Ulil Abshar Abdalla
Ulil Abshar Abdalla | |
---|---|
![]() | |
Aktivitas Utama |
|
Karya Utama |
|
Ulil Abshar Abdalla lahir di Desa Cebolek, Pati, Jawa Tengah, pada tanggal 11 Januari 1967. Ia adalah cendekiawan Muslim Indonesia yang aktif mengampu Ngaji Online Ihya, sebuah masterpiece karangan Imam Al-Ghazali yang disiarkan secara langsung melalui akun facebook. Ia juga pernah aktif di Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Jakarta dengan posisi sebagai Direktur.
Ulil merupakan salah seorang tokoh yang memberikan sumbangsih pemikiran pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sebelum kongres pertama digelar di Cirebon pada tahun 2017, hingga saat kongres dan pasca pelaksanaan KUPI. Dukungan Ulil ini, baik melalui pertemuan langsung maupun daring, mengingat kehadiran KUPI merupakan bagian dari perjuangan lama yang ia impikan sejak dulu. Menurut Ulil, perempuan harus mempunyai suara dalam menafsirkan agama. Dan ketika Islam ditafsirkan dengan pengalaman perempuan pasti akan ada hal yang menarik dan akan muncul perubahan yang radikal, mengingat penafsiran agama selama ini betul-betul didominasi oleh penafsiran laki-laki.
Sudut pandang perempuan bukan berarti tidak penting menurut laki-laki, tapi tidak diperhatikan sama sekali. Seolah-olah, pengalaman laki-laki dianggap sudah mewakili pengalaman manusia pada umumnya. Sehingga anggapannya adalah bila sudah ada hukum bagi laki-laki, maka hukum itu berlaku juga bagi perempuan. Laki-laki menjadi standar kemanusiaan perempuan, dan perempuan tinggal mengikuti saja. Dan bias dominasi inilah yang hendak digoyahkan oleh KUPI.
Riwayat Hidup
Ulil terlahir dari pasangan KH. Abdullah Rifa'i dan Nyai Salamah. Tahun 1997, Ulil menikahi Ienas Tsuroiya, puteri sulung dari pasangan KH. Ahmad Mustofa Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Rembang, dan Nyai Hj. Siti Fatma. Dari pernikahan tersebut, keduanya dikaruniai dua orang putera, yaitu Ektada Bennabi Muhammad dan Ektada Bilhadi Muhammad.
Sejak kecil, Ulil sudah akrab dengan tradisi salaf yang lekat dengan keilmuan berbasis kitab kuning. Ayahnya, KH. Abdullah Rifa’i, adalah pengasuh Pesantren Mansajul Ulum, Pati. Ia seorang yang disiplin, piawai mendaras kitab, dan menulis. Tak heran bila Ulil pun mengikuti jejak sang ayah di mana ia juga sangat lugas menuangkan pemikirannya dengan merujuk pada literatur kitab-kitab klasik.
KH. Abdullah Rifa’i menempa Ulil dengan keras. Pukul 04.00 pagi Ulil sudah harus terjaga, dan secepat-cepatnya waktu tidur malamnya adalah pukul 23.00 WIB. Dengan rutinitas seperti itu, sang ayah menggembleng Ulil agar ia benar-benar menguasai Bahasa Arab dengan baik. "Tata bahasa mengajarkan orang untuk memahami suatu teks dengan teliti sekali. Setiap kata diurai. Dirunut. Ketat sekali. Membutuhkan semacam kecakapan matematika. Logis. Kalau begini, maka begini. Itu menjadi dasar untuk seluruh ilmu yang ada di pesantren. Saya berhutang besar kepada ayah saya pada model kedisiplinan seperti itu," demikian ia mengisahkan di laman facebooknya.
Selain belajar dari sang ayah, Ulil juga menempuh pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah, pada tahun 1980-1985, di bawah asuhan KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz. Ia juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.
Tahun 1988-1993 ia hijrah ke Jakarta, meneruskan pendidikannya di Fakultas Syariah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab). Di sela-sela itu, Ulil mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Lalu pada tahun 2005-2007, Ulil meneruskan program doktoralnya di Universitas Boston, Massachusetts, Amerika. Sejak berkuliah, Ulil sudah aktif menyuarakan ide dan gagasannya yang kritis, baik itu disampaikan melalui tulisan di berbagai media maupun secara lisan melalui forum-forum ilmiah.
Ulil juga pernah tercatat sebagai Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), serta Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Tahun 2015 ia pernah juga bergabung menjadi politisi Partai Demokrat, dan duduk sebagai Ketua Divisi Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Jaringan Islam Liberal (JIL) yang didirikan Ulil bersama teman-temannya mengantarkan Ulil pada isu gender. Melalui JIL, Ulil menemukan betapa penting melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan yang misoginis/mendiskriminasi perempuan. Di samping bahwa keadilan bagi perempuan merupakan salah satu tema yang ada di dalam Islam Liberal.
Dalam praktiknya, Ulil melihat bahwa munculnya fundamentalisme agama yang menjadi ciri khas pada kehidupan paruh kedua abad ke-20 hingga sekarang ini adalah upaya negara dan gerakan sosial Islam melakukan regulasi/pengaturan terhadap kehidupan perempuan. Dan faktanya, sebagian besar dari regulasi tersebut dibuat dari sudut pandang laki-laki, tanpa melihat perasaan dan pengalaman perempuan.
Persoalan kesetaraan gender bagi Ulil sampai kapan pun akan selalu relevan dan abadi, mengingat isu keadilan perempuan tidak pernah ada habisnya. Terlebih dalam dunia yang masih patriarkhal, yang meniscayakan melahirkan ketidakadilan bagi perempuan. Namun demikian, bukan berarti gerakan perempuan tidak ada perkembangan. Ulil melihat gerakan perempuan semakin lama justru sudah menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik. Sayangnya, keadaan yang lebih baik itu mengandung implikasi lain atau ketidakadilan baru. Serupa siklus kehidupan manusia yang pasti menyimpan masalah ketidakadilan terus-menerus. Karena itu, perjuangan menegakkan keadilan tidak akan pernah selesai.
Kesadaran dan penerimaan publik akan kesetaraan gender sudah semakin meningkat. Salah satu capaian penting yang terlihat nyata adalah lahirnya UU P-KDRT dan kuota perempuan di dalam politik. Bagi Ulil, capaian itu tidak bisa dianggap sepele karena merupakan bagian dari progress kesetaraan gender. Dan yang lebih mendasar lagi, di kalangan Islam sendiri isu keadilan terhadap perempuan ini mulai dipeluk, diperjuangkan, dan dipikirkan dengan sungguh-sungguh, dengan melakukan reinterpretasi terhadap tradisi-tradisi yang ada. Terutama terhadap tradisi keagamaan berbasis kitab kuning.
Sebaliknya, yang patut disayangkan adalah saat wacana dan gerakan keadilan gender ini diadopsi oleh sejumlah pemikir, intelektual muslim, dan para tokoh agama, namun muncul kelompok Islam yang memperjuangkan platform yang bertentangan. Alih-alih mengatasnamakan Islam, malah kemudian memperjuangan agenda yang tidak gender friendly. Seperti upaya mengecilkan perjuangan untuk menghapus kekerasan seksual dengan berbagai cara. Pihak yang menolak, sayangnya menggunakan argumen keagamaan untuk menyangkal pentingnya penghapusan kekerasan seksual bagi perempuan. Kemudian hal tersebut bahkan digunakan sebagai agenda politik. Padahal yang demikian sangat berbahaya dan akan memengaruhi kehidupan perempuan secara serius.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
KUPI hadir sejatinya merupakan hasil dari akumulasi perjuangan yang lama di mana ujungnya perempuan yang memiliki kapasitas perlu membangun satu komunitas atau lembaga, untuk membangun pandangan-pandangan keagamaan atau fatwa. KUPI adalah hasil logis dari perjuangan perempuan selama ini. Karena perkembangan Muslimah saat ini terkendala perkembangan tafsir keagamaan yang terlalu didominasi ulama laki-laki.
Kesadaran ini otomatis akan menghadirkan kesadaran baru, sehingga memunculkan ulama perempuan atau ulama laki-laki yang punya kesadaran bagi keadilan. Dan hal ini bagi Ulil merupakan respons yang sangat masuk akal. Sejak mengikuti isu gerakan perempuan tahun 80-an, Ulil yakin pada akhirnya gerakan seperti KUPI akan lahir. Perempuan memiliki peran yang lebih menentukan produksi pengetahuan Islam di Indonesia. Mereka harus mempunyai wadah untuk memproduksi wadah keagamaan alternatif, dan sadar mengenai pentingnya peran perempuan di dalam perumusan fatwa/suatu keputusan hukum.
Adapun kategori keulamaan perempuan secara spesifik, bagi Ulil sangat penting. Tidak bisa istilah ulama perempuan dimasukkan secara sekunder atau hanya di dalam kolom besar bernama ULAMA. Cara berpikir yang male oriented menunjukkan keberadaan perempuan masih belum diperhitungkan. Sebab itu, hadirnya KUPI yang mendesakkan satu kosakata baru; Ulama Perempuan, menjadi lompatan luar biasa bagi perkembangan gerakan perempuan. Maka menghadirkan istilah ini, menyimpan makna simbolik yang sangat penting.
Dalam setiap perjuangan, pastilah menimbulkan risiko resistensi yang harus KUPI hadapi. Apalagi ini perjuangan memperkenalkan satu cara pandang yang kontras dengan cara pandang yang selama ini didominasi ulama laki-laki. Menghindari konflik demi menjaga citra aman, justru malah berlawanan dengan esensi perjuangan itu sendiri.
Hal lain yang perlu diperhatikan dan dirawat benar oleh KUPI adalah tradisi Islam, dengan tanpa menutup wawasan teoretis dan tafsir yang berkembang di luar Islam karena yang terlibat di dalamnya adalah ulama perempuan yang memiliki basis kuat dalam ilmu-ilmu keislaman. Adapun bila meminjam analisis-analisis atau peralatan yang datang dari luar, hal tersebut hanyalah alat bantu yang fungsinya bersifat sekunder. Sedang yang primer adalah dari sumber-sumber Islam sendiri.
Alat analisis dari luar, misalnya dari Barat, harus tetap difilter, dinilai, ditelaah dengan sudut pandang tradisi yang ada di dalam diri perempuan Muslim. Dengan cara begitu, KUPI akan terus menjaga dirinya, karakternya, sebagai gerakan keislaman. Bukan feminisme dalam pengertian yang umum, melainkan gerakan keadilan perempuan yang bersumber dari pergulatan di dalam masyarakat Muslim sendiri. Dengan cara begitu, KUPI akan berada pada jalur yang sesuai dengan tradisi Islam.
Bila hanya menggunakan analisis gender pada umumnya, tentu tidak ada yang khas pada ulama perempuan Muslim. Karena itu, presentasi atau derajat kontribusi peralatan analisis yang dipinjam di luar Islam tidak boleh terlalu dominan. Dan, agenda yang dikembangkan oleh Ulama Perempuan tidak boleh didikte oleh perkembangan gerakan perempuan di dunia, karena KUPI memiliki agendanya sendiri yang khas.
Di dalam tindakan penafsiran, KUPI tidak perlu khawatir akan terbentur batasan-batasan. Karena kegiatan penafsiran selalu dinamis. Misalnya, KUPI menggunakan kacamata undang-undang dan peraturan yang bersifat umum, berlaku bagi semua warga negara dan dunia. Hal tersebut sangatlah penting. Akan tetapi, bagi Ulil semua itu harus tetap dipandang dari lensa tradisi Islam yang sudah dimiliki KUPI.
Karena dengan cara demikian, KUPI mempunyai cara pandang yang unik dan khas. Yang universal tetap harus dipartikularkan, yang bersifat umum tetap harus dilakukan spesifikasi atau pengkhususan. Karena setiap manusia hidup di dalam konteks yang spesifik, misalnya pengalaman khusus perempuan Muslimah yang hidup pada abad 21, pastinya akan berbeda dengan konteks Indonesia pasca reformasi. Dan inilah konteks yang menjadi tempat hidupnya Muslimah yang ada di KUPI sekarang ini.
Peraturan yang sifatnya universal tidak bisa diabaikan, akan tetapi semua itu harus dipertimbangkan dalam konteks pengalaman yang spesifik. Spesifikasi terhadap semua yang universal membuat semua peraturan menjadi bermakna. Karena manusia hidup dalam konteks yang spesifik, tidak konteks umum. Yang bersifat umum cukup aturannya saja, akan tetapi pengalamannya harus spesifik.
Selain itu, pentingnya pengalaman perempuan yang digaungkan KUPI dalam memutuskan Pandangan Keagamaan, seyogianya lebih menekankan pada pentingnya pengalaman perempuan Muslimah yang berada di Indonesia. Ini dua kata sifat yang sangat penting ditekankan, sebagaimana akronim dari KUPI sendiri. KUPI tidak sekadar menjadi cabang perempuan internasional, tapi juga gerakan perempuan yang unik dan tumbuh dari pengalaman perempuan Muslim yang ada di Indonesia.
Karya-Karya
Sebagai penulis aktif, Ulil banyak berkontribusi menuliskan gagasannya di media baik berbentuk tulisan opini di surat kabar, majalah, maupun jurnal ilmiah. Adapun karyanya yang dibukukan antara lain:
- Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita? (2020)
- Sains Religius Agama Saintifik (ditulis bersama Haidar Bagir, 2020)
- Menjadi Manusia Rohani (2019)
- Metodologi Studi Quran (Jakarta: Gramedia, 2012)
- Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam (Jakarta: Nalar, 2008)
- Menjadi Muslim Liberal, published (Jakarta: Nalar, 2005)
- Membakar Rumah Tuhan: Agama dalam Ruang Privat dan Publik (Bandung: Rosda Karya, 1998)
Daftar Bacaan Lanjutan
- https://www.merdeka.com/ulil-abshar-abdalla/profil/
- https://lokadata.id/artikel/ulil-abshar-abdalla-dan-berkah-pendidikan-pesantren
- https://tirto.id/ulil-abshar-soal-fpi-sikap-saya-beda-dengan-jil-lain-cwZS
- https://www.voaindonesia.com/a/islam-ajarkan-dan-dukung-keadilan-gender/4479297.html
- https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/perkembangan-islam-liberal-di-indonesia
- https://www.kompasiana.com/alimustahib/550001eda333115d6f50f99a/dimensi-ulil-abshar-abdalla
- https://www.ngopibareng.id/read/psikologi-felix-siauw-ini-renungan-ulil-abshar-abdalla-1-2914565
Penulis | : | Sari Narulita |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |