Naskah Hasil Musyawarah Keagamaan Tentang Perusakan Alam

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia Ke-1

No. 03/MK-KUPI-1/IV/2017 Tentang Perusakan Alam

Tashawwur (Deskripsi)

Bencana terkait perusakan alam terus meningkat, seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, dan meledaknya hama tanaman yang mengancam masyarakat dan keberlangsungan kehidupan. Kekeringan telah melanda 16 provinsi di Indonesia meliputi 102 kabupaten/ kota dan 721 kecamatan yang berdampak pada 111 ribu hektar lahan pertanian dan diperkirakan makin meluas (BNPB, 2015). Selain kekeringan, pencemaran air juga terjadi tanpa kendali, seperti sungai Citarum di Jawa Barat yang masuk dalam daftar 10 tempat paling tercemar di dunia. Hutan Indonesia yang merupakan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia juga terus menerus mengalami alih kepemilikan dan alih fungsi. Angka penggundulan hutan (deforestasi) rata-rata per tahun sepanjang 1980-2013 mencapai angka 1,1- 2 juta hektar (FWI, 2015). Pada 2000 dan 2012, Indonesia bahkan menjadi Negara dengan penggundulan hutan tertinggi di dunia. 

Perusakan alam hingga kini masih sering dilakukan atas nama pembangunan. Hal ini antara lain dengan cara memperlakukan kawasan hutan sebagai barang dagang komersial melalui pemberian ijin untuk mengeksploitasi sebuah kawasan (konsesi) kepada industri skala besar kehutanan, perkebunan, pertambangan serta manufaktur. Sekitar 67% dari 39 juta area pertambangan ada di kawasan hutan, dan 6,3 juta hektar di antaranya dalam kawasan hutan lindung dan konservasi (kawasan yang menjadi bagian dari upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap kekayaan alam). Buruknya pengelolaan hutan ini telah memiskinan warga sekitarnya. Sekitar 66,34% penduduk tergolong miskin, yang mencapai 12 juta jiwa tinggal di pinggiran hutan. Separuh dari jumlah itu adalah perempuan dan anak perempuan (KLHK, 2015). 

Dalam struktur relasi sosial (terbentuk oleh hubungan-hubungan dalam masyarakat) yang timpang antarkelompok masyarakat, juga antara lelaki dan perempuan, setiap bentuk kerusakan lingkungan memberikan implikasi berbeda. Studi dampak kerusakan lingkungan menunjukkan setiap terjadi kerusakan sumber air, maka akan menambah beban kerja perempuan 6-8 kali lipat dibanding lelaki. Tambahan beban kerja dalam mencari air, rumput, dan sumber penghidupan lainnya menyebabkan anak perempuan kehilangan kesempatan bersekolah, mengalami gangguan kesehatan reproduksi, dan tingkat kematian ibu melahirkan dan kematian bayi meningkat.

Pemberian ijin eksploitasi atas nama pembangunan yang kemudian dilakukan dengan cara perusakan alam telah mengakibatkan munculnya konflik yang terjadi karena perebutan ruang hidup (agraria), khususnya tanah. Warga suku asli tersingkir makin jauh atau tinggal di wilayah-wilayah tanpa hutan. Mereka seketika kehilangan akses, kontrol atas sumber ekonomi mereka, dan kehilangan pula hak berpartipasi mereka ketika hutan telah berubah menjadi industri tanaman dan hutan monokultur (hutan yang ditanami satu jenis tanaman kayu untuk kebutuhan industri, seperti industri kertas) atau industri ekstraktif (industri yang mengeksploitasi alam dalam skala besar, seperti pertambangan mineral dan Migas, dan perkebunan sawit) yang secara sistematik menyingkirkan peran dan posisi perempuan. Dalam setiap konflik agraria akan selalu memunculkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik oleh pasangannya atau oleh para pihak yang berkonflik. Kekerasan yang paling mengancam sekaligus menjadi teror bagi warga adalah kekerasan seksual. Sedikitnya terjadi 450 konflik agraria sepanjang 2016 meliputi luasan 1.265.027 Ha dan melibatkan 86.745 keluarga. Naik 2 kali lipat dibanding 2015. (KPA, 2017, Komnas Perempuan, 2005). 

Alih fungsi lahan yang luar biasa meluas mengakibatkan petani makin terhimpit. Padahal dunia pertanian tradisional sebagian besar dikelola bersama oleh lelaki dan perempuan, atau dalam segmen-segmen tertentu hanya oleh perempuan saja. Sepanjang 2003-2013 sekitar 5,01 juta rumah tangga petani beralih profesi lain. Lelaki menjadi buruh atau kuli di kota besar, sedangkan perempuan muda merantau tanpa bekal ketrampilan memadai sehingga menjadi pekerja dengan upah paling rendah dan paling rentan (Tania Lee, 2010). Hal ini terjadi bersamaan dengan alih fungsi lahan pertanian ke peruntukan lain yang mencapai 0,25 hektar per menit (BPS, 2014). Di pihak lain, kontrol pengusaha atas lahan menguat. Misalnya, perkebunan sawit seluas sekitar 5,1 juta hektar kini dikuasai hanya oleh 25 keluarga konglomerat. Situasi ini berakibat ketimpangan luar biasa. Sekitar 56% aset di Indonesia, seperti properti, lahan dan perkebunan dikontrol hanya oleh 0,2% populasi di Indonesia (BPN, 2016).

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa dampak perusakan alam lebih banyak memunculkan pemiskinan, dan memberi beban hidup yang lebih berat, terutama pada perempuan miskin di pedesaan dan perkotaan. Meningkatnya praktik pernikahan anak dan kekerasan seksual di daerah pedalaman memperlihatkan hubungan antara perusakan alam dengan hilangnya kuasa perempuan atas dirinya sendiri akibat hilangnya kuasa mereka atas sumber daya alam. Di lain pihak, kesadaran kaum perempuan atas perusakan alam yang akan berdampak jangka panjang tak mendapatkan tempat dalam negosiasi-negosiasi politik yang melibatkan perempuan. Anggapan perempuan sebagai konco wingking (teman di belakang) menempatkan mereka sebagai kelompok terpinggirkan yang tidak penting. Pandangan itu muncul dari budaya dan juga pemahaman keagamaan tertentu. Misalnya, ibu-ibu Kendeng yang gigih menolak beroperasinya pabrik semen karena khawatir merusak kawasan karst (kawasan batuan gamping dan dolomit yang memperlihatkan morfologi karst, bentuknya sangat khas seperti lembah, bukit, dolina, dan gua) dan mencemari lingkungan terutama air, kemudian dianggap sebagai perempuan yang melawan kodratnya. Anggapan itu mendapat pengesahan dari pandangan keagamaan para pihak yang menghendaki tambang dan pabrik semen beroperasi.


Pertanyaan:

  1. Apa hukum melakukan perusakan alam atas nama pembangunan?
  2. Bagaimana peran agama dalam memberikan perlindungan terhadap alam? 
  3. Bagaimana pandangan agama tentang tanggung jawab negara dalam mengatasi perusakan alam yang memiskinkan rakyat terutama perempuan?  

Adillah (Dalil-dalil)

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Musyawarah bersandar pada dasar-dasar hukum berikut ini:

Nash Al-Qur’an

  1. Perintah beribadah kepada Allah Sang Maha Pemelihara alam semesta (QS. Al-Baqarah/2:21-22):

    يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

    Wahai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang menciptakan kamu semua dan orang-orang sebelum kamu agar kamu semua bertakwa (kepada-Nya). Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
  2. Penegasan untuk menjadi rahmat bagi semesta (QS. Al-Anbiya’/21:107):

    وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ 

    Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
  3. Penegasan manusia mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah/2:30 dan Al-Ahzab/33:72):

    وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

    Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka (para malaikat) berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

    إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

    Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim nan amat bodoh.
  4. Perintah untuk mengamalkan, menjaga, dan memelihara mizan (keseimbangan ekosistem); serta larangan untuk melampaui keseimbangan ini (QS. Ar-Rahman/55: 7-9).

    وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ (7) أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (8) وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ (9)

    Dan Allah telah meninggikan langit dan meletakkan neraca (keseimbangan). Janganlah kamu melampaui neraca tersebut. Tegakkanlah neraca itu dengan adil (dan seimbang) dan jangan menguranginya.
  5. Posisi manusia sebagai hamba Allah (QS. Adz-Dzariyat/51:56)

    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

    Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
  6. Peringatan untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah (QS. An-Nisa/4:9):

    وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا 

    Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak keturunan yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
  7. Hukuman maksimal bagi pelaku kerusakan bertingkat di bumi (QS. Al-Maidah/5:33):

    إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

    Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau diasingkan dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
  8. Larangan membuat kerusakan di muka bumi (QS. Al-A’raf/7:56):

    وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

    Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
  9. Balasan bagi  pemelihara dan perusak bumi (QS. Al-A’raf/7:96):

    وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

    Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
  10. Ancaman terhadap perusakan alam di darat dan laut (QS. Ar-Rum/30:41):

    ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

    Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka itu, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
  11. Dalih/alibi perusak bumi atas nama pembangunan (QS. Al-Baqarah/2:11-12):

    وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ  أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ 

    Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi." Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang membangun (mengadakan perbaikan).” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya.
  12. Larangan merusak mikrokosmos karena berdampak pada makrokosmos (QS. Al-Ma‘idah/5:32):

    مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ 

    Oleh karena itu, Kami (Allah) tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu, sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
  13. Larangan mentaati orang yang melampaui batas dan merusak alam (QS. Asy-Syu’ara/26: 151-152):

    وَلَا تُطِيعُوا أَمْرَ الْمُسْرِفِينَ الَّذِينَ يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ وَلَا يُصْلِحُونَ

    Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melampaui batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak memulihkannya (membuat perbaikan).
  14. Larangan berbuat sewenang-wenang di muka bumi (QS. Al-Qashash/28: 4):

    إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ 

    Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.

Nash  Hadis

  1. Penegasan sumber alam milik publik, dilarang untuk diprivatisasi dan dikomersialisasikan:

    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ (رواه ابن ماجه، رقم الحديث: 2566، وأبو داود، رقم الحديث: 3479).

    Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput, dan api dan harganya adalah haram.  (Riwayat Ibnu Majah dalam Sunan, no. 2566, dan Abu Dawud dalam Sunan, no. 3479).
  2. Larangan menimbulkan bahaya dan mengatasi bahaya dengan bahaya yang lain:

    عَنْ يَحْيَى الْمَازِنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ». (رواه مالك في الموطأ، رقم الحديث: 1435، كتاب الأقضية، باب باب الْقَضَاءِ فِى الْمِرْفَقِ).

    Dari Yahya al-Mazini, Rasulullah Saw bersabda: Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh mengganti bahaya dengan bahaya lain (Riwayata Imam Malik dalam kitab Muwaththa’ (no. hadis: 1435), juga Ibn Majah dalam Sunannya (no. hadis: 2430 dan 2431), dan Imam Ahmad dalam musnadnya (no. hadis: 2912 dan 23223).
  3. Larangan berbuat kedhaliman dan apresiasi untuk  menghilangkan kesulitan orang lain: 

    أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رضى الله عنهما أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري في صحيحه، رقم الحديث: 2482).

    Bahwa Abdullah ibn Umar berkata: Bahwa Rasulullah Saw bersabad: Seorang muslim adalah saudara untuk muslim yang lain, tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan seorang muslim, maka niscaya Allah akan menghilangkan kesusahan-kesusahannya pada hari Kiamat dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari Kiamat (Riwayat Bukhari Sahihnya, no. 2482 dan Muslim dalam Sahihnya, no. 6743).
  4. Perintah untuk menyayangi semua makhluk: 

    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ (رواه الترمذي في سننه، رقم الحديث: 2049).

    Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw bersabda: Manusia-manusia pengasih senantiasa disayangi oleh Allah Yang Maha Pengasih. Kasihanilah dan sayangilah oleh kalian semua (siapa dan apa) yang ada di bumi agar semua yang ada di langit selalu menyayangi kalian. (Riwayat Turmudzi dalam Sunananya, no. hadits: 2049 dan Abu Dawud dalam Sunannya, no. 4943).
  5. Perintah untuk menanam pohon sekalipun sesaat lagi kiamat tiba:

    حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ.(رواه أحمد في مسنده، رقم الحديث: 13181).

    Jika kiamat sesaat lagi tiba, sementara di tanganmu itu ada benih pohon, dan kamu mampu menanamnya, maka lakukanlah segera. (Riwayat Ahmad, Musnad, no. 13181).

Aqwal Ulama

  1. Abi Ya’la al-Farra al-Hanbali (w. 485 H): Apabila pemilik rumah membangun dapur api di rumahnya dan asapnya menganggu tetangganya atau membangun penggilingan di rumahnya atau mempekerjakan tukang pandai besi dan binatu, maka semua ini tidak boleh. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Ahmad (al-Ahkamus Sulthaniyyah, h. 301 ).
  2. Abu Muhammad Ghanim bin Muhammad al-Baghdadi (w. 1030 H): Jika ada seseorang ingin membakar sawah (jerami) di tanahnya sendiri, kemudian ia menyalakan apinya, dan ternyata apinya menjalar ke tanah milik tetangganya sehingga membakar tanamannya, maka ia tidak harus mengganti, kecuali ia mengetahui bahwa bila ia membakar sawahnya itu, lalu apinya akan menjalar ke tanaman tetangganya. Sebab, jika ia sudah mengetahui, maka ia berarti  memang sengaja ingin membakar tanaman orang lain. Demikian halnya, seseorang yang ingin memiliki tanaman kapas di tanahnya sendiri bergandengan dengan tanah orang lain, kemudian ia menyalakan api dari sisi tanahnya sendiri dan menjalar ke bagian sisi kapas, maka ganti rugi kapas merupakan kewajiban bagi orang yang menyalakan api tersebut. Hal ini karena ia sudah mengetahui bahwa apinya akan menjalar ke kapas orang lain. Ia berarti sengaja untuk membakarnya.  
  3. KH Ali Yafie dalam buku Merintis Fiqh Lingkungan Hidup menyatakan bahwa konsep al-mizan dalam al-Qur’an (QS. ar-Rahman/55:7-9) bisa diartikan pemeliharaan keseimbangan ekosistem dunia, sehingga pemanfaatan alam tidak boleh semena-mena harus memperhatikan keserasian dan keseimbangan alam. Beliau juga mengusulkan pemeliharaan lingkungan (hifh al-bi‘ah) sebagai prinsip keenam, dari lima prinsip syari’ah Islam sementara ini (memelihara agama/hifh ad-din, akal/hifh al-aql, jiwa/hifh an-nafs, harta/hifh al-maal, dan keluarga/reproduksi/hifh an-nasl). Sehingga pelestarian lingkungan menjadi salah satu tujuan utama hukum Islam.
  4. M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa QS. asy-Syu’ara/26:151-152 adalah ayat-ayat tentang larangan mentaati perintah dan kelakuan para pelampau batas, yakni orang-orang yang senantiasa membuat kerusakan di bumi dan tidak melakukan perbaikan.
  5. Hamka dalam kitab tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa QS. asy-Syu’ara/26:151-152 adalah tentang orang-orang yang membuat kerusakan sebagai musuh masyarakat. Puncak dari segala kerusakan itu adalah sikap takabur, dhalim, dan sewenang-wenang.
  6. Asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat menyatakan kebutuhan primer manusia meliputi lima hal yang termasuk mashlahat atau maqashid dlaruriyyat, yaitu: agama (ad-diin), jiwa (an-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal), dan aqal (al-aql).
  7.  Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah:

    الأصل في النهي للتحريم

    Prinsip dasar larangan menunjukkan arti haram.

    العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

    Makna sebuah kalimat ditentukan oleh keumuman lafaznya, bukan oleh kekhususan sebabnya.

    أَلضَّرَرُيُزَالُ

    Kemadlaratan itu harus dihilangkan.

    اَلضَّرَرُلاَ يُزَالُ باَلضَّرَرِ

    Kemadlaratan tidak bisa dihilangkan dengan kemadlaratan yang lain.

    إذا تعارضت المفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما

    Jika terdapat dua mafsadah (kerusakan) bersamaan yang tidak mungkin dihindari, maka diambil salah satu dari keduanya yang paling ringan tingkat ke-mafsadah-nya.

    درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

    Mencegah perusakan lebih didahulukan  dari pada menarik kemaslahatan

Konstitusi Negara RI

  1. Pasal 33 Ayat (3): bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, ayat (4): perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, dan pasal (5): ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
  2. Pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

Istidlal (Analisis)

Misi utama kerasulan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an ( QS. al-Anbiya/21:107), adalah mewujudkan kerahmatan bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Misi kerahmatan ini telah menjadi prinsip dasar hukum Islam, sehingga seluruh alam semesta, termasuk lingkungan hidup, harus memperoleh perlindungan melalui hukum-hukum Islam yang difatwakan para ulama. Misi kerahmatan ini juga harus mewujud dalam kerangka pandang umat Islam terhadap lingkungan hidup. Kerangka pandang ini, sebagaimana ditegaskan KH Ali Yafie (2006), sesungguhnya didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an maupun teks-teks Hadits.

Dalam Islam, alam ini diciptakan Allah SWT dengan perhitungan yang sempurna (QS. al-Hijr/15:19 dan Ar-Rahman/55:5), tidak main-main (QS. al-Anbiya/21:16), tidak batil dan sia-sia (QS. Shad/38:27), dan untuk tujuan yang benar dan baik (QS. al-Hijr/15:85). Alam adalah bagian integral dari sistem kehidupan. Alam (dengan seluruh isinya) sendiri hidup dan bahkan selalu bertasbih mengagungkan Allah SWT (QS. al-Isra/17:44). Alam ini diciptakan Allah SWT untuk kemaslahatan manusia, karena itu harus selalu dijaga dan dipelihara agar terus lestari sampai generasi terakhir. Bahkan pada saat kiamat pun, Nabi SAW memerintahkan kita untuk tetap melestarikan alam, dengan menanam pohon. Al-Qur’an juga telah memerintahkan keseimbangan ekosistem dunia, melalui konsep al-mizan. Manusia dilarang merusak keseimbangan ini. Menurut al-Qur’an, tindakan merusak keseimbangan ini dianggap melampaui batas ketentuan Allah SWT (QS. Ar-Rahman/55:7-9). Tiga kali al-Qur’an menegaskan larangan merusak bumi yang sudah ditata oleh Allah SWT secara seimbang satu sama lain (QS. al-Baqarah/2:11; al-A’raf/7:56 dan 85). Dus, kerangka pandang Islam adalah menjaga dan melestarikan alam, bukan merusaknya.

Ayat-ayat tentang larangan melakukan kerusakan bumi, seperti tersebut di atas, redaksinya menggunakan bentuk nahy (larangan). Dalam kaidah Ushul Fiqh, nahy (larangan) itu menunjukkan keharaman (الأصل في النهي للتحريم). Ayat tentang larangan melakukan kerusakan di muka bumi ini juga diulang-ulang lebih dari 3 kali dalam Al-Quran pada surat yang berbeda-beda. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki perhatian yang luar biasa terhadap kelestarian alam serta larangan yang tegas terhadap pelaku kerusakan di bumi. Pada ayat lain, pelaku perusakan di bumi mendapatkan ancaman yang tegas, yaitu harus dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau diasingkan dari bumi kediamannya. Di samping itu, di akhirat juga mendapatkan ancaman siksa yang pedih (QS. Al-Maidah/5:33).

Sementara dalam hadis juga terdapat larangan untuk menciptakan bahaya ataupun mengatasi sebuah bahaya dengan bahaya lainnya (لَاضَرَرَ وَلَاضِرَارَ). Hadis ini menggunakan redaksi yang umum (‘aam). Redaksi umum (‘aam) adalah redaksi yang dapat memasukkan seluruh afrad (satuan terkecil) yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, kaidah ushuliyah memberikan penjelasan “Apabila suatu teks menggunakan redaksi ‘aam, maka seluruh satuan terkecil yang ada di bawahnya tersebut mendapatkan konsekuensi hukum yang sama. Karena yang dianggap dari sebuah teks adalah keumuman redaksinya, bukan pada sebab munculnya teks tersebut (العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب).

Dua landasan hukum di atas menegaskan larangan berbuat perusakan di bumi dalam bentuk apapun, termasuk perusakan alam. Kerusakan (al-fasaad), menurut ar-Razi dalam tafsirnya, adalah seluruh kerusakan dalam semua jenisnya, baik kerusakan yang mengancam jiwa, agama, akal, harta, maupun keturunan. Ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis tentang larangan berbuat perusakan dan perintah untuk menjaga alam mendorong para ulama untuk menetapkan keharaman seluruh bentuk tindakan yang mengarah pada hal-hal yang mengganggu orang lain, maupun tindakan yang mengarah pada perusakan alam.

M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa QS. asy-Syu’ara/26:151-152 adalah ayat-ayat tentang larangan mentaati perintah dan kelakuan para pelampaui batas, yakni orang-orang yang senantiasa membuat kerusakan di bumi dan tidak melakukan perbaikan. Kata al-musrifiin berasal dari kata sarafa yang berarti melampaui batas. Meskipun yang dimaksud kata tersebut adalah tokoh-tokoh yang menjadi musuh Nabi Shaleh AS, namun perintah dan nasihat itu juga ditujukan kepada masyarakat umum. Ayat yang berasal dari nasehat Nabi Shaleh AS ini juga ditujukan kepada para tokoh, karena para tokoh sering memberikan contoh perilaku melampaui batas. Adapun kata yufsiduuna dalam ayat 151 surat tersebut berarti merusak sebagai penjelasan maksud tindakan melampaui batas. Kata ini berbentuk kata kerja (fi’il) mudlaari’ untuk mengisyaratkan bahwa perusakan ternyata berkesinambungan, terus-menerus dilakukan manusia. Meskipun secara prinsip merusak, berapapun intensitasnya tetap dikecam. Perusakan alam dengan demikian suatu tindakan yang telah mengurangi nilai-nilai dari suatu fungsi alam yang tadinya baik dan bermanfaat menjadi hilang sebagian atau keseluruhannya akibat  perbuatan dan ulah si perusak. Oleh karena itu, kata فسد   (merusak) adalah lawan dari kata صلح (memperbaiki) atau memulihkan.

Hamka dalam kitab tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa QS. asy-Su’ara/26:151-152 adalah tentang orang-orang yang membuat kerusakan sebagai musuh masyarakat. Puncak dari segala kerusakan itu adalah sikap takabur, dhalim, dan sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan itu pusatnya ada pada bangsa yang maju ilmu pengetahuannya di zaman modern ini, namun tidak membawa kemajuan dalam bidang kehidupan dan kemanusiaan. Ada pabrik, industri, fasilitas hidup yang mewah, transportasi, namun menjadikan alam sebagai komoditas yang dieksploitasi, bukan untuk dijaga keseimbangan ekosistemnya sehingga tetap lestari. Seorang muslim yang sadar agamanya mempunyai kewajiban untuk memelihara dan tidak berbuat perusakan di bumi, termasuk perusakan alam ciptaan Allah SWT.

Dalam sebuah hadis ditegaskan bahwa manusia berserikat dalam tiga sumber alam yang tidak boleh dimonopoli, diprivatisasi, dan dikomersialisasi, yakni air, rumput, dan api. Hal ini menunjukkan bahwa alam adalah mitra manusia, saudara manusia, bahkan ibarat tubuh manusia. Apabila alam dirusak, maka manusia turut sakit dan menderita. Oleh karena itu, relasi manusia dan alam bersifat mutualistik. Jika alam sehat, maka manusia sehat. Untuk menciptakan alam yang sehat dibutuhkan keterlibatan aktif manusia untuk menjaga dan melestarikannya. Penegasan ini dikuatkan pula oleh hadis Nabi yang memerintahkan manusia untuk menanam pohon meskipun kiamat akan tiba.

Nash-nash yang terdapat dalam Adillah juga telah melahirkan kaidah fiqhiyyah yang menegaskan tentang larangan segala bentuk tindakan perusakan, baik kepada sesama manusia maupun kepada yang lainnya. Salah satu kaidah yang sangat terkenal adalah bahwa kemadlaratan itu harus dihilangkan (أَلضَّرَرُيُزَال). Kaidah lain bahkan menegaskan bahwa mencegah kerusakan mesti diprioritaskan daripada menciptakan kemaslahatan (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح). Oleh karena itu, menjadi hal yang tidak mungkin apabila melarang sebuah kerusakan dengan cara yang menimbulkan kerusakan yang lain. Itulah sebabnya di dalam kaidah fiqhiyyah ditegaskan bahwa sebuah kerusakan tidak boleh dihilangkan dengan kerusakan yang lain (اَلضَّرَرُلاَيُزَالُ باَلضَّرَرِ). Dalam kondisi di mana dihadapi dua kerusakan yang tidak bisa dihindari, ulama menyepakati untuk memilih kerusakan yang paling minimal tingkat kemadlaratannya. Hal itu ditegaskan dalam sebuah kaidah fiqhiyah yang berbunyi: إذا تعارضت المفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما (jika terdapat dua mafsadah yang sulit dihindari, maka diambil salah satu dari keduanya dengan mempertimbangkan yang paling ringan tingkat mafsadahnya).

Penegasan larangan terhadap perusakan bumi atau alam semesta dalam nash Al-Qur’an dan Hadis semakin menemukan relevansinya ketika fakta kerusakan alam yang ada hari ini sudah sangat mengkhawatirkan di mana sumber-sumber pokok dalam kehidupan seperti air, udara, tanah, flora, fauna, dan kesembangan ekosistem sudah mengalami kerusakan yang luar biasa. Kerusakan-kerusakan ini akibat dari tindakan-tindakan eksploitatif yang dilakukan oleh segelintir manusia secara membabi buta, seperti:

  1. Pembangunan pabrik secara besar-besaran yang mencemari lingkungan dan udara.
  2. Pembuangan limbah dan racun pada air, tanah, dan udara.
  3. Penebangan hutan secara masif.
  4. Penambangan yang ekstraktif.
  5. Pembangunan yang merusak ekosistem.
  6. Perburuan dan pembunuhan hewan yang dilindungi.
  7. Eksplorasi minyak bumi yang merusak alam.

Tindakan-tindakan di atas telah menimbulkan porak-porandanya tata kehidupan di bumi yang meliputi:

  1. Rusaknya ekosistem. Hal ini telah mengakibatkan cuaca yang tidak menentu, perubahan pola tanam, hilangnya sumber pangan dan obat-obatan, timbulnya banjir bandang, abrasi, dan tanah longsor yang mengancam kehidupan makhluk di bumi. Padahal di dalam QS. Al-Baqarah/2:21-22, Allah menegaskan bahwa “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu…” Ayat ini menjelaskan mata rantai ekosistem alam yang saling berkaitan sehingga tidak boleh dirusak salah satunya. Karena kerusakan pada salah satu bagian dari ekosistem itu akan mengakibatkan rusaknya bagian-bagian alam yang lain.
  2. Rentannya tubuh manusia akibat penyakit yang mengancam kesehatan. Rusaknya ekosistem dan lingkungan secara merata, juga telah mengakibatkan banyak sekali timbulnya penyakit yang bermacam-macam yang mengancam kesehatan dan kehidupan manusia di muka bumi. Di antaranya adalah gangguan saluran pernafasan, dehidrasi, penyakit kulit, meningkatnya penderita kanker, hingga gangguan reproduksi perempuan. Penyakit-penyakit semacam ini tentu saja mengancam terhadap upaya menciptakan kualitas kehidupan manusia yang diamanatkan oleh Tuhan. Dalam al-Qur’an, Tuhan mewanti-wanti kita akan bahaya meninggalkan keturunan manusia yang lemah dan tidak berkualitas (QS. an-Nisa/4:9).
  3. Pemiskinan. Kerusakan yang terjadi pada alam di atas juga telah mengakibatkan pada pemiskinan kehidupan umat manusia, terutama pada perempuan. Hal ini bertentangan dengan cita-cita kehidupan yang ingin direalisasikan oleh agama, yakni kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat (sa’adah fid darayn). Oleh karenanya, agama mewanti-wanti terhadap kemiskinan di mana hal itu sangat membahayakan agama.

Melihat akibat-akibat di atas, tindakan perusakan alam harus mendapatkan perhatian serius oleh umat manusia, terutama para tokoh agama atau ulama. Karena manusia hidup di bumi ini mendapatkan amanah dari Allah sebagai khalifah-Nya. Kekhilafahan sendiri memiliki dua fungsi utama, yakni menjalankan ibadah (ibadatullah), dan menjaga keseimbangan kehidupan di bumi (imaratul ardh). Ini artinya tugas kekhalifahan tidaklah sempurna apabila salah satu fungsi di atas diabaikan. Dengan demikian, tindakan perusakan yang dilakukan oleh manusia melalui eksploitasi alam tanpa batas ini pada dasarnya adalah mengabaikan fungsi kekhalifahan yang kedua, yakni imaratul ardh. Pengabaian terhadap salah satu fungsi ini sesungguhnya adalah pengkhianatan terhadap amanah kekhalifahan yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia.

Dalam konteks kehidupan bernegara, hal ini telah diatur melalui Undang Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia yang menegaskan tugas Negara untuk mengatur penggunaan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan sekelompok pemodal dan pengusaha. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sementara pada ayat (4) menyatakan bahwa: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Sejalan dengan amanat Konstitusi di atas, penguasaan negara terhadap kekayaan alam harus memperhatikan hak setiap makhluk yang hidup di dalamnya, baik manusia, hewan, tumbuhan maupun sumber-sumber kehidupan lainnya. Oleh karena itu, pada Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Beberapa poin penting tentang ajaran Islam terkait perusakan alam adalah sebagai berikut:

  1. Pembangunan hanya diperbolehkan dengan pemanfaatan dan pengelolaan alam demi kemaslahatan dengan landasan Maqashid asy-Syari‘ah, yaitu menjaga agama (hifdhud diin), menjaga jiwa (hifdhun nafs), menjaga akal (hifdhul 'aql), menjaga keturunan dan martabat (hifdhun nasl wal irdl), dan menjaga harta kekayaan (hifdhul maal). Oleh karena itu, pemanfaatan dan pengelolaan alam tidak boleh melampaui batas kebutuhan dan kepentingan diri sendiri (masyarakat) dan tidak berdampak pada rusaknya alam.
  2. Keberadaan manusia, laki-laki dan perempuan, di muka bumi ini memiliki fungsi utama sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2:30). Dalam posisinya sebagai khalifah, manusia tidak saja berkewajiban untuk senantiasa membaktikan diri kepada Allah SWT (ibadah) (QS. adz-Dzariyat/51:56), tetapi juga berkewajiban untuk menjaga keseimbangan ekosistem di muka bumi (al-mizan). Manusia adalah pemegang amanat Allah (QS. al-Ahzab/33:72). Alam semesta dengan seluruh isinya adalah amanat Allah SWT yang diberikan kepada manusia untuk dijaga, dilestarikan, dan dijadikan sebagai sumber penghidupan dan kehidupan semua makhluk secara berkesinambungan. Manusia sendiri adalah bagian dari alam semesta, sehingga manusia dengan seluruh makhluk yang lain pada dasarnya setara dan harus saling berinteraksi secara mutualistik untuk keberlangsungan alam semesta. Dalam konteks ini, selain ukhuwwah islamiyyah (persaudaraan sesama agama), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan setanah air), ukhuwwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia), juga sangat penting dikembangkan ukhuwwah makhluqiyyah (persaudaraan sesama makhluk) untuk mengemban amanat Allah untuk menjaga keberlangsungan alam semesta ini.
  3. Islam diturunkan Allah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (QS. al-Anbiya’/21:107). Rahmat yang dimaksud adalah kasih sayang, cinta kasih, perdamaian, harmoni, dan keseimbangan. Islam dengan tegas mengajarkan kemaslahatan, kebaikan, keadilan, dan keberlangsungan alam semesta. Islam juga dengan tegas melarang manusia untuk melakukan perusakan dalam bentuk apapun di muka bumi, baik perusakan sosial, perusakan moral, perusakan budaya, maupun perusakan alam semesta. Pelaku perusakan alam semesta dinilai setara dengan membunuh seluruh manusia di muka bumi ini. Oleh karena itu, pelaku perusakan dikategorikan pada kejahatan hirabah (pembegalan, perampokan, perompakan), yakni kejahatan kemanusiaan yang disetarakan dengan peperangan melawan Allah dan Rasul-Nya.
  4. Bentuk-bentuk perusakan alam semesta yang dilarang ajaran Islam, di antaranya adalah penebangan hutan secara massif, penambangan dengan segala bentuknya, pembuangan sembarangan limbah dan racun pada air, tanah, dan udara, pembangunan yang merusak ekosistem, perburuan dan pembunuhan hewan yang dilindungi, eksplorasi minyak bumi (energi fosil) yang merusak ekosistem, dan sejenisnya.
  5. Pelestarian dan keberlangsungan alam semesta (air, udara, tanah, flora, fauna) adalah bagian dari ajaran Islam. Tanpa kondisi alam semesta yang bersih dan sehat, agama tidak akan bisa diamalkan secara sempurna. Pelestarian dan keberlangsungan alam semesta harus menjadi bagian dari kesadaran dan praktik keberagaman sehari-hari. Untuk itu, isu alam semesta harus dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan keagamaan, baik di pesantren, sekolah, madrasah, maupun pendidikan tinggi.

Sikap dan Pandangan Keagamaan

Berdasarkan pada dasar-dasar hukum dan analisis atasnya, sebagaimana disebutkan di atas, maka Musyawarah memutuskan sikap dan pandangan keagamaan berikut ini:

  1. Merusak alam yang berakibat pada kemadlaratan dan ketimpangan sosial atas nama apapun, termasuk atas nama pembangunan, hukumnya adalah haram secara mutlak. Alam diciptakan Allah bukan untuk dirusak, tetapi untuk dilestarikan dan dijaga keseimbangan ekosistemnya.
  2. Prinsip dasar ajaran Islam (al-kulliyyaat) selain melindungi agama (hifdhu ad-diin), jiwa (hifdhu an-nafs), akal (hifdh al-'aql), keturunan dan martabat (hifdh an-nasl wa al-‘irdl), harta kekayaan (hifdh al-maal), juga melindungi alam dan lingkungan hidup (hifdh al-bii'ah). Perlindungan terhadap alam dapat dilakukan secara maksimal dengan:
    1. Pengaturan dengan tegas larangan merusak alam dan perhatian besar dalam menjaga dan melestarikan alam. Oleh karena itu, manusia, laki-laki dan perempuan, sebagai khaliifatullaah (wakil Allah) di muka bumi berkewajiban merawat dan menjaga alam dan keseimbangan ekosistem di muka bumi. Karena fungsi kekhalifahan itu ada dua, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT (‘Ibaadatullaah) dan untuk merawat atau melestarikan kehidupan di bumi (‘Imaarotul ardl). Dua-duanya diorientasikan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia (mashaalihul ibaad) di dunia dan di akherat.
    2. Mengembangkan pengetahuan dan membangun kesadaran tentang pentingnya fiqh lingkungan hidup (fiqh al-bii’ah) dan hidup yang sehat, bersih, dan menjaga keseimbangan ekosistem, harus menjadi pembiasaan kehidupan keagamaan, baik dalam lingkup individu, komunitas, masyarakat, maupun negara. Di antara praktik hidup yang penting dibiasakan sehari-hari adalah membuang sampah pada tempatnya, mengelola sampah untuk hal-hal yang produktif, menyayangi pepohonan dan tanaman, menyayangi binatang dan makhluk hidup lain, selalu menjaga kebersihan, hemat energi, menggunakan air secukupnya (tidak berlebihan), tidak sembarang tebang pohon, tidak membakar hutan, dan tidak menggunakan pestisida dan bahan-bahan beracun.
  3. Pandangan agama tentang tanggungjawab negara dalam mengatasi ten yang memiskinkan rakyat, terutama perempuan adalah:
    1. Negara dengan seluruh perangkatnya wajib melindungi alam dari segala kerusakan, dan wajib memberikan sanksi hukuman tegas yang menjerakan kepada pelaku perusakan, baik individu, masyarakat, aparat negara, maupun terutama korporasi.
    2. Negara bertangungjawab melakukan pencegahan dari perusakan alam dan pemulihannya dengan cara menyediakan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan, melaksanakan dengan tegas peraturan yang sudah ada, dan melakukan kegiatan-kegiatan nyata bersama masyarakat untuk kelestarian alam. Dalam upaya tersebut negara wajib melibatkan perempuan sebagai pihak yang paling merasakan dampak negatif dan beban berlebih akibat perusakan alam.

Tazkiyah (Rekomendasi)

1. Kepada Negara

  1. Mengubah paradigma melihat alam sebagai sumberdaya pembangunan menjadi sumber penghidupan dan kehidupan agar alam tidak menjadi obyek eksploitasi, namun sebagai bagian dari sistem kehidupan manusia yang harus dijaga kelestariannya agar dapat menjamin kelangsungan hidup manusia.
  2. Membuat instrumen kebijakan, program khusus, dan pembiayaan yang memadai untuk menjamin kelestarian alam sebagai sumber penghidupan dan kehidupan.
  3. Mengatasi kerentanan perempuan dan anak-anak serta memastikan perlindungan bagi mereka dari dampak kerusakan alam melalui instrumen kebijakan dan program khusus yang berkesinambungan.
  4. Menghapus undang-undang dan kebijakan yang melihat alam sebagai sumberdaya pembangunan sehingga berpotensi merusak ekosistem dan menerapkan secara tegas undang-undang serta kebijakan perlindungan alam yang telah ada.
  5. Menghukum pelaku industri yang merusak alam dan melarang mereka beroperasi di Indonesia.
  6. Mengembangkan riset dan teknologi ramah lingkungan, energi terbarukan dan inovasi untuk memperkuat peran perempuan sebagai subyek pelestari alam.
  7. Mendokumentasikan tradisi dan praktik baik pelestarian alam yang ada di masyarakat agar dapat menjadi pengetahuan bersama masyarakat luas.


2. Kepada Tokoh Agama

  1. Membangun wacana pelestarian alam dalam perspektif agama dengan mengedepankan tafsir agama yang mengharuskan manusia melindungi alam dan menempatkan alam sebagai sumber penghidupan, serta tafsir yang memberi ancaman terhadap perusak alam.
  2. Membangun wacana keagamaan akan kerentanan perempuan dan anak-anak akibat kerusakan alam termasuk ancaman penyakit, kekerasan, dan kemiskinan.
  3. Melakukan pendidikan dan penyadaran kritis tentang ajaran Islam dalam pelestarian alam melalui khutbah, pengajian, pendidikan, dan media lainnya.
  4. Memberikan keteladanan praktik langsung pelestarian alam dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan mereka berada.
  5. Memberikan masukan dan kontrol kepada pemerintah terkait pelestarian alam.


3. Masyarakat

  1. Melakukan gerakan penyelamatan “ibu bumi” di mana perempuan menjadi sentral dari pelestarian alam dan menjaga keseimbangan ekosistem.
  2. Menggali dan menjaga tradisi serta praktik baik pelestarian alam yang mengakar di masyarakat selama ini misalnya larangan menebang pohon pada area dan saat tertentu, kewajiban menanam pohon tertentu pada peristiwa khusus dan lain-lain.
  3. Melakukan gerakan menanam pohon, pangan, dan obat-obatan di lingkungan sekitarnya.
  4. Menerapkan pola hidup sehat, bersih, dan melestarikan alam dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Membangun solidaritas, kekuatan dan gerakan bersama untuk menghadapi ancaman perusakan alam sekitar oleh pelaku industri.
  6. Melakukan gerakan menolak mempergunakan produk-produk perusahaan yang merusak alam, termasuk yang merusak reproduksi perempuan.

Maraji' (Referensi)

  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Sahih al-Bukhari, 2000, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  3. Sahih Muslim, 2000, Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  4. al-Muawatha’, 2000, Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  5. Sunan at-Tirmidzi, 2000, Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa as-Sulami at-Turmudzi, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  6. Sunan Abu Daud, 2000, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  7. Sunan Ibnu Majah, 2000, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabi’ Al-Qazwinî Al-Hâfidz, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  8. Musnad Ahmad, 2000, Ahmad bin Hanbal, Jam’iyat al-Maknaz al-Islami, Cairo, Mesir.
  9. al-Muwafaqat fiy Ushul asy-Syari’ah, t.t., Abi Ishaq Asy-Syathibi, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut.
  10. Ahkamus Sulthaniyah, 2000, Abu Ya’la Al-Farra’ al-Hanbali, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut.
  11. Mafatihul Ghaib, t.t., Fakhruddin ar-Razi, Dar al-Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut.
  12. al-Asybah wan Nadha’ir fiy Qawa’id wa Furu‘ asy-Syafi’iyyah, 2006, Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy, Darussalam, Cairo, Mesir.
  13. Majma’ adl-Dlamaanaat, t.t., Abu Muhammad Ghanim bin Muhammad al-Baghdadi al-Hanafiy, Dar al-Kitab al-Islami, Beirut.
  14. Ali Yafie. 2006. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Amanah dan Ufuk Press.
  15. M. Quraish Shihab. 2007. Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2007, vol. 1
  16. Greenpeace Indonesia. 2014. http://www.greenpeace.org/seasia/id/news/Tanggapan-Greenpeace-atas-StudiBaru-yang-Menyatakan-Deforestasi-Indonesia-Tertinggi-di-Dunia/
  17. Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam. 2017. Saatnya Kerja Selamatkan Sumber Daya Alam. https://programsetapak.org/wp-content/uploads/2017/01/saatnya-kerja-nyata-selamatkan-SDA.pdf
  18. Simanjuntak, H. Martha, . 2015. FWI: Laju Deforestasi Indonesia Tertinggi. Antaranews. http://www.antaranews.com/berita/474271/fwi--laju-deforestasi-indonesia-tertinggi
  19. Wilujeng Kharisma. 2015. 12 Juta Masyarakat Pinggiran Hutan Hidup Miskin. Pikiran Rakyat.com http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/06/12/330796/12-juta-masyarakat-pinggiran-hutan-hidupmiskin Narasi April19, Kota Bekasi 16
  20. Prabowo, Dani. 2017. Konflik Agraria Naik Hampir Dua Kali Lipat Pada 2016. Kompas.com http://nasional.kompas.com/read/2017/01/05/15230131/konflik.agraria.naik.hampir.dua.kali.lipa t.pada.2016
  21. Simanjuntak, H. Martha, . 2015. FWI: Laju Deforestasi Indonesia Tertinggi. Antaranews. http://www.antaranews.com/berita/474271/fwi--laju-deforestasi-indonesia-tertinggi
  22. Konsorsium Pembaruan Agraria. 2016. KPA Launching Catatan Akhir Tahun 2016, http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2016/
  23. Komnas Perempuan. 2008. Meretas Jejak Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. http://www.komnasperempuan.go.id/meretas-jejak-kekerasan-terhadap-perempuan-dalam-pengelolaan-sumberdaya-alam/
  24. Anonim. 2007. Joyo Winoto : Ketimpangan Kepemilikan Aset sebagai Penyebab Kemiskinan https://ugm.ac.id/id/newsPdf/1135-joyo.winoto.:.ketimpangan.kepemilikan.aset.sebagai.penyebab.kemiskinan

Marafiq

فإن نصب المالك تنورا في داره، فتأذى الجار بدخانه، أونصب في داره رحا، أو وضع فيها حدا د ينأ وقصارين، فهذا يمنع ذ لك؟ (الأحكام السلطانية لأبي يعلي الفراء:301)


(الْفَصْلُ الثَّالِثُ فِيمَا يُضْمَنُ بِالنَّارِ وَمَا لَا يُضْمَنُ) رَجُلٌ أَرَادَ أَنْ يَحْرِقَ حَصَائِدَ أَرْضِهِ فَأَوْقَدَ النَّارَ فِي حَصَائِدِهِ فَذَهَبَتْ النَّارُ إلَى أَرْضِ جَارِهِ فَأَحْرَقَ زَرْعَهُ لَا يَضْمَنُ إلَّا أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهُ لَوْ أَحْرَقَ حَصَائِدَهُ تَتَعَدَّى النَّارُ إلَى زَرْعِ جَارِهِ؛ لِأَنَّهُ إذَا عَلِمَ كَانَ قَاصِدًا إحْرَاقَ زَرْعِ الْغَيْرِ. قَالُوا: إنْ كَانَ زَرْعُ غَيْرِهِ يَبْعُدُ عَنْ حَصَائِدِهِ الَّتِي أَحْرَقَهَا وَكَانَ يَأْمَنُ أَنْ يَحْتَرِقَ زَرْعُ جَارِهِ وَلَا يَطِيرُ شَيْءٌ مِنْ نَارِهِ إلَّا شَرَارَةٌ، أَوْ شَرَارَتَانِ فَحَمَلَتْ الرِّيحُ نَارَهُ مِنْ أَرْضِهِ إلَى أَرْضِ جَارِهِ فانحرق زَرْعُ الْجَارِ وَكُنْهُ لَا يَضْمَنُ فَإِذَا كَانَ أَرْضُ جَارِهِ قَرِيبًا مِنْ أَرْضِهِ بِأَنْ كَانَ الزَّرْعَانِ مُلْتَصِقَيْنِ، أَوْ قَرِيبَيْنِ مِنْ الِالْتِصَاقِ عَلَى وَجْهِ أَنَّ نَارَهُ تَصِلُ إلَى زَرْعِ جَارِهِ يَضْمَنُ صَاحِبُ النَّارِ زَرْعَ الْجَارِ وَكَذَلِكَ رَجُلٌ لَهُ قُطْنٌ فِي أَرْضِهِ، وَأَرْضِ جَارِهِ لَاصِقَةٌ بِأَرْضِهِ، فَأَوْقَدَ النَّارَ مِنْ طَرَفِ أَرْضِهِ إلَى جَانِبِ الْقُطْنِ فَأَحْرَقَتْ ذَلِكَ الْقُطْنَ كَانَ ضَمَانُ الْقُطْنِ عَلَى الَّذِي أَوْقَدَ النَّارَ؛ لِأَنَّهُ إذَا عَلِمَ أَنَّ نَارَهُ تَتَعَدَّى إلَى الْقُطْنِ كَانَ قَاصِدًا إحْرَاقَ الْقُطْنِ.  (أبو محمد غانم بن محمد البغدادي الحنفي, مجمع الضمانات, الجز 1, دار الكتاب الإسلامي, ص 161)


تفسير الرازي - (7 / 146) ثم قال تعالى : { وَلاَ تُفْسِدُواْ فِى الأرض بَعْدَ إصلاحها } وفيه مسألتان : المسألة الأولى : قوله : {وَلاَ تُفْسِدُواْ فِى الأرض بَعْدَ إصلاحها } معناه ولا تفسدوا شيئاً في الأرض ، فيدخل فيه المنع من إفساد النفوس بالقتل وبقطع الأعضاء ، وإفساد الأموال بالغصب والسرقة ووجوه الحيل ، وإفساد الأديان بالكفر والبدعة ، وإفساد الأنساب بسبب الإقدام على الزنا واللواطة وسبب القذف ، وإفساد العقول بسبب شرب المسكرات ، وذلك لأن المصالح المعتبرة في الدنيا هي هذه الخمسة : النفوس والأموال والأنساب والأديان والعقول . فقوله : { وَلاَ تُفْسِدُواْ } منع عن إدخال ماهية الإفساد في الوجود ، والمنع من إدخال الماهية في الوجود يقتضي المنع من جميع أنواعه وأصنافه ، فيتناول المنع من الإفساد في هذه الأقسام الخمسة ، وأما قوله : { بَعْدَ إصلاحها } فيحتمل أن يكون المراد بعد أن أصلح خلقتها على الوجه المطابق لمنافع الخلق والموافق لمصالح المكلفين ، ويحتمل أن يكون المراد بعد إصلاح الأرض بسبب إرسال الأنبياء وإنزال الكتب كأنه تعالى قال : لما أصلحت مصالح الأرض بسبب إرسال الأنبياء وإنزال الكتب وتفصيل الشرائع فكونوا منقادين لها ، ولا تقدموا على تكذيب الرسل وإنكار الكتب والتمرد عن قبول الشرائع ، فإن ذلك يقتضي وقوع الهرج والمرج في الأرض ، فيحصل الإفساد بعد الإصلاح ، وذلك مستكره في بداهة العقول .