Ratna Ulfatul Fuadiyah
Ratna Ulfatul Fuadiyah adalah sosok penggerak majelis taklim bagi masyarakat di tempat tinggalnya Borokulon, Banyuurip, Purworejo. Lahir di Malang 20 Desember 1981, saat ini berprofesi sebagai penyuluh agama KUA kecamatan Banyuurip sejak tahun 2015. Dakwahnya menjangkau kalangan anak-anak hingga jamaah beragam latarbelakang. Ia melakukan pendekatan yang milenial bagi anak remaja, juga membaur dalam menggagas solusi persoalan di sekitar warga. Selang empat tahun sejak kiprahnya tersebut, ia meraih penghargaan juara penyuluh agama terbaik provinsi Jawa Tengah.
Dakwah ala Ratna tidak hanya berupa wejangan umum, seringkali gagasannya berbasis gerakan alternatif sedari akar rumput. Ketika jamaahnya terlebih ibu-ibu majelis banyak yang terbebani bunga tinggi karena berhutang ke bank plecit (rentenir), Ratna menyodorkan alternatif melalui gerakan infak produktif yang berjalan solutif.
Ia juga memberdayakan warga sekitar dengan gagasan one bag one garbage (OBOG) yang tidak hanya berdampak bagi kesehatan lingkungan, juga bernilai ekonomi untuk kelangsungan majelis taklim.
Saat ini Ratna membina beberapa pengajian, termasuk majelis taklim Wal Qur’an Nur Iman sejak 2007. Pengajian sekaligus ruang udarasa sesama single parent ia wadahi pada majelis taklim Ar Rohmah. Di rumahnya ia membina sekaligus menyekolahkan anak-anak santri di bawah naungan pondok MDQ Nur Iman yang telah ia rintis beberapa tahun. Selain kesehariannya sebagai penggerak, ia juga turut terlibat sebagai pengajar di MTs Negeri 1 Purworejo.
Pada Kongres Ulama perempuan Indonesia pertama di Cirebon, Ratna terlibat hadir atas partisipasinya sebagai anggota Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) Rahima. Saat itu duka masih segar mengambil alih fase hidupnya setelah 10 tahun bersama suami tercinta. Suaminya wafat meninggalkan Ratna yang mengasuh empat anak, salahsatunya balita juga beberapa anak santri. Dalam kondisi demikian ia berusaha menggerakkan jiwa dan pikirannya mengikuti rangkaian kegiatan KUPI I.
Bagi Ratna KUPI memiliki pengaruh luarbiasa dalam kiprah menggerakkan komunitas di tempat tinggalnya. Ia menyaksikan betapa besar kekuatan perempuan Indonesia bersatu di KUPI melalui fokus isu dari posnya masing-masing.
“Itu kekuatan tersendiri untuk terus eksis menyuarakan tentang perjuangan perempuan, untuk bisa memotivasi saya membantu para perempuan di luar sana yang memang memerlukan kita. Jadi, adanya pergerakan dari berbagai daerah ini satu pembelajaran tersendiri dan kekuatan bagi saya”. Ungkapnya.
Pasca kegiatan KUPI I ia semakin terbekali dalam menyampaikan gagasan kesalingan dan keadilan dalam relasi suami-istri. Melalui penyampaian bahasa yang sederhana juga pendekatan yang berbaur dengan masyarakat, dakwahnya kian berkembang. Ia merangkul anak muda dengan berdakwah sekaligus mengedukasi mereka melalui tema kesehatan reproduksi dan wawasan fiqhunnisa.
Riwayat Hidup
Umi Ratna, demikian sapaan akrabnya. Ia lahir di Singosari Malang sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Sejak kecil ia tumbuh menyaksikan relasi antara Almarhum ayahnya H.M Syarif Achjab yang merupakan seorang pengusaha gigih dengan ibunda Ruchanah. Dalam ingatannya, sang ayah begitu memanjakan Ibunda. Ayahnya kerap membantu pekerjaan domestik. Pun sebaliknya, Ratna mengagumi dedikasi Ibunya kepada keluarga.
Ia mengalami fase bisnis ayahnya gulung tikar, Ratna yang terbiasa hidup tercukupi, seketika harus menerima realita ayahnya menjadi tulang punggung sebagai sopir angkutan umum. Ratna juga sebisanya membantu dengan berjualan makanan ke sekolah.
“Pernah Mama ngajak masak-masakan, ambil ranting-ranting masak pake kayu bakar, belakangan kita tahu ternyata Mama kehabisan uang untuk beli minyak tanah, gas juga habis, Mama menutupi kesedihan kami.” Ratna terkenang.
Ratna kecil memiliki kepekaan dalam membaca situasi, ia memahami kesedihan ibunya. Ratna terkenang ketika ia bersekolah menggunakan sepatu kaca yang solnya rentan terlepas ketika terkena air, ia tak tega meminta sepatu baru. Di usia kanak-kanak Ratna mengerti dengan situasi yang ia jalani bersama keluarga. Ia tak bersikeras menuntut apapun yang ia mau.
Penerimaannya atas fase suka duka sejak kecil tak luput dari keteladanan ibunya dan juga nasihat yang terus terngiang di benaknya, “Mama selalu mengajari kita bahwa orang dalam kondisi apapun harus selalu bersyukur, alhamdulillah meskipun kita pernah jatuh, kita ada tempat tinggal.” Tuturnya.
Terlepas dari situasi tersebut, Ratna kecil tetap tumbuh dengan penuh ide dan inisiatif yang tinggi. Potensinya sudah terlihat sejak ia di taman kanak-kanak: memimpin doa, pandai membaca dan menulis. Ratna kecil juga menunjukkan kepedulian dan empatinya kepada teman sebaya. Ia terkenang lucu saat masa kecilnya begitu senang memberi nasihat pada kawan-kawan di sekolah kanak-kanak.
Atas potensinya yang menonjol, guru sekolah menilai Ratna harus segera beranjak dari TK Almasyitoh Lawang Malang di usia lima tahun. Di usia dini itu Ratna melangkah ke kelas satu sekolah dasar.
Baginya, masa kecil yang penuh warna itu tak luput dari peran ayahnya dalam membangun keuletan literasi di keluarga. Ia mengingat banyaknya majalah Bobo dan Majalah Donal Bebek yang ia koleksi dari Ayahnya yang sengaja berlangganan. Karenanya Pendidikan di keluarga Ratna merata dan tidak dibedakan hanya karena dia laki-laki atau perempuan. Keluarganya terbilang demokratis atas ekspresi anak-anak dalam menentukan pilihannya.
“Ayah kasih kita kebebasan, ibaratnya kalau mendidik anak itu seperti sedang main layangan—lepas, tapi kalau mulai menukik, tarik.” Kenang Ratna.
Ia beranjak sekolah menengah pertama di MTs Ma’arif Singosari Malang. Di usia remaja itu ia meyakini sebuah prinsip, bahwa perubahan tentang dirinya harus lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Ratna menuturkan, ia terbiasa memiliki target. Salahsatunya shalat duha yang ia tunaikan dua rakaat ketika masa sekolah dasar. Beranjak SMP ditingkatkan menjadi empat rakaat dan seterusnya hingga ia mondok dan bersekolah di SMU Darul Ulum Peterongan Jombang.
Di bangku sekolah menengah, Ratna tak hanya menonjol secara kemampuan akademis. Kesehariannya sebagai pelajar kerap berdampingan dengan aktivitasnya sebagai MC (master of ceremony). Mulanya ia tampil sebagai MC di kegiatan sekolah. Kemampuannya sebagai MC populer hingga mengundang pekerjaan pada acara-acara masyarakat setempat. Berkat jam terbangnya, sejenak ia mampu membiayai kebutuhan dirinya.
Lulus SMU ia tak langsung berkuliah sebab kendala ekonomi keluarga yang kembali menurun. Ia juga tak lagi bekerja sampingan sebagai MC. Ia bertekad pendidikan harus kembali difokuskan. Potensinya di bidang eksak membuat guru kimia mendaftarkannya ke sebuah perguruan tinggi. Sempat beberapa kali mendaftar ke beberapa universitas, saat itu waktu belum berpihak padanya. Maka ia terkenang bagaimana nasihat dan petunjuk dari ibunya membuka harapannya untuk tak patah arang menempuh pendidikan tinggi.
“Rat yang mama lihat itu kamu itu bidangnya bukan menghadapi barang mati tapi menghadapi orang, manusia.” Kenang Ratna. Begitupun dengan nasihat yang masih kental di ingatannya dari Nyai Kholisoh Dahlan, pengasuh pondok pesantren Darul Ulum Jombang,
“Rat, aku gak ridho kalau kamu ngapalin al Qur’an tapi gak ngerti isi. Kalau kamu mau kuliah di IAIN jurusan tafsir hadits. Jika kamu mengetahui isi al Qur’an kamu akan semakin giat mempelajari itu, lanjutkan perjuanganku.” Ungkapnya menirukan detail petuah Puan Guru.
Ratna memasuki babak perkuliahan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin jurusan tafsir hadits. Ia mengamini sekaligus menuntaskan apa yang dinasihatkan oleh Puan Gurunya. Praktis, keilmuan Al Qur’an yang ia pelajari sewaktu di pesantren semakin diperdalam dengan pendidikan akademisnya.
Ingatannya yang haru sekaligus syukur tak luput dari kenangan keluarganya yang gigih mendukung mimpi Ratna melanjutkan pendidikan. Sedari kecil, ia memahami kondisi finansial keluarga. Di tengah naik turun situasi yang mereka alami, keluarga tak patah arang mendukung penuh pendidikan Ratna. Masa kecil yang tak selalu mudah dan kepekaannya dalam memaknai situasi menuntunnya menjadi sosok gigih yang penuh empati terhadap sesama.
“Masa kecil saya itu sangat berpengaruh dengan pola pikir saya sekarang, dengan kemandirian yang Allah ajarkan dengan cara seperti ini”. Dengan tenang Ratna berefleksi sekaligus berlimpah syukur.
Tokoh dan Keulamaan
Ratna menikah selepas menuntaskan pendidikan sarjananya. Bersama suami ia merintis majelis taklim di rumahnya. Ia penuh waktu membina majelis taklim tersebut, di samping suaminya berperan memenuhi undangan pengajian dari masyarakat sekitar.
Selama membina majelis taklim itu, Ratna tak berkesempatan memenuhi undangan pengajian dari masyarakat sekitar. Juga tidak diperkenankan mengisi pengajian yang jamaahnya selain perempuan. Beberapa tahun ia menjalani perannya tersebut, hingga perlahan keinginan berkarya dan berinteraksi lebih luas ia rasakan.
Sebelum berinteraksi dengan wacana hak dan keadilan gender bagi perempuan, setidaknya Ratna merasa skeptis atas visi perspektif itu. Resistensi itu mencuat lantaran sejak kecil ia merekam kehidupan ibunya yang bersahaja dan baik-baik saja sebagai ibu rumahtangga. Namun babak hidup yang ia alami di masa itu menjadi titik balik dalam konteks pengalaman personal.
Perspektif lamanya mulai terpatahkan ketika ia beberapa kali mengikuti tadarus pengkaderan ulama perempuan (PUP) Rahima. Berkat dorongan Ning Nihayatul Wafiroh (Pondok Pesantren Darussalam, Banyuwangi), Ratna bernegosiasi hingga berhasil mengantongi restu suami untuk mengikuti forum pengkaderan ulama Rahima.
Seiring tadarus Rahima berjalan beberapa kali, ia merasa begitu tercerahkan dan memboyong bekal kelimuannya ke Purworejo, tempat ia dan suami berkhidmah di masyarakat. Dalam prosesnya ia menyadari, tak bisa serta merta langsung menyampaikannya secara gamblang dan frontal pada pasangan. Adab dalam berkomunikasi menjadi strategi penting dalam menyampaikan argumen secara perlahan, hingga mencapai ruang-ruang diskusi antarpersonal yang lebih rileks.
Di tahun 2016 Ratna beserta tiga anaknya mengalami duka. Suami tercinta wafat pasca melalui hari-hari leukeumia yang tidak mudah bersamanya. Selama mendampingi suami yang terkulai sakit, Ratna terkenang beberapa refleksi. Ia memikirkan titik kembali pada inti tujuan hidup. Pada substansi kehidupan yang ingin ia manfaatkan sebaik-baiknya. Ratna yang terbiasa memiliki kesadaran diri yang tinggi sukar menghalau perasaan batin yang menghampirinya.
“Seperti ini ya manusia itu berakhir gak tahu sampai kapan. Dengan status sosial apapun itu tidak akan menjadikan dia akan hidup lebih lama. Saya enggak tahu mau diambil kapan, suami saya aja sepinter itu Allah sudah ambil dia di usia 44 tahun.” Batinnya kala itu. Maka hikmah besar menandai perjalanan hidupnya—ia semakin terdorong untuk terus berbuat kebaikan serta mampu mandiri sebaik-baiknya.
Pasca wafatnya suami, Ratna mengalami situasi hidup yang drastis. Sebelumnya hampir satu dekade beraktifitas penuh di rumah, membuatnya harus memulai dari nol perjuangan menghidupi dan menjalani hidup untuk keluarganya. Otomatis ia menjelma menjadi tulangpunggung sekaligus kepala keluarga.
Ia berupaya gigih demi menghidupi keluarga di kampung orang yang jauh dari keluarga asalnya di Malang. Perjalanan itu tak mudah, ia berupaya wirausaha dengan menjual jenis-jenis pakaian. Hingga bisnisnya merambah ke usaha kuliner dan bisnis katering. Atas anugerah wirausahanya yang berkembang Ratna mampu berlanjut menghidupi keluarga sekaligus beberapa santrinya di pesantren MDQ Nur Iman.
Pengalaman hidup sebagai single parent yang penuh tantangan mendorongnya semakin berempati untuk saling membantu dengan para janda di tempatnya. Melalui majelis taklim single parent yang ia gagas, para janda bisa saling udarasa dan menguatkan.
Majelis taklim ini menjadi ruang saling memberdayakan bagi perempuan-perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Tidak hanya secara psikis dan sosial untuk saling menjaga semangat, juga dari segi finansial mereka bergotong royong membangun bisnis kue lokal dengan modal bersama.
Anggota majelis ini berdatangan tidak hanya dari kalangan janda, ada yang berstatus istri dengan pasangan mereka yang tidak berfungsi sebagaimana partner dalam rumahtangga. Para istri ini menjadi tulang punggung sekaligus menanggung beban keluarga dalam kondisi pasangan mereka meninggalkan tanggungjawabnya. Pada arena inilah mereka saling menguatkan dan merintis power untuk perempuan agar punya posisi tawar yang lebih baik.
Pada sisi ini Ratna berupaya menjaga ketahanan majelis single parent meski di sisi lain ia tak menampik ada pihak yang justru beranggapan majelis ini sebagai ajang mempromosikan anti nikah dan membangga-banggakan status kejandaan. Sebagai manusia biasa, ia perlu menepi sejenak ke ruang yang lebih damai dan kembali berdialog dengan dirinya. Ia bahkan hampir mengundurkan diri sebagai penyuluh agama—namun semangat berbagi dan bermanfaat bagi umat tak bisa ia padamkan, “gak apa-apa yang penting ketika saya mati semua kebaikan itu masih terus berjalan. Bagi saya bahagia ketika orang lain itu bahagia karena saya, itu aja.” Tuturnya tulus.
Sebagai penggerak majelis taklim, lika-liku tantangan ia hadapi. Hal itu tak membuatnya berhenti memikirkan dan terus memberdayakan khususnya perempuan di tempat tinggalnya. Ia juga tak luput memperhatikan lingkungan melalui program one bag one garbage (OBOG). Masyarakat menyetorkan sampah yang terpilah di setiap rutinitas pengajian. Sampah organik dimanfaatkan sebagai pupuk, pun sampah plastik bisa dijual ke pengepul dan hasil penjualannya digunakan untuk kebutuhan majelis. Kegiatan ini berjalan sekaligus bertalian dengan aktifitas menanam sayuran di pekarangan rumah masing-masing sebagai upaya berdaya pangan.
Persoalan lain yang turut ia respon adalah menghalau pinjaman ke bank plecit, melalui program infak produktif. Inisiatif ini muncul tatkala banyak ibu-ibu setempat yang terjerat utang dengan beban bunga yang tinggi. Melalui infak produktif jamaah majelis taklim iuran sebesar lima ribu rupiah. Dana yang terkumpul perlahan bisa mencapai satu juta. Dana ini digunakan untuk pinjaman bagi jamaah yang membutuhkan, tentu dengan sistem pengembalian nol beban bunga.
Ratna terus mengupayakan alternatif bagi persoalan di tempatnya, padahal jika di lihat kisah ke belakang, ia mengalami cobaan hidup yang berliku. Namun ia ajeg dalam keputusannya untuk tulus memikirkan dan membantu orang lain, khususnya perempuan dan kelompok rentan.
Meskipun hidup harus disertai ketulusan, tak lantas membuatnya lemah dan berada dalam posisi tawar yang rentan. Baginya perempuan harus memiliki karakter, keterampilan dan power. Jangan sampai ketergantungan pada siapapun menjadi zona yang membuat perempuan sukar berdaya dalam hidupnya. Siapapun itu patut mandiri dan berdaya sebab kedepannya takdir tidak ada yang tahu, manusia sepatutnya terus berupaya.
“Kalaupun dia adalah orang yang mampu mungkin bisa menjadi motivasi bagi orang lain untuk berbuat maslahat dengan cara apapun yang mereka mampu. Jadi perempuan itu harus kuat, mandiri. Kita tidak tahu apa yang terjadi nanti”. Pungkasnya.
Prestasi dan Penghargaan
Ratna Ulfa menorehkan prestasi pada profesinya sebagai penyuluh agama. Ia meraih juara 3 lomba penyuluh seprovinsi Jawa Tengah, juga runner up lomba penyuluh nasional.
Karya-karya
Sejumlah karya pemikiran dan dedikasi Ratna Ulfa dapat ditemukan baik versi cetak seperti buku maupun karya tulisan di media daring;
- Problematika kasus euthanasia dalam tunjangan perspektif dalam buku “Kematian medis” mercy killing. Teras.
- Kumpulan maqolah-maqolah kontra narasi alternatif dari ulama perempuan Rahima Kerjasama dengan WGWC (working group women and preventing/countering violent extremist) dan AMAN Indonesia.
- Resensi buku “Gusdur Sang feminis” dimuat pada majalah Swara Rahima No. 48 Th.XV Maret 2015
- Dan karya-karya lainnya di beberapa media massa.
Sumber bacaan lanjutan
- https://www.youtube.com/watch?v=PMnguNYA5bA
- https://www.youtube.com/watch?v=-vfM1Oit6CI
- https://swararahima.com/2020/02/20/ratna-ulfatul-fuadiyah-aktivis-pelayan-umat/
- https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/161010/cerita-ratna-ulfatul-fuadiyah-berdakwah-dengan-menghalau-rentenir
- https://radarjogja.jawapos.com/boks/2019/06/25/galang-infak-produktif-lepaskan-jerat-utang-bank-plecit/
Penulis | : | Rohmah Nasrudin |
Editor | : | |
Reviewer | : |