif menulis di berbagai media. Lies adalah sedikit dari aktivis perempuan yang produktif berkarya. Keresahannya melihat realitas, refleksinya atas gagasan-gagasan, ataupun hasil riset, ia tuangkan ke dalam tulisan. Tulisan Lies mengenai perempuan mudah dijumpai di media online atau offline, seperti Kompas, Tempo, The Jakarta Post, dan banyak lainnya. Ia bahkan memiliki rubrik khusus pada website Rumah KitaB yang diberi nama Merebut Tafsir. Rubrik ini merupakan refleksi Lies atas berbagai persoalan yang sedang terjadi di Indonesia, terutama dengan menggunakan kacamata feminis. Rubrik ini juga satu upaya Lies untuk melawan narasi tunggal.
Selain itu, Lies juga aktif melakukan penelitian dengan pendekatan feminis. Pada 1986- 1987, bersama Martin van Bruinessen, Lies terlibat dalam penelitian tentang “Pandangan Hidup Ulama Indonesia” yang dipublikasikan dalam buku Women and Mediation (Leiden Universitas, 1988).
Baru-baru ini, ia memimpin penelitian tentang perempuan dan kelompok fundamentalis. Penelitian itu, menurut Lies, telah menyumbangkan gagasan baru tentang definisi kekerasan ekstrem. Menurut Lies, selama ini kekerasan ekstrem hanya dimaknai sebagai kematian raga, tetapi lebih dari itu, ada kekerasan bersifat nonfisisk yang daya rusaknya melebihi ledakan bom yang mengancam kebebasan berpikir dan kemerdekaan perempuan.
Berikut di antara buku-buku yang pernah ditulis oleh Lies:
- Merebut Tafsir (Amongkarta, 2021)
- Berlayar Tanpa Berlabuh (Rumah KitaB, 2016)
- Menolak Tumbang (Rumah KitaB, 2017)
Bahan Bacaan Lanjutan
Kiprah dan gagasan Lies bisa dibaca lebih lanjut di sini:
- Nindias Nur Khalika, Lies Marcoes: Aktivis Perempuan Islam yang Peduli Kesetaraan Gender, https://tirto.id/cL45https://tirto.id/lies-marcoes-aktivis-perempuan-islam-yang-peduli-kesetaraan-gender-cL45
- Neni Muthiatul Awwaliah, Lies Marcoes Natsir, Pakar Islam dan Gender Indonesia, https://rahma.id/lies-marcoes-natsir-pakar-islam-dan-gender-indonesia/
- Gagasan dan pendapat Lies di Kompas bisa diakses di sini https://www.kompas.id/label/lies-marcoes
Penulis | : | Nur Hayati Aida |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |