Samsidar
Samsidar | |
---|---|
![]() | |
Aktivitas Utama |
|
Karya Utama |
|
Samsidar adalah seorang ulama aktivis yang punya perhatian besar pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Ia juga seorang konsultan independent dan pengurus di berbagai lembaga.
Dalam penyelenggaraan KUPI, Samsidar terlibat dalam proses persiapan, pelaksanaan, dan kegiatan pasca kongres. Ia hadir dalam pertemuan pra kongres untuk merumuskan metodologi fatwa KUPI. Dalam struktur kepanitiaan KUPI ia masuk dalam Divisi Kerja Kongres. Ia juga menjadi moderator dalam sesi diskusi paralel KUPI tentang topik “Penghentian kekerasan seksual dalam perspektif ulama perempuan”. Usai kongres, ia aktif mensosialisasikan tiga fatwa KUPI, terutama mengenai pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
Riwayat Hidup
Samsidar lahir dan besar di Banda Aceh. Sejak kecil, lewat ayah dan ibunya, ia mendapatkan akses buku-buku, dan dari bacaan itu ia mulai mengenal konsep ketidakadilan dan bagaimana memperjuangkannya.
Samsidar mengaku bahwa ia mendapatkan banyak privilege karena kedua orangtuanya. Di saat banyak aktivis yang ditangkap militer, ia masih bisa dengan leluasa menyuarakan gagasan. Meskipun, sang ibu kerap kali menasihati Samsidar untuk tidak terlalu aktif dalam mengadvokasi isu perempuan. Nasihat itu bukan tanpa sebab, karena ada semacam stereotip gerwani yang disematkan kepada perempuan yang aktif.
Pengalaman pertama Samsidar melakukan pendampingan saat terlibat dalam projek pengembangan kebun kopi pada tahun 90an, kerja sama Indonesia dan Belanda. Setelah projek selesai, ia bersama para perempuan dampingan mendirikan credit union. Dalam kerja-kerja itu, ia terus bergerak untuk memberikan dampingan kepada perempuan. Di sela-sela aktivitasnya itu, ia sempat menjadi dosen.
Pada tahun 1998, Samsidar berpindah ke Jakarta karena ia menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan. Saat ini Samsidar menjadi pengurus di beberapa organisasi, di antaranya di Pesada; Rukun Bestari—bersama Kamala Candrakirana dan Andi Yentriyani; Yayasan Keadilan dan Perdamaian; dan Asia Justice and Right Indonesia. Dan secara spesifik memiliki perhatian yang besar pada isu Hak Asasi Manusia, hak perempuan, dan pluralisme—toleransi dan keberagaman
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Samsidar menjelaskan filosofi dari credit union. Menurut Samsidar, credit union harus dimulai dengan pendidikan, berjalan dengan pendidikan, dan diawasi dengan pendidikan. Tujuan utama credit union bukanlah menghimpun modal. Dalam credit union yang dikelola Samsidar, uang dipinjamkan untuk kebutuhan ekonomi dan nonekonomi, termasuk ada pinjaman khusus untuk perempuan yang sakit, melahirkan, dan untuk anak-anak melanjutkan sekolah. Sederhananya, credit union adalah dari mereka dan untuk mereka.
Credit union yang dibentuk oleh Samsidar tak seperti koperasi pada umumnya yang hanya melakukan transaksi ekonomi. lebih dari itu, Samsidar bersama para anggota credit union menyelenggarakan berbagai kegiatan dan diskusi. Credit union itu kemudian berkembang menjadi sebuah Yayasan bernama Yayasan Pemberdayaan Perempuan, tetapi berubah menjadi Yayasan Pemberdayaan Wanita setelah didaftarkan di notaris. Pada masa itu, tidak mudah bagi organisasi mendapatkan legalitas satu lembaga. Samsidar sampai harus menjalani semacam wawancara di tingkat provinsi. Samsidar mengatakan bahwa sebetulnya credit union digunakan sebagai tameng supaya aman dari ancaman militer dalam melakukan advokasi dan pendampingan terhadap perempuan.
Dari perjuangan bersama para perempuan dampingan dalam membuat koperasi itu, Samsidar menyadari bahwa perempuan memiliki potensi dan kekuatan yang besar jika diberi kesempatan. Desa di mana mereka tinggal menjadi lebih berkembang berkat adanya koperasi. Para laki-laki yang awalnya tak mendukung kegiatan koperasi lambat laun mulai terlibat dan mendukung apa yang telah dilakukan oleh para perempuan. Karena masih dalam situasi konflik, berkali-kali koperasi mereka diintai oleh aparat, dan para perempuan tak gentar untuk membuka kembali koperasinya, jika izinnya tiba-tiba dicabut. Pada saat itu, Samsidar juga mulai memperkenalkan pentingnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi.
Sekitar tahun 1996, Samsidar secara mandiri mulai melakukan investigasi mengenai kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di daerah Aceh Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Pada saat itu belum banyak aktivis HAM atau aktivis perempuan. Samsidar melakukan investigasi itu karena panggilan kemanusiaan. Berkali-kali ia diinterogasi dan diperdengarkan siksaan, tetapi itu tak pernah menyurutkan niat dan kerja-kerja Samsidar.
Atas kerja-kerja itu, pada tahun 1998 Samsidar masuk sebagai salah satu komisioner Komnas Perempuan sampai tahun 2006. Di Komnas Perempuan, ia secara khusus menangani bagian Pemantauan—sub komisi ini dibentuk karena beberapa daerah di Indonesia berkonflik. Pada tahun 2005-2007, Samsidar juga diangkat sebagai Pelapor Khusus Aceh oleh Komnas Perempuan (2005-2007).
Sebagai pelapor khusus untuk Aceh, Samsidar merekam kondisi pemenuhan HAM Perempuan Aceh, setelah terjadinya konflik (pada periode penetapan Aceh dalam Daerah Operasi Militer) dan bencana tsunami. Dari proses pendokumentasian ini, ia memperoleh berbagai temuan penting tentang pengalaman kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan yang sebagian besar berstatus pengungsi di Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Secara singkat, laporan Samsidar bisa ditemui dalam Rekam Juang Komnas Perempuan 16 Tahun Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan yang disusun oleh Komnas Perempuan. Dalam dokumen itu, Samsidar mencatat adanya 103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tersebar di 13 kota/kabupaten di Nangroe Aceh Darussalam (Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Pidie, Bireun, Lhoksemawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tengah, Aceh Tamiang dan Benar Meriah). Lebih dari setengah kasus yang terdokumentasi adalah kasus kekerasan seksual (59%, atau 61 kasus berupa perkosaan, penyiksaan seksual, perlakuan kejam dan penghukuman tidak manusiawi bernuansa seksual, penganiayaan seksual, dan eksploitasi seksual) yang umumnya terjadi pada masa darurat sipil (Mei 2003 - 15 Agustus 2006), sementara sisanya adalah 42 kasus kekerasan non seksual berbentuk kasus penyiksaan, perlakuan kejam dan penghukuman yang tidak manusiawi, dan kasus penganiayaan.[1]
Berdasarkan laporan khusus ini, Samsidar melakukan serangkaian konsultasi dengan para pemangku kepentingan untuk mengungkap pengalaman kekerasan terhadap perempuan di wilayah Aceh. Ia menjelaskan bahwa dampak kekerasan terhadap perempuan tidaklah tunggal melainkan berlapis, mulai dari fisik, psikologis, sosial, budaya hingga ekonomi. Sehingga menurutnya, perempuan korban kekerasan tidak bisa ditangani oleh satu pihak atau hanya menyasar pada salah satu aspek dampak yang dialami.
Samsidar aktif dalam mengadvokasi pencegahan kekerasan seksual. Ia adalah salah satu bagian dari tim penyusun naskah akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). Samsidar menjelaskan bahwa di dalam RUU P-KS definisi dan ruang lingkup kekerasan seksual sudah ditetapkan secara menyeluruh. RUU PKS juga memuat upaya pencegahan dan penanganan secara terpadu, baik secara materil (restitusi/ganti rugi) maupun psikologis korban. Bahkan, perlindungan juga diberikan kepada keluarga, saksi, hingga pendamping korban. Samsidar menjelaskan bahwa RUU P-KS sejak awal dirumuskan dengan kajian mendalam. Penelitiannya berbasis bukti (evidence based) atas deretan kasus kekerasan seksual yang terjadi di seluruh Indonesia puluhan tahun terakhir.[2]
Menurut Samsidar, tantangan terberat dalam memperjuangan hak-hak perempuan seringkali datang dari perempuan sendiri dengan menggunakan agama. Ketika Samsidar menjadi pelapor khusus Aceh untuk Komnas Perempuan, ia sering dituduh sekuler, bahkan ada yang mempertanyakan apa agama yang ia anut, hanya karena mengkritisi qanun jinayah Aceh/syariat Islam. Terlebih jika pandangan agama digunakan untuk menyangkal adanya kekerasan seksual.
Samsidar juga mendorong KUPI untuk menjadikan kekerasan seksual sebagai salah satu isu utama dalam kongres. Menurut Samsidar, agama tak seharusnya menjadi tameng untuk menutupi adanya kekerasan seksual. Juga tak seharusnya hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dan kekerasan seksual dibenturkan dengan agama—yang dominan adalah agama Islam.
Pada tahun 2017, akhirnya KUPI mengeluarkan fatwa bahwa kekerasan seksual, baik di dalam maupun di luar perkawinan hukumnya haram, sehingga semua pihak wajib melakukan upaya pencegahan dan ketika terjadi harus melakukan penanganan-penanganan. Melihat begitu banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan yang tiap tahun kian meningkat jumlahnya, Samsidar berinisiatif dan mencetuskan adanya Forum Pengada Layanan (FPL).
Prestasi & Penghargaan
Bagi Samsidar, posisi atau jabatan bukanlah capaian yang bisa dibanggakan oleh seorang aktivis. Capaian terbesar seorang aktivis, menurut Samsidar ketika orang-orang yang diperjuangkan mendapatkan hak-haknya. Samsidar terlibat dalam banyak pendampingan dan advokasi untuk perempuan, khususnya terkait penghapusan kekerasan. Misalnya, ia ikut menulis naskah akademik RUU P-KS, draft Qanun KKR Aceh, dan advokasi UU KDRT.
Karya-Karya
Sebagai seorang aktivis, Samsidar sadar bahwa perlu adanya dokumentasi tentang pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam tulisan. Oleh karena itu, Samsidar cukup produktif dalam menulis. Berikut adalah beberapa tulisannya:
- Samsidar, Pelapor Khusus Komnas Perempuan: Laporan Pelapor Khusus Untuk Aceh Sebagai Korban Juga Survivor, Pengalaman Dan Suara Perempuan Pengungsi Aceh Tentang Kekerasan Dan Diskriminasi April 2006 (Komnas Perempuan, 2006)
- Samsidar, dkk, Pengalaman Perempuan Aceh: Mencari & Meniti Keadilan Dari Masa Ke Masa (Komnas Perempuan, 2007)
- Samsidar, dkk, Bertahan dalam Impunitas: Kisah para Perempuan Penyintas yang Tak Kunjung Meraih Keadilan, (Asia Justice and Rights [AJAR], 2015)
- Samsidar, Hak-hak Korban dalam Perspektif HAM, (Dipresentasikan pada Telaah Kajian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pada tanggal 26 Mei 2016)
Daftar Bacaan Lanjutan
Informasi tentang kerja-kerja Samsidar dalam isu perempuan bisa diakses lebih lanjut di antara melalui tautan di bawah:
- Fini Rubianti, Inspirasi Samsidar: Perjuangan Perempuan Penyintas Aceh yang Tak Pudar, https://qbukatabu.org/2017/12/27/inspirasi-samsidar-perjuangan-perempuan-penyintas-aceh-yang-tak-pudar/
- Dewi Komalasari, Samsidar: Keterpaduan Layanan yang Memberdayakan dan Berkualitas Dibutuhkan Perempuan Korban Kekerasan, https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/samsidar-keterpaduan-layanan-yang-memberdayakan-dan-berkualitas-dibutuhkan-perempuan-korban-kekerasan
- JalaStoria, Kekerasan Seksual Massal dalam Sejarah Bangsa, https://www.jalastoria.id/kekerasan-seksual-massal-dalam-sejarah-bangsa-bagian-2/
- Komnas Perempuan, Rekam Juang Komnas Perempuan 16 Tahun Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan
Penulis | : | Nur Hayati Aida |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |
Referensi
- ↑ Rekam Juang Komnas Perempuan 16 Tahun Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: Komnas Perempuan, hal 120-123.
- ↑ https://waspadaaceh.com/darurat-kekerasan-seksual-aktivis-perempuan-aceh-desak-ruu-pks-disahkan/