Ulama Perempuan Rekomendasikan Perkawinan Anak Dihapuskan
Info Artikel
Sumber Original | : | BBC Indonesia |
Penulis | : | Sri Lestari |
Tanggal Terbit | : | 27 April 2017 |
Artikel Lengkap | : | Ulama Perempuan Rekomendasikan Perkawinan Anak Dihapuskan |
Ulama perempuan meminta pemerintah Indonesia mencegah dan menghapus perkawinan di bawah umur karena terbukti membawa kerugian dalam pernikahan.
Penghapusan perkawinan di bawah umur masuk dalam rekomendasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang digelar di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Kamis (27/04).
KUPI juga menyampaikan bahwa pencegahan dan penghapusan perkawinan pada usia anak dapat dilakukan antara lain dengan menaikkan batas usia minimal untuk menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Menurut badan PBB yang antara lain menangani masalah anak, UNICEF, kategori anak-anak adalah mereka yang di bawah usia 18 tahun.
Dalam kongres juga disampaikan 'fatwa' yang mewajibkan semua pihak untuk mencegah praktik perkawinan usia anak.
Ketua Tim Pengarah KUPI Badriyah Fayumi mengatakan wajib hukumnya bagi semua pihak untuk melakukan hal-hal yang bisa meminimalkan kemudharatan tersebut.
"Kami melihat bahwa persoalan kawin anak ini ada faktor ekonomi, budaya, pandangan keagamaan juga, akses pendidikan, bukan semata-mata pandangan keagamaan, tapi pandangan keagamaan ini mendukung segala upaya untuk mencegah pernikahan anak ini yang membawa kemudharatan, karena faktanya memang membawa kemudharatan," jelas Badriyah.
Selain itu, KUPI juga merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk mengeluarkan peraturan yang memperketat pemberian dispensasi bagi anak yang akan menikah di bawah umur.
Menanggapi rekomendasi KUPI, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan akan menindaklanjutinya.
"Karena pemerintah juga punya hak untuk melakukan review, maka saya akan coba bawa rekomendasi kongres ini, diharapkan kongres ini bisa merumuskan rekomendasinya menjadi lebih teknis," jelas Lukman dalam pidato di penutupan kongres ulama perempuan.
Dia mengatakan upaya uji materi UU Perkawinan ini ditolak karena menurut hakim Mahkamah Konstitusi perubahan itu merupakan kewenangan legislatif.
Pada Juni 2015, MK menolak uji materi UU Perkawinan terutama untuk menaikkan batas usia minimal untuk perempuan bisa menikah yaitu 16 tahun menjadi 18 tahun.
Dalam putusannya, hakim MK mengatakan tidak ada jaminan peningkatan batas usia menikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun untuk perempuan, akan dapat mengurangi masalah perceraian, kesehatan serta masalah sosial.
Selain itu, MK juga menyebutkan ada kemungkinan di masa mendatang, batas minimal usia 18 tahun bagi perempuan untuk menikah bisa jadi bukanlah yang ideal.
Tetapi dalam putusan itu, seorang hakim konstitusi, Maria Farida Indrati menyampaikan pendapat yang berbeda. Dia menganggap batas usia minimal 16 tahun dalam UU Perkawinan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Putusan MK itu dikritik para aktivis perempuan dan kesehatan karena membiarkan anak perempuan mengalami risiko kematian dan cacat pada bayi yang dilahirkannya akibat dari perkawinan usia anak-anak.
Kongres ulama perempuan pertama di Indonesia ini mengangkat masalah tersebut karena angka perkawinan usia anak di Indonesia tercatat yang kedua terbesar di antara negara-negara ASEAN, setelah Kamboja.
Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS pada 2012 lalu menunjukkan dari perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun, 25% di antaranya menikah sebelum usia 18 tahun.
Kekerasan Seksual dan Perusakan Alam
Selain mengeluarkan rekomendasi tentang perkawinan anak, kongres ulama perempuan juga menghasilkan musyawarah keagamaan dan rekomendasi mengenai kekerasan seksual dan perusakan alam.
Hasil musyawarah keagamaan menyatakan hukum kekerasan seksual di dalam dan di luar pernikahan dalam segala bentuknya adalah haram karena melanggar HAM yang dijamin oleh Islam dan UUD 1945.
"Kekerasan seksual dinyatakan bahwa kekerasan seksual di dalam dan di luar perkawinan itu hukumnya haram," jelas Badriyah.
Kekerasan seksual menjadi penting dibahas karena seringkali tafsir agama digunakan sebagai pembenaran dalam kekerasan seksual terutama dalam rumah tangga.
Rekomendasi dikeluarkan untuk disampaikan kepada pemerintah, aparat penegak hukum antara lain agar menjamin akses keadilan, perlindungan dan pemulihan para korban kekerasan berbasis gender termasuk kekerasan seksual.
Selain itu, para ulama perempuan juga mengeluarkan rekomendasi agar negara menghentikan segala perusakan alam yang dapat menimbulkan ketimpangan sosial di masyarakat, dan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku kerusakan alam.
"Dan kita melalui kongres ini ingin menyatakan bahwa alam itu bukan obyek yang dieksploitasi tetapi bagian dari kita sebagai mahluk hidup sehingga terhubung satu sama lain," jelas Badriyah.
Rekomendasi kongres ulama ini akan disampaikan kepada pihak-pihak terkait.