Neng Dara Affiah

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Neng Dara Affiah
Neng Dara Affiah.jpg
Tempat, Tgl. LahirBanten, 10 Desember 1969
Aktivitas Utama
  • Dosen Prodi Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prodi Sosiologi di UNUSIA
Karya Utama
  • Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas (Pustaka Obor Indonesia, 2017)

Neng Dara Affiah lahir di Pandeglang, Banten, pada tanggal 10 Desember 1969. Aktivitasnya saat ini adalah menjadi dosen di Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dan di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Prodi Sosiologi dan Humaniora. Selain itu, ia juga menjadi dosen tamu di beberapa universitas, seperti Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Pascasarjana Universitas Muhammadiyah (UMM) Malang, dan Sekolah Tinggi Teologia Jakarta (STIJ).

Neng Dara terlibat intens dalam proses persiapan, pelaksanaan, dan paska Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Di antara proses persiapan KUPI yang ia ikuti adalah workshop perumusan metodologi fatwa KUPI, sementara pada saat pelaksanaan ia termasuk dalam tim Seminar dan Workshop. Selain itu, ia juga bertanggung jawab sebagai ketua forum musyawarah keagamaan yang membahas dan menghasilkan sikap dan pandangan keagamaan KUPI terkait isu kekerasan seksual

Riwayat Hidup

Neng Dara menyelesaikan pendidikan S1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin. Kemudian ia menyelesaikan pendidikan Master dan Doktornya di Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Departemen Sosiologi. Pada tahun 2004 ia mengikuti pendidikan Pluralisme Agama di Amerika Serikat dan pada tahun 2007 mengikuti pendidikan HAM di New Zenland.

Posisi-posisi strategis di organisasi kemasyarakatan pernah ia dapuk, seperti Sekretaris Program “Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam” Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta; periode 2000-2005, menjadi pengurus Bidang Hukum dan Advokasi di Fatayat NU; periode 2005-2010, menjadi salah satu Ketua Pucuk Pimpinan Fatayat NU bidang Litbang dan Penerbitan. Pada tahun 2010, ia turut menggagas berdirinya Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI), sebuah komunitas yang memusatkan perhatian pada produksi pengetahuan dan pemikiran Islam progresif. Kemudian pada periode 2015-2020 ia aktif sebagai pengurus di Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, PBNU.

Berkaitan dengan jabatan birokratis, Neng Dara juga menempati beberapa posisi, seperti sebagai tenaga ahli peneliti dan koordinator Forum Ilmiah Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI sekaligus sebagai Pemimpin Redaksi  jurnal Dialog di lembaga yang sama pada 1997-2006; Komisioner dan Ketua Sub Komisi Pendidikan dan Litbang Komnas Perempuan periode 2007-2009; pada periode 2010-2014, ia menjadi Komisioner Komnas Perempuan untuk Sub Komisi Pendidikan, Partisipasi Masyarakat, dan Resource Center; Anggota Dewan Kebijakan Badan Akreditasi Nasional (BAN) Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Non-Formal (PAUD dan PNF) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI periode 2018-2022; Dewan Pengarah World Culture Forum (WCF) Kemendikbud-Unesco, tahun 2016; Tim Perumus Strategi Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, tahun 2018.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Pengalaman Neng Dara dalam isu keulamaan perempuan telah dimulai sejak lama. Ia juga merupakan salah satu pendiri Alimat yang didirikan saat ia menjadi bagian dari Komnas Perempuan. Melalui Alimat, ia terlibat dalam upaya memunculkan eksistensi ulama perempuan dan mendapatkan pengakuan. Bahkan jauh sebelum itu, ia banyak menulis tentang peran dan skema sunnah dalam menghargai perempuan dan bagaimana peran itu ditunjukkan di dalam peradaban Islam.

Neng Dara meyakini bahwa jumlah ulama perempuan itu tidak sedikit, hanya saja tidak semuanya muncul ke publik dengan mudah. Padahal mereka memiliki peran yang cukup besar, namun peran itu tertutupi oleh sosok suami (kiai). Misalnya, Nyai Nafisah Sahal di Kajen, Pati, yang memiliki peran signifikan dalam mengelola pesantren dan mendidik para santri. Ia juga memiliki pengaruh luar biasa dalam kirah keulamaan perempuan di Jawa Tengah. Namun, masyarakat lebih mengenal Kiai Sahal Mahfudh, suaminya, daripada Nyai Nafisah. Dengan adanya KUPI, para ulama perempuan muncul, bukan karena keluarga laki-lakinya tapi karena diri mereka sendiri. Oleh karena itu, Neng Dara menekankan perlunya menggali peran pengetahuan serta pengalaman ulama perempuan sebagai bangunan pengetahuan, sebagaimana yang dilakukan oleh KUPI. Sejauh ini, menurut Neng Dara, belum ada gerakan atau lembaga lain yang betul-betul peduli dengan isu keulamaan perempuan ini.

Barangkali masyarakat belum familiar dengan istilah ulama perempuan, dan ketika muncul pun belum tentu mereka bisa menerima. Namun menurut Neng Dara, kualifikasi ulama yang dimaksud harus sesuai dengan yang sudah ada di dalam Al-Qur’an. Yaitu, mereka yang taqarub ila allah, memiliki kecintaan dan kedekatan dengan Allah yang tercermin dalam perilakunya, dan yang tidak kalah penting adalah akhlak mulia yang salah satunya memelihara, mendidik, dan melindungi ciptaan Allah; terutama menopang dan memelihara orang-orang yang lemah. Ia menegaskan, dengan demikian tidak ada perbedaan kualifikasi utama antara ulama perempuan dan ulama laki-laki, keduanya sama. Pada dasarnya, baik perempuan atau laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama di hadapan Allah, mengemban kekhilafahan di bumi dalam skup mikro.

Neng Dara menyatakan bahwa gelar ulama sebenarnya adalah budaya dan konstruksi masyarakat. Namun persoalannya, budaya dan konstruksi itu berlangsung melalui cara pandang laki-laki sehingga ulama laki-laki lebih mendominasi berabad-abad. Oleh sebab itu, Neng Dara cukup yakin bahwa KUPI memiliki fungsi menciptakan konstruksi ulama yang benar-benar, bukan dibuat-buat, bukan abal-abal; melainkan, ulama yang sesuai dengan kualifikasi, yang sebenarnya sudah banyak tersebar namun belum terkonstruksi dengan baik. Neng Dara menyaksikan sendiri para ulama perempuan yang berkompeten, memiliki kualifikasi ulama, dan kepandaian dari orang-orang terdekatnya, yaitu dari keluarga ibu dan ayahnya. Ia juga menyadari kelemahannya, yakni mereka yang berkompeten itu belum dituliskan. Dan, KUPI harus merespon fenomena itu dengan membantu menarasikan peran ulama perempuan di Nusantara.

Mengenahi isu ulama perempuan saat ini, Neng Dara melihat ada peluang cukup besar di Indonesia, yaitu kecilnya kemungkinan masyarakat akan resisten terhadap ulama perempuan. Berbeda dengan negara-negara Islam di Timur Tengah, ulama perempuan di Indonesia tidak ditolak masyarakat. Misalnya, ada Mama Dedeh yang diterima dengan baik, demikian juga dengan ulama perempuan yang banyak kita jumpai di Muslimat, Fatayat, dan Aisiyah. Neng Dara berpendapat bahwa rendahnya penolakan masyarakat itu karena masyarakat Indonesia memiliki kesejarahan yang cukup baik dengan corak masyarakat Muslimnya yang cukup luwes, dan keluwesan itulah yang menjadi peluangnya.

Selain berbagai peluang itu, Neng Dara juga menyadari adanya tantangan yang harus dihadapi, yaitu masih adanya sebagian masyarakat Muslim yang memiliki pemahaman sempit mengenai kemajuan perempuan. Ia menyebut kelompok tersebut sebagai puritan, yaitu mereka yang memahami Islam secara tekstualis, menolak kemajuan, dan muamalahnya mengacu pada masa lalu. Fiqh sebagai bagian dari praktik muamalah dan dapat dikembangkan merupakan jalan menuju kemajuan. Namun, jalan kemajuan itu coba ditutupi oleh kelompok puritan yang pada akhirnya menutup perkembangan zaman.

Isu kesetaraan gender adalah bagian dari isu ulama perempuan yang harus diangkat, dan ini bisa menjadi penghambat ketika tidak mampu membumikan bahasanya. Gender itu istilah akademik, oleh karena itu Neng Dara menyarankan untuk menggunakan term-term yang mudah dimengerti masyarakat dan akrab di telinga mereka. Pada dasarnya, kesetaraan gender bukanlah hal yang asing bagi masyarakat. Misalnya, masyarakat sudah familiar dengan kerja sama di dalam keluarga antara suami-istri. Jadi, tantangannya adalah pada cara penyampaiannya saja agar dibuat lebih membumi. Jika terjadi kegagalan dalam memilih dan memilah istilah-istilah itu, masyarakat akan resisten dan menganggap itu sebagai budaya asing dan membandingkannya dengan budaya sendiri.

Hingga saat ini, Neng Dara terus terlibat aktif dalam penyebaran isu keulamaan perempuan sesuai dengan aktivitasnya sebagai dosen dan akademisi. Ia mengajar di UIN Syarif Hidayatullah dan Unusia dan menjadi narasumber di berbagai forum dan lembaga. Melalui kegiatan-kegiatan itu ia menyebarkan isu-isu kesetaraan gender dan keulamaan perempuan.

Berkaitan dengan keulamaan perempuan, menurut Neng Dara, isu yang tidak kalah penting adalah isu lingkungan; salah satu isu yang ia usulkan untuk dibahas di dalam KUPI. Isu lingkungan ini penting agar keadilan itu tidak terbatas kepada sesama manusia tapi juga pada alam; supaya tidak ada eksploitasi dan pengerukan besar-besaran terhadap alam. Tiga isu yang diangkat KUPI, yaitu perkawinan anak, kekerasan seksual, dan kerusakan lingkungan, bagi Neng Dara adalah jalan aktivisme yang sudah ia tapaki selama 25 tahun, dan sampai sekarang Neng Dara terus konsisten menyuarakannya.

Selain beberapa isu yang sudah diangkat KUPI, Neng Dara menambahkan satu isu yang sangat penting untuk dibahas, yaitu toleransi. Memang cukup banyak pemuka agama yang menyebarkan pesan-pesan damai. Namun, banyak juga pemuka agama yang mengajak kebencian, dan tidak jarang pesan-pesan itu mengandung teror, dan celakanya lagi suara mereka lebih nyaring dibandingkan yang mengajak pada kebaikan.

Penghargaan dan Prestasi

Prestasi Neng Dara ditorehkan dalam bidang penelitian tingkat internasional, seperti sebagai Peneliti Utama “Women’s Agency and the Gendered Impact of Violent Extremism” (2020); penanggung jawab riset “Demokrasi dan Seksualitas: Kasus Undang-Undang Pornografi”, bekerja sama dengan Women for Human Right (WWHR), sebuah konsorsium penelitian negara-negara berbasis Muslim: Turki, Palestina, Libanon, Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia (2008); Konsultan Riset untuk Women’s Empowerment in Muslim Contexts (WEMC): Gender, Poverty and Democratization from the Inside out’, sebuah konsorsium riset di negara-negara berbasis Muslim; Iran, Pakistan, China dan Indonesia dengan sekretariat di Southeast Asia Research Centre (SEARC) City University of Hong Kong (2006-2009).

Karya-Karya

Sejumlah karya tulisan Neng Dara dapat ditemukan di berbagai media online dan cetak, baik bentuk buku ataupun penelitian, seperti:

  1. Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia (Pustaka Obor Indonesia, 2017);
  2. Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas (Pustaka Obor Inodensia, 2017);
  3. Muslimah Feminis: Penjelajahan Multi Identitas (Penerbit Nalar, 2009);
  4. Rekam Juang Komnas Perempuan: 16 Tahun Menghapus Kekeraasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan, 2014);
  5. Seksualitas dan Demokrasi: Kasus Perdebatan UU Pornografi di Indonesia (Komnas Perempuan, 2011);
  6. Gerakan Islam Indonesia Pacas Orde Baru: Merambah Dimensi Baru Islam (2006);
  7. Menapak Jejak Fatayat NU: Sejarah Gerakan, Pengalaman, dan Pemikiran (2005),
  8. dan karya-karya lainnya.


Penulis : Miftahul Huda
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir