Nurlia Sultan

Nyai Nurlia Sultan, lahir di Maros pada 7 Agustus 1973. Ia adalah pendiri pondok pesantren profesi Wahdaniyatillah, Maros dan seorang ASN di SMAN 5 Tanralili Kabupaten Maros sejak 2010. Selain aktif di Muslimat NU dan menjadi Ketua umum di Organisasi Ummahat Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI), Nurlia Sultan juga merupakan bagian dari Komisi Pemberdayaan Perempuan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maros selama dua periode berturut-turut. Ia juga bagian Simpul Rahima Sulawesi Selatan.

Nurlia Sultan
NurliaSultan.jpg
Tempat, Tgl. LahirMaros, 07 Agustus 1997
Aktivitas Utama
  • Guru PAI SMAN 5 Maros
  • Pembina dan Pendiri PP. Wahdaniyatillah
  • Pengurus Kader PP Nahdlatul Ulum Soreang Maros
  • Pengurus MUI Kab. Maros
  • Pembina Majelis Taklim
Karya Utama
  • Mengisi esai lepas pada e-portal DDI
  • Ummahat Darud Da’wah wal-Irsyad dan Umat Di Era Millenial
  • Fatayat DDI Bersinergi dalam Ukhuwah

Persinggungan Nurlia Sultan dengan KUPI diawali keikutsertaan Nurlia di Rahima pada 2017 lalu. Merasa mendapatkan cara pandang yang baru terkait dengan keulamaan perempuan dan kesetaraan gender, Nurlia giat menyebarkan hasil rekomendasi dan fatwa KUPI dalam berbagai kegiatan di Maros, seperti menggelar pengajian khusus untuk guru-guru tentang mubadalah, memberikan pengetahuan kepada orangtua santri mengenai pencegahan pernikahan anak, dan memasukkan konsep-konsep rekomendasi KUPI dalam program pemberdayaan perempuan, baik di pengajian majelis ta’lim maupun di pesantren yang diasuhnya.

Riwayat Hidup

Nurlia Sultan tumbuh di tengah keluarga yang patrilineal. Setiap pilihan dan keputusan diambil oleh ayah. Pun dalam hal pendidikan, Nurlia patuh pada pilihan sang ayah. Setelah lulus dari sekolah dasar, Nurlia melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) Mangkoso, sekitar 110 km dari Maros, Sulsel. Kurun 1990-1998 Nurlia menghabiskan waktunya untuk belajar di DDI sampai ia lulus kuliah strata I, mulai dari santri sampai kemudian menjadi pembina di pesantren tersebut. Sebelumnya, ketika tamat Aliyah, Nurlia memiliki mimpi untuk melanjutkan kuliah di Mesir. Namun keinginan tersebut dilarang sang ayah, dengan dalih perempuan tidak seharusnya berada jauh dari rumah. Keinginan tersebut akhirnya pupus dan Nurlia dengan berat hati melepaskan kesempatannya ke Mesir.

Setelah lulus kuliah strata I, Nurlia mendapat kesempatan untuk mengajar di delapan pondok pesantren di wilayah Maros. Nurlia mengajar materi-materi pelajaran umum dan agama, mulai dari nahwu, faraid, bahasa arab, sampai bahasa inggris dan materi-materi pembelajaran umum lainnya. Pada 1999, Nurlia menikah dengan M. Ilyas Said dan dikaruniai lima orang anak yaitu, Lutfia, Inayah, Ashfy, M. Sidrat, dan M. Syarhabil. Meskipun berasal dari keluarga dengan cara pandang patriarkal yang kental, tetapi Nurlia dan suami memiliki cara pandang lain dalam mendidik anak-anaknya.

“Saya tidak pernah membatasi anak-anak saya. Anak-anak saya tidak boleh merasakan apa yang saya rasakan, tidak boleh ke sana ke sini. Semoga anak-anak saya bisa mencapai apa yang mereka cita-citakan.” Ungkap Nurlia. Pola pikir Nurlia terbuka. Tekad yang dimiliki Nurlia pada akhirnya membawa anak-anaknya dapat merasakan pendidikan yang diinginkan. Ia yang tidak sempat merasakan bersekolah di tempat yang diidamkan, bahkan tidak bisa berangkat ke Mesir akibat larangan sang ayah, sekarang anak pertama Nurlia dapat melanjutkan pendidikan di Mesir dan anak kedua melanjutkan pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Memiliki pengalaman belajar dan mengajar di pondok pesantren lebih dari 10 tahun membuat tekad Nurlia untuk memperbaiki sistem dan manajemen pendidikan pesantren semakin kuat. Pada 2005 Nurlia Sultan, suami, dan beberapa teman menginisiasi pendirian pondok pesantren profesi bernama Wahdaniyatillah. Pondok tersebut didirikan dengan tujuan utama mengarahkan santri agar memiliki fokus pada minat dan bakat masing-masing. Berangkat dari pengalaman hidup yang penuh kekangan, Nurlia ingin pondok yang dibinanya bisa menjadi ruang belajar terbuka bagi pengembangan bakat dan bisa meningkatkan kapasitas pengetahuan santri.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Sebelum mengenal Rahima dan ikut serta dalam diseminasi gagasan hasil KUPI, Nurlia mengaku terkurung dalam paradigma berpikir yang tekstual. Meskipun telah berhasil menempuh pendidikan tinggi, tetapi ia tidak bisa lepas dari anggapan bahwa perempuan harus tunduk pada aturan-aturan yang telah disepakati oleh masyarakat. Setelah menikah, tugas perempuan adalah di dalam rumah dan mengurus suami. Bahkan ketika pertama kali mengikuti agenda-agenda Rahima, batin Nurlia melakukan penolakan. Anggapan pertama yang muncul pada saat itu adalah Rahima mengajarkan istri untuk melawan suami. Namun persepsi-persepsi tersebut perlahan berubah seiring munculnya pemahaman baru pada diri Nurlia mengenai tafsir dan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemahaman mengenai relasi suami istri yang mubadalah di kemudian hari juga menjadi fokus Nurlia untuk disebarkan ke masyarakat di Maros.

Keterbukaan cara pandang tersebut membuat Nurlia memiliki semangat baru untuk tumbuh dan menyalurkan energinya dalam kerja-kerja kemanusiaan bersama Rahima. Atas rekomendasi Rahima pula, Nurlia juga bergiat secara aktif di Alimat. Di Pondok binaannya, Nurlia rutin menyelenggarakan pengajian khusus untuk guru-guru MTs dan MA Wahdaniyatillah, mengambil konsep Qira’ah Mubadalah sebagai kajian. Pengajian khusus tersebut dilakukan setiap Selasa, Rabu, dan Sabtu setelah siswa-siswi pulang sekolah sampai menjelang ashar. Bagi Nurlia, jika di tataran guru sudah bisa memahami bentuk-bentuk relasi kesalingan, maka tidak akan sulit bagi siswa-siswinya untuk belajar hal tersebut. “Kalau guru-guru sudah satu misi (pemahaman) mereka akan lebih mudah menyampaikan ke siswa, jadi siswa juga tidak akan bingung.” Ungkap Nurlia.

Diseminasi gagasan yang berkeadilan gender juga Nurlia lakukan di Organisasi Ummahat DDI. Organisasi tersebut berisi ibu-ibu dan alumni santri DDI Mangkoso. Sebagai ketua umum, Nurlia berusaha mengimplementasikan ilmu yang ia dapatkan di Rahima. Ia merasa perlu membagikan hasil belajarnya kepada masyarakat, mengingat di Maros banyak pondok pesantren yang masih abai terhadap hak perempuan dan marak praktik perkawinan anak. Awalnya, anak-anak usia sekolah menengah pertama, yang tidak melanjutkan karena jarak sekolah yang jauh atau karena ketidakmampuan secara ekonomi, dijodohkan oleh orangtuanya. Bagi Nurlia, anak-anak tersebut rentan tidak hanya dari segi fisik tapi juga mental. Maka secara bertahap, Nurlia memberikan pemahaman kepada orangtua santri mengenai bahaya perkawinan anak. Sehingga kurun tiga tahun terakhir, angka perkawinan anak di Maros juga mengalami penurunan drastis.

Upaya lain yang dilakukan oleh Nurlia agar hasil rekomendasi KUPI bisa diserap oleh masyarakat adalah melalui program-program di Komisi Pemberdayaan Perempuan MUI Maros. Di sana, Nurlia mengajak anggota komisi untuk membahas program kerja berdasarkan poin-poin masukan KUPI. Salah satu program kerja yang digagas oleh Nurlia adalah pembinaan keluarga sakinah dengan mengimplementasikan ayat-ayat Al-Qur’an melalui pendekatan mubadalah.  Melalui program tersebut, Nurlia ingin agar setiap perempuan memiliki kesempatan yang sama di segala bidang. Termasuk apabila nantinya telah berumahtangga, tidak menjadikan hak-haknya sebagai perempuan terenggut. Ia berkaca pada masa lalu, di mana ia memiliki keinginan dan cita-cita tetapi pupus begitu saja oleh keputusan-keputusan yang diambil tanpa mempertimbangkan kebutuhan perempuan. Nurlia ingin mendobrak situasi yang timpang. Baginya, kondisi masyarakat yang minim pendidikan membuat pemahaman mereka tentang ajaran agama juga tidak mendalam, sehingga segala sesuatu entah baik dan buruk, lekas menjadi dogma.

Salah satu sosok yang berjasa menjadikan Nurlia tegas dalam mendobrak sesuatu yang salah adalah sang guru, KH. Abdul Wahab Zakariya. Meskipun dikenal sebagai sosok yang keras, tetapi ketegasan dan sikap keras tersebut membuat diri Nurlia bisa bertahan dalam gempuran dan beban seberat apapun. Nasihat penting yang disampaikan sang guru dan masih membekas padanya, “kamu boleh ke mana pun, tetapi hatimu jangan”. Bagi Nurlia, nasihat itu dimaksudkan untuknya agar tidak meninggalkan prinsip hidup dalam keadaan apapun.

Bekerja atas dasar kemanusiaan membuat Nurlia terus memiliki harapan. Sebagai ulama perempuan yang diberi kesempatan mengenal Rahima dan terlibat langsung di KUPI membuatnya memiliki tanggung jawab untuk bisa mengaktualisasikan cara pandangnya, agar bisa mencapai keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat Maros secara khusus, dan secara umum bagi semua.

Penghargaan / Prestasi

Sebelum Nurlia diangkat sebagai ASN pada 2010 silam, ia sempat mendapat amanah untuk mengajar beberapa mata pelajaran umum dan keagamaan, di delapan pondok pesantren sekaligus, di wilayah Maros.

Karya-karya

Nurlia giat menulis cerita pendek dan cerita bersambung sebelum kuliah. Namun cerita-cerita tersebut hanya tersimpan rapi di laptop dan enggan dipublikasikan. Pada saat kuliah, Nurlia sempat menjadi editor sekaligus layouter untuk bulletin Misykat STAI DDI Mangkoso. Ketika Nurlia aktif di Ummahat DDI, ia juga sempat menulis beberapa karya mengenani perempuan yang terbit di jaringan alumni DDI di antaranya,

  1. Ummahat Darud Da’wah wal-Irsyad dan Umat Di Era Millenial;
  2. Fatayat DDI Bersinergi dalam Ukhuwah.

Daftar Bacaan Lanjutan

  1. Ngabuburit Ulama Perempuan #7: Orangtua Wajib Mendidik Anak Berpuasa. https://beritabaru.co/ngabuburit-ulama-perempuan-7-orang-tua-wajib-mendidik-anak-berpuasa/
  2. Bagaimana Peran Orangtua dalam Mendidik Anak Berpuasa? Nyai Nurlia Sultan (Simpul Rahima Sul-Sel), https://www.youtube.com/watch?v=HJClW1bzKbY



Penulis : Rizka Hidayatul
Editor :
Reviewer :