KUPI: Wadah Konsolidasi Ulama Perempuan
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama yang dilaksanakan pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon telah berhasil mengikis praduga banyak pihak, bahwa Kongres ini diselenggarakan sebagai bentuk fasilitasi kaum intelektual perempuan Islam yang kata rumornya karena tidak terakomodasi dalam struktur Majlis Ulama Indonesia (MUI). Sejak awal, satu bulan sebelum berlangsungnya KUPI, panitia sudah mensosialisasikan bahwa perhelatan akbar ini tidak untuk “memilih orang” atau tidak sama dengan lazimnya Kongres organisasi yang sangat politis dengan lahirnya elit politik. Komitmen panitia yang dimotori tiga organisasi yakni ALIMAT, FAHMINA dan RAHIMA (ALFARA) terhadap ruang perjumpaan ulama perempuan nampak dalam Term Of Reference dan jadwal kegiatan yang telah disiarkan kepada publik melalui media sosial, wabsite dan liputan berita.
Saat pendaftaran KUPI yang dipublis melalui website, sebanyak 1.270 orang mendaftar dari seluruh Indonesia. Antusiasme kaum intelektual mendaftarkan diri menjadi peserta karena terbentuk kesadaran akan pentingnya jaringan ulama perempuan yang selama ini nyaris “tidak dianggap”. Masyarakat umum memiliki pemahaman bahwa term “ulama” itu seakan-akan hanya untuk “laki-laki” dan akhirnya mengesampingkan posisi dan peran ulama perempuan dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, gerakan perempuan Islam selama ini mengkooptasikan diri dalam gerakan yang parsial seperti misalnya kelompok agamawan yang terdiri dari ustadzah menyibukkan diri dengan aktivitas dakwah bil lisannya. Kelompok kampus sibuk dengan aktivitas penelitiannya dan aktor LSM memfokuskan diri dalam gerakan pemberdayaan. Masing-masing kelompok tersebut di satu sisi sama-sama menjadikan agama sebagai sumber dan inspirasi gerakan namun di sini lain, mereka bergerak sendiri-sendiri. KUPI menyatukan tiga kelompok ini.
Apa urgensinya KUPI bagi pergerakan perempuan Islam? Pengalaman penulis sebagai peserta KUPI, setidaknya terdapat dua manfaat yang diperoleh oleh peserta dan pengamat selama berlangsungnya acara yakni; Konsolidasi Gerakan Ulama Perempuan dan Penguatan Metodologi Ulama Perempuan.
Konsolidasi Gerakan Ulama Perempuan
KUPI di Cirebon, tanpa disadari telah menyatukan banyak ulama perempuan dari berbagai daerah, yang dulunya pernah punya kesejarahan sama dalam berproses di pesantren, memiliki guru yang sama dan ilmu yang juga sama. KUPI juga menyatukan para mantan aktivis mahasiswa Islam dari berbagai perguruan tinggi yang kini menyebar di seluruh Indonesia.
Suasana heroik terjadi di antara peserta karena perhelatan KUPI ini menjadi semacam konsolidasi gerakan ulama perempuan di nusantara. Para peserta yang telah berpisah selama 20-an tahun, bahkan ada juga yang lebih dari 40 tahun lamanya seperti Ibu Nyai Lilik Cholidah (Pengasuh Pesantren al-Hikmah dan Ketua STAI Badrus Sholeh Kediri Jatim) dengan Ibu Fadhilah Suralaga (Wakil Rektor UIN Jakarta) yang dulunya sama-sama aktif dalam pengkaderan organisasi mahasiswa.
Konsolidasi gerakan ulama perempuan ini mengingatkan kita pada konsolidasi gerakan perempuan pada perhelatan Kongres Perempuan pertama pada 22 Desember 1928 di Jogjakarta. Pada masa itu, sebanyak 30 perkumpulan perempuan membahas masalah-masalah krusial tentang kehidupan perempuan. Masalah yang paling menonjol yang dibahas saat itu adalah soal nikah anak, yang kini juga masih menjadi permasalahan dengan penyebab yang lebih kompleks. Bertemunya para ulama perempuan mirip dengan Kongres Perempuan pertama dan juga mirip reuni akbar.
Bertemunya para ulama perempuan yang dulunya punya kesamaan sejarah baik di pesantren, perguruan tinggi dan organisasi pada momen KUPI ini, tak pernah lewatkan untuk curhat gerakan. Istilah ngetren-nya menjadi ajang “curcol (curhat colongan)” karena bentuknya yang non formal dan tidak ada dalam daftar kegiatan yang telah terjadwalkan oleh panitia. Sesi seperti ini, dibahas di sela-sela aktivitas dalam kamar pondok, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Banyak tema menarik didiskusikan, mulai dari perjalanan hidup, apa saja yang telah dilakukan selama lost kontak di antara satu sama lain.
Pengalaman yang berbeda dari masing-masing peserta selain menambah khazanah pengetahuan, juga telah berhasil mentransformasi ide dan gerakan yang mungkin masalahnya sama, namun metode penyelesaiannya berbeda. Suasana diskusi informal di antara peserta nampak hangat dan harmonis yang kita temui di pojok-pojok pesantren, sembari sarapan atau sambil menunggu antrian mandi, ini dalam pandangan penulis dapat terjadi karena di antara peserta telah terjalin hubungan emosional. KUPI telah berhasil mengkonsolidasikan hubungan emosional tersebut.
Penguatan Metodologi Ulama Perempuan
Beragamnya peserta KUPI di Cirebon, membawa dampak positif bagi peserta dalam pengkayaan wawasan dalam melihat permasalahan perempuan dan anak. Bagi Nyai Pesantren yang sehari-harinya berinteraksi dengan santri, tentu memiliki tantangan permasalahan yang berbeda dengan aktivis LSM yang banyak berinteraksi dengan korban yang masalahnya lebih complicated. Pun demikian bagi akademisi kampus yang banyak berinteraksi dengan literasi dan penelitian ilmiah.
Perjumpaan KUPI Cirebon membawa dampak yang besar dalam penanaman kepercayaan diri peserta yang hadir. Bahwa ada semacam pengakuan, bahwa mereka adalah ulama jika memenuhi prasyarat antara lain beriman kepada Allah atau takut kepada Allah, berakhkal mulia, menegakkan keadilan dan mengabdikan hidupnya buat sesama. Kriteria ulama ini menarik, karena pada point terakhir itu justru banyak dilakukan oleh para aktivis atau LSM yakni mengabdikan hidupnya untuk kemanusiaan. Jika ini syaratnya, berarti selama ini bangsa Indonesia memiliki banyak ulama perempuan. Sayangnya mereka tidak pernah dibahas perannya, di tuliskan dan diajarkan pemikirannya di sekolah-sekolah. Lebih miris lagi, ajaran ulama perempuan di masa silam banyak ditulis oleh laki-laki dan kemudian diakui sebagai karya ulama laki-laki.
Bagi peserta yang berlatar belakang aktivis LSM dan tidak mengetahui sama sekali tentang ushul fiqh misalnya dialami penulis. KUPI telah membuka cakrawala baru tentang metodologi para ulama perempuan. KUPI mengantarkan peserta yang berlatar belakang LSM memiliki pengetahuan baru tentang apa itu maqashid syari’ah. Bahwa dalam proses pembuatan hukum Islam, harus mempertimbangkan kemaslahatan dan meninggalkan hal yang mudharat. Dalam Islam, Negara wajib melindungi dan menjamin hak-hak warga Negara, termasuk hak korban. Istilah fiqhnya adalah adh dharuriyyatul khams yakni lima hak mendasar manusia di muka bumi antara lain agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.
Mengambil contoh dari fenomena kekerasan seksual seperti yang terjadi pada kasus pemerkosaan, hal tersebut jelas hukumnya berbeda dengan zina. Korban pemerkosaan secara hukum Islam, beda dengan pelaku zina. Negara harus memberikan perlindungan kepada korban sebagai warga Negara. Bukan sebaliknya, selama ini dalam banyak kasus, Negara terkesan melakukan pembiaran dengan mencabut hak-hak korban atas pendidikan dan hak anak lainnya.
KUPI Cirebon telah membawa peserta pada perjumpaan teks dan metodologi yang membawa Islam berpihak kepada perempuan dan anak. Selama ini teks dan metodologi hanya didominasi oleh kepentingan maskulin. KUPI mengenalkan kepada peserta bagaimana secara operasional menggunakan metodologi tafsir, hadits, fiqh berperspektif keadilan subtantif bagi laki-laki dan perempuan. Dengan metodologi ini, penulis melihat ada harapan di masa depan adanya teroboson baru penafsiran dan penentuan hukum Islam yang tidak menyalahkan perempuan karena sesungguhnya Islam sangat memuliakan perempuan***
Penulis: Susianah Affandy (Wakil Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU)
Jakarta, 7 Mei 2017