Temu Ulama Perempuan
Kerukunan Antarumat Beragama Jadi Modal Bangsa.
Lebih dari 700 perempuan ulama, akademisi, dan perempuan aktivis duduk bersama pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang dimulai selasa (25/4) ini di Cirebon, Jawa Barat. Mereka akan bertukar pikiran tentang sejumlah persoalan.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang akan berlangsung hingga kamis (27/4) direncanakan menghasilkan ikrar keulamaan perempuan Indonesia, fatwa, dan rekomendasi.
Tiga isu utama adalah kekerasan seksual dan pernikahan anak, perusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial dan migrasi serta radikalisme.
“Peserta akan bertukar pikiran tetang perjuangan perempuan ulama di beberapa negara dalam menghadapi masalah, seperti kekerasan terhadap perempuan hingga kemiskinan,” ujar sekretaris panitia KUPI, Ninik Rahayu, Senin di Cirebon.
Hingga kemarin panitia mencatat 1.270 pendaftar. Namun dengan pertimbangan keterwakilan wilayah dan ketersediaan tempat, hanya 574 peserta dan 185 pengamat, termasuk perempuan aktivis yang diterima, jumlah itu termasuk 35 peserta yang berasal dari 16 Negara, seperti Malaysia, Nigeria, dan Arab Saudi. Jumlah ini melebihi target awal panitia, yaitu 500 peserta termasuk pengamat.
Sejumlah peserta, antara lain dari Aceh, Sumatra Barat, dan Banten, kemarin tiba di pondok pesantren Kebon Jambu, Kecamatan Ciwaringin, Cirebon. Peserta akan tinggal di pondok pesantren yang dipimpin oleh Hj. Masriyah Amva.
“Masyarakat juga antusias. Ada enam pesantren di sekitar Cirebon yang sukarela menyediakan tempat bagi para peserta.” Lanjut Ninik.
KH. Husein Muhammad, pengasuh pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon mengatakan, KUPI merupakan peristiwa langka di Indonesia, bahkan di dunia, menurut dia, eksistensi perempuan ulama selama ini kerap diabaikan, padahal, perempuan ulama sudah banyak berbuat untuk pesantren, bahkan bangsa,” ujarnya.
Pekan Kerukunan
Ketika membuka Pekan Kerukunan Nasional di Manado, Minggu (23/4) Wakil Presiden Yusuf Kalla mengingatkan, kerukunan antarumat beragama adalah modal bangsa Indonesia untuk maju. Tak ada bangsa yang maju jika selalu mengedepankan perbedaan masyarakatnya.
Pekan kerukunan yang digagas oleh Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey itu diawali dengan perayaan Paskah Nasional di Tondano pada Jumat pekan lalu, pawai mobil hias kerukunan dan dialog tokoh antarumat beragama, serta terakhir perayaan Isra Mi’roj di Manado, Senin (24/4).
Dalam hikmah Isra Mi’raj yang dihadiri sejumlah tokoh agama nasional dan pemerintah di Manado, mantan ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah Din Samsudin juga meyakini, dialog antarumat beragama yang dilakukan terus-menerus memiliki kekuatan membangun bangsa ini.
“Dialog yang dialogis, tansparan dan terus terang menjadi kekuatan menyatukan bangsa dari rasa curiga”, katanya.
Dalam forum dialog, Sekjen Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Gomar Gultom menyatakan, kerukunan umat beragama merupakan budaya masyarakat Indonesia, oleh karena itu kerukunan umat beragama tak perlu diatur atur dalam tata peraturan. “esensi kerukunan adalah beragama secara cerdas menukik pada esensi agama itu sendiri, yakni kebaikan dan kedamaian”, ujarnya.
Ketua Umum Syarikat Islam Hamdan Zoelva menyatakan tiga hal menyangkut kerukunan pertama, tradisi toleransi telah ada sejak zaman dahulu dalam masyarakat Indonesia. Kedua, memperkokoh landasan pemersatu bangsa, yakni Pancasila, dalam segala lini kehidupan berbangsa. Ketiga, menghidupkan dan memelihara tradisi gotong-royong untuk mengatasi perbedaan. (IKI/ODY/DIM/ZAL/HAR)
Kompas, 25 April 2017
Sumber: Harian KOMPAS, 25 April 2017, hal 4