Peran Ulama Perempuan Terhadap Pemberdayaan Ekonomi Umat* (Nyai Umi Kaltsum dan Batik Ciwaringin)

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi yang diberikan baik secara formal atau informal.

Ulama (Jamak) kata tunggal dari alim adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat islam dalam masalah-masalah agama, maupun masaalah sehari-hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Karena ulama   merupakan seorang yang diberikan kepercayaan oleh Allah di dunia,

Pengertian pemberdayaan ekonomi menurut para ahli adalah: pembangunan sumber daya manusia/masyarakat dalam bentuk penggalian kemampuan kreatifitas. Kompetensi daya fikir & tindakan yang lebih baik dari sebelumnya dengan tujuan antara lain:

a. Melahirkan invividu yang mandiri

b. Menciptakan lingkungan yang memiliki etos kerja yang baik sehingga mampu menciptakan kondisi kerja yang sehat & saling menguntungkan

c. Menciptakan masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi dengan potensi diri & lingukngan

d. Melatih kemampuan masyarakat untuk memenuhi tanggung jawab & kebutuhan mereka

e. Menambah kemampuan berfikir & bernegoisasi mencari solusi terhadap masalah sosial yang kadang ditemui dalam lingkungan masyarakat

f.  Memperkecil angka kemiskinan dengan memaksimalkan potensi & kemampuan yang dimiliki.

Dari berbagai pengertian bisa disimpulkan bahwa ulama bukan hanya bertugas membimbing umat dengan membekali mereka dengan ilmu-ilmu agama tapi ulama juga bertanggung jawab membimbing mereka untuk melakukan perubahan positif serta sanggup menjawab situasi kondisi zaman dengan berbagai macam persoalannya, diantaranya adalah pemberdayaan sumber daya manusia dibidang ekonomi.

Potret pemberdayaan ekonomi yang diperankan oleh salah satu dari ulama perempuan di Pondok Pesantren Babakan Adalah Nyai Umi Kaltsum yang lebih akrab dengan panggilan Nyai Kaltsum, merupakan cucu dari salah satu ulama pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon yaitu kiai Adzroi, beliau beristrikan seorang wanita bernama Nyai Murtaja, mempunyai putra bernama KH.Abdul Fannan beristrikan Nyai Khodijah, dari suami istri tersebut lahirlah nyai Kaltsum yang merupakan salah seorang ulama perempuan di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, dari jejak sejarah yang diceritakan dari berbagai sumber yang dipercaya  beliau dikenal bukan sekedar pendamping suami yang  merupakan salah seorang ulama terkemuka pada saat itu tapi beliau juga mampu melengkapi tugas suaminya dengan memberdayakan santri-santri dibidang ekonomi mandiri.

Suami beliau yang bernama KH. Mohammad Amin atau dikenal dengan nama Kiai Madamin, kala itu disamping dikenal sebagai ulama namun beliau juga mempunyai usaha tenun kain, dari situ beliau lalu menciptakan sebuah alat yang dikenal di Cirebon dengan nama kotrek, dari situ dihasilkan kain mori, sarung & sapu tangan untuk makan. Di era tahun 1919 M. nyai Kaltsum berinisiatif mengajarkan santri-santri putri suaminya kerajinan membatik, para santri saat itu berasal dari daerah Babakan dan sekitarnya seperti Ciwaringin Kebon Gedang dan seterusnya. keahlian membatik didapatkan dari ibunya, nyai Khodijah yang berasal dari desa Karang tengah plered Cirebon juga dari neneknya yang bernama Nyai Murtaja yang berasal dari Pekalongan dan nenek moyangnya berasal dari kerajaan mataram Jogja, seiring bertambahnya waktu semakin lama jumlah santri semakin bertambah hingga kiai Madamin akhirnya menutup tempat usaha tenun kain tersebut untuk lebih konsentrasi mengurus santri. Ternyata kerajinan membatik yang dulu diajarkan nyai Kaltsum ternyata berhasil dikembangkan menjadi usaha kecil di kampung masing-masing santrinya terutama didaerah Kebon Gedang Ciwaringin setelah mereka pulang ke kampung halaman, dan kerajinan membatik  tersebut hingga  sekarang terus berkembang  hingga menjadi usaha ekonomi masyarakat setempat yang diwariskan secara turun temurun sampai detik ini, usaha tersebut semakin lama semakin berkembang pesat, nama batik tersebut saat ini dikenal dengan nama batik Ciwaringin.

Keinginan kuat beliau untuk  menciptakan generasi wanita yang tidak saja pandai dalam masalah agama tapi juga kreatif dan  mandiri juga kejelian beliau menangkap kebutuhan masyarakat disamping membaca potensi pasar ekonomi setempat, memunculkan inisatif beliau  untuk membekali santri-santri putri berupa pemberdayaan ekonomi dengan mengajari mereka ketrampilan membatik dan itu  merupakan sebuah upaya yang tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab terjadi pada masa, yang jika dihitung hingga sekarang terjadi sekitar 98 tahun yang lalu.

Jika sekarang pemerintah dan beberapa pihak begitu gencar menyuarakan dan mengadakan berbagai macam program pemberdayaan sumber daya manusia diantaranya pemberdayaan ekonomi masyarakat,  dalam upaya melahirkan individu-individu yang mandiri, tangguh dan cerdas, maka itu sudah dilakukan oleh seorang ulama perempuan pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon sejak beberapa puluh tahun yang lalu, walaupun jejak perjuangan beliau tak tersentuh publikasi apalagi mendapatkan apresiasi, semua yang dilakukan beliau tersembunyi dari catatan sejarah hingga hampir satu abad lamanya. Demikianlah beberapa fakta sejarah tentang kiprah, akses dan peran ulama perempuan yang ada di pondok pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.


*disampaikan dalam: Diskusi Paralel KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) Rabu 27 Maret 2017 di PP. Jambu Al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon.


Penulis: Hj. Royannach Ahal