Husein Muhammad

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Dr. (Hc). KH. Husein Muhammad
Husein Muhammad.jpg
Tempat, Tgl. LahirCirebon, 9 Mei 1953
Aktivitas Utama
  • Komisioner Komnas Perempuan Periode 2007-2009 dan 2009-2012.
  • Ketua Yayasan Fahmina Hingga saat ini.
  • Salah satu pendiri Yayasan Fahmina.
  • Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr Cirebon.
Karya Utama
  • Islam Agama Ramah Perempuan
  • Pendiri Yayasan Fahmina

Dr. (Hc) KH. Husein Muhammad atau yang akrab disapa Buya Husein adalah salah satu tokoh yang aktif mengampanyekan pesan-pesan kesetaraan gender dalam Islam. Ia lahir di Cirebon pada tanggal 9 Mei 1953, putera pasangan Kiai Muhammad Asyarofuddin dan Ibu Nyai Ummu Salma Syatori. Ia adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Secara berurutan mereka adalah: (1) Hasan Thuba Muhammad, (2) Husein Muhammad, (3) Ahsin Sakho Muhammad, (4) Ubaidah Muhammad, (5) Mahsun Muhammad, (6) Azzah Nurlaila Muhammad, (7) Salman al-Faries, (8) Elok Faiqoh.

Dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Buya Husein termasuk tokoh kunci yang memiliki keterkaitan dengan tiga organisasi pelaksana KUPI, yaitu Rahima, Fahmina, dan Alimat. Dalam pandangan salah satu muridnya, Kiai Faqih Abdul Kodir, Buya Muhammad adalah jangkar dari semua gerakan ini. Ia juga magnet yang bisa menarik semua pihak, dari berbagai kalangan.

Pasca perhelatan akbar KUPI, Buya Husein mendapat amanah untuk menjadi ketua dewan penasihat yang anggotanya adalah beberapa tokoh seperti K.H. Mustofa Bisri, Ibu Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan Prof. Dr. Nasaruddin Umar.

Terkait KUPI, Buya Husein mengatakan: “KUPI dipandang publik dan Pemerintah sebagai lembaga sosial keagamaan yang memiliki posisi strategis bagi perubahan sosial sebagaimana MUI atau PBNU, tetapi dengan misi khusus: mewujudkan kesetaraaan dan keadilan gender. Pandangan-pandangannya dijadikan referensi publik dan pemerintah.”

Riwayat Hidup

Buya Husein menikah dengan Nyai Hj. Lilik Nihayah Fuadi dan dikarunia lima orang putera-puteri. Mereka adalah Hilya Auliya, Layali Hilwa, Muhammad Fayyaz Mumtaz, Najla Hammadah, Fazla Muhammad.

Ia menamatkan pendidikan dasar pada tahun 1966, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Arjawinangun dan lulus pada tahun 1969. Sembari belajar di lembaga formal, sebagaimana tradisi anak kiai pada umumnya, ia belajar dasar-dasar agama dari keluarganya sendiri. Ayahandanya, Kiai Asyrofuddin adalah pengasuh salah satu pesantren di Cirebon, Pesantren Dar al-Tauhid.

Ia kemudian berkelana ke Jawa Timur, tepatnya di daerah Kediri. Ia masuk pesantren yang memiliki tradisi akademik bagus, Pesantren Lirboyo Kediri. Di pesantren ini ia belajar selama tiga tahun, tepatnya dari tahun 1969 sampai 1973.

Setelah dari Lirboyo, ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an di Jakarta hingga selesai tahun 1980. Tugas akhirnya bertajuk, “Pidani Mati Menurut Hukum Islam”. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, sebagai bentuk penghormatan kepada salah satu gurunya, ia melanjutkan pendidikan ke al-Azhar Mesir. Di tempat ini, ia bisa kuliah di kampus keislaman tertua di dunia dan juga bisa mengaji kepada ulama-ulama besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan keagamaan.

Pada tahun 1983 ia kembali ke Indonesia untuk melanjutkan perjuangan leluhurnya: mengasuh Pesantren Dar al-Tauhid. Di samping aktif sebagai kiai pesantren, ia juga memiliki jiwa pergerakan. Sehingga pada tahun 2001, ia mendirikan beberapa lembaga swadaya untuk perempuan, seperti Puan Amal Hayati, Rahima, Fahmina Institute, dan Alimat.

Pada tahun 2001 bersama Ibu Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dan beberapa koleganya ia membuat forum Kajian Kitab Kuning di Jakarta, membahas kitab Uqud al-Lujain dan memberi komentar atas kitab itu dengan judul, “Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujain”.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Awal mula tumbuhnya kesadaran Buya Husein terhadap isu feminisme dan gender adalah ketika tahun 1993 ia diundang ke sebuah seminar tentang “Perempuan dan Pandangan Agama-Agama”. Sejak saat itu, ia sadar bahwa perempuan, termasuk di Indonesia mengalami sebuah masalah. Adalah Masdar Farid Mas’udi, tokoh yang—sebagaimana cerita Buya Husein—banyak memengaruhi dirinya dalam masalah gender ini.

Pertemuan Buya Husein dengan Masdar Farid Mas’udi di sebuah acara pada tahun 1993 benar-benar menjadi titik baru dalam hidupnya. Sejak saat itu ia mengetahui berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan, dan pengetahuan itu mendorongnya untuk mencoba mengurai masalah-masalah tersebut dengan pendekatan keilmuannya, yaitu agama.

Buya Husein menegaskan bahwa perempuan bukan hanya sekadar tubuh yang bisa dieksploitasi. Ia adalah ruh, jiwa manusia. Ia juga menolak budaya patriarki terhadap perempuan. Islam yang mengusung ajaran tauhid, yang bermakna pengesaan dengan makna secara luas adalah menolak upaya-upaya penghambaan kepada selain Allah. Pemilik otoritas yang Absolut adalah Allah SWT, bukan yang lainnya.

Pendek kata, spirit tauhid adalah pembebasan manusia dari segala bentuk perendahan (subordinasi), diskriminasi, dan penindasan manusia atas segala dasar apa pun. Gagasan teologis ini, tulis Buya Husein, hendak menempatan manusia secara terhormat. Perempuan sebagai manusia adalah bebas, mandiri, dan dalam posisi yang adil. Keadilan dalam konteks ini tidak bebicara tubuh, tetapi soal nilai, subtansi, dan kualitas.

Untuk menguatkan tesis-tesis ini, Buya Husein mengutip Al-Qur’an dalam surat al-Rum [30]: 21 bahwa termasuk tanda kebesaran Allah SWT adalah menciptakan istri dari jenis yang sama dengan diri kita sendiri. Dalam sebuah hadits misalnya disebut poin keadilan, resiprokal. Ibnu Abbas berkata:


أحب أن أتزين لنسائي كما احب أن تزين لي

“Aku senang untuk berhias dan tampil baik untuk istriku sebagai aku senang jika istriku tampil cantik dan baik buatku”.

Lalu bagaimana merespons beberapa tafsir keagamaan yang kerap dijadikan landasan normatif kekerasan dan peminggiran terhadap perempuan? Menurut Buya Husein, tidak ada cara lain kecuali dengan melakukan interpretasi dan kontekstualisasi pemahaman keagamaan tersebut.

Ia mengutip Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang ulama bermazhab Hanbali yang menyatakan bahwa di mana saja keadilan ditemukan maka di sana ada hukum Allah SWT. Jadi titik tolak tafsir keagamaan baik berupa hukum maupun narasi agama adalah nilai keadilan bagi siapa pun, termasuk bagi laki-laki dan perempuan.

Selain pemaknaan dan pemahaman tauhid pembebasan seperti di atas, menurut Buya Husein, takwa harus dimanifestasikan dalam sikap-sikap sosial. Sementara dalam tataran teknis operasional untuk melakukan kontekstualisasi dan reintepretasi pemahaman, beberapa pendekatan bisa dilakukan. Pertama, melalui pendekatan kebahasaan dengan melakukan inventarisasi makna bahasa, korelasi dengan dalil lain, dan harmonisasi teks. Kedua, mentarjih atau menguatkan akal rasionalitas. Karena hukum Islam poinnya adalah rasionalitas. Untuk kepentingan ini, ia mengutip al-Razi, seorang pemikir terkemuka mazhab Syafi’i. Jadi ketika rasionalitas ilmu tidak dijumpai dalam narasi-narasi keagamaan maka narasi tersebut perlu didiskusikan.

Ketiga, memperhatikan realitas kehidupan yang terus bergerak maju. Realitas dan konteks di sini meliputi budaya, sosial, politik, ekonomi, dan tekhnologi. Realitas menjadi poin penting dalam perumusan hukum. Absennya realitas dalam pengambilan hukum mengakibatkan rumusan hukum kering dan tidak menyentuh substansi ajaran Islam.

Dalam pandangan Kiai Husein, pembacaan teks-teks keagamaan yang dibimbing oleh visi ketuhanan dan tujuan agama (maqasid al-Syariah) melalui pendekatan kontekstual, rasional, dan empiris merupakan cara penting untuk memahami teks-teks tersebut secara proporsional, dinamis, dan memberi kemanfaatan.

Poin lain dari pemikiran Buya Husein yang banyak memberi kemanfaatan bagi perempuan adalah pemikirannya tentang pendidikan bagi perempuan, kesehatan reproduksi, program keluarga berencana, dan larangan melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan.

Dalam persoalan pendidikan perempuan, misalnya, ia menyebut bahwa pendidikan niscaya bagi laki-laki maupun perempuan. Sebab ayat atau hadits yang memotivasi untuk menuntut ilmu mencakup berbagai jenis kelamin. Dalam tataran yang lebih jauh, sebenarnya Islam datang memang mengangat martabat perempuan. Ia mengutip Umar ibn Khattab:


كنا في الجاهلية لا نعد النساء شيأ فلما جاء الاسلام وذكرهن الله رأينا أن لهن بذلك حقا

“Kami semula di zaman Jahiliyah tidak menggap keberadaan kaum perempuan. Ketika Islam datang dan Allah Swt. menyebut mereka, kami melihat bahwa perempuan juga memiliki hak.”

Dalam kasus bolehnya suami memukul istri, Buya Husein memberi catatan. Menurutnya, kekerasan dalam bentuk apa pun apalagi diatasnamakan relasi laki-laki dan perempuan adalah tidak dibenarkan. Sebab di samping berbahaya secara psikis juga ada beberapa dasar normatif lain yang menentangnya. Misalnya dalam sebuah hadits, nabi pernah bersabda:


ما اكرم النساء الا كريم وم اهانهن الا لئيم

“Tidak disebut laki-laki mulia kecuali mereka yang memuliakan perempuan. Dan tidak menghinakan mereka kecuali laki-laki hina”.


Secara lebih tegas, nabi juga bersabda:


خيركم خيركم لاهله وأنا خيركم لأهلي

“Sebaik-baiknya kalian adalah mereka yang baik kepada keluarganya dan aku adalah paling baiknya laki-laki kepada istrinya”.

Penghargaan dan Prestasi

Atas segala dedikasi dan perjuangannya Buya Husein mendapat banyak penghargaan. Misalnya ia pernah menerima Heroes to End Modern-Day Slavery, tahun 2006. Namanya juga pernah tercatat sebagai “The 500 Most Influential Muslims” yang diterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center, Amman, Yordania selama beberapa tahun. Yang terbaru ia menerima penghargaan berupa doktor kehormatan (Honoris Causa) dari UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah.

Karya-Karya

Pada tahun 2008 ia mendirikan perguruan tinggi Fahmina di Cirebon, penanggung jawab media mubadalah.id dan secara resmi pada tingkatan nasional, ia akitf menjadi anggota komisioner Komnas Perempuan periode (2007-2009) dan menjabat kembali pada periode (2009-2012).

Ia juga tercatat sebagai pendiri Fahmina Institute, sebuah lembaga yang juga concern terhadap isu-isu perempuan. Bersama Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, ia mendirikan Puan Amal Hayati, yang juga bergerak di isu perempuan. Pada tahun 2000, ia mendirikan RAHIMA dan masih banyak lagi karir kemasyarakatan yang ia inisiasi.

Buya Husein adalah penulis yang produktif yang sudah melahirkan banyak karya monumental, di antaranya: Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender; Islam yang mencerahkan dan Mencerdaskan; Memikirkan Kembali Pemahaman Islam Kita; Islam Agama Ramah Perempuan; Ijtihad Kiai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender; Perempuan, Islam dan Negara: Pergulatan identitas dan Entitas; Spritualitas Kemanusiaan, Perspektif Islam Pesantren; Upaya Membangun Keadilan; Dawrah Fiqh Perempuan; Fiqh Seksualitas; Fiqh HIV/AIDS; Mengaji Pluralisme pada Guru Pencerahan; Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur; Menyusuri Jalan Cahaya; Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus; Menangkal Siaran Kebencian Perspektif Islam; Toleransi Islam; Islam Tradisional yang Terus Bergerak dan karya lain-lainnya.

Buku:

  1. 1986, Wasiat Taqwa Ulama-ulama Al-Azhar Kairo, PT. Bulan Bintang Jakarta.
  2. 1986, Antara Tradisionalis & Modernis, P3M, Jakarta.
  3. 1987, Dasar Pemikiran Hukum Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta.
  4. 2001, Fiqih Perempuan, LKiS, Yogyakarta.
  5. 2001, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta.
  6. 2003, Ta'liq wa Takhrij Syarh Uqudullujain, FK3, Jakarta.
  7. 2006, Spiritualitas Kemanusiaan, Pustaka Rihlah, Yogyakarta.
  8. 2010, Fiqih HIV & AIDS, PKB & UNFPA, Jakarta.
  9. 2011, Fiqih Seksualitas, PKBI, Jakarta.
  10. 2011, Mengaji Pluralisme Pada Maha Guru Pencerahan, Al Mizan, Bandung dicetak ulang 2021, dengan judul Menimbang Pluralisme Belajar Dari Filsuf dan Kaum Sufi, Nuralwala, Depok.
  11. 2012, Sang Zahid Mengarungi Sufsme Gus Dur, LKiS, Yogyakarta.
  12. 2013, Menyusuri Jalan Cahaya Cinta, Keindahan, Pencerahan, Bunyan (PT Bentang Pustaka), Yogyakarta.
  13. 2014, Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan (Inspirasi dari Islam & Perempuan), PT elex Media Komputindo, Jakarta.
  14. 2014, Kidung Cinta & Kearifan Lokal, Buku Zawiya, Cirebon.
  15. 2015, Memilih Jomblo Kisah Para Intelektual Muslim yang Berkarya Sampai Akhir Hayat, Zora Book. Diterbitkan ulang 2020, Para Ulama dan Intelektual yang Memilih Menjomblo, IRCiSoD, Yogyakarta.
  16. 2015, Gus Dur Dalam Obrolan Gus Mus, Noura Books (PT Mizan Publika), Jakarta Selatan.
  17. 2015, Toleransi Islam, Fahmina Institute, Cirebon.
  18. 2016, Perempuan Islam & Negara, Qalam Nusantara, Yogyakarta.
  19. 2016, Kisah Menakjubkan Syekh Ibn ‘Atha’illah, Mentari Media PT Melvana Media Indonesia.
  20. 2017, Menangkal Siaran Kebencian Perspektif Islam, Fahmina Institute, Cirebon.
  21. 2017, Merayakan Hari-hari Indah Bersama Nabi, PT. Qof Media Creativa, Jakarta Selatan. Diterbitkan ulang 2023, dengan judul Bersama Nabi Muhammad SAW, DIVA Press, Yogyakarta.
  22. 2019, Munajat Sufi Para Kekasih Allah, Fahmina Institute, Cirebon. Diterbitkan ulang 2023, Munajat Kaum Sufi, Fahmina Institute, Cirebon.
  23. 2019, Ijtihad Kiai Husein, Rahimah, Jakarta Selatan.
  24. 2019, Islam Tradisional yang Terus Bergerak, IRCiSoD, Yogyakarta.
  25. 2020, Perempuan Ulama di atas Panggung Sejarah, IRCiSoD, Yogyakarta.
  26. 2020, Ulama-ulama yang Menghabiskan Hari-harinya untuk Membaca, Menulis dan Menebarkan Ilmu Pengetahuan, IRCiSoD, Yogyakarta.
  27. 2020, Dialog dengan Kiai Ali Yafie, IRCiSoD, Yogyakarta.
  28. 2020, Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, IRCiSoD, Yogyakarta.
  29. 2020, Al-Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandari & Munajat Para Wali, Fahmina Institute, Cirebon.
  30. 2020, Jilbab & Aurat, Aksara Satu, Cirebon.
  31. 2020, Poligami, IRCiSoD, Yogyakarta. 
  32. 2020, Lisanul Hal, PT Qof Media Creativa, Jakarta Selatan. Diterbitkan ulang, 2023, dengan judul Hiburan Orang-orang Shaleh, DIVA Press, Yogyakarta.
  33. 2020, Menuju Fiqih Baru, IRCiSoD, Yogyakarta.
  34. 2020, Ensiklopedia Lengkap “Ulama Ushul Fiqh” Sepanjang Masa, IRCiSoD, Yogyakarta.
  35. 2021, Kidung-kidung Cinta Syams Tabrizi Maulana Rumi, DIVA Press, Yogyakarta.
  36. 2021, Islam Cinta Keindahan, Pencerahan & Kemanusiaan, IRCiSoD, Yogyakarta.  
  37. 2021, Wajah Baru Relasi Suami Istri (Telaah Kitab ‘Uqud Al-Lujjein), LKiS, Yogyakarta.
  38. 2021, Pendar-pendar kebijaksanaan, Fahmina Institute, Cirebon. Cetakan kedua 2021, IRCiSoD, Yogyakarta.
  39. 2021, Islam Agama Ramah Perempuan, Fahmina Institute, Cirebon.
  40. 2022, Aku dan Perempuan, Hyang Pustaka, Cirebon.
  41. 2022, Kebijaksanaan Para Sufi & Filsuf, CV. Alfabeta Indonesia, Cirebon dan diterbitkan ulang 2023, Kebijakan Para Ulama, Sufi & Filsuf, Fahmina Institute, Cirebon.
  42. 2022, Min Akhlakil Mustofa,
  43. 2022, Hikam Al Hukama Wal Falasifah
  44. 2023, Bunga Rampai Tasawuf Falsafi & Spiritualitas Kemanusiaan, Fahmina Institute, Cirebon. Cetakan Pertama 2023.
  45. 2024, Kidung Kearifan, Fahmina Institute, Cirebon. Cetakan Pertama 2024.
  46. 2024, ANTOLOGI PENGANTAR; Perempuan Dunia Menggugat Negara dan Agama, Fahmina Institute, Cirebon. Cetakan Pertama 2024.

Daftar Bacaan Lanjutan

A. Dicky Sofyan dan Noor Rahman (Eds), Ijtihad Kiai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender (Jakarta: Penerbit Rahima, 2011).



Penulis : Ahmad Husain Fahasbu
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir