Nani Zulminarni
Nani Zulminarni lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 10 September 1962. Ia aktif dalam pemberdayaan perempuan sejak tahun 1987 hingga sekarang. Kepeduliannya akan kehidupan perempuan mendorongnya untuk mendirikan PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) pada tahun 2001 dan aktif hingga sekarang.
Nani terhubung dengan jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) melalui aktivitasnya bersama PEKKA dan Alimat. Ia terlibat intensif dalam proses persiapan KUPI dan masuk dalam jajaran Panitia Pengarah bersama tokoh-tokoh penggerak KUPI yang lain. Ia memoderatori salah satu topik diskusi paralel mengenai “Pembangunan Berkeadilan Berbasis Desa dalam Perspektif Ulama Perempuan” yang merupakan salah satu agenda KUPI.
Riwayat Hidup
Nani menghabiskan masa kecil di Ketapang, dan saat TK sampai SMA ia tinggal di Pontianak bersama keluarganya. Ia adalah siswa yang cerdas sehingga terpilih menjadi Pelajar Teladan se-Kalimantan Barat pada 1980, yang membukakan jalannya untuk menjadi mahasiswa di IPB (Institur Pertanian Bogor). Ia mengatakan bahwa sebenarnya ia bercita-cita menjadi dokter, namun akhirnya ia memutuskan untuk menerima undangan masuk IPB tanpa tes. Kedekatannya dengan ikan dan air mendorongnya untuk kuliah di Fakultas Perikanan IPB. Kemudian ia menjadi anak rantau di Bogor selama menempuh pendidikan di Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan IPB pada tahun 1981.
Saat kuliah, Nani mengikuti organisasi kerohanian Islam (rohis) di IPB dan mengikuti pengajian-pengajian untuk mendalami Islam. Pada tahun 1980-an terjadi Revolusi Iran yang mempengaruhi dinamika di IPB dan juga ajaran untuk memakai jilbab melalui pengajian-pengajian. Saat itu, pemakaian jilbab dilarang. Namun, ia memutuskan untuk memakai jilbab dengan berbagai alasan meski keputusannya itu mendapatkan banyak represi dan diskriminasi. Karena ia berjilbab, ia kesulitan mendapatkan pekerjaan formal sehingga ia bekerja di bidang konveksi dan menjadi guru di Madrasah Aliyah dan SMP Islam. Ia kemudian mencoba bergabung dengan Yayasan Annisa sebagai Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita, sebagai pendamping lapang untuk pemberdayaan perempuan tahun 1987. Tahun 1991, Nani mendapatkan beasiswa OTO-BAPPENAS Indonesia untuk melakukan studi Magister di Amerika Serikat. Ia menyelesaikan Master Sosiologi dari North Carolina State University - NCSU, Raleigh pada tahun 1993.
Pengalaman hidup Nani sejak kecil membawanya pada kehidupannya sekarang. Ia tumbuh dan besar di lingkungan patriarkal yang memperlakukan perempuan dengan tidak adil. Ia melihat dan menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan yang kemudian mendorongnya untuk berpihak dan membela perempuan. Saat berusia tujuh tahun, ia menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga berulang kali yang dialami oleh tantenya. Tantenya masih bertahan dalam lingkaran KDRT karena ia tidak memiliki pekerjaan sehingga takut jika keempat anaknya akan terlantar. Pengalaman pahit ini terekam jelas dalam ingatannya sampai sekarang. Selain itu, ia juga dikelilingi perempuan-perempuan tangguh sebagai role model. Ia berpegang pada pesan ibunya yang menegaskan untuk tidak menggantungkan hidup kepada suami dan harus memiliki penghasilan sendiri. Neneknya juga mengajarkannya untuk menjadi perempuan yang tangguh. Neneknya mengajar ngaji jalan kaki setiap hari dan menjual jamu untuk mencari nafkah, karena kakeknya ingin selalu dilayani dan penghasilan dari kebun tidak selalu ada setiap hari.
Ia melakukan kerja-kerja pemberdayaan perempuan terutama setelah lulus kuliah dan bekerja, hingga menginisiasi PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) pada tahun 2001. Kerja-kerja PEKKA berfokus pada pemberdayaan perempuan kepala keluarga yang miskin dengan memberikan dukungan komprehensif kepada perempuan yang merupakan janda meninggal dan bercerai, perempuan terlantar dan korban poligami, perempuan yang suaminya disabilitas atau sakit dan juga perempuan lajang. PEKKA memiliki 60 anggota tim yang telah mendampingi lebih dari 65.000 perempuan kepala keluarga dalam 3.000 kelompok swadaya yang berada pada 1.300 desa dalam 34 provinsi di Indonesia. Gerakan dan kerja PEKKA memberikan bantuan perempuan di akar rumput untuk memperjuangkan hak-hak pendidikan, ekonomi, hukum, sosial dan politik mereka. PEKKA juga memperjuangkan perubahan hukum dan kebijakan yang diskriminatif sebagai upaya pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan perempuan di daerah. Berkat kerja kerasnya, PEKKA mampu mengintervensi pemerintah untuk memperluas sistem peradilannya ke daerah pedesaan dan status hukum untuk perempuan kepala keluarga. Maka pada 2006, Undang-Undang Pencatatan Sipil mengakui perempuan sebagai kepala keluarga.
Selain itu, melalui PEKKA, Nani menginisiasi Akademi Paradigta, program pelatihan terstruktur kepemimpinan perempuan di akar rumput yang berbasis masayarat di wilayah PEKKA pada 2016. Program ini adalah strategi untuk gerakan yang lebih inklusif. Lebih dari 500 perempuan desa merupakan lulusan Akademi Paradigta setiap tahunnya, serta menjadi pemimpin dan agen perubahan di desa mereka.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Salah satu kerja PEKKA sejak 2001 adalah gugatan terhadap sistem nilai yang mengatakan bahwa perempuan itu bukan kepala keluarga dan bukan pemimpin. PEKKA menghadapi masyarakat yang menolak konsep perempuan kepala keluarga, adanya tuduhan PEKKA mempromosikan perceraian, dan sebagainya. Padahal PEKKA menyoal tentang sistem perkawinan di Indonesia yang masih lemah dalam melindungi perempuan. Dalam masyarakat dan perkawinan, perempuan diposisikan sebagai pihak yang pasif dan rendah. Jika pernikahan tidak tercatat secara Hukum Negara, maka dianggap tidak sah dan perempuan adalah pihak yang paling dirugikan dalam hal ini.
Dalam kerja advokasi PEKKA terkait hukum keluarga, PEKKA juga berhadapan dengan tokoh-tokoh agama di berbagai wilayah yang bertentangan dengan nilai-nilai PEKKA. Mereka adalah tokoh agama dan masyarakat yang dengan mudah menikahkan, menceraikan, dan melakukan poligami terhadap perempuan yang kemudian dilegitimasi oleh agama. Namun, ia juga bertemu dengan tokoh-tokoh agama yang berperspektif keadilan gender, seperti KH. Husein Muhammad, KH. Faqihuddin Abdul Kadir, Dr. Nur Rofiah dan Nyai Badriah Fayumi. Ia kemudian diajak untuk mendirikan ALIMAT yang berkomitmen untuk menggunakan pengetahuan yang luas berdasarkan teks dan konteks untuk mencari kemaslahatan di dalam Islam.
ALIMAT bekerjasama dengan PEKKA melatih ulama-ulama di berbagai wilayah PEKKA bekerja agar ulama-ulama tersebut memiliki perspektif yang sama dengan ulama-ulama di ALIMAT. PEKKA dan ALIMAT berhasil melatih lebih dari 600 kiai dan nyai di 20 provinsi yang diharapkan menjadi mitra di lapangan untuk membantu menghadapi sistem nilai yang ada di dalam masyarakat.
Nani bersama dengan PEKKA dan jaringan ulamanya terlibat di dalam KUPI. Paska KUPI, tugas PEKKA adalah menurunkan fatwa KUPI ke dalam kerja-kerja di lapangan untuk memberdayakan ibu-ibu agar mereka memiliki pemahaman dan argumentasi keagamaan sebagai amunisi bagi kerja-kerja advokasi mereka di lapangan. ALIMAT dan PEKKA melanjutkan kerja-kerja KUPI, mempersiapkan Kongres kedua, memproduksi produk-produk pengetahuan, dan melakukan berbagai inisiatif secara personal dan kolektif untuk mengkampanyekan KUPI.
Nani menggunakan framework Islam yang rahmatan lil alamin dengan konsep Mubadalah dan Keadilan Gender Islam ke dalam kerja-kerja PEKKA. PEKKA juga bekerja sama dengan KUPI melaksanakan Madrasah Islamiyah PEKKA yang dilakukan setiap hari jumat selama enam bulan dengan mengirim leader ke daerah. Ada hampir 200 peserta belajar mengenai konsep keluarga dalam Islam berdasarkan konsep-konsep yang dikembangkan oleh para ulama perempuan KUPI. PEKKA turut mensosialisasikan kepada masyarakat luas tentang keberadaan ulama dan keulamaan perempuan.
Tantangan dalam bekerja sama dengan ulama-ulama perempuan KUPI adalah keterbatasan waktu karena kesibukan mereka. Misalnya, pelaksanaan Madrasah Islamiyah membutuhkan dua narasumber dan satu fasilitator. Pengaturan dan pergantian jadwal adalah tantangan, namun komitmen dan perjuangan ulama-ulama KUPI memudahkan proses pengaturan ini. Prinsip KUPI adalah menyandingkan antara kondisi di lapangan dengan teks, sehingga narasumber yang dipilih adalah ulama dan aktivis agar menjadi proporsional. Komposisi pengalaman dan pengetahuan dalam perspektif Islam menjadi hal yang penting bagi PEKKA dan KUPI untuk mensosialisasikan perspektif dan gerakan kepada masyarakat yang menjadikan agama sebagai hal yang sentral dalam hidup.
Tantangan paling berat adalah mengubah pola pikir masyarakat yang terbiasa dengan tradisi yang merugikan perempan dan patriarkis. Komunitas PEKKA di daerah-daerah memberikan input atau intervensi sekali dalam seminggu (sekitar tiga jam) kepada ibu-ibu PEKKA. Akan tetapi, ibu-ibu tersebut tentu terlibat dalam aktivitas lain di tempat masing-masing yang bisa jadi bertolak belakang dengan prinsip PEKKA, ALIMAT, dan KUPI. Sehingga mereka mengalami dinamika dan naik-turun dalam proses memahami dan mempraktikkan ilmu yang mereka peroleh di kelas PEKKA. Misalnya, perspektif mengenai sunat perempuan (female genital mutilation) yang diberikan di dalam kelas, pada kenyataannya masih ada peserta yang masih mempraktikkan sunat perempuan dengan alasan takut dosa jika tidak dilakukan.
Tantangan yang lain adalah tingkat literasi masyarakat yang rendah. Ibu-ibu komunitas PEKKA mampu membaca Al-Qur’an dan Yasin, namun mereka tidak memahami arti dan maknanya sehingga tidak mudah untuk menindaklanjuti pendidikan yang telah diberikan. KUPI berusaha menghasilkan produk-produk pengetahuan yang mudah seperti membuat dalam versi YouTube untuk membantu meningkatkan literasi masyarakat. Menurut Nani, pendampingan yang terus-menerus dan konsisten perlu dilakukan untuk merespon tantangan-tangangan yang dihadapi. Selain itu, pendidikan dan pendampingan perlu menggunakan pendekatan yang mudah dipahami, yaitu dengan memberikan cerita dan contoh, dan membagikan pengalaman di lapangan yang dekat dengan kehidupan mereka.
Nani berharap KUPI dapat diperluas sehingga ulama-ulama KUPI mampu mengintervensi umatnya untuk memiliki perspektif yang sama dan menjadikan nilai-nilai KUPI menjadi mainstream. Tokoh agama di TV dan media lain bisa jadi bertolak belakang dengan KUPI. Maka KUPI perlu lebih aktif dalam menjangkau sebanyak mungkin tokoh-tokoh yang memiliki umat yang besar sehingga dapat mengubah dan meyakini sistem nilai berdasakan nilai-nilai KUPI. Ia mengatakan bahwa peluang KUPI cukup besar ke depannya terutama karena kemajuan informasi. KUPI dapat merebut ruang virtual yang mampu menjangkau masyarakat lebih luas di seluruh daerah di Indonesia. Misalnya, kerja Dr. Nur Rofiah., Bil. Uzm. dengan Ngaji Keadilan Gender Islam yang dilakukan secara langsung dan terutama virtual yang memiliki banyak pengikut.
Dalam perspektif Nani, keadilan gender di Indonesia itu berada dalam tiga dimensi kekuasaan, yaitu regulasi, hidden power, dan invisible power. Regulasi atau peraturan yang diskriminatif gender bisa diadvokasi oleh lembaga dan gerakan sosial seperti PEKKA dan KUPI. Hidden power yaitu peran ulama-ulama yang tidak berada dalam struktur formal dan tidak dapat memengaruhi kebijakan dan hukum, namun mereka dapat mengintervensi pola pikir masyarakat. Di sinilah peran ulama-ulama KUPI untuk terus-menerus menyebarkan pendidikan bagi masyarakat tentang keadilan gender.
Yang terakhir, invisible power yaitu sistem nilai yang ada di dalam hati dan pikiran perempuan. Mereka yang tidak berani keluar dari tradisi dan sistem nilai tersebut yang juga dipengaruhi oleh hidden power, yaitu dengan tausiyah dan pendidikan yang menguatkan perempuan. Hal ini dapat membantu dan menguatkan perempuan untuk keluar dari garis batas yang selama ini ditentukan pada mereka. Misalnya, sistem nilai tentang kepemimpinan perempuan, maka KUPI dapat memberikan pengetahuan dan penjelasan yang menguatkan perempuan untuk menjadikan masyarakat terutama perempuan menjadi manusia yang utuh.
Penghargaan dan Prestasi
Sebagai apresiasi atas kerja-kerja PEKKA, Nani mendapatkan penghargaan melalui PEKKA di antaranya penghargan Best Practice Award Ministry of Finance Japan (2009), Outstanding Achievement Award GRM International (2010), Most Favourite Project, Ministry of Finance Japan (2011), ASEAN Leadership Award (2013) dan Penghargaan Ormas Kementerian Dalam Negeri tahun (2018).
Selain itu, Nani juga menerima Penghargaan dan Beasiswa tingkat Nasional dan Internasional antara lain: International Adult and Continuing Education Hall of Fame award (2017); Anugrah Seputar Indonesia RCTI (2015); Kick Andy Hero (Maret 2015); Penghargaan Sarinah (2014); Perempuan Inspiratif Nova (Desember 2014); Fairness Award (November 2014); Republik Indonesia (Oktober 2014); Lencana Bakti Kesra Utama, Menteri Koordinator Bidang Kesejateraan Rakyat; Lotus Leaderships Award (Juni 2014); Beasiswa SEACHANGE (September 2013); Ernst & Young Entrepreneur of the year finalists (2010); Penghargaan Saparinah Sadli (Agustus 2010); Rockefeler Foundation - Institute of International Education, Inc. (IIE) untuk Berpartisipasi dalam Bellagio Practitioner Residency Programme di Bellagio Center di Italia (13 Oktober -10 November 2008); Fellowships Ashoka (Oktober 2007-September 2010); OTO-BAPPENAS Indonesia; untuk Studi Magister di Amerika Serikat (1991-1993).
Karya-karya
Nani turut memberikan kontribusi sosial dengan mendirikan jaringan-jaringan nasional dan LSM yang mempromosikan hak-hak perempuan dan memajukan reformasi kebijakan dalam merespon persoalan marginalisasi dalam kebijakan publik dan pendanaan. Nani terlibat dalam kepemimpinan di tingkat regional dan global, antara lain, sebagai anggota Dewan Eksekutif ASPBAE (2000-2008) dan menjadi Presiden pada periode 2017-2020, dan terpilih kembali menjadi Presiden pada periode 2021-2024. ASPBAE (Asia South Pacific Association for Basic and Adult Education) merupakan jaringan CSO Asia Pasifik terkemuka yang memajukan hak atas pendidikan orang dewasa melalui lebih dari 130 organisasi anggotanya di 33 negara di seluruh Kawasan Asia Pasifik; Ketua Program Komunikasi Populer Asia Tenggara (2004-2008), yang merupakan jaringan pendidik akar rumput yang mendukung gerakan sosial di Asia Tenggara; Anggota dewan penasehat JASS (Just Associates) dan JASS-Asia Tenggara, yang merupakan jaringan feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan lembaga pembangunan gerakan untuk perempuan; Anggota International Advisory Board Musawah (2013-2018), yaitu jaringan global untuk aktivis dan cendekiawan yang memberdayakan perempuan Muslim melalui reformasi hukum keluarga.
Penulis | : | Wanda Roxanne |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |