Istiqra Pengalaman Perempuan

Dari Kupipedia
Revisi per 1 Oktober 2023 14.02 oleh Agus Munawir (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '''Oleh: Faqihuddin Abdul Kodri'' Dalam disiplin ''fiqh'' dan ''ushûlul fiqh'' kita mengenal metode ''istiqrâ'', penelitian berbasis pengalaman. Penelitian induktif...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Oleh: Faqihuddin Abdul Kodri

Dalam disiplin fiqh dan ushûlul fiqh kita mengenal metode istiqrâ, penelitian berbasis pengalaman. Penelitian induktif bisa digunakan untuk menemukan logika hukum (‘illah) dalam teks-teks sumber, memperkuat metode penetapan hukum yang sedang bekerja (istinbâth al-ahkâm), atau langsung untuk menetapkan sebuah hukum. Dalam mazhab Syafi’i dipopulerkan kisah bahwa Imam Syafi’i sendiri, sebagai peletak dasar-dasar mazhab ini, telah menggunakan metode istiqrâ untuk fiqh terkait haid atau menstruasi.

Dalam merumuskan fiqh haid ini, Imam Syafi’i bertanya terlebih dahulu kepada para perempuan tentang pengalaman mereka terkait menstruasi yang dialami. Sayangnya, metode ini tidak ada yang mengembangkan lebih lanjut. Jangankan untuk masalah-masalah kehidupan yang lebih luas dan kompleks yang dihadapi perempuan, bahkan untuk masalah menstruasi pun, fiqh kita tidak memverifikasi dan merujuk pada pengalaman-pengalaman perempuan yang terus berkembang dan beragam.

Kita tahu, ilmu pengetahuan terkait anatomi tubuh dan temuan-temuan medis terkait reproduksi perempuan berkembang begitu pesat. Tetapi, fiqh haid kita masih merujuk pada detail pandangan ulama yang begitu kompleks, yang entah masih valid kah jika dirujukkan pada ilmu biologi anatomi tubuh, temuan medis, dan terutama pengalaman nyata perempuan. Dampak dari penggunaan alat kontrasepsi hormonal misalnya, banyak perempuan yang mengalami kekacauan daur menstruasi, kesakitan secara fisik, dan tekanan mental.

Jika pengalaman-pengalaman ini dijawab dengan pandangan fiqh mazhab Syafi’i –misalnya sebagaimana tertulis dalam Risâlah al-Mahîdl-- justru akan membingungkan dan menyulitkan para perempuan. Alih-alih meringankan dan memudahkan, karena perempuan sedang sakit menstruasi, sebagaimana itu prinsip syari’at Islam, fiqh haid yang ada malah memberi beban berat, yang sulit ditanggung kebanyakan perempuan. Kesulitan ini akan dialami perempuan setiap bulan dan sepanjang hidup mereka. Jadi, perempuan yang mengalami masalah menstruasi, tidak saja memperoleh tekanan fisik dan psikis, tetapi juga ketika beragama.

Untuk itu, kita perlu menghidupkan kembali metode istiqrâ` ini, yang telah diawali Imam Syafi’i rahimahullâhu ta’âlâ. Tidak hanya urusan menstruasi, tetapi seluruh kehidupan yang dialami perempuan. Hal ini seharusnya menjadi basis perumusan fatwa-fatwa yang dikeluarkan individu maupun lembaga pada konteks kita sekarang ini. Kehidupan perempuan memiliki pengalamannya sendiri yang khas, baik secara fisik maupun sosial, yang seharusnya diadopsi dan dirujuk sebelum membuat keputusan-keputusan hukum dan fatwa, baik terkait kehidupan manusia secara umum, terutama hal-hal yang menyangkut perempuan secara khusus.

Kita bisa belajar, bahkan dari semangat Nabi Muhammad SAW ketika mendengar para perempuan, menerima keluhan, dan memahami pengalaman para perempuan. Setelah itu, Nabi SAW baru mengeluarkan pandangan hukum, fatwa, atau nasihat, yang relevan dengan pengalaman yang dihadapi mereka, dan menjawab kegalauan mereka. Keputusan Nabi SAW, dalam hal ini, yang kemudian disebut sebagai Hadits, tentu saja menjadi sumber hukum lebih tinggi dan menjadi rujukan yang otoritatif bagi semua produk fiqh dan fatwa yang lahir kemudian hari.

Kita perlu menelusuri berbagai fatwa para ulama fiqh, sejauhmana mereka merujuk pada pengalaman kehidupan perempuan. Metode istiqrâ’ Imam Syafi’i rahimahullâh adalah salah satu bukti konkret dari rujukan ini. Ke depan, kita perlu fatwa-fatwa yang dikeluarkan individu maupun lembaga, terutama yang menyangkut perempuan, dengan benar-benar merujuk dan mempertimbangkan pengalaman nyata yang dialami dan dirasakan perempuan. Berfatwa dengan cara ini adalah teladan Nabi Muhammad SAW. Di sinilah kekhasan KUPI dengan peran yang ingin dilakukannya, yaitu memastikan dan meniscayakan rujukan pada pengalaman perempuan dalam seluruh tingkat kerja-kerja fatwa keagamaan, penentuan kebijakan, maupun keputusan hukum dan undang-undang.