Ulama Perempuan Indonesia di Cirebon
Ulama sering “berjenis kelamin” laki-laki. Konstruksi pemikiran keagamaan yang sangat laki-laki terkadang “meniadakan” peran perempuan di sana. Perempuan dianggap sebagai the second people (manusia kedua).
Kedudukan perempuan pun menjadi minor dalam konteks peradaban kemanusiaan. Karena itu, ulama perlu “ditafsirkan” dalam dua wajah yang humanis.
Pertama, ulama tidak lagi menjadi domain khusus dan eksklusif bagi seorang berjenis kelamin laki-laki. Namun, ada baiknya juga disematkan bagi golongan perempuan yang mempunyai kekayaan ilmu. Kedua, tafsir keagamaan yang selama ini “dikuasai” laki-laki dan cenderung menomorduakan perempuan, perlu dikembalikan kepada kesejatian dalam perspektif kaum hawa.
Selayaknya, ada sekumpulan perempuan terdidik yang menafsirkan makna teks, sehingga hasil pemikiran yang muncul “berpihak” kepada kaum hawa. Kemunculan ulama perempuan dengan tafsir itu, tanpa bermaksud melemahkan ulama laki-laki akan mengubah kondisi kebangsaan. Artinya, perempuan akan semakin mendapat tempat “terhormat” dalam proses pemanusiaan dan peradaban. Ia tidak lagi dianggap kaum yang lemah dan tidak berdaya.
Memaknai Teks
Menilik hal tersebut tampaknya tepat agenda Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2017, yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin, Cirebon, pada 25-27 April 2017. Ini menjadi momentum yang tepat dan pas untuk mengumpulkan cendekiawan dan pemerhati perempuan dalam sebuah forum. Pertemuan orang-orang berilmu ini akan menjadi asa bagi perubahan sikap dan paradigma, yang cenderung menyisihkan perempuan.
Jumlah pererta yang mendaftar membludak mencapai seribuan, hingga panitia menolak pendaftaran ini karena kapasitas peserta yang hanya kurang lebih 500 dan pengamat 150-an, menandakan kebangkitan perempuan dalam memaknai teks dan zaman.
Perempuan akan terus berkontribusi dalam proses keumatan dan kebangsaan. Mereka pun mewarnai zaman. Perempuan akan hidup bersanding dengan laki-laki, tanpa harus membedakan jenis kelamin dan peran dalam kehidupan.
KUPI yang membahas beberapa isu strategis, seperti kekerasan terhadap perempuan, perlindungan anak, perlindungan buruh migran, pembangunan berkeadilan berbasis desa, perempuan dan ketimpangan sosial, memungkinkan suara perempuan akan bermakna di tengah perubahan sosial.
KUPI mengawali acaranya dengan seminar internasional dengan tema “Amplifying Women Ulama’s Voices, Asserting Values of Islam, Nationhood and Humanity” (Memperkuat Suara Ulama Perempuan: Menegaskan Nilai Islam, Kebangsaan, dan Kemanusiaan).
Dalam seminar internasional ini, hadir ulama-ulama perempuan dari berbagai negara, di antaranya Malaysia, Pakistan, Arab Saudi, Afghanistan, Kenya, Nigeria, dan tuan rumah Indonesia.
Kehadiran perempuan yang turut serta memikirkan masa depan ini merupakan angin segar bagi kehidupan, yang berkeadilan dan berkeadaban. Apalagi bandrol yang diambil adalah ulama perempuan.
Penamaan ulama perempuan akan mempunyai nilai heroik saat seseorang diposisikan sebagai ahli, yang memahami tafsir ayat suci dan kondisi keumatan. Penamaan ulama perempuan pun akan semakin mengukuhkan peran perempuan sebagai “ibu”. Artinya, perempuan sebagai seorang pendidik utama dan pelita bagi sebuah peradaban.
Saat seorang perempuan turut serta memikirkan masa depan, maka hari esok akan cerah. Namun, sebaliknya, saat perempuan dibatasi hak-haknya dalam bersuara dan menyampaikan pendapat, maka masa depan akan suram.
Penyebabnya, perempuan tidak mendapatkan porsi mendidik generasi. Perempuan tidak mempunyai wacana dan wawasan yang holistik, sehingga ia kesulitan mentransformasikan ilmu kepada putra-putrinya.
Kongres ini dengan demikian memiliki nilai plus. Setidaknya tercermin dari semakin banyaknya perempuan yang berilmu, dan mempunyai kepekaan serta kepedulian untuk turut serta membangun bangsa.
Kongres ini pun sebagai langkah maju perempuan Indonesia yang religius dan multikultur, dalam memberikan sumbangsih pemikiran dan aksi nyata menyambut hari esok yang lebih cerah.
KUPI 2017 seakan juga menjawab tantangan KH Hasyim Muzadi (Allahu yarham). Sekian bulan lalu beliau memimpikan Indonesia mempunyai banyak ulama perempuan.
Ulama perempuan yang mempunyai nalar menafsir teks. Mereka tidak sekadar membela kaumnya. Namun, menjadi peletak dasar kehidupan yang beradab.
Lebih lanjut, kita dapat dengan mudah mendapatkan tafsir teks yang cenderung mendiskreditkan perempuan. Tafsir ini muncul bukan karena kesalahan teks. Namun, karena ulama perempuan belum memberi makna terhadap kehiduan saat ini. Saat perempuan telah berubah, maka tafsir teks terhadap perempuan yang selama ini negatif akan berubah menjadi positif.
Perempuan akan kembali ditempatkan dalam posisi mulia. Perempuan bukan the second sex, yang hanya dianggap konco wingking. Namun, perempuan mampu menjadi pemimpin dan lampu terang bagi peradaban.
Kehadiran KUPI di Cirebon ini selayaknya tidak hanya menjadi ruang bertemu dan dialog bagi perempuan seluruh Indonesia. Namun, perlu menjadi ajang silaturahim dan membangun jejaring yang lebih erat dan baik bagi semua.
Perlu diingat, KUPI bukan untuk menggugat eksistensi ulama laki-laki. KUPI merupakan embrio sekaligus gerakan kesadaran bersama bahwa wilayah menafsir bukan hanya menjadi kuasa laki-laki.
Namun, perempuan juga bisa menberi makna pada tafsir teks. Lebih dari itu, KUPI kali ini menjadi sarana konsolidasi kekuatan umat (perempuan). Artinya, perempuan berkontribusi nyata dalam mengurai persoalan kekinian.
Perempuan ambil bagian dalam proses kehidupan yang semakin pelik. Saat perempuan bersuara dan mewartakan tafsir yang lebih berperspektif kaum hawa, maka keberadaannya akan semakin “diakui”.
Ulama perempuan merupakan wujud dari keadilan peran kemanusiaan. Peran kemanusiaan yang tidak membedakan jenis kelamin. Namun, sejauh mana seseorang dapat berkontribusi positif bagi kehidupan beradab.
Pada akhirnya, semoga KUPI tahun ini melahirkan tawaran pemikiran, gagasan, dan aksi nyata bagi kiprah perempuan Indonesia membangun kebangsaan dan kenegaraan. Selamat dan sukses KUPI.
Penulis: Rita Pranawati (Dosen FISIP UHAMKA Jakarta, Anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah)
-REPUBLIKA (Opini) 27 April