Suara Ulama Perempuan di Ruang Fatwa
Bagaimana hidup di sebuah negara yang tidak memiliki konstitusi atau undang-undang apapun tentang pernikahan, keluarga dan anak-anak? Jawabnya, perempuan adalah korban. Saya belum begitu tersadarkan betapa mengerikannya hingga Hatoon Al Fassi membawa perkara ironis itu ke dalam forum Musyawarah Fatwa di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI 2017) di Babakan Ciwaringin, Cirebon.
Hatoon Al Fassi, Sejarawan Arab Saudi yang juga seorang profesor di Universitas King Saud, Riyadh bercerita tentang laki-laki Arab yang bebas menikahi perempuan usia berapa saja, hobi melakukan kekerasan dalam rumah tangga, hingga praktik poligami yang demikian menjamur. Hatoon mungkin sangat iri ketika Dr. Hj Siti Ruhaini Dzuhayatin berujar dengan tegas bahwa poligami sama sekali bukan pengajaran Islam. Praktik poligami terjadi jauh sebelum Islam datang, dan kedatangan Islam justru memiliki kehendak untuk menghapuskannya.
Namanya juga tak ada undang-undang, akhirnya yang dipakai adalah tradisi. Tradisi di Arab Saudi menganggap usia pernikahan minimal bagi perempuan adalah ketika ia telah mengalami menstruasi, atau memakai standar Siti Aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah. Mereka dipilih begitu saja tanpa mempedulikan nasib pendidikan serta kesiapan mental.
Hatoon berujar bahwa feminis Saudi kini tengah mengkampanyekan sebuah pandangan yang diharapkan menjadi tradisi baru, yakni fakta sejarah pernikahan Khadijah.
Menurut KH. Maimoen Zubair dalam kolom Tausiah, Majalah Bangkit edisi Mei 2017, Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang buta huruf, tidak pandai baca dan tulis. Akan tetapi, di kalangan suku Quraisy pada masa Nabi terdapat seorang wanita bernama Khadijah yang pintar membaca.
Khadijah pandai membaca kitab Taurat dan Injil, bahkan ia juga tekun mengkaji dan menelusuri makna-makna di dalam kedua kitab tersebut. Sehingga, ketika ia berusia dewasa antara 27 dan 28 tahun hatinya menjadi gandrung dengan kitab Taurat, Injil dan sifat-sifat Nabi akhir zaman.
Fakta itu membuat saya mengerti maksud gerakan para feminis Saudi. Salah satu prinsip universal pernikahan adalah baah, yakni kesiapan raga, batin maupun mental. Kisah pernikahan Siti Khadijah dan Rasulullah adalah kisah pernikahan ideal. Bagian penting dari pernikahan bukanlah momentumnya yang sedini mungkin, tapi bagaimana memanjangkan usia pernikahan adalah letak kesunahannya. Masa usia pernikahan Rasulullah dan Khadijah adalah 20 tahun.
Sebelum berangkat ke Ciwaringin untuk meliput KUPI 2017 pekan lalu, saya menyempatkan diri untuk menonton film Kartini garapan Hanung Bramantyo. Kolom ini tidak ingin mendebat apakah Hanung menggarap film itu dengan cukup baik atau tidak, namun ada sebuah adegan yang lekat di ingatan saya. Babak ketika Kartini dan kedua adiknya Rukmini dan Kardinah sedang berada di rumah pingitan, lalu dimandikan kembang oleh seorang abdi dalem.
Ketika mereka berdiri mengangkang untuk diratus, ada sebuah monolog yang sayup-sayup terdengar diucapkan oleh si abdi dalem. "Tubuh perempuan adalah aset. Dia harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Pada saatnya nanti, tubuh ini akan membawamu kepada masa depan hidup yang lebih baik."
Menengok keseluruhan narasi hidup yang dialami oleh Kartini kemudian, kita akan paham, bahwa ternyata hidup yang lebih baik bagi seorang Raden Ayu pada masa itu adalah diperisteri (tak peduli isteri keberapa) oleh seorang bupati, bukan wedana. Bupati adalah simbol kemapanan materi dan kekuasaan.
Pendeknya, bukankah tubuh perempuan digadai untuk materi? Bukan cinta, bukan pula ilmu pengetahuan, dua perkara yang menurut firman Tuhan menjadi pra-kondisi tujuan penciptaan manusia, dan pengangkatan derajatnya yang lebih luhur dibanding makhluk lain di muka bumi ini.
Sambil memikirkan hal di atas dengan sedikit sendu, saya membaca sebuah twit dari seorang ustadz yang piawai membawakan tema-tema pernikahan dan keluarga. Begini twit itu: "Hari Kartini dimaknai untuk memuliakan wanita, bukan untuk kebebasan wanita bertindak semaunya. Kalau mau bebas, bukan Kartini tapi Kar Free Day."
Sepintas, cuitan ini terkesan baik-baik saja. Namun, jika ditelusur lebih dalam, saya kerap justeru teringat ustadz-ustadz patriarkhi yang memakai istilah "memuliakan" perempuan, padahal maksud mereka tidak beda seperti laki-laki pada masa Kartini yang mengembalikan pemaknaan perempuan sebatas tubuh tanpa pikiran yang berhak diobjektifikasi semau-maunya.
Faktanya, Aisyah, Ummu Salamah binti Abi Umayyah, Hafshah Binti Umar, Asma Binti Abu Bakar, Ramlah Binti Abu Sufyan, dan Fatimah binti Qaish tidak mengenal istilah "mulia" yang membuat mereka tidak berkarya. Standar mulia sama bagi laki-laki maupun perempuan, yakni mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lain.
Sayyidah Nafisah, guru Imam Syafi'i bahkan pernah menulis surat kepada Ibnu Talun yang berisi kritik tajam, "Anda telah menyakiti dan membuat lapar rakyat. Orang-orang yang dizalimi tidak akan mati dan orang yang menzalimi tidak akan hidup lama. Lakukan semaumu. Tuhan pasti akan membalas kelakuan burukmu."
Mendefinisikan ulama, KH. Husein Muhammad menyitir sajak Maulana Jalaludin Rumi. Ulama, bagaikan sebuah pohon yang ditanam di tanah yang subur. Tanah itu menjadikan pohon berdiri kokoh dan kuat dengan daun-daun yang menghijau. Ia memekarkan bunga dan menghasilkan buah yang lebat. Meski ia menghasilkan bunga dan buah itu, ia tak mengambilnya untuk diri sendiri.
Buah itu untuk orang lain dan diambil oleh mereka. Jika manusia dapat memahami bahasa pohon itu, maka ia berkata, "Kami diajari untuk memberi dan bukan untuk meminta."
Oleh karenanya, tugas keulamaan bukan milik gender tertentu. Selama ini, di Indonesia, keulamaan dan ketokohan perempuan memang selalu dikisahkan berulang-ulang oleh banyak orang, seperti Nyai Sholichah Wahid Hasyim, Rohana Kudus, Nyai Walidah Ahmad Dahlan, Rahmah hingga Sultanah Tajul. Tapi, kisah itu selalu saja bersumber dari penuturan orang-orang lain.
Banyak riwayat menyebut bahwa Nyai Sholichah mengajar anak-anak perempuan pada zamannya agar memiliki harapan. Tapi, bagaimana kalimat asli yang meluncur dari Nyai Sholichah? Kita tak pernah tahu kepada siapa kalimat asli itu dituturkan, dengan gaya bahasa seperti apa, dan lain sebagainya.
Barangkali, inilah simpulan mengapa satu perempuan seperti Kartini begitu berharga. Gagasannya hidup, persoalan poin-poin yang terus direproduksi, direinterpretasi dan direkayasa, tentu itu soal lain dan tidak hanya terjadi pada Kartini.
Meskipun kita kesusahan menelusur karya-karya sebagian ulama perempuan Indonesia. Setidaknya di negara yang meskipun tertatih mencoba memperjuangkan demokrasi ini, nasib perempuan tidak seburuk cerita Hatoon Al Fassi.
Ruang Musyawarah Fatwa yang membahas isu kekerasan seksual akhirnya menghukumi haram bagi segala bentuk pemaksaan dan kekerasaan seksual, meskipun hal tersebut terjadi dalam pernikahan yang sah. Sedangkan, di ruang yang membahas isu pernikahan dini mengemuka rekomendasi hukuman pidana bagi mereka yang memalsukan identitas untuk pernikahan anak di bawah umur, baik itu sebab pernikahan yang tidak dinginkan maupun kehendak orangtua.
Dispensasi usia tidak dapat terus dibenarkan. Para komisi penyusun fatwa juga berusaha merekomendasikan batas usia pernikahan perempuan dari 16 tahun ke minimal 18 tahun. Isu yang terus coba dibicarakan, salah satunya soal korban pemerkosaan yang dengan dalih apapun tidak boleh dinikahkan dengan pemerkosa. Korban harus sembuh dari trauma dan berhak mendapat kehidupan yang lebih cerah.
Zuriani Zonneveld, Ketua dari Muslims for Progressive Values di Los Angeles, bercerita bahwa pernikahan anak di bawah umur juga terjadi dalam komunitas muslim progresif di Amerika, terutama di negara bagian yang tidak memiliki hukum. Bahkan, di New York terdapat sebuah sekolah khusus anak-anak yang sudah menikah, sedang imam masjidnya adalah seorang yang korup.
Zainah Anwar, pendiri Sisters in Islam (SIS) di Malaysia yang bergiat dalam isu hak-hak Perempuan Muslim bercerita bahwa meskipun gerakan aktivisme sudah mulai tumbuh subur di negaranya, namun Malaysia memiliki wali syariah yang anggotanya laki-laki. Sehingga, apapun rekomendasi yang dibuat, dewan wali Syariah berhak mengajukan pengecualian yang sifatnya setara dengan Negara.
Sambil mencoba percaya diri akan demokrasi Indonesia yang semakin baik, selanjutnya kita mesti terus berpikir akar dari diskursus keperempuanan ini, antara lain soal bagaimana agama dipahami secara universal? Bagaimana ilmu pengetahuan Islam diproduksi? Bagaimana ilmu itu dikonstruksi dalam masyarakat?
Kita semua tentu percaya bahwa seharusnya Islam dapat menjadi sumber penguatan yang menghargai kemanusiaan, bukan menjadi alat diskriminasi. Islam seharusnya pula menjadi sumber pembebasan akal pikir dan kualitas kejiwaan, bukan alat untuk melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
detikNews, Rabu 3 Mei 2017
(Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-3490775/suara-ulama-perempuan-di-ruang-fatwa)
Penulis: Kalis Mardiasih, (Tim penulis konten dan media kreatif untuk KUPI)