Wasathiyah Islam
Wasathiyah Islam biasa diartikan sebagai moderasi dalam beragama Islam, atau sikap untuk tidak kurang (tafrith) dan tidak berlebihan (ifrath) dalam ber-Islam. Ayat rujukan konsep wasathiyah Islam adalah Surat al-Baqarah (QS, 2: 143). Menariknya, ayat ini tepat sekali berada di jantung utama, atau persis di pertengahan dari seluruh ayat dalam Surat al-Baqarah. Kita tahu, Surat al-Baqarah terdiri dari 286 ayat. Jika dibagi dua menjadi 143. Nah, di ayat 143 ini lah ayat rujukan tentang sikap beragama yang wasath, pertengahan, atau moderat itu berada. Jadi, ayat yang meminta kita untuk berada dalam sikap jalan tengah, ternyata juga berada pas di tengah Surat al-Baqarah. Subhanallah.
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ (البقرة، 2: 143)
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kalian semua menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah, 2: 143).
Tulisan ini mendeskripsikan pokok-pokok pikiran yang menjadi pondasi wasathiyah Islam dengan merujuk pada tafsir kosa kata “ummatan wasathan” yang ada pada ayat tersebut. Melalui penafsiran ini, tulisan ini mengukuhkan bahwa wasathiyah Islam sebagai sikap moderat dalam beragama, baik dalam hal-hal aqidah, ibadah, dan semua aspek mu’amalah memiliki akar kuat pada visi Islam rahmatan lil ‘alamin, misi akhlak mulia Nabi Saw, dan kerangka epistemologi maqashid syari’ah.
Kata kunci yang terkait pembahasan kita dalam ayat ini adalah kata “ummatan wasathan”, atau umat pertengahan, yang mengambil sikap jalan tengah dan moderat. Sikap moderat seperti ini harus diambil agar umat Islam sanggup menjadi “syuhada”, atau saksi-saksi bagi seluruh manusia di muka bumi ini, sebagaimana Nabi Muhammad Saw telah menjadi “saksi” (syahid) bagi seluruh umat Islam. Pada ayat sebelumnya (QS, al-Baqarah, 2: 142), sikap “wasathiyah” ini disebut sebagai “jalan lurus” (shirat mustaqim). Artinya, kita perlu membicarakan dua kata kunci ini, shirat mustaqim dan syahadah, ketika kita membicarakan wasathiyah Islam.
Dalam memaknai kata “wasath” ayat (QS, 2: 143) ini, Imam asy-Syawkani mensinyalir dalam Fath al-Qadir bahwa karya-karya tafsir klasik, baik yang berbasis riwayah (teks) maupun dirayah (ijtihad pemikiran) bertumpu pada tiga kata kunci: khiyariyah (keterpilihan, atau sikap baik), ‘adalah (keadilan), dan ‘adam al-ghuluw wa at-taqshir (tidak eksesif dalam beragama).[1] Tiga kata kunci ini ditambah dua sebelumnya (shirath mustaqim dan syahadah) bisa menjelaskan pondasi wasathiyah Islam dan keterkaitannya dengan visi Islam rahmatan lil ‘alamin, misi akhlak mulia Nabi Muhammad Saw, dan kerangka maqashid syari’ah.
Wasathiyah sebagai ash-Shirath al-Mustaqim
Sahabat ternama, Jabir bin Abdillah ra pernah mengisahkan sebuah kejadian yang dialaminya bersama Rasulullah Saw. Kata Jabir ra:
كُنَّا عِنْدَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَخَطَّ خَطًّا وَخَطَّ خَطَّيْنِ عَنْ يَمِينِهِ وَخَطَّ خَطَّيْنِ عَنْ يَسَارِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ فِى الْخَطِّ الأَوْسَطِ فَقَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الآيَةَ وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِى مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ (سنن ابن ماجه، كتاب المقدمة، رقم الحديث: 11).
“Suatu saat, kami sedang bersama Nabi Saw. Tiba-tiba Nabi Saw membuat sebuah garis. Di samping kanannya, juga dibuat dua garis, begitupun di samping kirinya dibuat juga dua garis yang lain. Lalu Nabi Saw meletakkan tangan beliau pada satu garis yang di tengah itu (al-khath al-awsath), sambil bersabada: “Inilah jalan Allah itu”, sambil membaca ayat al-Qur’an:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ (الأنعام، 6: 153).
“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya”. (QS. Al-An’am, 6: 153). (Sunan Ibn Majah, no. hadits: 11).[2]
Jika merujuk pada hadits tersebut di atas, maka “shirath mustaqim” ini adalah “garis tengah” (al-khath al-awsath) atau “jalan tengah” (ath-thariq al-wasath) yang diadopsi Nabi Muhammad Saw dan diwasiatkan kepada seluruh umat Islam. Imam Abu Su’ud al-‘Ammady (w. 982 H) menjelaskan tentang “shirath mustaqim” sebagai “jalan tengah” ini dalam tafsirnya “Irsyad al-‘Aql as-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim”, sebagai berikut:
الصراط المستقيم هو الطريقُ السويُ الواقعُ في وسط الطرُق الجائرةِ عن القصد الى الجوانب فإنا إذا فرضنا خطوطاً كثيرةً واصلةً بين نُقطتين متقابلتين فالخطُ المستقيم إنما هو الخطُ الواقعُ في وسط تلك الخطوطِ المنحنية ومن ضرورة كونِه وسطاً بين الطرُق الجائرةِ كونُ الأمةِ المَهْديّة إليه أمةً وسطاً بين الأمم السالكة إلى تلك الطرق الزائغة أي متصفةً بالخصال الحميدةِ خياراً وعدُولاً مُزَكَّيْنَ بالعلم والعمل
“Shirat mustaqim adalah jalan lurus yang berada di tengah di antara jalan-jalan yang menyimpang dari tujuan utama. Ketika kita mengasumsikan ada banyak garis berserakan di antara dua titik kecil yang bertemu, maka akan ada satu garis saja yang lurus, di tengah, yang mempertemukan dua titik itu, sementara garis-garis yang lain akan menyimpang. Sebagai konsekuensi logis dari keberadaan di jalan tengah, di antara jalan-jalan yang menyimpang, maka umat Islam yang memperoleh petunjuk ini terpilih sebagai ummatan wasathan di antara berbagai umat lain. Yaitu ketika mereka berkarakter akhlak mulia, menebarkan kebaikan, mewujudkan keadilan, mementingkan pengetahuan dan kiprah-kiprah sosial yang bermanfaat”.[3]
Jadi, sikap “wasath”, berada di tengah dan moderat, adalah jalan lurus yang telah ditegaskan al-Qur’an sendiri dan langsung digariskan Nabi Muhammad Saw. Untuk mengetahui makna “jalan lurus” ini, yang juga dianggap sebagai sikap “wasath”, kita bisa menelusuri berbagai ayat al-Qur’an yang menggunakan kata ini. Sebagaimana dikatakan Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim, setidaknya ada 38 tempat dimana kata “shirath mustaqim” disebutkan di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Tempat-tempat ini bisa menjelaskan secara cukup tentang makna kata kunci ini dalam perspektif al-Qur’an.
Beberapa ayat, misalnya, berbicara bahwa “jalan lurus” ini akan ditunjukkan Allah Swt kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya (QS. Al-Baqarah, 2: 142 dan 213; al-An’am, 6: 39; Yunus, 10: 25; dan an-Nur, 24: 46). Ayat lain menyatakan bahwa “jalan lurus” ini adalah jalan orang yang berpegang teguh secara kuat pada Allah Swt (QS. Ali Imran, 3: 101), jalan Nabi Isa as (QS. Ali Imran, 3: 51), jalan luwes (hanafiyah) Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad Saw (QS. Al-An’am, 6: 161), dan jalan umat nabi-nabi yang penuh cahaya yang sudah bisa keluar dari kegelapan hidup (QS. Al-Maidah, 5: 16).
مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚوَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ (160) قُلْ اِنَّنِيْ هَدٰىنِيْ رَبِّيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ەۚ دِيْنًا قِيَمًا مِّلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۚ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ (الأنعام، 6: 160-161).
Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi). Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Al-An’am, 6: 161).
“Jalan lurus” yang “tengah” ini juga jalan yang menjadi tujuan dari da’wah Nabi Muhammd Saw (QS. Al-Hajj, 22: 67 dan al-Mu’minun, 23: 73). Beberapa ayat menjelaskan mengenai sikap-sikap beragama yang menjadi karakteristik dari “jalan lurus” tersebut. Yaitu pengakuan diri sebagai hamba Allah Swt dan keyakinan hanya Dia yang Tuhan bagi semua (QS. Maryam, 19: 36 dan Az-Zukhruf, 43: 64), serta bersikap, atau memerintah, secara adil (QS. An-Nahl, 16: 76).
لِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوْهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِى الْاَمْرِ وَادْعُ اِلٰى رَبِّكَۗ اِنَّكَ لَعَلٰى هُدًى مُّسْتَقِيْمٍ (الحج، 67)
Bagi setiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang (harus) mereka amalkan, maka tidak sepantasnya mereka berbantahan dengan engkau dalam urusan (syariat) ini dan serulah (mereka) kepada Tuhanmu. Sungguh, engkau (Muhammad) berada di jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 67).
وَاِنَّ اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْهُ ۗهٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيْمٌ (مريم، 36)
(Isa berkata), “Dan sesungguhnya Allah itu Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.” (QS. Maryam, 19: 36).
اِنَّ اللّٰهَ هُوَ رَبِّيْ وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْهُۗ هٰذَا صِرَاطٌ مُّسْتَقِيْمٌ (الزجرف، 64)
Sungguh Allah, Dia Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.” (QS. Az-Zukhruf, 43: 64).
وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا رَّجُلَيْنِ اَحَدُهُمَآ اَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلٰى شَيْءٍ وَّهُوَ كَلٌّ عَلٰى مَوْلٰىهُ ۗ اَيْنَمَا يُوَجِّهْهُّ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ ۖهَلْ يَسْتَوِيْ هُوَۙ وَمَنْ يَّأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ (النحل، 76)
Dan Allah (juga) membuat perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu dan dia menjadi beban penanggungnya, ke mana saja dia disuruh (oleh penanggungnya itu), dia sama sekali tidak dapat mendatangkan suatu kebaikan. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada di jalan yang lurus? (QS. An-Nahl, 16: 76).
Dari ayat-ayat ini, bisa disimpulkan bahwa karakteristik utama dari “jalan tengah” yang ditetapkan Allah Swt sebagai “jalan lurus” adalah dua hal: ketauhidan kepada Allah Swt dan keadilan sesama manusia. Sejatinya, ketauhidan sendiri sudah secara langsung meniscayakan keadilan. Karena seseorang yang meyakini hanya Allah Swt yang Tuhan, maka yang lain adalah sama-sama makhluk dan hamba-Nya yang harus diperlakukan secara setara dan adil.
Semua ajaran-ajaran Islam, terutama hal-hal terkait keimanan, sejatinya adalah untuk mempertegas kehambaan seluruh semesta, termasuk manusia, di hadapan Allah Swt. Penegasan kehambaan inilah yang dikenal dengan istilah ibadah, dan juga disyari’atkan melalui tindakan-tindakan yang dianggap ibadah, baik yang ritual (‘ibadah mahdlah) maupun yang sosial (‘ibadah ghayr mahdlah). Pondasi dari seluruh penghambaan ini, baik ibadah ritual maupun sosial adalah ajaran tauhid: menyatakan Tuhan sebagai Yang Esa.
Tauhid, sebagai ajaran inti Islam, adalah deklarasi faktual mengenai ketuhanan Allah Swt semata dan kehambaan siapapun dan apapun yang selaian-Nya. Tauhid juga sekaligus menjadi ajaran normatif untuk mendorong manusia menjadi insan kamil yang menerjemahkan sifat rahamutiyah (kasih sayang Allah Swt) dan rububiyah (pemeliharaan yang mensejahterakan oleh Allah Swt kepada seluruh alam) dalam kehidupan nyata. Tauhid adalah keimanan akan keesaan Allah Swt. Kalimat “lā ilāha illallāh” yang sering diucapkan setiap muslim adalah proklamasi tentang keesaan Allah Swt, sebagai satu-satunya Dzat yang patut disembah dan ditaati secara mutlak.
Memproklamasikan ketauhidan berarti menyatakan dua hal, pertama pengakuan akan keesaan Allah Swt dan kedua pernyataan atas kesetaraan manusia di hadapan-Nya. Tiada tuhan selain Allah Swt, berarti tidak ada perantara antara hamba dengan Tuhanya, dan bahwa sesama manusia tidak boleh yang satu menjadi tuhan terhadap yang lain. Raja bukan tuhan bagi rakyatnya, majikan bukan tuhan bagi buruhnya, juga suami bukan tuhan bagi istrinya.[4]
Tauhid merupakan basis teologis bagi kesetaraan manusia. Kesetaraan ini yang menjadi basis relasi resiprokal antara manusia, baik laki-laki dan perempuan, sesama muslim, maupun sesama warga bangsa. Sistem sosial apapun yang yang menjadikan salah satu ras, jenis kelamin, atau golongan sebagai superior dan yang lain sebagai inferior adalah menyalahi tauhid. Patriarkhi dan sistem sosial yang rasis dan fasis, karena itu, misalnya, bisa dianggap sebagai tindakan menyalahi tauhid. Bahkan bisa disebut sebagai tindakan syirik, atau menyekutukan Tuhan.
Dalam sistem yang fasis dan rasis, kelompok bangsa tertentu lebih agung dan mulia, yang lain harus menjadi hamba dan diperlakukan sebagai kelas dua. Sementara dalam sistim patriarkhi ini, jati diri perempuan lebih rendah dari laki-laki. Untuk bisa diakui di mata agama dan masyarakat, kiprah perempuan harus melewati laki-laki. Semua sistem ini bertentangan dengan ajaran tauhid dalam Islam. Ajaran ini meniscayakan hubungan horizontal sesama manusia sebagai mitra hamba yang setara. Sehaingga yang harus dibangun di antara mereka, kemudian, adalah hal-hal yang mengacu pada nilai-nilai kerjasama dan kesalingan, bukan superioritas hegemoni dan dominasi. Relasi resiprokal ini, bertumpu pada dua karakter utama. Yaitu saling mengenal (ta’aruf, QS. Al-Hujurat, 49: 13) dan saling mendukung (ta’awun, QS. Al-Maidah, 5: 2).[5]
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ (الحجرات، ١٣)
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS. Al-Hujurat, 49: 13).
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ (المائدة، 5: 2)
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (QS. Al-Maidah, 5: 2).
Dengan demikian, pondasi wasathiyah Islam adalah ketauhidan yang menegaskan keesaan Allah Swt di satu sisi, dan meniscayakan relasi kesetaraan, kesalingan, dan kerjasama di antara manusia di sisi yang lain. Sehinggga bisa dikatakan, bangsa yang menganut dan menerapkan kesetaraan di antara warga-warganya dalam hukum maupun layanan kebijakan publik adalah bangsa yang sesungguhnya telah bertauhid secara sosial. Bangsa Indonesia, karena itu, apalagi dikuatkan dengan Sila Pertama dalam Pancasila, adalah bangsa yang bertauhid, baik secara keimanan, konstitusi, maupun kebijakan-kebijakan.
Demikianlah implementasi dari sikap wasathiyah Islam yang merupakan “jalan lurus” yang diajarkan al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad Saw. Kita bisa banyak memperoleh inspirasi mengenai hal ini dari berbagai ayat al-Qur’an dan teladan Nabi Saw dalam kitab-kitab Hadits. Setidaknya, kita bisa belajar dari surat yang selalu kita baca pada saat shalat, surat al-Fatihah.
Norma Kebaikan dan Keadilan dalam Wasathiyah
Imam Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H) dalam Tafsir Jalalayn menafsirkan kata “ummatan wasathan” dalam ayat al-Baqarah (QS. 2: 143) dengan dua kata “khiyarun ‘udulun” (خيار - عدول).[6] Dua kata ini, sebagai tafsir kata wasathan, bisa ditemukan di hampir seluruh tafsir klasik dan modern, baik yang bi al-ma’tsur (berbasis riwayat teks) maupun bi ar-ra’y (berbasis ijtihad akal pikiran).
Tafsir ath-Thabari (w. 310 H) sebagai tafsir bi al-ma’tsur generasi awal menyebutkan dua kata ini, khiyarun (خيار) dan ‘udulun (عدول), ketika menjelaskan kata “wasath” dalam ayat tersebut.[7] Begitupun tafsir al-Kasysyaf dari generasi awal tafsir bi ar-ra’y karya Imam az-Zamakhsaryi (w. 538 H) memuat dua kata ini dalam memaknai kata “wasath” dari ayat tersebut.[8] Tafsir kontemporer al-Manar yang ditulis dua tokoh ulama pembaharu, Muhammad Abduh dan Rashid Ridha, terkait ayat ini, juga menyebutkan dua kata kunci yang sama. Berikut ini teks dalam Tafsir al-Manar:
إِنَّ الْوَسَطَ هُوَ الْعَدْلُ وَالْخِيَارُ، وَذَلِكَ أَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى الْمَطْلُوبِ فِي الْأَمْرِ إِفْرَاطٌ، وَالنَّقْصَ عَنْهُ تَفْرِيطٌ وَتَقْصِيرٌ، وَكُلٌّ مِنَ الْإِفْرَاطِ وَالتَّفْرِيطِ مَيْلٌ عَنِ الْجَادَّةِ الْقَوِيمَةِ فَهُوَ شَرٌّ وَمَذْمُومٌ، فَالْخِيَارُ: هُوَ الْوَسَطُ بَيْنَ طَرَفَيِ الْأَمْرِ ; أَيِ: الْمُتَوَسِّطُ بَيْنَهُمَا "....."[9]
Kata “khiyarun” secara bahasa, jika merujuk pada Kamus Lisan al-‘Arab Ibn Manzhur (w. ) misalnya, berarti terpilih dan terbaik. Ia berasal dari akar kata “khair” yang seringkali disebutkan al-Qur’an yang berarti kebaikan.[10] Al-Qur’an tidak memiliki kosa kata “khiyarun”, tetapi beberapa teks Hadits menggunakan kosa kata itu untuk makna-makna keterpilihan dan kebaikan. Beberapa teks hadits di bawah ini bisa menjelaskan arti kata “khiyar”, sekaligus menginspirasi karakter dari wasathiyah itu sendiri.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ قَالَ أَتْقَاهُمْ فَقَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ قَالَ فَيُوسُفُ نَبِىُّ اللَّهِ ابْنُ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ نَبِىِّ اللَّهِ ابْنِ خَلِيلِ اللَّهِ قَالُوا لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ قَالَ فَعَنْ مَعَادِنِ الْعَرَبِ تَسْأَلُونَ خِيَارُهُمْ فِى الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِى الإِسْلاَمِ إِذَا فَقُهُوا. (صحيح البخاري، كتاب أحاديث الإنبياء، رقم: 2388).
Dari Abu Hurairah ra, ada pertanyaan: “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling mulia itu”. Nabi Saw berkata: “Orang yang paling bertaqwa di antara mereka”. “Bukan yang itu, kami bertanya”, kata penanya. “Nabi Yusuf awa, beliau nabi, ayahnya nabi, kakeknya nabi, buyutnya adalah Nabi Ibrahim kekasih Allah Swt”, jawab Nabi Saw. “Bukan tentang itu kami bertanya”, timpal si penanya. “Oh, apakah tentang orang-orang terbaik di kalangan Arab yang kalian tanyakan? Ya, yang terbaik di antara mereka adalah akan menjadi terbaik di mata Islam ketika mereka memahami”, jawab Nabi Saw. (Sahih Bukhari, no. hadits: 2388).[11]
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ. (صحيح مسلم، كتاب الإمارة، رقم: 4910).
Dari Auf bin Malik ra, dari Rasulullah Saw berkata: “Sebaik-baik para pemimpin di antara kalian, adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, mereka mendoakan baik untuk kalian dan kalian mendoakan baik untuk mereka. Seburuk-buruk pemimpin di antara kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian doakan buruk dan mereka mendoakan buruk terhadap kalian”. (Sahih Muslim, no. hadits: 4910).[12]
عَنْ أَبِى رَافِعٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكْرًا فَقَدِمَتْ عَلَيْهِ إِبِلٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِىَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ فَرَجَعَ إِلَيْهِ أَبُو رَافِعٍ فَقَالَ لَمْ أَجِدْ فِيهَا إِلاَّ خِيَارًا رَبَاعِيًا فَقَالَ أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. (صحيح مسلم، كتاب المساقاة، رقم: 4192).
Dari Abu Rafi’ ra, bahwa Rasulullah Saw berhutang kepada seseorang seekor unta usia muda. Ketika datang unta-unta zakat, Nabi Saw meminta Abi Rafi’ untuk membayar hutang unta muda tersebut. Abu Rafi’ merespon dengan berkata: “Tidak ada unta yang sama, kecuali unta-unta terbaik yang sudah dewasa (dan banyak dagingnya)”. Nabi Saw menjawab: “Berikan saja unta dewasa padanya, karena sebaik-baik orang adalah yang berbuat baik ketika membayar hutan”. (Sahih Muslim, no. hadits: 4192).
عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ كُنَّا جُلُوسًا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو يُحَدِّثُنَا إِذْ قَالَ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا. (صحيح البخاري، كتاب الأدب، رقم: 6104)
Dari Masruq, berkata: “Suatu ketika, kami sedang duduk bersama Abdullah bin Amr ra, kemudian di berkata: “Rasullah Saw adalah bukan orang yang berkata buruk dan tidak juga berperilaku buruk. Beliau selalu berkata: “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang terbaik akhlaknya”. (Sahih Bukhari, no. hadits: 6104).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِكُمْ (مسند أحمد، رقم: 10247)
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik orang di antara orang-orang yang beriman adalah yang terabik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang selalu berbuat baik kepada perempuan“. (Musnad Ahmad, no. hadits: 10247).[13]
Teks-teks Hadits ini sudah cukup menginspirasi mengenai karakteristik yang dimiliki konsep “wasathiyah” yang didefinisikan para ulama tafsir sebagai perilaku orang-orang yang “khiyarun”, orang terpilih dan terbaik. Jika kita merujuk pada akar kata “khair” yang digunakan al-Qur’an, sebagai tafsir atas “wasathiyah”, kita akan memiliki deskripsi jauh luas. Muhammad Fuad Abdul Baqi telah menghitung ada 139 tempat bagi kata “khair” (خير) disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an.[14]
Ayat-ayat ini mencakup pembicaraan mengenai kebaikan-kebaikan relasi seseorang dengan Allah Swt, sesama saudara dalam keluarga, dan sesama manusia dalam kehidupan sosial lebih luas. Kita bisa mengambil salah satu contoh ayat saja dari Surat al-Baqarah (QS. 2: 263). Ayat ini menyatakan bahwa memberi sesuatu kepada orang lain, baik zakat maupun sedekah, harus memperhatikan perasaan mereka yang menerima. Ia harus dipastikan tidak tersakiti karena pemberian kita atau cara kita memberi zakat dan sedekah tersebut. Ini tentu saja sisi bukti al-Qur’an memberi perhatian pada sisi kemanusiaan tingkat tinggi. Sebagaimana ditegaskan Nabi Saw, orang yang terbaik adalah ia yang memberikan kebaikan, kemaslahatan, dan kemanfaatan pada manusia secara luas.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه: «أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ، وَأَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: " أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا، وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ لِي فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا فِي مَسْجِدِ الْمَدِينَةِ، وَمَنْ كَفَّ غَضَبَهُ سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ كَظَمَ غَضَبَهُ وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ، مَلَأَ اللَّهُ قَلْبَهُ رَخَاءً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ مَشَى مَعَ أَخِيهِ فِي حَاجَةٍ حَتَّى تَتَهَيَّأَ لَهُ ثَبَّتَ اللَّهُ قَدَمَهُ يَوْمَ تَزُولُ الْأَقْدَامُ». أخرجه الطبراني في الكبير والأوسط والصغير، والهيثمي في مجمع الزوائد
Dari Ibn Umar ra, berkata: “Suatu saat ada seseorang datang bertanya kepada Nabi Saw: “Ya Rasulullah, siapaka orang yang paling dicintai Allah Saw, dan apakah perbuatan yang paling dicintai-Nya? Lalu Rasulullah Saw menjawab: “Orang yang paling dicintai Allah Swat adalah ia yang paling banyak memberi kebaikan dan kemanfaatan pada manusia (secara luas). Perbuat terbaik di mata Allah Swt adalah sesuatu yang membuat bahagian seorang muslim, atau sesuatu yang bisa mengeluarkanya dari kesulitan, membayarkan hutangnya, atau menutup rasa laparnya. Sungguh, aku berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudaraku lebih aku sukai dari pada beribadah i’tikaf satu bulan di dalam Masjid Madinah. Barangsiapa yang bisa mengendalikan amarahnya, Allah akan menutupi keburukannya, barangsiapa yang tidak menumpahkan amarahnya, padahal ia bisa melakukanya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan kelapangan kelak di hari kiamat. Barangsiapa yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, sehingga kebutuhan itu tersedia baginya, maka Allah akan menguatkan perjalananya kelak di hari kiamat pada saat banyak orang tegelincir dan jatuh”. (Riwayat Thabrani dan al-Haitsami).[15]
Dengan penjelasan kata kunci “khiyar” dan “khair” di atas sebagai penjelasan dari konsep “ummatan wasathan”, norma kebaikan merupakan substansi dari konsep wasathiyah Islam, terutama dalam relasi antar manusia. Orang-orang yang bersikap wasathiyah adalah mereka yang mendakwahkan pada kebaikan, berperilaku baik kepada orang lain, menolong, membuat jalan-jalan kemudahan bagi kehidupan, dan menyelasikan beban-beban sosial yang dihadapi kebanyakan orang.
Selain kosa kata kebaikan dalam konsep wasathiyah, ada kosa kata lagi yang juga disebutkan para ulama tafsir, sebagai penjelasan kata “wasathan”. Yaitu kata ‘udulun (عدول), yang berasal dari akar kata ‘adl (عدل). Kata Ibn Manzhur dalam Lisan al-‘Arab, kata ‘udul merupakan bentuk plural yang berarti orang-orang yang adil. Orang yang adil adalah ia yang tidak cenderung pada hawa nafsunya, sehingga tidak menyimpang ketika membuat sebuah keputusan. Ia memutuskan dengan kebenaran. Ia juga berarti orang yang diterima masyarakat, baik perkataan, perbuatan, dan keputusan-keputusannya. Ia juga berarti orang yang dipercaya dan diterima kesaksianya.[16]
Konsep kunci dari kata ‘udul adalah dipercaya, diterima, dan bertindak adil terhadap orang lain. Sikap wasathiyah meniscayakan semua karakter ini sebagai kepribadian individu maupun komunitas. Sikap ini secara sosial horizontal mengantarkan individu dan komunitas untuk saling berlaku adil satu sama lain, saling mempercayai, dan bekerjasama. Keadilan meniscayakan kesetaraan terlebih dahulu. Sehingga, tidak boleh ada orang yang diposisikan secara timpang dan atau menjadi korban sistim sosial yang hegemonik, dominatif, dan zalim. Suatu bangsa yang menerapkan norma keadilan, sejatinya, adalah bangsa yang telah mengukuhkan ajaran wasathiya Islam.
Islam telah menegaskan karamah insaniyah, bahwa seluruh umat manusia itu pada dasarnya bermartabat dan mulia (QS. Al-Isra, 17: 70), tercipta sebagai makhluk terbaik (QS. At-Tin, 95: 4), yang berbeda jenis kelamin, suku, dan bangsa, untuk saling mengenal satu sama lain (QS. Al-Hujurat, 49: 13), satu sama lain tidak saling menghina maupun merendahkan (QS. Al-Hujurat, 49: 11), berbuat dosa dan permusuhan, melainkan bekerjasama dalam ketakwaan, kebaikan dan keadilan, serta saling tolong menolong (QS. Al-Maidah, 5: 2), sekalipun berbeda keyakinan (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8), bahkan keadilan harus ditegakkan sekalipun untuk orang yang mungkin kita benci, dan harus mengena atau akan merugikan diri dan golongan sendiri (QS. Al-Maidah, 5: 8). Sebagaimana diketahui bersama, dalam berbagai ayat al-Qur’an, keadilan ditegaskan sebagai ajaran pokok Islam dalam kehidupan (QS. Al-Nisa, 4: 58 dan 135; al-Maidah, 5: 8; al-Anʻām, 6: 152; Hud, 11: 85; al-Nahl, 16: 90; al-Hadid, 57: 25; dan al-Mumtahanah, 60: 8).
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا (الإسراء، 70)
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (QS. Al-Isra, 17: 70).
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ (التين، 4)
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tin, 95: 4).
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ (11) يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ (12) يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ (الحجرات، 11-13)
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (11). Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang (12). Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti (QS. Al-Hujurat, 49: 11-13).
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْۘا وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ (المائدة، 2)
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya. (QS. Al-Maidah, 5: 2).
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ (المائدة، 8)
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah, 5: 8).
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ (8) اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ (الممتحنة، 8-9)
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (8). Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9).
Dengan norma-norma kebaikan dan keadilan ini, konsep wasathiyah sejatinya untuk mendorong hadirnya kohesi dan kerjasama sosial di antara seluruh anggota masyarakat, yang partisipatif, masing-masing bersikap adil, dan berpikir serta berperilaku untuk memberi manfaat kepada mereka semua. Baik dalam kehidupan domestik antar anggota keluarga, maupuan dalam kehidupan sosial yang lebih luas antar seluruh warga. Karakteristik substansial dalam konsep wasathiyah adalah kebaikan dan keadilan. Hal ini hanya mungkin berada pada individu maupun komunitas, ketika masing-masing memiliki perilaku welas asih, kasih sayang, atau rahmah, dan sikap moderat dalam segala hal, tidak eksesif, tidak ekstrim, dan tidak berlebih-lebihan. Sikap ini biasa dikenal juga dalam al-Qur’an dan Hadits sebagai prinsip hanifiyah samhah.
Wasathiyah adalah Hanifiyah Samhah
Selain khiyarun dan ‘udulun, para ulama tafsir juga menjelaskan wasathiyah dengan kosa kata lain: ‘adam tatharruf, atau tidak berlebihan dan tidak melampau batas, baik dalam hal memenuhi hak yang dianggap perlu (ifrath), maupun meninggalkan sesuatu yang dianggap tidak perlu (tafrith).
Syekh Ahmad bin Musthafa al-Maraghi (w. 1371 H) menyatakan terkait makna wasath dalam ayat QS. Al-Baqarah (2: 143) di atas, bahwa itu adalah sikap moderat yang tidak berlebihan dalam beragama, tidak hanya menekuni aspek-aspek spiritual dan ritual belaka, tidak juga berlebihan dan melampaui batas dalam memanjakan aspek fisik material. Islam adalah agama wasath, atau moderat, yang memberi perhatian pada kedua aspek spiritual dan material secara bersamaan dan berimbang, tanpa melebihkan yang satu dan melupakan yang lain, serta tidak melampaui batas.
وقد جعلنا المسلمين خيارا وعدولا، لأنهم وسط فليسوا من أرباب الغلوّ في الدين المفرطين، ولا من أرباب التعطيل المفرّطين. وقد كان الناس قبل الإسلام قسمين: مادّى لا همّ له إلا الحظوظ الجثمانية كاليهود والمشركين، وقسم تحكمت فيه تقاليده الروحانية الخالصة وترك الدنيا وما فيها من اللذات الجسمية، كالنصارى والصابئة وطوائف من وثنى الهنود أصحاب الرياضات. فجاء الإسلام جامعا بين الحقّين حق الروح وحق الجسم، وأعطى المسلم جميع الحقوق الإنسانية، فالإنسان جسم وروح، وإن شئت فقل: الإنسان حيوان وملك، فكماله بإعطائه الحقين معا
Bahwa Allah Swt telah menjadikan umat Islam sebagai yang terpilih, terbaik, dan orang-orang yang adil, karena sikap mereka yang moderat, bukan termasuk sekelompok orang yang berlebihan (ghuluww) dalam beragama, yang melampaui batas, bukan juga orang-orang yang nihilis yang melampaui batas. Orang-orang sebelum Islam, ada kelompok: mereka yang materialistis yang tidak memiliki kepedulian kecuali hal-hal yang bersifat fisik, seperti sebagian orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik; dan kelompok lain yang terkungkung pada tradisi dan praktik spiritualitas murni yang melupakan kehidupan dunia dan segala kenikmatanya, seperti sebagian orang Kristen, Sabi’ah, dan beberapa filusuf India. Padahal, manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Bisa dikatakan, manusia itu ada unsur hewan dan ada unsur malaikat, kesempurnaanya adalah justru ketika hak-hak dari dua sisi ini dipenuhi keduanya“.[17]
Ajaran wasath dalam beragama (QS. Al-Baqarah, 2: 143), dengan sikap berimbang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik material dan menjawab tuntutan jiwa spiritual, juga terdapat dalam berbagai pernyataan ayat al-Qur’an. Di antaranya adalah sebagai berikut:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (القصص، 28: 77)
“Dan carilah (kebahagiaan hidup) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu (untuk kebahagiaan hidup) di dunia dan berbuat-baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash, 28: 77).
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (31) قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (32) قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (الأعراف، 7: 31-33)
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah perhiasan (yang baik) pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (31). Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan anugerah-Nya yang enak (dan baik-baik) itu? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia ini, dan kelak akan menjadi khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui (32). Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak memeberikan alasan (yang membolehkan) untuk (semua hal buruk) itu, dan Dia juga (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf, 7: 31-33).
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (البقرة، 2: 201)
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Al-Baqarah, 2: 201).
Prinsip wasath dalam beragama ini sesungguhnya tercermin juga dalam berbagai Hadits Nabi Muhammad Saw. Di antaranya adalah apa yang dinyatakan Sahabat Salman al-Farisi ra kepada Sahabat Abu Dzarr al-Ghiffari ra, yang kemudian diafirmasi langsung oleh Rasulullah Saw. Yaitu, bahwa beragama itu penting memperhatikan ibadah yang ritual kepada Allah Swt, sebagaimana ibadah sosial memenuhi hak pasangan dan keluarga, serta hak tubuh yang bersifat fisik dan material. Pernyataan eksplisit yang disampaikan Sahabat Salman ra yang sangat populer di kalangan ahli hadits adalah berikut ini:
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ (صحيح البخاري، رقم: 2005)
Sesungguhnya ada hak Tuhanmu pada dirimu, ada hak jiwa dan tubuhmu pada dirimu, dan ada hak keluargamu pada dirimu, berikanlah masing-masing itu haknya. (Sahih Bukhari, no. haidts: 2005).
Sebagaimana dicatat berbagai kitab hadits, pernyataan ini disampaikan Sahabat Salman al-Farisi ra, ketika melihat Abu Darda tidak mempedulikan istrinya, selalu berpuasa di siang hari, dan selalu shalat di hampir sepanjang malam. Nasihat yang serupa juga dinyatakan Nabi Muhammad Saw kepada Sahabat Utsman bin Mazh’un ra, ketika ia kurang mempedulikan hak-hak keintiman bersama istrinya.[18] Pada konteks lain, Nabi Saw juga menasihati istri Sahabat Shafwan bin al-Mu’athtahl ra yang terlalu sering berpuasa dan terlalu panjang waktu dalam mengerjakan shalat, sehingga melupakan hak-hak keintiman bersama suaminya.[19]
Dalam beberapa hadits yang diriwayatkan Bukhari (no. 1198), Abu Dawud (no. hadits: 1314) Nasa’i (no. hadits: 1654), Ibn Majah (no. hadits: 1433), dan Ahmad (no. hadits: 13897), Nabi Saw pernah menemukan sebuah tali yang membentang di antara dua tiang masjid. Tali itu digunakan beberapa Sahabat perempuan, seperti Zainab bint Jahsy ra dan Hamnah bint Jahsy al-Asady ra, untuk berpegangan ketika berdiri saat shalat dalam keadaan lelah atau sakit. Nabi Saw meminta tali itu diturunkan, sambil bersabda: “Shalatlah sesuai kemampuan saja, jika tidak mampu berdiri, duduk saja, jika masih lelah, istirahat dulu”. Dalam riwayat lain, untuk konteks yang berbeda, Nabi Saw menyarankan agar seseorang yang mengantuk, sebaiknya tidur dulu. Karena, jika dipaksakan shalat, dia bisa ngelantur (Sunan Ibn Majah, no. hadits: 1432).
Semangat yang sama bisa kita temukan dalam berbagai teks Hadits, tentang perhatian Nabi Saw pada sisi-sisi kemanusiaan dan kasih sayang, sebagai sikap wasath dan moderat, baik ketika menjalankan ibadah-ibadah ritual secara khusus, atau dalam berbagai ibadah relasi sosial secara umum. Berikut ini adalah sebagian dari teks-teks tersebut:
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ لاَ أَكَادُ أُدْرِكُ الصَّلاَةَ مِمَّا يُطَوِّلُ بِنَا فُلاَنٌ فَمَا رَأَيْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فِى مَوْعِظَةٍ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْ يَوْمِئِذٍ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ مُنَفِّرُونَ فَمَنْ صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمُ الْمَرِيضَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ ( صحيح البخاري، رقم: 90)
Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra berkata: Seseorang mengeluh kepada Rasulullah Saw: “Saya tidak mampu mengikuti shalat seseorang karena bacaanya panjang dan lama”. Lalu aku (Abu Mas’ud) melihat Nabi Saw seperti marah sekali pada saat itu dan berkata: “Hai, kalian semua telah membuat lari orang-orang, jika seseorang shalat menjadi imam bagi orang lain, maka lakukan dengan ringan (tidak lama), karena di antara yang mengikuti itu ada yang sakit, sudah lemah, atau orang yang sedang memiliki kebutuhan (yang harus segera ditunaikan)“. (Sahih Bukhari, no. hadits: 90).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَبِى قَتَادَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِنِّى لأَقُومُ فِى الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِىِّ فَأَتَجَوَّزُ فِى صَلاَتِى كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ ( صحيح البخاري، رقم: 712)
Dari Abdullah bin Abi Qatadah, dari ayahnya, dari Nabi Saw, bersabda: “Suatu saat, aku ingin memperpanjang (bacaan) shalatku, tetapi lalu aku mendengan tangis bayi, maka segera aku percepat shalatku, karena tidak ingin menyusahkan ibunya”. (Sahih Bukhari, no. hadits: 712).
عن أبي هريرة أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَثَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا بِهِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ e دَعُوهُ وَأَهْرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ -أَوْ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ- فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ. (صحيح البخاري، رقم: 6196)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa ada seorang badui yang kencing di dalam masjid, lalu banyak orang marah padanya dan ingin menumpahkan (kemarahan itu) padanya. Rasulullah Saw berkata kepada mereka: “Biarkan saja, tinggal kalian siramkan di atas air kencing itu degan satu ember air, karena kalian diajarkan untuk memberi kemudahan, bukan untuk membuat kesusahan”. (Sahih Bukhari, no. hadits: 6196).[20]
عن أبي هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ e إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ: مَا لَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ e: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَالَ: لاَ، قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ، فَقَالَ: فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لاَ، قَالَ: فَمَكَثَ النَّبِىُّ e فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ e بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ. قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟فَقَالَ: أَنَا، قَالَ: خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ. فَقَالَ الرَّجُلُ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا -يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ- أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى. فَضَحِكَ النَّبِىُّ e حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ. (صحيح البخاري، رقم: 1970)
Dari Abu Hurairah ra berkata: suatu ketika kami sedang duduk bersama Nabi Saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata: “Ya Rasulullah, saya telah hancur”. “Ada apa dengan dirimu? tanya Nabi Saw. “Saya telah berhubungan intim dengan istriku pada saat saya sedang berpuasa”, jawabnya. “Apakah kamu memiliki hamba sahaya yang bisa kamu merdekakan (sebagai tebusan kesalahan tersebut)? tanya Nabi Saw. “Tidak”, jawabnya. “Apakah kamu bisa berpuasa 60 hari berturut-turut (sebagai tebusan kesalahan tersebut)? tanya Nabi Saw. “Tidak mampu”, jawabnya. “Lalu, apakah kamu mampu memberi makan 60 orang miskin”, tanya Nabi Saw. “Tidak juga”, jawabnya. Lalu Nabi Saw berdiam sejenak. Beberapa saat kemudian ada orang yang membawa masuk ke rumah Nabi Saw sebuah wadah dengan penuh buah kurma. “Mana orang yang bertanya tadi? tanya Nabi Saw. “Ini aku di sini”, jawab seseorang. “Ambilah dan sedekahkan buah kurma ini”, kata Nabi Saw. “Apakah sedekah ini kepada orang yang lebih miskin dariku wahai Rasulullah, sungguh, di antara dua gunung ini tidak ada orang yang lebih miskin dariku”, jawab laki-laki tersebut. Lalu Nabi Saw tertawa mendengar jawaban itu, sampai terlihat gigi-gigi geraham beliah. “Ya sudah, beri makan keluargamu saja”, jawab Nabi Saw. (Sahih Bukhari, no. hadits: 1970).[21]
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضى الله عنهما قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى سَفَرٍ فَرَأَى رَجُلاً قَدِ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَقَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا لَهُ قَالُوا رَجُلٌ صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِى السَّفَرِ (صحيح مسلم، رقم الحديث: 2668)
Dari Jabir bin Abdillah ra, berkata: ketika Rasulullah Saw dalam sebuah perjalanan, beliau melihat ada orang yang sedang dikelilingi banyak orang, sambil ia dibuat teduh oleh mereka. Nabi Saw bertanya: “Ada apa denganya? Mereka menjawab: “Dia sedang berpuasa”. Lalu Rasulullah Saw bersabda: “Tidak baik seseorang yang sedang dalam perjalanan melakukan ibadah puasa”. (Sahih Muslim, no. hadits: 2668).[22]
Sikap-sikap moderat (tawassuth) yang dicontohkan dalam berbagai teks hadits di atas adalah karakteristik wasathiyah Islam dalam beribadah dan bermu’amalah. Karakteristik ini sesungguhnya telah dinyatakan dalam kalimat simpul oleh Nabi Muhammad Saw. Berikut ini adalah teks Hadits riwayat Imam Bukhari dalam Sahih-nya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ (صحيح البخاري، رقم: 39).
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: “Sesungguhnya agama ini mudah. Seseorang yang berbuat eksesif dalam beragama, dia justru seorang pecundang (agama). Kuatkan dan teguhkan, bersikaplah secara moderat, kabarkan kegembiraan, tolonglah diri kalian, (dengan memilih aktivitas ibadah pada saat yang memudahkan, seperti) pada pagi hari, sore hari, atau sebagian malam hari”. (Sahih Bukhari, no. hadits: 39).[23]
Contoh-contoh beragama yang wasathiyah sebagaimana dalam beberapa teks di atas, yang dinarasikan dalam kalimat simpul: “Bahwa beragama itu seharusnya memudahkan, dan seseorang yang berlebihan justru adalah seorang pecundang” adalah selaras dengan dua prinsip syari’ah Islam yang digariskan al-Qur’an; kemudahan (al-yusr, QS. Al-Baqarah, 2: 185) dan tidak merepotkan (‘adam al-haraj, QS. Al-Maidah, 5: 6 dan al-Hajj, 22: 78). Sikap beragama seperti ini, yang memudahkan, memberi perhatian seimbang antara kebutuhan spiritual dan material, penuh kasih sayang, dan mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan, dikenal sebagai ajaran hanifiah samhah.
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ (البقرة، 185)
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah, 2: 185).
مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (المائدةن 6)
Allah tidak ingin membuat kalian dalam kesulitan, melainkan Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, agar kalian selalu bersyukur. (QS. Al-Maidah, 5: 6).
هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَۗ (الحج، 78)
Dia (Allah) telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama (ini, sebagai agama) nenek moyangmu Ibrahim. (QS. Al-Hajj, 22: 78).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَىُّ الأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ (مسند أحمد، رقم: 2138)
Dari Ibn Abbas ra, berkata: ditanyakan kepada Rasulullah Saw: “Yang mana dari agama-agama yang paling dicintai Allah? Nabi Saw menjawab: “Yang hanifiyah dan samhah”. (Musnad Ahmad, no. hadits: 2138).[24]
Seperti dikatakan Imam Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam Fath al-Bari, kata hanifiyah berarti cenderung pada kebenaran dan samhah berati kemudahan atau yang memudahkan, dengan memperphatikan aspek kemanusiaan dan kasih sayang. Hanifisyah dan samhah ini adalah karakter dasar dari ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw yang diwariskan dari sang kakek buyut Nabi Ibrahim as (QS. Al-Hajj, 22: 78).[25] Warisan hanifiah samhah inilah yang di ayat lain juga disebut sebagi jalan lurus, atau shirath mustaqim (QS. Al-An’am, 6: 161), yang sesungguhnya, satu kesatuan karakter kunci dari ummatan wasathan, sebagaimana ditegaskan berbagai ulama tafsir di atas (QS. Al-Baqarah, 2: 143).
وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَۗ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ ەۙ مِنْ قَبْلُ وَفِيْ هٰذَا لِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِۖ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاعْتَصِمُوْا بِاللّٰهِ ۗهُوَ مَوْلٰىكُمْۚ فَنِعْمَ الْمَوْلٰى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ (الحج، 78)
Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat; tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. (QS. Al-Hajj, 22: 78).
قُلْ اِنَّنِيْ هَدٰىنِيْ رَبِّيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ەۚ دِيْنًا قِيَمًا مِّلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۚ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ (الأنعام، 6: 161)
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Al-An’am, 6: 161).
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ (البقرة، 2: 143)
Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kalian semua menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Al-Baqarah, 2: 143).
السماحة سهولة المعاملة في اعتدال، فهي وسط بين التضييق والتساهل، وهي راجعة إلى معنى الاعتدال العدل والتوسط. ذلك المعنى الذي نوه به أساطين حكمائنا الذين عنوا بتوصيف أحوال النفوس والعقول فاضلها ودنيها وانتساب بعضها من بعض. فقد اتفقوا على أن قوام الصفات الفاضلة هو الاعتدال، أي التوسط بين الإفراط والتفريط؛ لأن ذينك الطرفين يدعو إليهما الهوى الذي حذرنا الله منه في مواضع كثيرة
Samhah itu kemudahan perilaku secara moderat dan seimbang, yaitu pertengahan antara mempersulit dan mempermudah (secara berlebihan). Ia bermakna seimbang, adil, dan moderat. Demikianlah pemahaman yang dipilih para ulama dan filusuf kita, yang memiliki perhatian pada karakteristik jiwa dan akal, baik yang mulia maupun rendahan (dari jiwa dan akal itu), atau campuran bagian-bagianya (jiwa dan akal, yang mulia dan rendahan). Para ulama dan filusuf sepakat bahwa pondasi dari semua karakteristik itu adalah sikap berimbang (i’tidal), yaitu pertengahan (tawassuth) antara terlalu berlebihan (ifrath) dan terlalu kekurangan (tafrith); karena dua hal ini justru yang selalu diinginkan hawa nafsu, yang justri dilarang Allah Swt dalam berbagai tempat (ayat al-Qur’an).[26]
Karakteristik hanifiyah samhah dari Islam, yang juga disebut sebagai wasathiyah Islam, adalah yang menjadi kekuatan dari syari’ah, sehingga ia bisa langgeng dan mudah diterima berbagai bangsa, karena sesuai dengan fitrah dasar kemanusiaan, dan selaras dengan hak-hak asasi manusia, yang dalam disiplin ilmu keislaman disebut sebagai maqashid syari’ah. Keberterimaan dari wasathiyah Islam ini bagi banyak bangsa-bangsa dunia ini disebut juga sebagai syahadah, atau kesaksian peradaban umat Islam bagi umat manusia secara umum.
Ayat rujukan (QS. Al-Baqarah, 2: 143) ini telah menegaskan bahwa karakteristik wasathiyah yang dimiliki umat Islam akan menjadi faktor pengangkatan mereka sebagai saksi-saksi bagi seluruh umat manusia. Kedudukan ini sama persis dengan posisi Nabi Muhammad Saw yang menjadi saksi bagi umat Islam. Seseorang, atau suatu umat, diangkat menjadi saksi tentau saja karena kepribadianya yang dipercaya, kiprahnya kredibel, dan pengetahuanya otoritatif dan relevan.
Karena itu, sebagaimana penjelasan karakteristik wasathiya Islam di atas, posisi kesaksian (syahadah) ini adalah berbanding lurus dengan keimanan yang wasath yang dimiliki, yang mengimbangi kebutuhan fisik dan spiritual, ketauhidan sosial yang egaliter, visi rahmatan lil ‘alamin yang dicanangkan, perilaku akhlak mulia yang dimiliki dan ditebarkan, komitmen pada keadilan sosial, dan kerja-kerja peradaban dengan basis pengetahuan yang relevan. Karakteristik inilah, dari Islam, yang menjadikan umatnya diangkat Allah Swt sebagai saksi-saksi umat manusia secara umum. Peran kesaksian (syahadah) ini yang menjadi tujuan mengapa konsep wasathiyah Islam menjadi penting dan relevan.
Beberapa ulama yang menekuni konsep maqashid syari’ah (tujuan-tujuan dasar dari syari’ah Islam), menegaskan bahwa wasathiyah -yang menjadi alasan dari peran syahadah- merupakan bagian dari maqashid syari’ah. Wasathiyah sendiri, sebagaimana dijelaskan di atas, bermakna jalan tengah, adil, tidak berlebihan dan tidak melampuai batas. Prinsip-prinsip hukum Islam (al-kulliyat asy-syar’iyyah) bertumpu pada moderasi ini dan keadilan dalam segala hal. Demikian ini dinyatakan para ulama maqashid, seperti Imam Syathibi (w. 790) dari kalangan ulama klasik dan Syekh Muhammad Thahir bin ‘Asyur (seorang ulama besar Tunisia, w. 1973 M) dari kalangan ulama kontemporer. Pernyataan Ibn Asyur sudah dikutip sebelum ini, sementara pernyataan Imam asy-Syathibi adalah berikut ini:
الشَّرِيعَةُ جَارِيَةٌ فِي التَّكْلِيفِ بِمُقْتَضَاهَا عَلَى الطَّرِيقِ الْوَسَطِ الْأَعْدَلِ، الْآخِذِ مِنَ الطَّرَفَيْنِ بِقِسْطٍ لَا مَيْلَ فِيهِ، الدَّاخِلِ تَحْتَ كَسْبِ الْعَبْدِ مِنْ غَيْرِ مَشَقَّةٍ عَلَيْهِ وَلَا انْحِلَالٍ، بَلْ هُوَ تَكْلِيفٌ جارٍ عَلَى مُوَازَنَةٍ تَقْتَضِي فِي جَمِيعِ الْمُكَلَّفِينَ غَايَةَ الِاعْتِدَالِ، كَتَكَالِيفِ الصَّلَاةِ، وَالصِّيَامِ، وَالْحَجِّ، وَالْجِهَادِ، وَالزَّكَاةِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ. (الموافقات، 2/279)
Syari’ah (Islam) ini, seluruh aturanya, berjalan pada karakteristik jalan tengah yang moderat, mengambil sebagian dari dua sisi, tanpa berlebihan, memasuki tindakan dan perilaku manusia, tanpa menyulitkan dan menihilkan, melainkan aturan yang berjalan secara seimbang yang bisa dipenuhi semua orang secara rata-rata, seperti aturan shalat, puasa, haji, jihad, zakat, dan aturan yang lain.[27]
فَإِذَا نَظَرْتَ فِي كُلِّيَّةٍ شَرْعِيَّةٍ فَتَأَمَّلْهَا تَجِدْهَا حَامِلَةً عَلَى التَّوَسُّطِ، فَإِنْ رَأَيْتَ مَيْلًا إِلَى جِهَةِ طَرَفٍ مِنَ الْأَطْرَافِ، فَذَلِكَ فِي مُقَابَلَةِ وَاقِعٍ أَوْ مُتَوَقَّعٍ فِي الطَّرَفِ الْآخَرِ. فَطَرَفُ التَّشْدِيدِ -وَعَامَّةُ مَا يَكُونُ فِي التَّخْوِيفِ وَالتَّرْهِيبِ وَالزَّجْرِ- يُؤْتَى بِهِ فِي مُقَابَلَةِ مَنْ غَلَبَ عَلَيْهِ الِانْحِلَالُ فِي الدِّينِ. وَطَرَفُ التَّخْفِيفِ -وَعَامَّةُ مَا يَكُونُ فِي التَّرْجِيَةِ وَالتَّرْغِيبِ وَالتَّرْخِيصِ- يُؤْتَى بِهِ فِي مُقَابَلَةِ مَنْ غَلَبَ عَلَيْهِ الْحَرَجُ فِي التَّشْدِيدِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ هَذَا وَلَا ذَاكَ رَأَيْتَ التَّوَسُّطَ لَائِحًا، وَمَسْلَكَ الِاعْتِدَالِ وَاضِحًا، وَهُوَ الْأَصْلُ الَّذِي يُرْجَعُ إِلَيْهِ وَالْمَعْقِلُ الَّذِي يُلْجَأُ إِلَيْهِ. (الموافقات، 2/286)
Jika kamu amati prinsip umum dari Syari’ah, maka akan kamu temui ia mengandung moderasi (tawassuth), atau pertengahan. Jika kamu lihat ia cenderung pada satu sisi, maka sesungguhnya ia sedang mersepon realitas yang sudah terjadi atau akan terjadi pada sisi lain. Misalnya, ada sisi ketegasan yang nampak berlebihan, biasanya pada narasi yang menakutkan, memeperingatkan, dan melarang. Narasi demikian dihadirkan untuk merespon orang-orang yang cenderung ingin lepas dan bebas dari agama. Sementara itu, ada sisi yang begitu memudahkan, biasanya narasi yang memberi harapan, kegembiraan, dan kemudahan, ia dihadirkan untuk mersepon orang-orang yang cenderung mempersulit dan berlebih-lebihan (dalam beragama). Jika tidak ada sisi ekstrim ini (yang mau bebas dari agama) dan itu (yang mempersulit diri dalam beragama), maka yang nampak jelas (dari syari’ah) adalah yang moderat (tawassth), dan jalan tengahnya juga kentara. Hal (moderasi) ini adalah pondasi yang dirujuk syari’ah dan logika yang dipertimbangkan olehnya.[28]
Demikian dasar, prinsip, dan nilai-nilai terkait wasathiyah Islam, yang sesungguhnya menjadi tujuan dari Syari’ah Islam, atau hukum Islam. Sikap wasathiyah, moderat, adalah yang paling relevan sepanjang peradaban Islam untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan dalam hidup di dunia maupun akhirat. Sesuatu dianggap moderat, atau wasathiyah, jika benar-benar menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang setara, dan menghadirkan kebaikan bagi keduanya. Wallahu a’lam.
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir
Referensi
- ↑ Asy-Syawkani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Qadir al-Jami’ bayna Fannay ar-Riwayah wa ad-Dirayah min ‘Ilm at-Tafsir, (Beirut: Dar al-Khair, 1991), juz 1, halaman: 164-167.
- ↑ Kisah ini tercatat dalam Kitab Hadits Sunan Ibn Majah, Kitab al-Muqaddimah, Bab Ittiba’ Sunnah Rasulillah Saw, no. hadits: 11 (Cairo: al-Maknaz al-Islami, 2000).
- ↑ Abu Su’ud al-‘Ammady, Muhammad bin Muhammad bin Musthofa, Tafsir Abi Su’ud: Irsyad al-‘Aql as-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Islami, tt), juz 1, halaman: 172.
- ↑ Lihat: Siti Musdah Mulia, “Tauhid dan Risalah Keadilan Gender”, dalam: Dawrah Fiqh Perempuan: Modul Kursus Islam dan Gender, oleh: KH Husein Muhammad, Faqihuddin Abdul Kodir, Lies Marcos-Natsir, dan Marzuki Wahid, (Cirebon: Fahmina Institute, 2006), halaman: 39-58.
- ↑ Lihat: amina wadud, “Islam Beyond Patriarchy Through Gender Inclusive Qur’anic Analysis”, dalam Wanted: Equality and Justice in the Muslim Family, ed. Zainah Anwar, (Kuala Lumpur: Sister in Islam, 2009), halaman: 95-112.
- ↑ Al-Mahally dan as-Suyuthi, Tafsir Jalalayn, (Beirut: Maktabah Lubnan, 2003), juz 1, halaman: 22.
- ↑ Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, ed. Ahmad Syakir, (Cairo: Mu’assasah ar-Risalah, 2000), juz 3, halaman 141-145.
- ↑ Az-Zamaksyari, Mahmud bin Amr bin Ahmad, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq Ghawamidh at-Tanzil, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1996), juz 1, halaman: 198-199.
- ↑ Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), (Cairo: al-Hay’ah al-Mishriyah li al-Kitab, 1990), juz 1, halaman 4.
- ↑ Ibn Manzhur, Muhammad bin Mukarram, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t.t.), juz 4, halaman: 264-265.
- ↑ Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il, Sahih al-Bukhari, (Cairo: al-Maknaz al-Islami, 2000).
- ↑ Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, (Cairo: al-Maknaz al-Islami, 2000).
- ↑ Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Cairo: al-Maknaz al-Islami, 2000).
- ↑ Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), halaman: 249-251.
- ↑ Al-Haitsami, Ali bin Abi Bakr, Majma’ az-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id, (Cairo: Maktabah al-Qudsi, 1994), juz 8, halaman: 191.
- ↑ Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, juz 11, halaman: 430-431.
- ↑ Al-Maraghi, Ahmad bin Musthafa, Tafsir al-Maraghi, (Cairo: Mathba’ah Musthafa al-Babi Halabi, 1946), juz 2, halaman: 6.
- ↑ Lihat: Sunan Abu Dawud, Kitab at-Tathawwu’d, no. haditsa: 1371 dan Musnad Ahmad, no. hadits: 25392.
- ↑ Lihat: Sunan Abu Dawud, Kitab ash-Shawm, no. 2461.
- ↑ Sahih Bukhari, Kitab al-Adab, no. hadits: 6196.
- ↑ Sahih Bukhari, Kitab ash-Shaum, no. hadits: 1970.
- ↑ Sahih Muslim, Kitab ash-Shiyam, no. hadits: 2268.
- ↑ Sahih Bukhari, Kitab al-Iman, no. hadits: 39.
- ↑ Imam Bukhari juga menyebutkan teks hadits ini Sahihnya tanpa sanad, tetapi di Kitabnya yang lain al-Adab al-Mufrid dengan sanad. Teks hadits ini juga diriwayatkan Imam Ibn Abi Syaibah dalam Musannafnya.
- ↑ Fath al-Bari, juz 1, halaman 94, bab ad-dinu yusrun.
- ↑ Muhammad Thahir bin Asyur, Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Cairo: Dar as-Salam, 2006), halaman 58.
- ↑ Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, juz 2, halaman: 279.
- ↑ Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, juz 3, halaman 14.