Kemenko PMK Kerjasama Ulama Perempuan Lindungi Perempuan Pekerja Migran

Dari Kupipedia
Revisi per 3 September 2024 05.48 oleh Agus Munawir (bicara | kontrib)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Info Artikel

Sumber Original : KEMENKO PMK
Penulis : -
Tanggal Terbit : 28 Apr, 2021
Artikel Lengkap : Kemenko PMK Kerjasama Ulama Perempuan Lindungi Perempuan Pekerja Migran

Jakarta (27/4) -- Kekerasan terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI) khususnya perempuan masih menjadi persoalan. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran (BP2MI) menunjukkan total penempatan PMI pada tahun 2020 sebanyak 113.173 orang dengan jumlah perempuan sebanyak 90.500 orang.

Pemerintah bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengatasi persoalan tersebut. Diantaranya, bersama Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) melakukan identifikasi permasalahan serta menyusun langkah strategis dalam perlindungan perempuan, khususnya pekerja migran.

Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak, Perlindungan, dan Pemberdayaan Perempuan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Roos Diana Iskandar mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan upaya dalam melindungi perempuan Indonesia, khususnya dari kekerasan berbasis gender dalam migrasi.

Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

"Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, namun dalam meningkatkan upaya perlindungan perempuan dibutuhkan kerja keras dan sinergitas bersama. Peran serta dan dukungan semua pemangku kepentingan dari kementerian/lembaga, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat tentu sangat diperlukan," ujarnya saat mewakili Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Anak, Perempuan, dan Pemuda Femmy Eka Kartika Putri dalam FGD II Ulama Perempuan Merespon Kekerasan Berbasis Gender dalam Migrasi, Selasa (27/4).

Merujuk fakta, berdasarkan penelitian UN Women, kekerasan yang dialami perempuan pekerja migran memiliki dampak serius, baik itu secara jangka pendek dan jangka panjang terhadap kesehatan fisik maupun mental.

Adapun dampak kesehatan dari korban kekerasan mencakup cedera, kehamilan yang tidak diinginkan, HIV, disabilitas, depresi, atau bahkan melakukan perbuatan membahayakan diri sendiri. Selain itu, penyintas kekerasan juga menghadapi stigma dan penolakan dari masyarakat juga keluarga.

"Kondisi ini yang harusnya bisa menjadi dasar bagi kita untuk memperkuat upaya perlindungan perempuan pekerja migran. Karenanya, saya berharap kita semua punya komitmen yang sama dalam menjalankan kewajiban melindungi mereka," tuturnya.

Turut hadir dalam FGD dan ikut menyuarakan pendapat serupa yaitu perwakilan kementerian/lembaga, BP2MI, serta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat termasuk.