Hati Kartini dalam Nurani Peserta Kupi

Kongres Ulama Perempuan Indonesia Pertama Di Bulan Kartini

Bulan April bagi perempuan Indonesia bukanlah bulan yang biasa. Kesakralan bulan ini bisa dibuktikan dengan pengakuan Presiden Soekarno untuk meresmikan 21 April sebagai hari Kartini pada tahun 1964. Kemudian melalui putusan presiden tertanggal 2 Mei 1964, Soekarno mendeklarasikan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Kartini yang dikenal sebagai perempuan Indonesia yang berwawasan luas, memperjuangkan kemampuan intelektual perempuan agar serasi bersanding untuk menjadi partner laki-laki. Bulan April yang terkenal dengan bulan emansipasi wanita, di tahun 2017 ini menjadi lebih bernilai dan hidup bersamaan dengan perhelatan akbar pertama di Dunia, yang termanifestasi dalam KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia). Acara yang diselenggarakan KUPI tersebut seolah menunjukkan adanya kebangkitan perjuangan perempuan melalui konferensi ulama’ perempuan.

KUPI berlangsung dari tanggal 25 hingga 27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon yang diasuh ibu Nyai Hj. Masriyah Amva. Beliau adalah seorang perempuan inspiratif yang telah melahirkan banyak karya, terutama dalam bidang sastra. Syair-syair yang indah beliau curahkan dari berbagai pengalaman hidupnya, hingga beliau mendapat sebutan sebagai penulis yang puitis, romantis dan spiritualis.

Sosok beliau bagi saya, sangat mewakili gambaran Kartini di era moderen. Tidak berlebihan jika saya menyebut sosok ibu Nyai Hj. Masriyah Amva sebagai sosok Kartini modern. Sosok Kartini moderen lainnya tersirat pada  karakter Ilmuwan perempuan dari berbagai rumah kajian pemerhati feminis, anak dan HAM, Pengasuh Pondok Pesantren, aktivis, LSM dan akademisi semua turut mensukseskan KUPI yang pelaksanaanya dipelopori oleh tiga organisasi besar pemerhati gerakan perempuan di Indonesia, yakni Fahmina, Rahima dan Alimat.

Acara yang diketuai Ibu Dra. Hj. Badriyah Fayumi tersebut, semakin heroik dengan berlangsungnya seminar Internasional Sebagai acara pembuka Kongres. Seminar tersebut mengusung tema “Amplifiying Women Ulama’s Voices, Asserting Values of Islam, Nationhood And Humanity” di gedung Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dimulai pukul 08.00-16.30 Wib. Pembicara dalam seminar tersebut adalah para peneliti, akademisi, dan aktivis kajian perempuan dari berbagai negara, seperti Dr. Hj. Siti Ruhaini Dzuhayatin mantan ketua komisi Hak Asasi Manusia (IPHRC) dan Prof. Eka Sri Mulyani Dekan Fakultas Psikology UIN Ar-Raniry Banda Aceh dari Indonesia. Zainah Anwar, anggota pendiri dan mantan direktur eksekutif  Musawah and Sisters in Islam (SIS) Malaysia. Bushra Hyder alumni PAIMAN (Pakistan Initiative For Mothers And New Borns) Trust Pakistan, Hatoon al-Fasi, peneliti senior di Universitas Qatar yang berasal dari Saudi Arabia, Roya Rahmani Duta besar Afghanistan di Indonesia, Ulfat Hussein Masibo dewan tertinggi Muslim (fatwa) di Kenya, dan Dr. Rafatu Abdul Hamid, dosen Filsafat Agama (AHP Fellow) dari University of  Abuja, Nigeria.

Penyelenggaraan KUPI sebagaimana visi yang diangkat bersinergi dengan perjuangan Kartini, yakni menyampaikan pesan kemanusiaan dan memberi penegasan urgensi, posisi dan definisi ulama perempuan. Harapan penyelenggaraan KUPI bisa mengeluarkan perempuan dari telekungan teks dan budaya patriarkhi, agar perempuan berkesempatan sama dalam melakukan perbaikan dan pengembangan intelektual, memberi kontribusi positif bagi kemajuan bangsa Indonesia, semangat kartini yang menyala pada peserta KUPI menciptakan semangat baru bagi perempuan dalam mewarnai khazanah intelektual Indonesia.

Peran Penting dan Bias Terma Ulama Perempuan  

Kongres yang baru pertama kali diselenggarakan ini sesungguhnya memiliki tujuan khusus, yaitu memberikan penegasan secara ilmiah bahwa peran Ulama Perempuan perlu diperhitungkan di tengah distorsi pemaknaan kata “Ulama” yang sering dikaitkan hanya pada laki-laki, sehingga mengartikan al-‘ulama waratsah al-Anbiya’ tidak lagi meninggalkan kesan memarginalkan keberadaan ulama perempuan sebagai pewaris Nabi. Bias gender dalam kata Ulama juga disinggung oleh Hatoon al-Fasi, dalam pidatonya beliau memperjelas bahwa demi menyelamatkan peran ulama dalam kontestasi dunia ilmiah, beliau lebih menyepakati julukan ‘alimat bagi ulama perempuan.

Kata al-‘ulama’ dan al-‘alimu sekali pun berasal dari akar kata yang sama tapi keduanya memiliki perbedaan makna yang sangat signifikan. Perbedaan makna ini dapat dilihat dengan tambahan penjelasan al-Baqi dalam mu’jam nya. Bahwa ketika dalam al-Qur’an disebutkan kata al-‘ulama’ yang disebutkan hanya 2  kali, penyebutan ini mengarah kepada keimanan dan ketaqwaan, seperti ayat innama yakhsyaallah min ‘ibadih al-‘ulama’. Penggunaan ayat ini konsisten untuk ajakan kepada manusia agar bertafakkur dan tadabbur terhadap keberadaan Tuhan. Sedangkan penggunaan kata al-‘alimun yang disebut sebanyak 5  kali dan kata al-‘alim sebanyak 13 kali tidak mengintegrasikan manusia terhadap relasi religiusitas. Pembahasan dalam KUPI menyimpulkan tidak hanya ulama’ yang memahami agama dan memiliki latarbelakang yang religi, namun juga para ‘alim- ‘alimah yang expert dalam berbagai bidang sosial.

Penggunaan kata ‘ulama  sering disalahartikan sebagai kata khusus untuk laki-laki. Dalam acara KUPI tidak lagi berlaku, KUPI mampu menghapus delegitimasi sebutan ulama’ yang hanya dialamatkan kepada laki-laki, serta membuktikan pengaruh perempuan terhadap kemajuan peradaban bangsa Indonesia. Kenyataan ini ternyata bersinergi dengan visi misi muqaddimah KUPI yang menjelaskan upaya dan tujuannya “ulama perempuan sering mengalami berbagai tantangan, seperti pengabaian, deligitmasi, bahkan kekerasan. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya penguatan pengetahuan dan keahlian, jejaring antarulama perempuan, afirmasi dan apresiasi kerja-kerja mereka, serta pengokohan eksistensi secara kultural”.

KUPI Melahirkan Rekonstruksi Metodologis Islam Era Kontemporer

Kemunculan budaya maskulinitas di kalangan masyarakat merupakan bukti akurat bahwa budaya patriarkhi masih terjalin erat dengan sistem dan kultur pada wilayah sosial kemasyarakatan. Laki-laki menempati posisi dominan sehingga posisi perempuan menjadi marginal dan tersubordinat. Laki-laki selalu dianggap paling memiliki peran dan kapabelitas yang tinggi dibanding perempuan. Sebagai satu contoh kongkrit adalah munculnya ulama par exellent yang dianggap tidak tertandingi dalam bidang hukum seperti imam Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, dalam bidang  tafsir  seperti Fakhr al-Din al-Razi,  Jarir al-Thabari, ibn Katsir dan al-Qurthubi, tidak seorang pun nama perempuan yang masuk menghiasi nama ilmuwan dunia. Padahal dalam tataran ideal moral, masalah kualitas ditentukan oleh prestasi (achiefed status). Status sosial yang tinggi dapat diperoleh secara individu tergantung seseorang yang menjalani. KUPI membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan tidak hanya dalam ranah sosiologis, namun juga metodologis. KUPI menyelenggarakan kelas diskusi dengan berbagai tema menarik tidak hanya sensitif gender, namun juga tema yang bernafaskan nilai kebangsaan, seperti upaya penanganan dan pencegahan radikalisme.

Kelas yang saya ikuti misalnya, konsentrasi dalam kajian perkawinan anak. Kelas ini dibimbing langsung oleh ibu Lies Marcoes, aktivis serta pemerhati perkawinan anak yang mendirikan Rumah KitaB, bersama beberapa kawan santri yang membantu dalam perumusan metodologi dengan pendekatan Ushul fikih. Setiap komisi akan memunculkan fatwa-fatwa mutakhir yang mencerahkan. Komisi kami misalnya, melahirkan fatwa terbaru tentang batas minimal perkawinan anak, yakni 18 tahun. Berbeda dengan ketentuan yang tertera dalam kompilasi hukum Islam, yang menentukan batas perkawinan anak 16 tahun bagi perempuan, komisi kami melahirkan metode penemuan hukum tidak hanya menggunakan pendekatan teks, namun lebih kritis dengan inter-teks, pendekatan dengan membandingkan serta menela’ah keterangan lain dari teks, tidak hanya al-Quran dan hadits, namun melalui teks sejarah, kritik sanad dengan jarh wa al-ta’dil untuk melihat kualitas hadits, serta kritik matan untuk melihat cakupan kekuatan hukum dalam hadits tersebut.

Pada umumnya ketentuan menikah anak usia dini adalah menggunakan legitimasi hadits ‘Aisyah yang mengukuhkan perkawinanaya pada umur 7 tahun dan digauli 9 tahun. Menyikapi hal ini, ulama perempuan memberi pertimbangan dengan menetapkan 18 tahun umur anak sebagai batas minimal menikah. Fatwa ini berdasarkan analisis kesejarahan, Jarir al-Thabari dalam tarikhnya menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul pada usia 40 tahun, bersamaan dengan itu  Abu Bakar dan ‘Aisyah yang saat itu berumur enam tahun masuk Islam, dan selang beberapa tahun kemudian baru menikahi ‘Aisyah setelah Khadijah meninggal, dan secara prediksi umur Aisyah sudah mencapai 18 tahun.

Inilah serba serbi KUPI, kebersamaan dalam meraih kemajuan Indonesia bersama ulama perempuan Indonesia.


Penulis: Arifah Millati A. (Institut Agama Islam Negeri Tulungagung)