Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Fiqh: Perspektif Perempuan
Oleh: Imam Nakhoi
Doktrin fiqh khususnya yang berkaitan dengan relasi lelaki-perempuan dan relasi suami-istri yang ada saat ini dari hasil dialektika teks-teks keagamaan dan realitas di satu pihak dan ideologi-ideologi tertentu sang pernafsir di pihak lain, diduga tidak lagi mencerminkan nilai-nilai keadilan dan keadaban. Konsep-konsep iddah, ihdad, nusyuz, wali nikah, kepemimpinan, kesaksian di muka pengadilan, nafkah, menikmati hubungan seks, zhihar dan banyak lagi untuk disebutkan, adalah sederetan contoh-contoh dimana perempuan selalu berada pada pihak yang disudutkan dan mungkin dihinakan.
Doktrin fiqh di atas dianggap dan sekaligus diyakini sebagai ajaran agama yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, suatu ajaran yang diamini umat Islam sebagai ajaran yang mampu mengatasi problem kemanusian sepanjang zaman. Ini, kata mereka, adalah hukum Tuhan, hukum Allah, syariat, fiqh, hukum Islam yang datang dari Tuhan yang selalu benar dalam kebijakannnya, tidak perlu rnempertanyakan atau menolaknya.
Keyakinan bahwa doktrin-doktrin fiqh sebagai hukum Tuhan dalam batas tertentu adalah benar. Akan tetapi menganggap bahwa syariah, fiqh, hukum Islam, hukum Allah dan sebutan-sebutan lain sebagai aturan yang paripuma, mengatasi segala ruang dan waktu serta tidak dapat diubah siapapun merupakan tema menarik yang perlu untuk didiskusikan.
Dalam sejarahnya, perempuan menjadi makhluk unik yang selalu diperdebatkan eksistensinya. Hampir dalam semua peradaban pra-Islam, perempuan diposisikan sebagai manusia kelas dua yang tidak begitu penting keberadaannya. Dalam peradaban Cina, India, Babilonia, Syiria, Persia, Romawi dan Yunani, kecuali peradaban Mesir, perempuan dianggap hina, dicabut hak pendidikannnya, dihapus semua hak, dan kebebasannya harus tunduk dan patuh di bawah otoritas suami, menjadi budak suami, tidak memiliki peran-peran sosial, dan hak-hak lain seperti yang dimiliki kaum laki-laki. perempuan adalah: (1) identik dengan barang-barang komoditi (dalam bahasa arab dia (perempuan) adalah `ma' bukan `man'), (2) tidak memiliki peran-peran publik, (3) tidak punya keterampilan sehingga boleh saja dibunuh atau dikubur hidup-hidup, dan (4) mudah dikawini dalam jumlah berapapun dan mudah diceraikan.
Tradisi seperti itu juga dialami perempuan bangsa Arab pra-Islarn. Tradisi mengubur bayi perempuan, poligami tanpa batas, menelantarkan istri, menceraikan istri dengan semena-mena dan perlakuan-perlakuan zalim lainnya adalah kisah-kisah sedih yang diceritakan oleh para sejarahwan. Bahkan Al-Quran ikut mengisahkannnya. Lihat misalnya surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 58 surat an-Nahl. Mengenal kondisi perempuan pra Islam, khususnya dalam konteks masyarakat Arab sangat penting untuk mengetahui dengan jelas sejauh mana peran Islam (fiqh) dalam mengubah tatanan sosial Arab pra Islam. Dan yang kalah pentingnya untuk mernahami teks-teks agama yang mengusung kebijakan-kebijakan Tuhan kala itu.
Fiqh, Syariah, Hukum Islam dan Hukum Allah
Terminologi ini sering terlontar ketika seseorang berkehendak meyakinkan atau memaksakan pendapatnya yang harus diterima atau diamalkan oleh pihak lain. Ungkapan yang menyatakan, "ini adalah syariah, inilah Hukum Islam, Hukum Tuhan” dan sejenisnya seringkali terdengar dałam forum-forum kajian keagaman yang sedang membahas status hukum dari fenomena masyarakat. Saya tidak ingin sulit-sulit membedakan keempat istilah tersebut, sebab di samping secara metodologis tidak dapat dipertanggung jawabkan, juga tidak banyak faedahnya. Bahkan, bisa jadi akan terjadi sebaliknya, fiqh atau syariat akan kehilangan elastisitas-eksistensinya dan substansirelevansionalnya.
Para pakar hukum Islam mendefinisikan fiqh sebagai sekumpulan aturan-aturan hukum Tuhan (al-ahkan al-syariah) yang digali dari teks-teks terpisah (al-adillah altafsiliyah) al-Qur'an maupun al-Hadist yang secara praktis berkaitan dengan tingkah laku manusia.
Jadi, fiqh atau syariat adalah hukum-hukum yahg disarikan secara langsung dari teks-teks otoritatif (al-Qur'an dan al-Hadist) maupun yang dihasilkan dari metodologi intimbath yang di 'akui' oleh Tuhan. Metodelogi dimaksud adalah ijma', qiyas, masłahat mursalah, istihsan, istishab, sadd al-dzariah, urf (tradisi) dan lain-lain. Sebagian ulama menyebut metodologi ini sebagai sumber hukum, sebagaiamana al-Qur'an dan al-Hadist. Hanya saja, al-Qur'an dan Hadist merupakan sumber hukum utama yang disepakati.
Sementara yang tersebut terakhir, adalah sumber turunan yang diperselisihkan.
Seluruh produk hukum yang digali melalui kedua jenis sumber tersebut (sumber yang disepakati dan yang diperselisihkan) dapat disebut sebagai hukum fiqh, syariah, hukum Allah atau hukum Islam. Walaupun Sebagian pakar hukum Islam membedakan antara istilah fiqh yang relatif dan temporal dengan syariah yang absolut-universal. Fiqh -menurut mereka- adalah hukum-hukum yang digali melalui sumber-sumber skunder atau digali dari teks-teks al-Qur'an dan al-Hadis yang bersifat dhanni (interpretable). Sedangkan syariah adalah hukum yang disarikan langsung dari teks-teks al-Qur'an yang bersifat qhaťi (jelas indikasinya).
Perbedaan inilah yang nantinya akan menimbulkan perdebatan baru di sekitar wilayah qath'i dan dhanni serta implikasinya. Kapan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadist qhaťiy? Apa implikasi ayat-ayat yang diyatakan qhaťiy? dan kapan dikatakan dhanniy? Perdebatan ini menurut hemat saya tidak penting. Bagi saya, syariat atau fiqh dapat berkembang sejalan dengan kemajuan manusia dan bahkan bisa diubah ketika tuntutan kemaslahatan menghendakinya.
Di pihak lain, juga terdapat dikotomi antara syariat (fiqh) dan al-qanun al-waďi (undang-undang positif). Abdul Qadir Audah dałam al-tasyri' al-jina'i al-islami misalnya, membedakan kedua term tersebut. Hal iłu tampak seperti terlihat dałam bagan di bawah ini.
NO | PERBEDAAN SYARIAH DAN QANUN WAD’I | |
SYARIAH | QANUN WAD’I | |
1. | Peletak syari’ah adalah Allah. Dengan begitu memiliki sifat luhur dan abadi seperti penciptanya. | Peletak qanun adalah manusia. Dengan begitu memiliki sifat tidak sempurna dan temporal seperti pembuatnya. |
2. | Syariah adalah aturan —aturan atau
qaidah-qaidah yang diciptakan oleh Allah untuk mengatur manusia. Dengan demikan aturan aturan syariah mendahului keberadaan manusia. manusia harus mengikuti syariah, bukan sebaliknya. |
Qanun adalah qaidah-qaidah yang dit entuk oleh manusia untuk mengatur kehidupan manusia. Dengan demikian qanun mengikuti dinamika masyarakat. Karenanya bersifat temporal. Undang-undang harus ikut manusia bukan sebaliknya. |
3. | Syariat memeliki sifat sifat c! kamal
(sempuma), al-sumulv (luhur), al-dawam (berlaku abadi). |
Qanun memeliki sifat-sifat yang naqish (kurang, tidak sempuma), al-muaqqat (temporal ), dan lain-lain. |
4. | Dan lain-lain | Dan lain-lain |
Dikotomi ini meletakkan syariat sebagai aturan yang wajib ditati dan akan mendapatkan jaminan surga atau neraka bagi orang mentaati atau mengingkarinya. Sedangkan qanun sebagai aturan manusia yang bila dipatuhi atau dilinkari hanya akan menimbulkan konsekwensi —konsekwensi duniawi.
Negara-negara muslim seperti Afganistan, Bahrain, Kuwait, Qatar, Mesir dan lain adalah negara-negara yang memliki undang-undang (qanun) yang bersumber dari syariat Islam. Dalam konteks ini, secara teologis tidak ada soal bagi kalangan muslim tertentu, meskipun dalam tataran relevansinya dapat diperdebatkan.
Qanun dapat dibagi dalam tiga kategori: (1) qanun yang jelas-jelas berlawanan dengan syariah (2) qanun yang sejalan dengan syariat islam dan (3) qanun yang tidak berlawanan dan tidak bersesuaian dengan syariat.
Kategori ketiga inilah yang menjadi wilayah perselisihan di kalangan ulama. Bagi saya, qanun kategori manapun selama dapat menghadirkan kemaslahatan duniawi-ukhrawi patut untuk disebut sebagai hukum Islam yang wajib dipatuhi.
Sejarah Pembentukan, Perkembangan dan Pernhakuan Fiqh (syariat)
Secara sederhana sejarah hukum Islam dapat dibagi kedalam tiga periode. Periode penbentukan, periode pengembangan dan periode pembakuan fiqh (abad kemunduran ijtihad).
a. Periode Kelahiran Fiqh (periode Nabi Saw)
Fiqh sesungguhnya lahir bersamaan dengan lahirnya Islam. Sebab, sejak awal kehadirannya, Islam tealah membawa tiga ajaran utama. Yaitu al-ahkam al-l'tiqadiyah, al-ahkam al-khuluqiyah dan aI-ahkam al-amaliyah. Nah, yang terakhir inilah yang disebut dengan fiqh al-qur'an wa as-sunnah. Pada periode nabi ini, fiqh besumber dari dalil-dalil al-Qur'an dan al-Sunnah.
Pada tahap ini sesungguhnya telah banyak aturan-aturan fiqh yang dilahirkan, dari mulai urusan ibadah, zakat, perkawinan, mawarist, peradilan sampai pada persoalan hubungan muslim dengan non muslim. Fiqh periode ini adalah fiqh Qur'an dan fiqh Hadits. Pada babak ini, walaupun fiqh telah mengatur banyak hal, namun aturan-aturan fiqh relatif sederhana.
Khudari Bik dalam Tarikh Tasyri'-nya mencoba menghitung hukum-hukum yang dibawa al-qur'an sebagai berikut: Shalat, Shaum, hajj wa umrah, zakat, al-qital, al-‘uhud wa al-rnawatsiq, asra al-harbi, ghanaim al-harb, nidzam al-zawaj, al-thalaq wa al-iddah, adab al-hijab, nidzam al-tawrits, al-mu'amalat dan al-`uqubat (al-qhishah, had a1-zina, had al-sariq dan had quththa' al-tharig). Bab-bab inilah yang nantinya mewarnai semua lembaran-lembaran kitab fiqh.
b. Periode Pengembangan (periode Sahabat, dan Tabi'in abad I sampai dengan awal abad III).
Pada saat inilah aktifitas-aktifitas ijtihad secara riil dimulai. Ada beberapa sebab mengapa baru dimulai pada periode ini. Pertama, pada masa Nabi Saw tidak ada peluang melakukan ijtihad "secara bebas", sebab seluruh keputusan hukum berada di tangan teks wahyu dan Sunnah Nabi Saw. Kedua, lahirnya kasus-kasus model baru yang belum pernah terjadi pada masa turunnya wahyu, sehingga secara tegas belum tertulis baik dalam al-Qur'an maupun Hadits. Ketiga, semakin meluasnya Islam ke seluruh daerah Jazirah Arab. Keadaan ini menimbulkan lambatnya informasi dari satu ulama' di satu daerah terhadap ulama' lain di daerah yang berbeda. Ketika informasi hadits Nabi tidak sampai, sementara kasus di masyarakat menuntut jawaban segera, maka ijtihad menjadi pilihan satu-satunya.
Pada saat inilah muncul fiqh Umar, fiqh Ali, fiqh Abu Hanifah, fiqh Imam Malik, fiqh Syafi'i, fiqh Imam Ahmad bin Han bal dan lain-lain. Masing-masing imam mempunyai kesimpulan hukum yang tidak dimiki oleh imam yang lain.
Keputusan hukum bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam negara, imam shalat, perempuan tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami, meyentuh wanita bisa membatalkan wudhu' dan lain-lain, saya kira, lahir pada periode ini, yang pada periode Nabi Saw masih belum muncul.
c. Periode Pembakuan dan Kemunduran.
Dimulai pada abad inilah upaya pencarian, hukum melalui ijtihad tidak terdengar lagi. Masing-masing ulama sibuk berafiliasi dan sekaligus melakukan pembelaan-pembelaan terhadap imam-imam mujtahid sebelumnya. Sejak saat inilah pilar-pilar mendzhab mulai ditegakkan dan akhimya dikokohkan sebagai ajaran fiqh yang secara konsepsional telah selesai. Para ulama yang mungkin saja tidak kalah intelektualitasnya — tidak lagi berfikir bagaimana memahami al-Qur'an dan al-Hadist sebagaimana ulama sebelumnya, melainkan berupaya keras bagaimana rnenjelaskan aqwal (pendapat-pendapat) para imam mujtahid setepat-tepatnya, menyerdahanakan atau mempermudah untuk memahaminya. Maka muncullah syarah-syarah, hasyiyah-hasyiyah, mukhtasar dan nadhaman (bentuk syair/ lagu).
Sekalipun mereka menemukan hukum baru yang, mungkin belum terbayang dalam benak para imamnya, namun mereka tidak berani menyatakan bahwa itu adalah hasil ijtihadnya. Imam al-Haramain (478 I-7), Imam al-Ghazali (505 H), Imam ar-Rafi'i (623 H) Imam an-Nawawi (676 H) dan yang lain sekalipun kecerdasannya diakui, namun tetap saja mereka berafiliasi pada Madzhab asy-Syafi'i. Mengapa mereka tidak membuat madzhab sendiri? Wallahu a'lam.
Produk-produk fiqh yang bias laki-laki sangat mungkin muncul pada periode ini, walaupun dalam periode sebelumnya fiqh yang bias laki-laki sudah ada. Kesimpulan fiqh bahwa suara wanita adalah aurat, wanita tidak boleh men-sholati jenazah, doa laki-laki lebih mustajab dibanding perempuan, gaya shalat laki-laki berbeda dengan teknik shalat perempuan, perempuan tidak boleh shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan lain-lain dikokohkan keabsahannya pada periode ini.
Namun, suatu hal yang luar biasa terjadi pada masa ini adalah sistematisasi metodologi ijtihad dan lahimya kaidah-kaidah fiqh yang tidak ternilai. Puluhan bahkan ratusan kaidah-kaidah ushuliyah maupun sekaligus Kaidah-Kaidah Fiqhiyah digagas, diperkokoh sekaligus dengan argumen teologisnya.
Kaidah-Kaidah Fiqhiyah
Abu Thahir ad-Dabbas mendasarkan seluruh Madzhab Abu Hanifah ke dalam tujuh belas kaidah. Ad-Dabbas rajin mengulang-mengulang kaidah-kaidah tersebut tiap malam di masjid dimana ia tinggal. Suatu hari Abu Sa’ad al-Harawi (488 H), salah seorang pengikut Imam Syafi'i melakukan pengintaian untuk mencuri dengar kaidah-kaidah yang diciptakan ad-Dabbas tersebut. Wal-hasil, al-Harawi hanya berhasil mendapatkan tujuh kaidah dari tujuh belas kaidah-kaidah itu yang tidak ingin dijiplak oleh ulama lain.
Sepulang dari pengintaiannya, al-Harawi membacakan kepada sahabatnya ketujuh kaidah yang telah berhasil ia dengar. Di antara para sahabatnya terdapatlah nama al-Qadhi Huasain. Dialah yang kemuadian merujukkan seluruh aqwal dalam madzhab syafi’i ke dalam empat kaidah, yaitu:
- Al-yaqin la yuzalu bi al-syakk (keyakinan atas suatu kebijakan tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan keraguan-keraguan atas sebaliknya).
- Al-masyaqqah tajlibu al-taysir (kesulitan dapat mendatangkan kemudahan).
- Al-dharar yuzalu (segala bentuk kerusakan, penindasan harus dihapuskan).
- Al-adah muhakkamah (tradisi lokal dapat dijadikan hakim untuk memutuskan halal-haram atau baik-buruk suatu tindakan tertentu).
Sebagian ulama menambahkn satu kaidah lagi, yaitu al-umuru bi maqashidiha (segala sesuatu harus dilandasi dengan niat yang luhur). Bahkan Izzuddin ibn Abdi Salam mengembalikan persoalan fiqh hanya kepada satu kaidah, yaitu i'tibar al-mashalih wa dar'u al-mafasid (segala kebijakan hukum harus bermuara pada uapaya mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan segala bentuk kerusakan). Ada pula sebagain ulama' yang hanya mengembalikan semua persoalan fiqh hanya pada satu kaidah pendek "i'tibar al-masalih".
Pada perkembangannya, satu demi satu fiqh tercipta menyusul kaidah-kaidah sebelumnya. Ali Ahmad al-Nadawi dalam bukunya al-qawaid ai-fiqhiyah misalnya menyebut tidak kurang dari 390 kaidah fiqhiyah hasil dialektika ulama dengan produk-produk fiqh yang terus berkembang. Memang, secara historis kaidah-kaidah fiqh lahir setelah produk-produk fiqh mencapai tingkat kematangan dan mungkin juga menjenuhkan. Sehingga untuk memahmi fiqh tidak perlu menghafalkan jutaan aqwal ulama, akan tetapi cukup rnenghafal kaidah-kaidah besarnya, yaitu al-qaidah al-fiqhiyah.
Maqasidh Syariah
Seluruh umat islam, baik yang fundamentalis, modernis, rasionalis, ortodok tradisionalis, post-modernis dan sebutan-sebutan lainnya, sepakat bahwa setiap undang- undang sayariat islam, pastilah dihadirkan untuk menebarkan kemaslahatan dan menghindarkann seluruh bentuk penindasan, kedahlaiman dan ketidakadilan. Tidak yang dirancang untuk menindas atau menyengsarakan umatnya.
Persoalan teologisnya adalah apakah maslahah (maqasid al-syariah) berada di luar teks-teks suci al-Qur'an dan ajaran-ajaran al-Sunn'ah ataukah berada di dalamnya? Apakah maslahah sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri ataukah ia sebagai konsekuensi logis dari aturan-aturan syariah? Bagaimana kalau maslahah yang dipersepsikan manusia bertentangan dengan kemaslahatan yang diyakini berada di dalam teks-teks suci tersebut? Bagaimana kalau antara naql (al-Qur'an dan al-Hadist) berlawanan dengan al-aql (pemahaman akal)?.
Soal inilah yang rnenjadi perdebatan di kalangan ulama klasik tempo dulu dan ulama kontemporer saat ini. Dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan berakhir dengan kemenangan telak salah satu. Sebab itulah di Indonesia, kita sering mendengar tulisan baik di media massa maupun tulisan skripsi, tesis dan disertasi yang berusaha untuk mengungkap teori-teori maslahah dari masing-masing ulama, seperti nadhariyatul maslahah ’inda al-syafi’i, nadhariyatul maslahah `inda malik, nadhariyatul maslahah inda al-thufi, `inda al-ghazali, al-syatibi dan lain-lain.
Berikut ini kaidah masyhur yang berkaitan dengan maslahah, misalnya:
- إذا تعارض النقل والعقل على مسائل الشرعية فعلى شرط أن يتقدم النقل فيكون ممنوعا ويتأخر العقل فيكون تابعا (الشاطبي).
- المصلحة أقوى أدلة الشرع (الطوفي).
- إذا خالف النص والإجماع في جهة والمصلحة في أخرى وجب تقديم رعاية المصلحة بطريق التخصيص والبيان لا بطريق الافتيات والتعطيل لهما (الطوفي).
Metodelogi Kontekstualisasi Fiqh : Upaya Membangun Fiqh Humanis Perspektif Gender
Tawaran-tawaran metodelogi alternatif untuk membangun fiqh yang humanis dan berkeadilan, sesungguhnya telah muncul dari banyak sarjana-sarjana muslim abad ini. Kehadiran metodelogi alternatif menjadi penting sebab agama (fiqh) selalu dihadapkan pada problem-problem kemanusiaan yang multi perspektif. Metodologi klasik yang lebih besar bertumpu pada pemahaman teks secara literal harus didampingi secara seimbang oleh metode-metode lain dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan yang semakin kompleks. Perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika masyarakat begitu cepat berlari meninggalkan dogma-dogma agama (fiqh, agama). Jika agama tidak dipahami secara cepat dan tepat dengan metodologi yang, benar, maka agama akan segera ditinggalkan pengikutnya.
Untuk memahami agama secara benar, menurut hemat saya dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut; pertama, teks-teks keagamaan mesti ditafsirkan dan dimaknai dari berbagai perspektif ilmu-ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu kemanusian untuk mengimbangi pendekatan lama yang lebih besifat teosentris. Disinilah teks-teks keagamaan dikaji dari berbagai perspektif. Teks tidak lagi dipahami secara harfiyah terlepas dari konteks kehadirannya, setting sosialnya dimana teks disabdakan. Teks-teks tidak lagi diposisikan sebagai korpus tertutup yang tidak tersentuh oleh tangan-tangan manusia. Teks harus ditundukkan dihadapan problem-problem kemanusiaan yang membutuhkan petunjuknya. Disinilah pendekatan sosiologis, antropolog dan histories dapat dijalankan.
Kedua, ijtihad harus digerakkan kembali bukan hanya pada nash-nash yang bersifat dhanni. Akan tetapi ijtihad juga harus dilakukan terhadap nash-nash yang qat'iy sekalipun. Kaidah la ijtihad fi muqabalah al-nusus al-qhat'iyah perlu ditafsir ulang. Ijtihad tidak lagi dipahami sebagai upaya menemukan hukum Islam dari teks melainkan juga mencakup pada bagimana mempersambungkan ayat-ayat tersebut dalam dinamika kehidupan masyarakat yang plural.
Ketiga, revitalisasi ushul fiqh. Artinya, ushul fiqh bukan hanya sebagai bahan bacaan yang dapat mendatangkan berkah, melinkan bagaimana kaidah-kaidah ushul fiqh tesebut dapat digunakan untuk mengandirkan hukum islam yang relevan dengan zamannya. Dalil-dalil skunder seperti maslahah mursalah, istihsan, urf, dan lain-lain belum betul-betul diefektifkan, kalau tidak dikatakan belum sama sekali. Bahstul Masail dalam tradisi NU maupun Muhammadiyah misalnya, selalu diwarnai dengan perburuan-erburuan maraji' (kitab-kitab klasik) yang telah ditulis oleh ulama klasik pada abad yang lalu, tidak pernah memikirkan secara serius bagaimana memahami teks-teks keagamaan ala Indonesia dan dalam konteks Indonesia pula. Dalam naungan ini, kaidah al-tsabit bi al-urf ka al-tsabit bi al-nash, al-`adah muhakkamah, naskhhu al-nusus bil maslahah dan sejenisnya dapat diterapkan.
Keempat, syari'ah atau fiqh semestinya harus dipahami sebagai jalan (wasail) untuk meraih kebahagiaan dunia saat ini maupun akherat disaat nanti. Sebagai jalan maka ia tidak bisa di tashbihkan sebagai sesuatu yang sacral dan abadi. Setiap jalan pasti mengalami tanbal sulam bahkan kadang ditutup justru mempersulit untuk meraih tujuan. Demkian pula syariah harus siap menerima tambal sulam, penambahan-pengurangan sesuai dengan kebutuhan manusia dalam menggapai tujuannya. Syariah untuk manusia, bukan manusia untuk syari'ah. Wallahu a’alam.
Situbondo, 22 Mei 2004
Catatan: Artikel ini dipresentasikan dalam Dawrah Fiqh Perempuan, 23-27 Mei 2004 di Cirebon, yang diadakan Fahmina Institute Cirebon.