Muyassarotul Hafidzoh

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Muyassarotul Hafidzoh
MuyassarotulHafidzoh.jpg
Tempat, Tgl. LahirCirebon, 25 Januari 1988
Aktivitas Utama
  • . . .
  • . . .
Karya Utama
  • . . .
  • . . .

Murah senyum dan teduh bila dipandang adalah sedikit gambaran dari Muyassarotul Hafidzoh kala memungut satu per satu masa lalunya itu. Sekali-kali, Mbak Muyas—begitu sapaannya sehari-hari—menengok jauh ke belakang guna menceritakan pengabdiannya kepada masyarakat, termasuk bagaimana perjalanan novel ‘Hilda’ bisa setenar sekarang.

Meski pada mulanya perempuan kelahiran Cirebon, 25 Januari 1988 ini merasa kurang pantas diwawancarai tim KUPIPEDIA, pada akhirnya terkuaklah kalau khidmatnya terhadap Islam serupa keniscayaan kitab suci bagi orang-orang beragama. Ia bukan sekadar novelis beraliran sastra pesantren, atau segala hal yang berhubungan dengan pena, melainkan kegiatan yang ia lakoni sehari-hari juga tak jauh dari dunia perempuan dan anak-anak. Hal ini terjadi lantaran ia aktif di Fatayat NU DIY serta menjabat sebagai Kepala Madrasah Diniyah Masjid Az-Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul sejak tahun 2020 hingga sekarang.

Tentu perjalanan hidup yang ia jalani, tak serta merta mengantarkannya pada apa-apa yang ia emban di masa kini. Putri dari pasangan H. Agus Subhan Abqy dan Hj. Juwaeriyah ini memiliki sejarah panjang sampai akhirnya menjadi bagian dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).

Riwayat Kehidupan

Barangkali benar kata pepatah, apabila ujung parang terus diasah, maka akan tajam jua. Kira-kira, inilah gambaran Mbak Muyas ketika mengenal dunia literasi. Waktu itu, ia tengah menyantri di Pondok Pesantren PMH Al Kautsar, Kajen Margoyoso Pati. Cintanya terhadap buku bacaan, membuatnya ‘nekad’ mendekati pengurus agar namanya termaktub sebagai pengurus perpustakaan. Dengan begitu, ia bisa bebas berbelanja buku perpus sesuai keinginan, terutama komik dan novel.

Bukan apa-apa. Kondisi waktu itu tidak seperti sekarang di mana santri bisa membaca apa saja. Pada saat ia menyantri, komik dan novel tidak diperbolehkan beredar. Ndilalah, pendekatan terhadap kakak tingkatnya itu berhasil. Ia menjadi pengurus perpustakaan, dan bisa memilih buku apa saja yang ia sukai saat belanja.

'Kenakalan’ semacam ini akhirnya mengantarkan Mbak Muyas kepada dunia menulis. Pada awalnya, ia menulis puisi untuk ditaruh di majalah dinding dengan memakai nama samaran. Hingga akhirnya, ia melanjutkan pendidikan di MA Ali Maksum Pesantren Krapyak Yogyakarta, dan tergabung di Komunitas Coret yang diadakan oleh LKiS.

Ketika itu, penerbit terbesar di Yogyakarta ini tengah mengadakan seleksi pelatihan penulis pelajar se-DIY. Selama mengikuti kegiatan LKiS, rupanya ia tidak sekadar belajar menulis esai, melainkan mulai mengenal istilah toleransi. Pandangan buruk terhadap mereka-mereka yang non Muslim, runtuh saat itu juga. Bukan apa-apa, ia baru memiliki teman non Muslim ketika mengikuti Komunitas Coret.

Hal ini berlanjut pada perkenalannya dengan isu gender yang baru dimulai usai lulus dari Krapyak. Ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Tarbiyah Prodi Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan tergabung di PersMa. Mula-mula lewat diskusi buku. Entah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, atau buku filsafat seperti Dunia Sophie. Lambat laun, perkenalannya merambat ke tulisan.

Momentumnya terjadi ketika seorang dosen memberi tantangan di kelas. Konon, bagi mahasiswa yang tulisannya berhasil dimuat di koran, maka tidak perlu mengikuti ujian dan mendapat nilai A. Sontak Mbak Muyas tergugah. Apalagi, ia memiliki riwayat kepenulisan selama MA bersama LKiS.

Ia segera mencari koran-koran yang memuat rubrik mahasiswa. Mulai dari Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat dan Merapi. Ndilalah, tulisannya dimuat di koran untuk pertama kali. Ia segera menemui dosen tersebut dan menyodorkan surat kabar. Sang dosen tersentak dan tidak mengira kalau ada yang berhasil. Kendati begitu, Mbak Muyas harus tetap mengikuti ujian sebagai bentuk prosedural, namun nilainya tetap A.

Saat dimuat di koran, Mbak Muyas tak pernah menyangka akan memperoleh honor yang lumayan besar untuk kategori mahasiswa. Alhasil, ia kian termotivasi untuk mengirim tulisan ke beragam media, termasuk menjebol gawang Kompas.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Hampir seluruh tulisannya yang dimuat di berbagai media memiliki benang merah yang sama, yakni berbicara tentang perempuan. Namun, sebetulnya Mbak Muyas baru benar-benar terjun ke dunia ulama perempuan setelah menikah dengan Muhammadun dan memiliki putra satu. Ketika itu, ia tergabung dengan organisasi Fatayat NU DIY. Suatu hari, temannya di Fatayat yakni Mbak Nihayatul Waghfiroh tiba-tiba menghubungi dan memintanya mengikuti Pengkaderan Ulama Perempuan Angkatan ke-IV yang diadakan oleh Rahima pada tahun 2014-2015.

Mbak Muyas menolak. Ia merasa masih menjadi santri, bukan ulama. Tetapi, Mbak Ninik—sapaan akrab Mbak Nihayatul Waghfiroh—terus membujuk dan meminta Mbak Muyas harus ikut dengan niat belajar. Akhirnya, ia mendaftar tidak dengan niat menjadi ulama melainkan belajar kepada ulama perempuan.

Pertemuan Mbak Muyas dan Rahima seakan menjadi sebuah lorong waktu yang mengantarkannya kepada kesetaraan gender dalam Islam. Terlebih, pada tahun 2017, ia mengikuti rangkaian Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama. Saat itulah, saat hasil musyawarah keagamaan dibacakan, ia merasa sangat bangga menjadi bagian dari KUPI.

Kendati begitu, di antara perasaan haru sekaligus tidak menyangka dirinya berada di tengah-tengah KUPI, ia merasa teramat sayang apabila hasil musyawarah tidak  menyentuh semua kalangan. Misalnya, remaja atau ibu rumah tangga yang tidak mungkin membaca jurnal untuk mengetahui istilah kekerasan seksual, padahal perbuatan biadab ini terjadi di semua lapisan masyarakat.

Akhirnya, ia menulis novel ‘Hilda’ sebagai akses untuk mereka. Awalnya berupa cerita bersambung yang dipublikasi di website Fatayat NU DIY. Ia tidak peduli, apakah ada yang menyambangi atau tidak sebab ia percaya, tiap tulisan pasti menemukan pembacanya sendiri.

Ia tetap fokus mengelola website mengingat ia didapuk sebagai Koordinator Bidang Litbang PW Fatayat NU DIY. Hingga suatu hari, ada pesan masuk dan bertanya kelanjutan ‘Hilda’. Seketika Mbak Muyas sumringah dan berusaha menyelesaikan, meski pada akhirnya proses perjalanan ‘Hilda’ sangat panjang karena ia harus mengikuti Short Term Awards Leadership Development for Islamic Women Leaders di Melbourne, Australia.

Sepulang dari sana, Mbak Muyas tak kunjung menyelesaikan ‘Hilda’. Ia mesti bolak-balik Cirebon-Jogja guna merawat ayahandanya yang sedang sakit. Suatu malam, sang ayah yang berada di samping Mbak Muyas tiba-tiba bertanya terkait aktivitas yang ia lakukan. Barangkali sang ayah tampak penasaran melihat Mbak Muyas begitu fokus melanjutkan Hilda. Akhirnya, Mbak Muyas cerita kalau tengah menulis kisah tentang seorang anak korban kekerasan seksual yang berjuang menjalani hidup. Sang ayah pun mendoakan Mbak Muyas, tapi keesokan harinya, beliau wafat.

Meski novel ‘Hilda’ telah tenar bahkan baru-baru ini berjodoh dengan sebuah Production House (PH) untuk diangkat menjadi film layar lebar, sejatinya aktivitas keulamaan Mbak Muyas tidak berhenti di sini.

Di ranah lingkungan rumahnya, Mbak Muyas mengabdikan diri lewat masjid Az-Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Dulu, pada tahun 2014, ia dan suami pindah rumah dan bersebelahan dengan tempat ibadah tersebut. Suasana masjid begitu sepi. Anak-anak hanya bermain gawai di sana. Ia pun tergugah untuk mengajari mereka mengaji. Apalagi, selama kuliah, ia aktif di Korps Dakwah Mahasiswa, di mana alumni Krapyak bisa berdakwah lewat organisasi ini, dan nantinya, mereka akan mengajar ngaji di masjid-masjid binaan.

Berbekal pengalaman inilah, Mbak Muyas mengumpulkan anak-anak di lingkungan rumahnya. Tentu tak mudah bagi seorang pendatang. Ada yang kurang berkenan ketika ia mengajar. Namun, ia tak pernah gentar. Perjuangan Mbak Muyas membuahkan hasil saat sekarang menjabat sebagai Kepala Madrasah Diniyah Masjid Az-Zahrotun Wonocatur Bantul. Apabila ditilik lebih jauh, sejatinya keberhasilan Mbak Muyas mendirikan Madrasah Diniyah dan Remaja Masjid, tidak luput dari keberhasilannya membersamai anak-anaknya di rumah.

Benar ia seorang ibu dari 3 anak, tapi di sisi lain, Mbak Muyas dan sang suami memiliki anak yang lain. Ceritanya, sebelum menikah, Mbak Muyas mengajukan beberapa hal untuk disepakati secara bersama, misalnya, sang suami harus memperbolehkannya lanjut S2 dan lain-lain. Sang suami mengiyakan dan benar-benar mewujudkan mimpi Mbak Muyas hingga akhirnya lulus Magister Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2015.

Sementara saat kesepakatan itu, sang suami hanya mengajukan satu syarat, yaitu Mbak Muyas berkenan menerima anak-anak yang ingin hidup bersama keduanya. Sontak Mbak Muyas terkejut. Ia kebingungan mendapati permintaan sang suami. Lakinya itu pun cerita kalau dulunya ikut Gus Zainal Arifin. Saat tinggal di pesantren Gus Zainal, ia tidak membayar apa pun bahkan diajari menulis. Oleh karena itu, sang suami ingin mengikuti jejak Gus Zainal dalam laku hidupnya.

Sampai sekarang, keduanya menampung anak-anak yang dibiayai mereka. Entah untuk makan, sekolah atau kuliah. Selain itu, mereka juga diajari menulis dan mengelola website. Bahkan Mbak Muyas sendiri merupakan Pimpinan Redaksi website Anak Indonesia dan content creator Youtube Dunia Anak Islami.

“Saya tidak ingin aktif di luar saja, tapi juga ingin bermanfaat di lingkungan di mana akar saya berada,” ujarnya saat menutup wawancara, menjelang pukul dua belas malam.

Penghargaan / Prestasi

  • Short Term Awards Leadership Development for Islamic Women Leaders di Melbourne, Australia, 2017
  • The International Young Muslim Women Forum (Jakarta, 2018)

Karya-karya

  • Novel Hilda, Diva Press, 2021
  • Novel Cinta Dalam Mimpi, Diva Press, 2020
  • Kesalahan Umum Pasangan yang Baru Menikah, Diva Press, 2011
  • Bahkan Tetap Ada Surga Bagi Pendosa Sekalipun, Sekalipun Bila… Diva Press, 2015
  • Inspirasi Keadilan Relasi, Mubadalah, 2018
  • Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan, Rahima, 2017
  • Opini dan resensi dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, seperti Kompas, Republika, Jawa Pos, Media Indonesia, Suara Merdeka, dll.


Penulis : Nurillah Achmad
Editor :
Reviewer :