Menyusui (Ar-Radha’ah)

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Seiring dengan tuntutan qath’iy[1] keadilan gender [gender equality][2] yang tak bisa dibantah lagi, tema-tema fiqh yang menyangkut kehidupan perempuan kiranya segera dibaca ulang secara jernih dalam perspektif ini. Pembacaan ulang ini dimaksudkan untuk membangun kembali [rekonstruksi] pemikiran fiqh ke arah pakemnya sebagai instrumen hukum agama untuk menegakkan cita keadilan dan kemaslahatan semesta,[3] termasuk keadilan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Cita dasar ini penting ditekankan kembali karena dari landasan keadilan dan kemaslahatan itulah agama dibutuhkan dan segala hukumnya dibangun.[4] Tanpa pembacaan ulang [baca: kontekstualisasi] dan upaya rekonstruksi secara sungguh-sungguh, fiqh dikhawatirkan akan menjadi bagian dari “sejarah” pemikiran dan peradaban di masa lalu, dan tidak menjadi hukum positif yang dihormati oleh para pemeluknya.

Wacana “menyusui” yang dewasa ini dipopulerkan kembali oleh sebagian aktivis perempuan juga menjadi bagian dari agenda kontekstualisasi dan rekonstruksi tersebut. Islam sedari awal memang memiliki ajaran dan aturan-aturan hukum yang jelas tentang “penyusuan anak”, hubungan ibu yang menyusui dengan anak yang disusui, serta akibat sosial dari persusuan.[5] Tetapi ajaran dan aturan hukum itu jarang dielaborasi secara mendalam sebagaimana ajaran lain yang menyangkut tubuh perempuan dan hubungannya dengan politik dan pasar. KH Husein Muhammad, kiai kritis-progresif pembela perempuan asal Cirebon, dalam rekonstruksi fiqh barunya juga luput menyertakan pembahasan ini.[6] Walhasil, soal ini kurang memperoleh perhatian dan pengkajian yang mendasar dalam prespektif gender. Padahal paralel dengan “haid”, “nifas”, “hamil, dan “melahirkan”, wacana “menyusui” merupakan ritus-biologis kerja reproduksi kaum perempuan yang selalu dilihat sebelah mata oleh kaum lelaki. Dalam kenyataan sehari-hari, pekerjaan “menyusui” acapkali tidak dinilai dan diberi penghargaan yang manusiawi.

Oleh karena itu, dalam upaya merekonstruksi fikih perempuan [fiqh al-nisâ`], suatu kajian Islam yang memperhatikan pemberdayaan kaum perempuan, semua wacana sosial perempuan—terutama yang menyangkut tubuhnya--perlu dibicarakan dan dirumuskan kembali.

Berbicara “penyusuan anak” dalam Islam adalah membicarakan air susu yang keluar dari payudara perempuan [al-laban], yang menyangkut status pekerjaan menyusui, hak bayi untuk memperoleh susuan yang laik, hak ibu dan kewajiban ayah untuk menyusui, dan implikasi sosial dari susuan. Pembicaraan ini harus memperoleh tempat yang penting karena air susu, sebagaimana darah, adalah suatu cairan dalam tubuh perempuan yang dapat mempengaruhi ikatan sejarah dan mata rantai sosial-kemanusiaan. Jika darah dapat menciptakan persaudaraan, maka air susu dapat melahirkan kekerabatan keluarga. Dua hal ini memiliki hubungan sama yang bersifat implikatif dalam mata rantai pernasaban.

Air susu perempuan merupakan minuman sekaligus makanan pokok bagi setiap anak yang baru lahir. Hampir tidak ada makanan atau minuman lain yang laik yang bisa dimakan dan diminum oleh anak seusia itu, terutama pada permulaan bulan dari kelahirannya, kecuali air susu ibu. Hasil analisis medis dan ahli gizi menunjukkan bahwa air susu ibu merupakan saripati yang murni, dan menjadi makanan bayi paling tepat dan cocok. Oleh karena itu, dibenarkan oleh kajian biologi-perkembangan bahwa air susu ibu ikut menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak yang baru lahir [bayi]. Bahkan, dalam batas-batas tertentu air susu ibu mempunyai pengaruh yang signifikan bagi perkembangan kepribadian anak menuju kedewasaannya.

Pada sisi ini, mutlak dinilai bahwa menyusui adalah pekerjaan mulia, dan kemuliaan itu dimiliki oleh kaum perempuan, karena secara kodrati [naturally] air susu hanya bisa keluar dari payudara seorang perempuan.[7] Namun di sisi lain, karena kebiasaannya menyusui, untuk sekian abad lamanya tercipta suatu persepsi bahwa perempuanlah pihak yang paling bertanggungjawab dengan segala resiko atas penyusuan bayi. Dalam konteks ini, perempuan seolah-olah menjadi satu-satunya pihak yang berkewajiban menyusui anaknya. Tanpa dipertimbangkan kondisi fisiknya dan tanpa diperhitungkan sebagai suatu pekerjaan yang produktif, perempuan serta merta harus bertanggungjawab atas pekerjaan menyusui. Ini selalu didoktrinkan dengan berbagai dalih. Di antaranya, atas nama kodrat, kemanusiaan, atau keluhuran tugas keibuan. Yang semua itu memposisikan laki-laki atau bapak tidak dalam kewajiban memfasilitasi tercapainya penyusuan anak.

Islam yang hadir di bumi Arab juga dilengkapi dengan seperangkat ajaran yang menekankan pentingnya penyusuan bagi anak, baik pada tataran etika sosial maupun aturan-aturan normatif dalam hubungan sosial-kekeluargaan. Ini senafas dengan tugas reproduktif lainnya, yang juga mendapat perhatian yang memadai. Ajaran “penyusuan anak” [ar-radhâ’ah] secara eksplisit dan tegas dikemukakan di dalam Kitab Suci al-Qur’an dan kemudian mendapatkan penjelasan dari hadits Nabi SAW. Namun sebagaimana umumnya ayat dalam al-Qur’an, ajaran itu masih membuka ruang interpretasi [tafsir] yang luas. Akibatnya, muncul berbagai kecenderungan tafsir sesuai dengan konstruksi sosial-budaya dan politik di mana para penafsir itu hidup dan berfikir.

Fiqh, sebagai suatu pengetahuan tentang hukum Islam yang bersifat praktis [al-‘amaliy],[8]  merekam ragam perbincangan itu. Hampir semua kitab fiqh dari pelbagai madzhab membahas topik ar-radhâ’ah dalam pasal tersendiri di bawah pembahasan bab “nikâh. Namun, pembahasan mereka umumnya berkisar pada dua hal pokok. Pertama, pembahasan tentang teknis penyusuan yang menyebabkan menjadi mahram [haram dinikahi]. Kedua, pembahasan mengenai hubungan upah penyusuan di antara pihak-pihak terkait. Sementara posisi persusuan sebagai hak anak [haqq ar-radhî’] untuk menjamin kesehatan dan cara hidup yang baik, serta perlindungan kesehatan bagi ibu yang menyusui [haqq al-murdhi’ah] belum banyak disinggung, bahkan terkesan “tak dipikirkan” [allâ mufakkira fîh, l’impensé]—meminjam istilah Mohammed Arkoun, suatu anggitan yang dikembangkan J. Derrida.

Tanpa mengurangi model pembahasan yang telah ada, tulisan berikut berusaha melakukan elaborasi dan memberikan nuansa-nuansa baru dari perbincangan “menyusui” yang telah ada dalam lembaran-lembaran yurisprudensi Islam dengan perspektif seperti yang telah dijelaskan di muka.


Menyusui: Pengertian dan Unsur-Unsurnya

“Penyusuan anak” dalam wacana fiqh dibahasakan dengan istilah ar-radhâ’ [ar-radhâ’ah] atau biasa dibaca al-ridhâ’ [al-ridhâ’ah]. Kata ini berasal dari kata kerja radha’a [radhi’a] – yardhi’u [yardha’u] – radh’an, yang berarti menyusu [menetek]. Oleh karena itu, bayi yang menyusu disebut ar-radhî’ atau al-râdhi’, sedangkan ibu yang menyusui anaknya dinamakan al-murdhi’. Sementara ibu susuan atau perempuan yang menyusui anak orang lain disebut al-murdhi’ah.[9]

Secara etimologis, ar-radhâ’ah atau al-ridhâ’ah adalah sebuah nama bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang. Dalam pengertian etimologis tidak dipersyaratkan bahwa yang disusui itu [ar-radhî’] berupa anak kecil [bayi] atau bukan.[10] Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqh mendefinisikan ar-radhâ’ah sebagai berikut:


وصول لبن آدمية إلى جوف طفل لم يزد سنه على حولين

Artinya: “Sampainya [masuknya] air susu manusia [perempuan] ke dalam perut seorang anak [bayi] yang belum berusia dua tahun, 24 bulan.” [11]

Mencermati pengertian ini, ada tiga unsur batasan untuk bisa disebut ar-radhâ’ah al-syar’iyyah [persusuan yang berlandaskan etika Islam]. Yaitu, pertama, adanya air susu[12] manusia [labanu adamiyyatin]. Kedua, air susu itu masuk ke dalam perut seorang bayi [wushûluhu ilâ jawfi thiflin]. Dan ketiga, bayi tersebut belum berusia dua tahun [dûnal hawlayni].

Dari unsur-unsur pengertian ini, dapat dipahami bahwa seorang bayi laki-laki atau perempuan yang meminum air susu hewan, misalnya susu sapi atau susu kambing, tidak termasuk dalam pengertian ar-radhâ’ah al-syar’iyyah. Ia tidak terkena konsekuensi syara’, seperti keharaman menjalin hubungan pernikahan atau hubungan syar’iyyah lain. Baik masuknya air susu itu melalui mulut ataupun hidung, asalkan si anak itu belum berusia dua tahun, tetap bisa disebut ar-radhâ’ah al-syar’iyyah. Jadi, batasan maksimal usia anak yang disusui adalah dua tahun. Sebab sampai pada usia dua tahun, perkembangan biologis anak sangat ditentukan oleh kadar susu yang diterimanya. Susuan pada usia ini sangat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikis anak. Oleh karena itu, apabila sudah di atas usia dua tahun, susuan seorang perempuan kepada sang anak tidak dianggap sebagai ar-radhâ’ah al-syar’iyyah.

Dengan demikian, rukun ar-radhâ’ah al-syar’iyyah bisa dikatakan ada tiga unsur: pertama, anak yang menyusu [ar-radhî’]; kedua, perempuan yang menyusui [al-murdhi’ah]; dan ketiga, kadar air susu [miqdâr al-laban] yang memenuhi batas minimal. Suatu kasus [qadliyyah] bisa disebut ar-radhâ’ah al-syar’iyyah, dan karenanya mengandung konsekuensi-konsekuensi hukum yang harus berlaku, apabila tiga unsur ini bisa ditemukan padanya. Apabila salah satu unsur saja tidak ditemukan, maka ar-radhâ’ah dalam kasus itu tidak bisa disebut ar-radhâ’ah al-syar’iyyah, yang karenanya konsekuensi-konsekuensi hukum syara’ tidak berlaku padanya.

Adapun sifat-sifat perempuan yang menyusui itu disepakati oleh para ulama [mujma’ ‘alayh] bisa berupa perempuan yang sudah baligh atau belum baligh, sudah menopause atau belum menopause, gadis atau sudah nikah, hamil atau tidak hamil. Semua air susu mereka bisa menyebabkan ar-radhâ’ah al-syar’iyyah, yang berimplikasi pada kemahraman bagi anak yang disusuinya.[13]


Landasan Hukum dan Etika Menyusui

Setidak-tidaknya ada enam buah ayat dalam al-Qur’an yang membicarakan perihal penyusuan anak [ar-radhâ’ah]. Enam ayat ini terpisah ke dalam lima surat, dengan topik pembicaraan yang berbeda-beda. Namun, enam ayat ini mempunyai keterkaitan [munâsabah] hukum yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum syara’. Selain enam ayat ini, ar-radhâ’ah juga mendapatkan perhatian tersendiri dari Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan dan menafsiri [al-bayân wa al-tafsîr] ayat-ayat tersebut. Baik al-Qur’an maupun al-Hadits, kedua-duanya sangat berarti bagi kekokohan landasan hukum dan etika “menyusui”.

Enam ayat al-Qur’an yang dimaksud adalah sebagai berikut: pertama, ayat 233 Surat al-Baqarah [2]:


وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (البقرة، 233)

Artinya: “Para ibu hendaklah meyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih [sebelum dua tahun] dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”[14] (QS. Al-Baqarah: 233)

Secara umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk Allah SWT kepada para ibu [wâlidât] agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara sempurna, yakni selama dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua, kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak [sebelum dua tahun] asalkan dengan kerelaan dan permusyawaratan keduanya. Keempat, adanya kebolehan menyusukan anak kepada perempuan lain [al-murdhi’ah].


Kedua, ayat 23 surat al-Nisa’ [4]:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَة (النساء، 23)

Artinya: “Diharamkan atas kamu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan ....”[15] (QS. An-Nisa: 23)

Ayat ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak [ar-radhâ’ah] dapat menyebabkan ikatan kemahraman, yakni perempuan yang menyusui [al-murdhi’ah] dan garis keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya [ar-radhî’].


Ketiga, ayat 2 al-Hajj [22]:

يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ (الحج، 2)

Artinya: “[Ingatlah] pada hari [ketika] kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua perempuan yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala perempuan yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras.” [16] (QS. Al-Haj: 2)


Keempat, ayat 7 surat al-Qashash [28]:

وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ (القصص، 7)

Artinya: “Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai [Nil]. Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah [pula] bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya [salah seorang] dari para rasul.” [17] (QS. Al-Qashash: 7)


Kelima, ayat 12 surat al-Qashash [28]:

وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِنْ قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَهُمْ لَهُ نَاصِحُونَ (القصص، 12)

Artinya: “Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui[nya] sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?” [18] (QS. Al-Qashash: 12)

Tiga ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang menyusui anaknya dalam sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi Musa. Dijelaskan betapa pentingnya air susu ibu [kandung] untuk anaknya, hingga Nabi Musa kecil dicegah oleh Allah untuk menyusu kepada perempuan lain. Dan dijelaskan pula kedahsyatan goncangan hari kiamat, bahwa semua perempuan yang tengah menyusui anaknya akan lalai tatkala terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut.


Keenam, ayat 6 surat al-Thalaq [65]:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (الطلاق، 6)

Artinya: “Tempatkanlah mereka [para istri] di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan [hati] mereka. Dan jika mereka [istri-istri yang sudah ditalak] itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak]mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya.” [19] (QS. Ath-Thalaq: 6)

Sementara ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan penyusuan anak. Pertama, dalam ayat ini ditekankan adanya jaminan hak upah dari sang suami bagi sang istri muthallaqah [yang sudah ditalak] jika ia menyusukan anak-anaknya, di luar kewajiban nafkah yang memang harus diberikan selama belum habis masa ‘iddahKedua, adanya kebolehan dan sekaligus hak upah bagi seorang perempuan yang menyusukan anak orang lain, asalkan dimusyawarahkan secara baik dan adil.


Menyusui: Hak Anak atau Hak Ibu?

Di antara pertanyaan dasar yang penting dikemukakan berkaitan dengan upaya kita merekonstruksi wacana “menyusui” dalam fiqh adalah apakah “menyusui” itu hak anak ataukah hak ibu? Kewajiban ayah ataukah kewajiban ibu? Lalu, siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap jalannya proses penyusuan sehingga baik anak [al-radlî’] maupun ibu [al-murdli’ah] terjamin hak penyusuannya?[20]

Dalam literatur fiqh, jawaban atas pertanyaan di atas sangat beragam. Sebagaimana watak dasar fiqh yang tak pernah tunggal, dalam kasus ini pun fiqh menyediakan berbagai jawaban dan argumentasi yang lengkap. Ada yang mengatakan sebagai kewajiban ibu, ada yang mengatakan sebagai hak anak, dan ada juga yang mengatakan hak ibu. Semua pendapat memiliki argumentasinya sendiri.

Dijelaskan oleh Ahmad Mushthafa al-Maraghiy,[21] dalam kitab tafsirnya, para ahli hukum Islam [Islamic jurists] bersepakat bahwa menyusui dalam pandangan agama hukumnya wajib bagi seorang ibu kandung. Kelak sang ibu dimintai pertanggunganjawab [al-mas’ûliyyah] di hadapan Allah atas kehidupan anaknya.[22] Oleh Wahbah al-Zuhaily[23] diperjelas, kewajiban ini terkena baik bagi ibu yang masih menjadi istri dari bapak anak yang disusui [ar-radhî’] maupun istri yang sudah ditalak [al-muthallaqah] dalam masa ‘iddah.[24] Ibnu Abi Hatim dan Sa’id Ibn Zubair ketika membicarakan surat al-Baqarah [2] ayat 233 juga mengatakan hal yang sama bahwa laki-laki yang menceraikan istrinya dan memiliki seorang anak, maka ibu anak itulah yang lebih berhak untuk menyusukan anaknya.[25] Demikian juga Waliyullah al-Dihlawy,[26] dengan pertimbangan rasional, menyatakan bahwa ibu adalah orang yang diberi otoritas untuk memelihara bayi dan lebih menyayangi anak.[27]

Dari sejumlah pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa “menyusui” dianggap sebagai kewajiban agama yang harus dipenuhi oleh setiap perempuan (ibu kandung). Pendapat ini tentu mengagetkan karena dari sejumlah ayat al-Qur’an yang berbicara tentang persusuan tak satu pun yang menunjukkan kewajiban ini. Karena itu, perlu klarifikasi tentang bentuk kewajiban itu: apakah itu kewajiban legal-formal normatif ataukah kewajiban moral-kemanusiaan? Dan dalam posisi tersebut, apakah hakim bisa memaksa kaum ibu atau tidak untuk memenuhi kewajiban itu?

Pada tataran ini, para ulama juga masih berbeda pendapat. Madzhab Malikiyah, misalnya, berpendapat bahwa hakim boleh memaksa sang ibu untuk menyusui anaknya. Akan tetapi, berdasarkan surat al-Thalâq [65] ayat 6, terutama pada diktum [fa`in ardha’na la kum fa`tûhunna ujûrahunna], madzhab Malikiyyah bersikap bahwa hukum menyusui tidak wajib bagi sang ibu yang sudah ditalak bâ`in oleh sang suami.

Sementara jumhur ulama mempunyai pendapat lain, bahwa hakim tidak boleh memaksakannya, kecuali dalam kondisi dharûrat.[28] Dalam pandangan jumhur ulama, kewajiban menyusui anak bagi seorang ibu lebih merupakan kewajiban moral kemanusiaan [diyânatan] ketimbang legal-formal [qadhâ`].[29] Maksudnya, kalau si ibu tidak mau melakukannya, suami atau pengadilan sekalipun tidak berhak memaksanya untuk menyusui. Menurut mereka, surat al-Baqarah [2] ayat 233 adalah perintah anjuran [mandûb] bagi sang ibu untuk meyusui anaknya. Dengan kata lain, menyusui anak adalah hak bagi ibu, tetapi juga hak bagi anak untuk memperoleh susuan yang memadai. Kecuali kalau si anak tidak mau menerima air susu selain ibunya, atau si ayah tidak sanggup membayar upah ibu susuan, maka baru menjadi wajib bagi ibu untuk menyusuinya. Argumentasi bahwa menyusui adalah hak bagi ibu sekaligus juga hak bagi anak terdapat dalam surat al-Thalâq [65] ayat 6: [wa in ta’âsartum fa saturdhi’û lahu ukhrâ].[30] Dalam ayat itu dinyatakan “jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya.”

Memperkuat pendapatnya, yang oleh ulama lain dijadikan landasan hukum wajib “menyusui”, jumhur ulama menafsiri ayat [yurdhi’na awlâdahunna], ke dalam dua pengertian yang berkait. Pertama, sebagian mereka menyatakan bahwa kendatipun kalimat tersebut berbentuk kalâm khabar, tetapi bermakna insyâ`. Artinya, meski ayat tersebut memiliki arti perintah, namun, kedua, arti perintah yang terkandung dalam kalimat tersebut tidak termasuk perintah wajib.[31] Dengan demikian, meskipun “menyusui” diperintahkan oleh Allah SWT, tetapi perintah itu menunjukkan pada dorongan moral kemanusiaan untuk menyelamatkan dan memberikan perlindungan kesehatan bagi sang anak.

Meski begitu, para ahli hukum Islam memberikan ketegasan lain. Mereka bersepakat bahwa pekerjaan menyusui bisa menjadi wajib bagi seorang ibu kandung secara pasti jika terjadi dalam tiga keadaan berikut. Pertama, jika si anak tidak mau menerima air susu selain air susu ibunya sendiri. Kewajiban ini tentu lebih untuk menyelamatkan kehidupan anak dari kerusakan jasmani maupun rohani. Kedua, jika tidak ditemukan perempuan lain yang bisa meyusui, maka wajib bagi ibu kandung untuk menyusui anaknya agar kehidupan dan kesehatan anak terjamin. Dan ketiga, jika tidak diketahui bapak anak itu, dan si anak itu tak memiliki biaya untuk membayar perempuan yang menyusuinya, maka ibu kandung wajib menyusuinya agar si anak tersebut tidak meninggal dunia.[32]

Ketegasan preferensial ini dikuatkan oleh pendapat ulama Syafi’iyyah.  Menurut mereka, sang ibu kandung justru wajib memberikan air susunya kepada sang bayi, terutama, pada masa awal keluarnya dari rahim. Sebab, sang bayi yang baru lahir biasanya tidak bisa hidup tanpa air susu ibunya.[33]

Dari perbincangan para ulama di sini jelaslah bahwa tugas “menyusui” adalah tugas para ibu [kaum perempuan], karena secara biologis merekalah yang dapat mengalirkan air susu sebagai minuman atau makanan bagi para bayi [anak].[34] Namun, apakah tugas ini semata-mata tugas kemanusiaan yang didorong oleh kesadaran regenerasi umat manusia atau kewajiban legal-normatif kodrati selaku orang yang melahirkannya, ternyata para ulama bersilang pendapat. Dari kompilasi pendapat yang terlacak, ada benang merah yang bisa kita tarik atas perbedaan pandang ini. Kita bisa memahami bahwa meskipun dikatakan wajib syar’iy, tetapi kewajiban ini dalam kerangka moralitas kemanusiaan. Demikian juga kita bisa memahami, meskipun dinyatakan sebagai tugas kemanusiaan, tetapi mempertimbangkan kebutuhan dlarûry bagi sang anak untuk mempertahankan kehidupannya, tugas moral ini bisa menjadi kewajiban legal bagi perempuan [bukan ibu kandung].

Tetapi di atas semua itu, adalah suatu kebajikan yang patut dilakukan oleh kaum perempuan untuk menyusui seorang anak. Dan adalah pemaksaan yang tidak manusiawi jika ibu kandung serta merta dikenai kewajiban legal menyusui anaknya, tanpa ada keseimbangan kewajiban pertanggungan dengan sang bapak. Al-Qur’an menjelaskan bahwa penyusuan tidak boleh menjadi sumber kesusahan bagi kedua orang tua. Asalkan suami isteri mempunyai keinginan yang sama dengan cukup tersedianya perbekalan (jaminan) untuk si ibu dalam menyusui, mereka bisa memungut perempuan lain untuk menyusui anaknya.

Mempertegas konteks hukum di atas, di manakah posisi anak dan bapak kandung dalam tugas penyusuan ini?  Seperti telah disebutkan berkali-kali di muka, tidak ada makanan atau minuman yang tepat bagi seorang anak yang baru lahir selain air susu ibu.  Dengan begitu, kebutuhan air susu ibu betul-betul mempertaruhkan kehidupan sang anak. Maka, adalah menjadi hak [asasi] bagi seorang anak untuk memperoleh air susu ibu secara memadai. Posisi ini haruslah disesuaikan dengan penempatan radhâ’ah pada konteks hak-hak anak dalam literatur fiqh.

Sementara posisi bapak [suami]--yang secara biologis tidak mungkin bisa “menyusui” --adalah memberikan perlindungan kepada keduanya (ibu dan anak), baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi, sehingga penyusuan ini dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan anak. Bapak [suami] secara ekonomi wajib memberikan nafkah baik kepada ibu [istrinya] maupun kepada anaknya.[35] Kepada anaknya, bapak mempunyai lima kewajiban nafkah, yaitu [1] upah susuan, [2] upah pemeliharaan, [3] nafkah kehidupan sehari-hari, [4] upah tempat pemeliharaan, dan [5] upah pembantu jika membutuhkannya.[36] Lima hal ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan kerja “menyusui” dan memelihara anak, termasuk kepada istrinya sendiri.

Dalam bab “Pemeliharaan Anak”, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyatakan sebagai berikut:

  1. Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
  2. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.[37]


Sementara kepada istrinya, sang suami berkewajiban memberikan nafkah dan menyediakan seluruh keperluan penyusuan anak. Bagi istri yang sudah ditalak raj’iy [al-muthallaqah] dan masih dalam masa ‘iddah, selain nafkah, suami juga wajib memberikan upah yang adil baginya dan bagi perempuan lain yang menyusukan anaknya [al-murdhi’ah].[38] Di sini berlaku hukum “keadilan gender” dalam pembagian peran penyusuan anak antara suami dan istri atau antara laki-laki dan perempuan.

Berkaitan dengan pembagian peran ini, timbul pertanyaan: bolehkah perempuan yang menyusui menuntut upah atas pekerjaan menyusui anaknya dan berapa ukuran upah yang menjadi haknya? Berikut penjelasan Wahbah al-Zuhayli, ulama terkemuka dari Syria, dalam Kitab al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuhu.


Hak Upah Susuan: Penjamin dan Jumlah

Jika seorang perempuan menyusui anaknya sendiri, apakah ia berhak menuntut upah atas susuannya itu? Kepada siapakah sang perempuan itu menuntut upahnya? Jawabannya, tentu tergantung dari kondisi sang perempuan itu sendiri dalam hubungannya dengan suami. Wahbah al-Zuhaily dalam konteks ini menjelaskan tiga kondisi sang perempuan ketika menyusui, dan masing-masing terdapat hukumnya, yang semuanya berkaitan dengan kewajiban nafkah.[39]

Kondisi pertama, menurut ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ikatan perkawinan atau di tengah-tengah ‘iddah dari talak raj’iy, maka ia tidak berhak menuntut upah secara spesifik dari susuannya. Karena dalam kondisi ini, sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah kepada sang istri, maka istri tidak boleh menuntut upah [ujrah] yang lain meskipun sebagai imbangan menyusui. Kebutuhan menyusui bisa dimasukkan ke dalam jumlah besarnya nafaqah sehari-hari.

Akan tetapi, pada kondisi kedua, jika sang perempuan yang menyusui sudah ditalak dan selesai dari ‘iddah, atau dalam ‘iddah wafat, disepakati oleh para ulama bahwa sang perempuan boleh menuntut upah atas susuannya itu, dan ayah dari anak yang disusuinya wajib memberikan upah itu secara adil. Sebab, bagi istri yang sudah ditalak dan habis ‘iddahnya atau dalam ‘iddah wafat dalam ketentuan fiqh sudah tidak ada lagi nafkah yang harus diterimanya dari sang suami. Hal ini didasarkan pada Surat al-Thalâq [65] ayat 6, [… fa`in ardha’na la kum fa â`tûhunna ujûrahunna wa’tamirû baynakum bi ma’rûfin… ] [… kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak]mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu [segala sesuatu] dengan baik… ].

Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pada kondisi ketiga, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ‘iddah talak bâ`in, maka ia berhak menuntut upah dari susuannya. Ini didasarkan pada kenyataan hukum bahwa status perempuan yang ditalak bâ’in sama dengan perempuan yang tidak memiliki hubungan perkawinan [al-ajnabiyyah]: ia tidak lagi memperoleh hak nafkah. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh ulama Malikiyyah. Alasan mereka, surat al-Thalâq [65] ayat 6 [fa`in ardha’na la kum fa â`tûhunna ujûrahunna] adalah statemen yang tegas tentang tuntutan hak upah atas susuan bagi perempuan yang ditolak bâ`in.

Dalam ayat yang sama, terutama pada lafadz  [“… wa in ta’âsartum fa saturdli’u lahû ukhrâ”] [… dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan [anak itu] untuknya], sang ayah juga wajib memberikan upah yang adil kepadanya, apabila mereka memang istirdhâ’ [meminta bantuan orang lain untuk menyusukan anaknya].

Sampai kapan hak upah susuan itu berlaku? Mengenai batasan waktu pemberlakuan hak upah susuan, para ahli hukum Islam bersepakat hanya dua tahun saja dari usia anak. Tidak adanya perbedaan ini karena ketegasan [sharîh al-lafdhi wa al-ma’nâ] surat al-Baqarah [2] ayat 233. Ayat ini menegaskan bahwa seorang ayah wajib memberikan upah susuan kepada perempuan yang menyusuinya sampai dengan usia anak dua tahun.  Ini dibebankan karena sang ayah berkewajiban memberikan nafkah kepada anak dan istrinya.

Sedangkan mengenai besar upah susuan, fiqh tidak mengaturnya secara rinci dalam bentuk angka atau prosentase. Ditentukan bahwa upah susuan yang harus diberikan adalah upah mitsil, yakni upah kepatutan-sosial yang pada umumnya diterima oleh perempuan lain ketika ia menyusui seorang bayi di tempat dan di mana upah itu diberikan. Keputusan tentang jumlah besar soal ini agaknya diserahkan pada keputusan masyarakat sendiri dengan mempertimbangkan keadilan sosial yang berlaku pada masanya dan saatnya. Tentu saja ukuran keadilan menurut satu masyarakat dengan masyarakat lain berbeda-beda, karena itu besar upah pun dapat berbeda-beda asalkan memenuhi rasa keadilan di antara pihak yang terlibat.

Menyusui dan Implikasi Sosialnya

Persoalan “penyusuan anak” dalam fiqh memang bukan soal mu’âmalah biasa, seperti tolong-menolong [ta’âwun] atau sewa-menyewa [ijârah], yakni begitu pekerjaan atau kontrak selesai, berakhir pula hubungan sosial di antara dua pihak itu. Pekerjaan “penyusuan anak” memiliki implikasi hukum syara’ yang serius, yakni bisa menggugurkan akad nikah yang telah dilangsungkan atau mengharamkan akad nikah. Setetes air susu yang dialirkan ke dalam mulut sang anak tidak saja berimplikasi pada penumbuhan rasa kekerabatan dan persaudaraan sepersusuan, melainkan juga dapat mempengaruhi mata rantai nasabiyyah.

Apabila seorang laki-laki, pada masa kecilnya, pernah menyusu kepada seorang perempuan, maka disepakati oleh para ulama bahwa ia diharamkan nikah dengan ibu tempat ia menyusu, dan seluruh perempuan yang mempunyai ikatan nasab dengan ibu susuan itu, baik secara vertikal maupun horizontal. Ketentuan ini secara tegas dinyatakan oleh Allah SWT dalam surat al-Nisâ’ [4] ayat 23:


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ (النساء، 23)

Artinya: “Diharamkan atas kamu [mengawini] ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan...”[40] (QS. An-Nisa: 23)

Sekalipun ayat di atas hanya menyebutkan ibu dan saudara-saudara perempuan sepersusuan, namun ulama fiqh menyatakan bahwa yang diharamkan tidak terbatas pada ibu dan saudara perempuan sepersusuan saja. Dalam hal ini, ibu susuan dan saudara perempuan sepersusuan berlaku hukum sebagaimana halnya ibu dan saudara perempuan kandung. Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Umm, setelah mengemukakan ayat tersebut, mengutip hadits Nabi SAW bahwa:


"يحرم من الرضاعة ما يحرم من الولادة"

Artinya: “Apa yang haram karena kelahiran haram juga sebab susuan”.[41]

Maka jelaslah, implikasi hukum dalam hubungan persusuan memiliki jangkauan seluas hukum dalam hubungan nasab. Implikasi hukum yang umum dikenal adalah keharaman melakukan akad nikah, karena itu masing-masing pihak disebut mahram.

Hanya saja, para ulama berbeda pandangan dalam memberikan syarat dan ketentuan hukum tentang susuan yang bisa menyebabkan keharaman nikah tersebut. Titik perbedaan pandang mereka terletak pada soal berapa kali sedotan atau tegukan air susu itu diminum, jenis air susu yang bagaimana, dengan cara apa air susu itu disedot, dan hingga usia berapa bayi itu menyusu. Itulah beberapa poin yang akan menjadi fokus pembahasan berikut.


Susuan Mengharamkan Nikah: Durasi dan Ukuran

Para ulama fiqh memberi batasan dan ketentuan yang spesifik dan hati-hati tentang susuan yang dapat mengharamkan hubungan pernikahan. Para ulama tidak serta merta mengharamkan pernikahan oleh karena pernah menjalin hubungan persusuan. Ada beberapa persyaratan ketat yang biasa disinyalir oleh para ahli hukum Islam mengenai hal ini.

Pertama, air susu itu berasal dari payudara perempuan tertentu [jelas identitasnya], baik telah atau sedang bersuami. Kedua, air susu itu masuk ke kerongkongan anak [jawf ar-radhî’], baik melalui isapan langsung pada puting payudara maupun melalui alat penampung susu, seperti gelas, botol, dan lain-lain. Ketiga, penyusuan itu dilakukan melalui mulut atau hidung [infus] anak yang disusui.

Bagaimana dengan alat injeksi, yang tidak melalui mulut atau hidung? Dalam kasus ini, para ulama berselisih pendapat. Sebagian ulama dari madzhab Maliki mengatakan tetap mengharamkan hubungan pernikahan karena masuknya air susu ke dalam tubuh anak. Sementara ulama dari madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali mengatakan tidak mengharamkan hubungan pernikahan di antara mereka, karena tidak melalui saluran yang wajar.

Keempat, menurut ulama mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, air susu itu harus murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Apabila air susu itu bercampur dengan cairan lainnya, maka menurut mereka, harus diteliti dulu mana yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah air susu, maka bisa mengharamkan nikah. Tetapi jika sebaliknya, yang dominan adalah cairan lain itu, maka tidak mengharamkan nikah. Berbeda dengan pendapat dari ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali, mereka menganggap air susu yang dicampur dengan cairan lain itu sama saja hukumnya dengan air susu murni dan tetap mengharamkan nikah.

Yang jadi soal adalah apabila air susu itu dicampur dengan air susu perempuan lain. Dalam kasus ini, Imam Abu Hanifah[42] dan sahabatnya, Abu Yusuf,[43] mengatakan bahwa yang haram dinikahi adalah perempuan yang air susunya lebih banyak dalam campuran itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, termasuk Muhammad bin Hasan asy-Syaibani[44] dan Zufar bin Hudzayl[45]--keduanya ahli fiqh dari madzhab Hanafi--seluruh pemilik air susu yang dicampur itu haram dinikahi oleh anak tersebut, baik air susu itu dalam jumlah yang sama atau salah satunya lebih banyak.

Kelima, menurut ulama mazhab fiqh yang empat [madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali], susuan itu harus dilakukan pada usia anak sedang menyusui, yakni sebelum usia dua tahun. Apabila yang menyusu itu berusia lebih dari dua tahun, maka susuannya tidak mengharamkan nikah.[46] Ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] ayat 233 seperti tersebut di atas, yang intinya menyatakan bahwa sempurnanya susuan itu adalah sampai anak berumur dua tahun [hawlayni kâmilayni].

Dengan demikian, susuan yang dilakukan setelah anak berumur dua tahun tidak berdampak pada adanya hubungan kemahraman. Pendapat ini sekurang-kurangnya didukung oleh sejumlah sahabat dan tâbi’în, seperti Ali Ibn Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Umi Salamah, Sa’id ibn al-Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama [Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, al-Tsawriy, dan Abu Yusuf]. [47]

Berkaitan dengan hawlayni kâmilayni dalam ayat 233 Surat al-Baqarah [2] seperti tersebut di atas, timbul suatu soal: apakah penyebutan masa dua tahun itu merupakan batasan wajib atau sekadar keumuman masyarakat Arab saat itu?

Di dalam kitab-kitab tafsir selalu dikemukakan dua pendapat sebagai jawaban. Pendapat pertama, dinyatakan bahwa apabila kalimat ini dikaitkan dengan kalimat sesudahnya li man arâda an yutimma ar-radhâ’ah [al-itmâm], maka berarti hawlayni kâmilayni adalah batasan waktu yang tidak bersifat wajib. Sebaliknya, pendapat kedua, jika kalimat itu dikaitkan dengan fa in arâda fishâlan, maka jelas yang dimaksud bukan ketentuan batasan menyusui, melainkan menyapih.[48]

Pada pendapat terakhir, ada dua buah pertimbangan yang bisa dikemukakan. Pertama, syâri’ [Allah] sengaja menciptakan batasan tersebut untuk menghindari percekcokan antara suami dan istri dan sebagai rujukan apabila mereka berselisih mengenai pokok soal ini. Kedua, batasan itu diberikan berkaitan dengan hadits, mâ yahrumu min al-nasab yahrumu min al-radlâ’ [apa yang haram sebab nasab, haram juga sebab persusuan]. Dari batasan ini dijelaskan bahwa susuan yang dilakukan di luar batas waktu tersebut tidak memiliki dampak hukum apa-apa berkaitan dengan nasab.[49]

Mayoritas imam madzhab berpendapat bahwa tidak menjadi mahram sebab persusuan kecuali dilakukan sebelum umur dua tahun. Jika ada seorang anak yang usianya di atas dua tahun menyusu, maka ia tidak bisa dihukumi mahram. Ketentuan ini ditegaskan oleh al-Turmudzi, dalam bâbu mâ jâ’a anna ar-radhâ’ah lâ tuharrimu illâ fiy al-shaghari dûna al-hawlayni, dari Qutaybah, dari Abu ‘Uwanah, dari Hisyam, dari ‘Urwah, dari Fathimah binti al-Mundzir, dari Ummi Salamah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:


"لا يحرم من الرضاعة إلا ما فتق الأمعاء وكان قبل الفطام"

Artinya: “Tidak menjadi muhram orang yang sepersusuan kecuali sebelum bayi tersebut disapih [dipisah dari ibunya]”.[50]

Hal yang sama juga didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW, riwayat al-Turmudziy, bahwa:


"لا رضاع إلا فتق الأمعاء وكان قبل الحولين"

Artinya: “Bukan saudara sepersusuan kecuali sebelum 2 tahun.”

Sedangkan dalam riwayat al-Bayhaqiy dan lainnya, dijelaskan bahwa:


"لا رضاع إلا ما كان قبل الحولين"

Artinya: “Tidak bisa disebut saudara sepersusuan kecuali menyusunya sebelum berusia dua tahun”.[51]

Dalam riwayat Ibn ‘Adiy, al-Daruquthniy, dan Bayhaqiy dari Ibn ‘Abbas dinyatakan bahwa: “Tidak dinamakan menyusui kecuali dalam usia dua tahun.”[52] Dengan perkataan lain, [lâ hukma li ar-radhâ’ ba’da al-hawlayni],[53] yakni tidak terkena hukum apapun dalam konteks mahram bagi anak-anak yang menyusu setelah berusia dua tahun.

Berbeda dengan Dawud al-Dhahiri,[54] dalam pandangannya susuan anak yang telah besar pun dapat mengharamkan nikah. Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Sahlah binti Suhail suatu hari bertanya kepada Rasulallah SAW: “Ya Rasulallah, Salim itu telah menjadi anak yang besar. Ia tinggal bersama saya dan Abu Huzaifah dalam satu rumah. Salim pernah melihat saya ketika sedang berpakaian di rumah. Sedangkan Allah telah menjelaskan bahwa laki-laki tidak boleh berduaan dengan perempuan yang bukan mahram atau melihat aurat perempuan. Lalu bagaimana pendapatmu?” Rasulullah SAW menjawab: “Susukan dia, sehingga ia menjadi anak [susuan] engkau”. Sahlah pun kemudian menyusui Salim sebanyak lima kali.

Jumhur ulama tidak sependapat dengan al-Dhahiri. Jumhur ulama menganggap kasus yang terjadi pada Sahlah binti Suhail merupakan rukhsah [keringanan hukum] baginya.[55] Karenanya, kasus tersebut tidak bisa dijadikan standar dalam penetapan hukum [keharaman nikah disebabkan susuan].

Selain pokok-pokok soal di atas, juga muncul suatu masalah: berapa banyak susuan yang dapat mempengaruhi hukum kemahraman? Menjawab soal ini, para ulama juga berbeda pendapat.

Ulama-ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah[56] menyatakan bahwa batas minimal susuan yang memiliki implikasi kemahraman adalah lima kali susuan yang terpisah [khams radhâ’atin mutafarriqatin]. Ditegaskan oleh Ahmad al-Syarbâshiy, Profesor dari Universitas al-Azhar, lima kali susuan itu selain terpisah juga harus mampu mengeyangkan dan dilakukan tidak lebih dari dua tahun.[57]  Ini sesuai dengan hadits Nabi SAW riwayat Abu Hurairah: “wa lâ yuharrimu minar radlâ’i illâ khamsu radla’âtin mutafarriqâtin kulluhunna fil hawlayni” [dan tidak mengharamkan [nikah] sebab susuan kecuali dilakukan lima kali susuan secara terpisah, yang semuanya dilakukan dalam masa dua tahun].[58] Mahmud Syaltut, Syaikh al-Azhar Mesir, malah memasukkan ketentuan lima kali susuan ini sebagai salah satu prinsip umum penyusuan anak dalam Islam.[59] Pendapat ini didasarkan pada tiga alasan. Pertama, pada hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah. Nabi SAW kepada ‘Aisyah berkata “ardhi’îhi khams radha’âtin” [susukanlah ia lima kali susuan]. ‘Aisyah bercerita, awalnya al-Qur`an mengajarkan sepuluh kali susuan [‘asyr radha’âtin ma’lûmâtin], tetapi kemudian ajaran ini dinasakh menjadi lima kali susuan [khams radha’âtin ma’lûmâtin].[60]

Kedua, pada hadits ‘Aisyah:


"لا تحرم المصة والمصتان ولا الرضاعة والرضاعتان"

Artinya: “Satu atau dua kali isapan dan satu atau dua kali susuan tidak mengharamkan (nikah).[61]

Dan ketiga, bahwa batas minimal susuan yang dapat membentuk daging dan tulang adalah lima kali susuan. Ini pendapat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Zubair, ‘Atha’, Thawas, Imam al-Syafi’iy, Ibn Hazm, dan mayoritas Ahl al-Hadîts.[62]

Berdeda dengan pendapat di atas, ulama-ulama Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa yang disebut menyusu itu bisa dalam kadar sedikit dan juga bisa banyak. Ini didasarkan kepada tiga alasan. Pertama, pada keumuman[63] ayat 23 surat al-Nisa’[4], yang berbunyi  (وأمهاتكم التي أرضعنكم) [..wa ummahâtukumul lâtî ardha’nakum] [.. dan ibu-ibumu yang menyusui kamu]. Dalam ayat ini, tidak dibatasi kadar sedikit atau banyaknya air susu yang mesti masuk ke dalam mulut sang anak. Kedua, didasarkan pada hadits Nabi SAW: (يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب) [yahrumu minar radlâ’ mâ yahrumu minan nasab] [apa yang diharamkan sebab nasab juga diharamkan sebab sepersusuan].[64] Hadits ini oleh Ibnu Rusyd diartikan bahwa: [annal murdhi’ata tanzilu manzijatal ummi] [sesungguhnya perempuan yang menyusui menempati kedudukan ibu kandung], [az-zawju minal murdhi’ati yanzilu manzilatal abbi] [suami dari perempuan yang menyusui menempati kedudukan bapak].[65] Dan ketiga, didasarkan pada pemahaman radhâ’ sebagai suatu perbuatan yang berkaitan dengan tahrîm [membuat menjadi haram].

Atas dasar tiga alasan ini, disimpulkan bahwa sedikit atau banyak dalam menyusu tidak mempengaruhi hukum keharaman nikah. Selagi ia menyusu, maka hukum haram untuk menikah tetap berlaku. Ini konsekuensi hukum dari keumuman ayat persusuan dalam surat al-Nisa’ [4] ayat 23 dan hadits yang berkaitan dengan ini.[66] Pendapat ini didukung oleh Ali Ibn Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan al-Bashri, al-Zuhri, Qatadah, Hamad, al-Awza’iy, al-Tsawri, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, dan riwayat dari Ahmad.[67]

Sementara Abu ‘Ubaid, Abu Tsawr, Dawud al-Dhahiri, dan Ibn al-Mundzir menyatakan lain bahwa susuan yang berdampak kemahraman minimal tiga kali susuan atau lebih. Pendapat ini didasarkan pada teks hadits “lâ tuharrimul mashshatu wa lâl mashshatâni” [satu atau dua kali isapan menyusu tidak mengharamkan (nikah)].[68] Karena itu, baru dalam hitungan tiga isapan ke atas, menyusu dapat menyebabkan kemahraman.

Mementaskan seluruh pendapat para ulama dalam tulisan ini kian meneguhkan watak ketidaktunggalan fiqh dalam menyikapi realitas sosial. Teks suci atas satu ketentuan hukum terbuka untuk ditafsiri. Dalam konteks penyusuan anak, setidaknya ada dua determinasi yang berimplikasi terhadap keharaman menikah, yakni usia anak menyusu [sinn al-radlî’] dan ukuran susuan [miqdâr al-radlâ’ah]. Sekitar dua hal pokok ini para ulama berbeda standar dalam menentukan batas minimal. Anehnya, dalam semua ragam pendapat tersebut selalu saja memiliki legitimasi teks hadits sebagai sandaran hukum. Teks bagi para ulama masih menjadi pusat penafsiran yang handal. Mengapa kita tidak bisa keluar dari teks untuk bertanya: substansi apa yang menyebabkan hubungan persusuan dapat menghalangi orang untuk menjalin hubungan pernikahan? Adakah unsur-unsur biologis atau kimiawi yang dengan menyusu seseorang bisa memiliki hubungan darah atau DNA? Apa di balik makna hadits “yahrumu min ar-radhâ’ah mâ yahrumu min al-wilâdah” [apa yang haram karena kelahiran haram juga sebab susuan]. Apa pula makna di balik teks hadits “mâ yahrumu min al-nasab yahrumu min al-radlâ’  [apa yang haram sebab nasab, haram juga sebab persusuan].

Dua hadits terakhir tampak mengaitkan sebab persusuan dengan kelahiran dan nasab. Kelahiran atau nasab mengharamkan hubungan pernikahan karena satu sama lain terikat oleh hubungan darah. Adakah hubungan persusuan juga menyebabkan adanya ikatan darah? Inilah satu soal yang juga penting dijawab dalam kerangka kita menjelaskan hubungan persusuan dengan keharaman melakukan hubungan pernikahan.


Penyapihan: Kapan Dilakukan?

Dalam tradisi kita, dikenal luas istilah “penyapihan anak”. Yakni, masa pemutusan atau pemberhentian penyusuan anak dari ibunya. Oleh masyarakat, cara ini dilakukan dengan berbagai bentuk. Di antaranya adalah dengan memisahkan [paksa] anak dari pergaulan ibunya sehari-hari, atau sang ibu memakan makanan yang membuat rasa air susunya tidak disukai oleh anak, sehingga sang anak tidak lagi mau menyusu. Ini dilakukan dengan berbagai motif. Di antaranya adalah karena memang sudah tiba saatnya anak untuk disapih, akibat ada masalah dengan payudara ibu, atau karena keengganan ibu untuk menyusui anaknya.

Berkaitan dengan kasus ini, al-Qur’an tegas menyatakan bahwa batas waktu boleh menyapih sebaiknya adalah ketika anak telah berusia dua tahun. Batas waktu ini berkait dengan batas maksimum kesempurnaan menyusui. Karena itu, sifat batas waktu ini tidak imperatif [ghairu mulzimun bih], tetapi lebih sebagai keutamaan dan kesempurnaan.  Apabila memang hendak disapih sebelum batas maksimum ini, maka sebaiknya dimusyawarahkan dan dipertimbangkan secara matang antara bapak dan ibunya. Musyawarah penting dilakukan untuk menjamin hak-hak anak dalam memperoleh kehidupan dan kesehatan yang layak, dan jangan sampai penyusuannya membuat kesengsaraan [madlarat] bapak maupun ibu anak itu. Ini ditegaskan dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233, surat Luqmân (31) ayat 14, dan surat al-Ahqâf (46) ayat 15:


وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا … (البقرة، 233)

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya….” (QS. al-Baqarah: 233)


وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (لقمان، 14)

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”  (QS. Luqmân: 14)


وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا (الأحقاف، 15)

Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan … “ (QS. al-Ahqâf: 15)

Padahal boleh jadi penyapihan ini, terutama apabila kurang dari dua tahun, bisa berdampak negatif bagi anak. Oleh karena itu, ketentuan Allah di atas menjadi penting baik dalam konteks pemeliharaan hak-hak anak untuk memperoleh susuan maupun dalam konteks penghargaan hak-hak ibu untuk menikmati kesehatan dan kenyamanan dalam kehidupannya.

Atas dua pertimbangan ini, Allah memberikan keringanan [rukhshah] bisa menyapih anak kurang dari usia dua tahun, asalkan telah dimusyawarahkan di antara bapak dan ibu. Sebab diakui dalam kenyataan kehidupan anak-anak ada di antara mereka yang sudah mampu memakan makanan yang keras [taghaddi] sebelum berusia dua tahun. Akan tetapi, dalam konteks ini diperlukan pertimbangan yang masak dan kehati-hatian yang tinggi dari orang tua. Karena merekalah yang paling menyayangi dan mengetahui rahasia anak. Orang tua dilarang melakukan hal-hal yang memadharatkan anak. Demikian juga anak tidak boleh menjadi madlarat bagi kehidupan orang tuanya.


Perselisihan Menyusui: Alat-alat Bukti

Menghindari kesimpangsiuran dan perselisihan dalam menetapkan siapa yang benar-benar pernah menyusui seorang anak atau bukan, ulama fiqh menetapkan dua alat bukti yang bisa digunakan untuk itu. Kedua alat bukti itu adalah iqrâr [pengakuan] dan syahâdah [kesaksian].

Iqrâr yang dimaksud dalam konteks ini adalah pengakuan dari pihak laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan. Ketentuannya adalah sebagai berikut: apabila keduanya mengaku sebagai saudara sepersusuan, maka pengakuan itu sah dan berakibat pada ketidakbolehan mereka menikah. Tetapi, apabila pengakuan itu dikemukakan setelah pernikahan dilangsungkan, maka secara otomatis ikatan pernikahan mereka batal demi hukum. Jika mereka tidak mau cerai dengan suka rela, maka hakim berhak memaksa mereka untuk cerai atau diceraikan oleh keputusan hakim.

Pengakuan ini juga bisa datang dari salah satu pihak: ibu susuan atau kedua orang tua laki-laki atau perempuan. Pengakuan mereka juga memiliki kekuatan hukum yang sama, yakni bisa membuat ikatan pernikahan mereka tidak sah [disebabkan mahram].[69]

Alat bukti kedua adalah syahâdah. Yakni, kesaksian yang dikemukakan oleh orang yang mengetahui secara pasti bahwa laki-laki dan perempuan itu saudara sepersusuan. Jumlah saksi yang umum disepakati oleh ulama fiqh adalah minimal dua orang saksi laki-laki atau satu orang saksi laki-laki dan dua orang perempuan.[70] Ulama fiqh masih memandang kesaksian perempuan separo dari kesaksian laki-laki, bahkan dinegasikan dari subyek saksi. Namun secara pasti, para ulama fiqh masih berbeda pendapat tentang komposisi kesaksian seorang laki-laki atau seorang perempuan, atau empat orang perempuan.

Di sini, ulama madzhab Hanafi sangat ekstrim dan rigid. Menurutnya, kesaksian seorang laki-laki, seorang perempuan, atau empat orang perempuan tidak dapat diterima. Alasannya adalah perkataan Umar ibn al-Khattab bahwa saksi yang diterima dalam soal susuan hanyalah persaksian dua orang laki-laki. Sementara komposisi saksi yang lain ditolak. Para sahabat saat itu tidak membantah ketetapan Umar ibn al-Khattab. Karenanya menurut ulama Hanafi, ketetapan ini menjadi ijmâ’ para sahabat.  Ijmâ’ para sahabat resmi dapat dijadikan sandaran hukum.[71] Alasan lain adalah firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah [2] ayat 282:


وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى (البقرة، 282)

Artinya: “…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kamu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka [boleh] seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridlai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatnya …”

Sementara ulama madzhab Maliki dan Ibn al-Qasim berpendapat lebih longgar bahwa kesaksian seorang laki-laki dengan seorang perempuan atau kesaksian dua orang perempuan secara hukum dapat diterima. Asal kesaksiannya diungkapkan sebelum dua orang sepersusuan itu melangsungkan akad nikah. Tidak jelas apa alasannya. Menurutnya, kesaksian seorang perempuan sebelum akad dinilai tidak sah, kecuali perempuan itu adalah ibu laki-laki itu sendiri.[72]

Madzhab yang lain juga masih bias gender. Meski menerima kesaksian kaum perempuan, tetapi nilai kesaksiannya dihargai separo dari kaum lelaki. Ini memang sangat ironis. Soal yang menyangkut kehidupan kaum perempuan mestinya adalah justru kaum perempuan yang paling tahu. Karena merekalah yang melakukan dan mengalaminya sendiri dalam soal persusuan.

Menurut ulama madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali, dan ‘Atha, kesaksian kaum perempuan dapat diterima apabila berjumlah empat orang perempuan.[73] Penerimaan ini dibenarkan justru atas pertimbangan bahwa susuan adalah masalah khusus perempuan. Apabila kurang dari jumlah empat orang perempuan, kesaksiannya tidak diterima, karena dalam persaksian menurut pandangan mereka dua orang perempuan nilainya sama dengan satu orang laki-laki.[74]

Adalah pendapat al-Zuhri, al-Awza’iy, Thawas, dan satu riwayat dari Ahmad yang sedikit berpihak kepada kaum perempuan. Lelaki atau perempuan dalam persaksian menurut mereka bernilai sama. Oleh karena itu, kesaksian kaum perempuan dalam urusan penyusuan anak, meskipun satu orang, dapat diterima. Argumentasi mereka didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Uqbah ibn al-Haritsah bahwa Ummu Yahya menikahi anak perempuan Abi Ihab, kemudian datang budak perempuan hitam berkata: (قد أرضعتكما)  [qad ardha’tukumâ] [sungguh, saya telah menyusui kamu berdua]. Setelah kasus ini diadukan kepada Nabi SAW, Nabi pun melarangnya untuk melangsungkan pernikahan.[75]  Ini artinya bukan saja kesaksian kaum perempuan yang dapat diterima, tetapi juga kesaksian hamba sahaya. Dengan demikian, baik perempuan maupun lelaki, merdeka ataupun budak, memiliki nilai kesaksian yang sama.  Dalam kasus penyusuan anak, jumlah saksi minimal dua orang.


Bank Air Susu Ibu: Alternatif dan Hukumnya

Seperti berkali-kali diuraikan di muka, Air Susu Ibu [biasa disingkat ASI] merupakan makanan dan sekaligus minuman terbaik bagi bayi. Di dalamnya terkandung berbagai unsur sumber daya yang dibutuhkan bayi untuk tumbuh kembang. ASI berfungsi menjaga, memperkuat, dan melindungi bayi. Selain itu ASI juga membantu proses pembentukan serta mengkilatkan kulit bayi.

Semua ini bisa terjadi karena ASI mengandung sel-sel hidup yang secara aktif melindungi bayi dari berbagai bahaya virus. Sel-sel hidup ini adalah antibodi yang berasal dari leucocyte, yaitu sel darah putih, yang terdiri atas granulosit, limfosit, dan monosit yang masuk ke dalam saluran cerna bayi melalui ASI. ASI juga mengandung immunoglobulin berupa fraksi protein jaringan tubuh yang mengandung antibodi, yang melindungi dinding usus dari kuman yang bisa menyebabkan infeksi.[76]

Karena demikian pentingnya ASI, dan disadari sepenuhnya kemanfaatan dan keunggulan ASI yang kadar gizi dan energinya pasti lebih baik ketimbang air susu hewan atau air susu buatan, sementara para ibu kini banyak yang tidak mau menyusui anaknya,[77] maka para ilmuwan dan ahli kesehatan kini mengantisipasi keadaan ini dengan mendirikan Bank ASI. Yakni, suatu tempat persediaan air susu manusia untuk dikonsumsi terutama oleh para bayi yang dikumpulkan berasal dari para ibu dan perempuan beragam ras, negara, dan agama. Segala jenis air susu itu dicampur dalam satu wadah yang siap sedia untuk dikonsumsi. Dengan adanya bank ini, maka para ibu yang mengkhawatirkan anaknya tidak bisa minum ASI atau takut hak anak atas ASI terabaikan, bisa teratasi tanpa harus digantikan dengan air susu hewan atau air susu buatan.

Dengan demikian, bank ASI dimaksudkan sebagai sebuah lembaga yang menghimpun ais susu murni dari para ibu donatur untuk memenuhi kebutuhan ASI. Lembaga ini telah berkembang di Amerika, Eropa, sampai ke Asia, di antaranya Singapura.[78] Dilihat dari segi tujuannya, lembaga ini sebagaimana bank darah bermaksud membantu para ibu yang tidak bisa menyusui bayinya secara langsung, sehingga aktivitas mereka tidak terganggu.

Tradisi menyusukan bayi kepada orang lain, dalam ajaran Islam bukanlah sesuatu yang asing. Rasulullah sendiri ketika masih bayi menyusu kepada seorang perempuan Arab Badui yang bernama Halimah As-Sa’diyyah. Perempuan yang menyusukan bayi itu dikenal identitasnya. Sekalipun ulama fiqh membahas persoalan menyusukan anak dari susu perempuan yang telah ditampung dalam suatu wadah, seperti gelas atau botol, namun ulama fiqh berbeda pendapat tentang kebolehannya.

Inti masalah bank ASI dalam perspektif fiqh adalah bukan soal upaya pengumpulan air susu itu dalam satu wadah, karena upaya ini tentu satu hal yang mulia demi memenuhi hak anak atas ASI dan membantu tugas kemanusiaan ibu yang terpaksa tidak bisa melaksanakannya. Melainkan pada implikasi hukum setelah sang bayi meminum air susu tersebut. Yakni, siapakah ibu susuan sang bayi yang sebenarnya? Soal ini muncul sebagai masalah hukum, karena komposisi air susu dalam bank ASI adalah campuran dari beberapa air susu ibu yang memberikannya untuk persediaan bank. Soal lain adalah bolehkan seorang atau beberapa orang perempuan menampung air susunya ke dalam satu wadah untuk disusukan kepada bayi lain, baik sebagai hibah ataupun diperjualbelikan?

Menanggapi hal ini, jumhur ulama [madzhab Syafi’i, madzhab al-Dhahiri, madzhab Maliki, dan madzhab Zaydiyyah] berpendapat bahwa seorang perempuan boleh menampung air susunya dalam suatu wadah dan menjualnya kepada ibu-ibu yang membutuhkan untuk anaknya. Alasan mereka adalah keumuman firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] ayat 275:


وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا (البقرة، 275)

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Menurut mereka, air susu ibu adalah sesuatu yang halal, karena itu halal juga diperjualbelikan. Tidak ada perbedan antara air susu manusia dengan air susu hewan untuk dikonsumsi oleh bayi. Dengan demikian, apabila air susu hewan boleh dijualbelikan, maka air susu manusia juga demikian. Oleh sebab itulah, menurut mereka, mengambil upah dari menyusui anak dibenarkan oleh hukum Islam. Bahkan menjadi hak para ibu dari susuannya itu.[79]

Syarat mutlak jika bank ASI mau dilakukan, menurut jumhur ulama, adalah para pemilik asal air susu itu harus diketahui identitasnya. Sekalipun donatur air susu itu lebih dari satu asal identitasnya jelas sebetulnya secara hukum tidak jadi soal. Ini menurut madzhab Maliki sama halnya dengan hukum seorang bayi yang disusui oleh beberapa orang perempuan.

Kejelasan identitas perempuan menjadi keharusan karena ada akibat hukum yang cukup signifikan dari proses aliran air susu ke dalam mulut sang bayi, yaitu haramnya perempuan yang menyusui, termasuk kerabat yang bertalian darah dengan perempuan itu [al-murdhi’ah], untuk nikah dengan anak yang disusui [ar-radhî’]. Apabila tidak diketahui identitasnya, maka kepastian hukum keharaman itu pun menjadi kabur dan sulit diindentifikasi siapa ibu susuan dan kerabatnya yang haram dinikahi.

Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat lain. Menurutnya, sekalipun identitas pemilik air susu itu diketahui, hukum memperjualbelikan ASI tetap makrûh. Alasannya, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah [ahli fiqh madzhab Hanbali] adalah karena adanya riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW benci terhadap persoalan jual beli ASI ketika diminati pendapatnya oleh para sahabat tentang hal itu. [80]

Lebih tegas dari itu, Abu Yusuf malah melarang jual beli ASI. Menurutnya, air susu yang boleh dijualbelikan hanyalah air susu perempuan hamba sahaya. Karena, status sosial hamba sahaya sendiri sebagai sesuatu yang dapat diperjualbelikan. Meski demikian, Abu Yusuf juga memberikan syarat kejelasan identitas hamba sahaya pemilik air susu tersebut. Ini artinya Abu Yusuf sama dengan melarang jual beli ASI secara mutlak, sebab status hamba sahaya dewasa ini telah tiada. Semua orang secara hakiki dan dasariyah berstatus merdeka, tidak ada lagi status hamba sahaya seperti pada zaman Abu Yusuf hidup.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan al-Syaibani, sebagian ulama Hanbali, dan sebagian ulama madzhab Maliki. Menurut mereka, memperjualbelikan air susu manusia dilarang menurut syara’ sebagaimana juga dilarangnya mengkonsumsi air susu yang telah dipisahkan dari payudara. Alasan mereka, air susu yang telah terpisah dari payudara perempuan telah berubah status menjadi bangkai.[81] Syari’at Islam secara tegas melarang jual beli dan memanfaatkan bangkai. Oleh sebab itu, memisahkan air susu seorang perempuan dan menampungnya dalam suatu wadah, kemudian memperjualbelikannya, sama dengan memperjualbelikan bangkai yang dilarang oleh Allah SWT.[82]

Itulah ragam pendapat para ulama tentang keberadaan bank ASI. Meskipun pendapat di atas dikutip tidak dalam konteks bank ASI, tetapi pendapat mereka menjawab beberapa problem dasar dari bank ASI, yakni menampung ASI dalam satu wadah, mencampur beberapa ASI dari sumber yang berbeda, jual beli ASI, dan konsekuensi hukum sang anak yang meminumnya. Sekali lagi, ragam pendapat ini mengukuhkan pluralitas fiqh dan ketidaktunggalan fiqh dalam merespons setiap masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat.

Apabila pendapat-pendapat di atas diperhatikan, baik yang membolehkan menampung ASI dalam satu wadah dan menjualbelikannya, melarangnya, maupun yang memberikan batasan-batasan tertentu, terdapat benang merah yang bisa kita tarik dalam konteks bank ASI yang berkembang dewasa ini. Seperti ditegaskan Abdussalam Abd Rahim as-Sukari [ahli fiqh Mesir], yang terpenting dari semua itu adalah keharusan kejelasan identitas pemilik air susu itu dan keharusan memberitahu identitas itu kepada pihak yang bertanggungjawab terhadap anak yang menyusu. Ini penting diperhatikan dan menjadi kaharusan, karena perempuan pemilik air susu itu beserta kerabat yang bertalian darah dengannya memiliki hubungan mahram dengan sang bayi yang meminum air susunya. Tanpa identitas yang jelas dan pemberitahuan yang benar dapat menimbulkan ketidakpastian hukum tentang mahram, dan ini berbahaya dalam silsilah keturunan jika terjadi pernikahan di antara mereka. Meskipun banyak perempuan yang memberikan atau menjual air susunya ke dalam bank ASI, asalkan diketahui identitasnya secara pasti, sebetulnya konsekuensi hukumnya bisa dijangkau.

Kecuali dua pendapat yang terakhir, dengan mempertimbangkan tujuan mulia pendiriannya, sebetulnya keberadaan bank ASI tidak bertentangan dengan hukum syara’ apabila persyaratan-persyaratan di atas dipenuhi. Apalagi jika bank ASI melakuan kontrol yang ketat terhadap setiap sumber air susu donatur [tanpa mencampurkan ASI yang berasal dari berbagai perempuan], maka upaya tersebut bisa sejalan dengan pendapat jumhur ulama di atas. Namun demikian, al-Syarbashiy mengingatkan bahwa bank ASI yang berkembang dewasa ini tidak melakukan pemisahan secara ketat antara masing-masing air susu donatur. Bahkan, ada kecenderungan mencampur seluruh ASI yang diterima oleh lembaga ini. Oleh sebab itu, sulit untuk dilacak identitas perempuan donor air susu itu, yang akibatnya bisa diduga keras akan terjadi perkawinan antar anak yang mengkonsumsi air susu yang berasal dari bank ASI dan perempuan atau dari keturunan yang bertalian darah dengan sumber ASI itu.[83] Perkawinan seperti ini tegas dilarang oleh nash syar’iyyah, bahkan dinyatakan sebagai perkawinan yang dilarang untuk selamanya.[84]

Oleh sebab itu, menurut al-Sukari, madlarat dari wujud bank ASI dewasa ini dinilai lebih besar ketimbang manfaat yang bisa diperolehnya. Sesuai dengan kaidah fiqh bahwa: (درء المفاسد مقدم على جلب المصالح) [dar`ul mafâsid muqaddamun ‘alâ [awlâ min] jalbil mashâlih],[85] [“menolak suatu kemadlaratan lebih didahulukan daripada mengambil suatu kemanfaatan”], maka membolehkan bank ASI harus dipertimbangkan masak-masak. Di samping itu, jaminan bersihnya air susu dari berbagai penyakit yang diderita perempuan donor sulit dideteksi dan dihindari. Dengan demikan, ia berkesimpulan bahwa bank ASI yang berkembang dewasa ini tidak dapat dilegalisasikan oleh syara’ dengan alasan سد الذريعة [sadd li al-dzarî’ah] [menutup seluruh jalan yang bisa menimbulkan bahaya yang akan timbul].[86]

Akan tetapi dalam soal implikasi hukum dari bank ASI, Nahdlatul Ulama (NU) dalam Keputusan Muktamarnya ke-25 di Surabaya pada tanggal 20-25 Desember 1971, menyatakan sebagai berikut:

Pengumpulan [air] susu [ibu] oleh rumah sakit dari kaum ibu yang diberikan pada bayi-bayi yang dirawat dalam rumah sakit tersebut bisa menjadikan mahram radlâ’, dengan syarat: [1] Perempuan yang diambil air susunya itu masih dalam keadaan hidup, dan berusia 9 tahun Qamariyyah (kira-kira), [2] Bayi yang diberi air susu itu belum mencapai umur 2 tahun, [3] Pengambilan dan pemberian air susu tersebut sekurang-kurangnya 5 kali, [4] Air susu itu harus dari perempuan tertentu, [5] Semua syarat yang tersebut di atas harus benar-benar yakin (nyata).[87]

Meski tidak secara definitif menyebut bank ASI, tetapi dari sifat-sifat yang diberikan atas masalah ini mirip dengan apa yang disebut bank ASI. Keputusan Muktamar NU ini sungguh jelas, yakni menjadi mahram radlâ’, bagi sang bayi yang meminum air susu dari bank ASI. Tetapi persyaratan yang diberikan juga sangat ketat, sebagaimana telah dijelaskan di atas dalam pandangan ulama Syafi’iyyah. Dengan ketatnya persyaratan ini, mafhûm mukhâlafah-nya, jika ada salah satu syarat yang tidak terpenuhi, maka meminum air susu tersebut tidak menjadikannya mahram radlâ’. Membaca kemungkinan bank ASI dewasa ini, besar kemungkinan tidak memenuhi keseluruhan persyaratan ini. Oleh karena itu, dalam pandangan NU, apabila cara kerja bank ASI tidak seperti yang dipersyaratkan maka tidak bisa menjadikan sang bayi sebagai mahram li al-radlâ’.


Penutup

Demikian sedikit penjelasan tentang “menyusui” [ar-radhâ’ah] dan berbagai soal yang mengitarinya dalam pandangan fiqh [yurisprudensi hukum Islam]. Pandangan ini adalah khas fiqh yang dalam pendekatan kontemporer, yang mensyaratkan tinjauan multi-dimensional, tentu banyak hal yang perlu dilengkapi. Oleh karena itu, penyempurnaan pendekatan dalam mengkaji setiap masalah yang berhubungan dengan “menyusui” menjadi penting dilakukan. Misalnya, pendekatan bio-medis, pendekatan kesehatan, dan pendekatan psiko-analisis, yang tidak dilakukan dalam kajian di atas, juga penting diterapkan untuk membaca kadar komposisi kimiawi air susu ibu, implikasi medis, psikis, dan sosial terhadap transmisi air susu ibu kepada bayi, etika menyusui dan cara merawat air susu ibu agar hygienist. Tinjauan ini sesungguhnya sangat diperlukan agar kajian fiqh tidak melulu bersifat legal-formal-syar’iyyah, melainkan lebih kontekstual dan transformatif sesuai dengan kompleksitas masalah yang dihadapi.


*Tulisan ini sudah pernah diterbitkan Rahima dalam buku bunga rampai berjudul "Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan" tahun 2002.


Penulis : Marzuki Wahid
Editor : Faqihuddin Abdul Kodir


Daftar Pustaka

  • Abdul Aziz Masyhuri (Penyusun), Masalah Keagamaan, Hasil dari Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama, Ahkâm al-Fuqahâ’ fiy Muqarrarât Mu’tamarât Nahdlatul ‘Ulamâ’  wa Musyâwarâtihâ, (Surabaya: Kerjasama PP RMI–Dinamika Press, 1977).
  • Abdullah Mushthafa al-Maraghiy, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Terjemahan Husein Muhammad dari Fath al-Mubîn fiy Thabaqât al-Ushûliyyîn, (Yogyakarya: LKPSM, 2001).
  • ‘Abd al-Rahman al-Kamal Jalal al-Din al-Suyuthiy, al-Durr al-Mantsûr fiy al-Tafsîr al-Ma`tsûr, Juz I, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t.].
  • ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba’lawiy, Bughyat al-Mustarsyidîn, [Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy wa Awladuhu, 1936].
  • Abdurrahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz IV, [Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1987].
  • Abdurrahman al-Utsmaniy, Rahmat al-Ummah fiy Ikhtilâf al-A`immah, Juz I, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t.].
  • Abd. Moqsith Ghazali, “Anggitan Maqâshid al-Syarî’ah âla al-Syathibiy: Sebuah Keleidoskop”, Makalah disampaikan dalam acara “Pelatihan Ushul Fikih II” Ma’had Aliy Sukorejo Situbondo, tanggal 20 Oktober 2001.
  • Abi Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’iy, al-Umm, Juz VIII, [Beirut: Dar al-Fikr, 1983].
  • Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabariy, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl Ayi al-Qur`ân, Juz II, [Beirut: Dar al-Fikr, 1995].
  • Abu Ishaq al-Syairazi, al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imâm al-Syâfi’i, Juz II, [Semarang: Maktabah wa Mathba’ah, t.t.].
  • Ahmad al-Syarbâshiy, Yas`alûnaka fiy al-Dîn wa al-Hayât, Jilid V, [Beirut: Dar al-Jayl, t.t.].
  • Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, [Damaskus: Dar al-Qalam, 1989].
  • Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsîr al-Marâghiy, Juz I, [Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, t.t.].
  • Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab – Indonesia al-Munawwr, [Yogyakarta: t.p, t.t].
  • Ali Ahmad al-Nadawiy, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Mafhûmuhâ, Nasy`atuhâ, Tathawwuruhâ, Dirâsatun Mu`allafâtihâ, Adillatuhâ, Muhimmatuhâ, Tathbîqâtuhâ, [Damaskus: Dar al-Qalam, 1994].
  • Anonim. al-Qur’ân al-Karîm wa Tarjamatu Ma’ânîhi ilâ al-Lughat al-Indûnisiyyah [al-Qur’an dan Terjemahannya], Hadiah dari Khadim al-Haramayn al-Syarifayn, [Jakarta: t.p., 1971].
  • Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terjemahan dari The Rights of Women in Islam, (Yogyakarta: LSPPA-CUSO Indonesia, 1994).
  • Derek Liwellyn dan Jenes MD, Wanita dan Masalahnya, Terjemahan SC Budhi Tjahjono, (Surabaya: Usaha Nasional, 1978).
  • al-Ghazali, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, Juz I. (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun).
  • al-Hafidh ‘Imad al-Din Abi al-Fida’ Ismail Ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqiy, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, [Riyadl: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997/1418]
  • Al-Hamawy, Hâsyiyah al-Hamawy ‘alâ al-Asybah wa al-Nadhâ’ir li Ibn Nujaym.
  • Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Editor Faqihuddin Abdul Kodir, MA, (Yogyakarta: Kerjasama LKiS, Rahima, dan Ford Foundation, 2001).
  • Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Alamîn, Juz III.
  • Ibn al-Rusyd al-Qurthubiy al-Andulusiy, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, Juz I, [t.tp.: t.p., t.t.].
  • Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Adhîm, [Riyadl: Dar ‘Alim al-Kutub, 1997].
  • ‘Izz al-Din Abd al-‘Aziz bin ‘Abd al-Salam, Qawâ’id al-Ahkâm fiy Mashâlih al-Anâm, Juz II, [Beirut: Dar al-Jayl, 1980].
  • Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
  • Mahmud Syaltut, al-Fatâwâ, [Damaskus: Dar al-Qalam, t.t.].
  • Manna’ al-Qathathan, Mabâhist fiy ‘Ulûm al-Qur’ân, (t.tp.: Mansyurat al-Ashr al-Hadist, 1973).
  • Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
  • Marzuki Wahid, “Kesetaraan Perempuan~Laki-Laki di Pangkuan al-Qur’an: Sebuah Bacaan Keadilan Gender, Jurnal Dinamika, Edisi I/2000, Diterbitkan FORMAT Cirebon.
  • Masdar F. Mas’udi, “Bagaimana Memahami Ajaran Islam? Sebuah Tawaran Metodologis,” Makalah tidak diterbitkan.
  • --------, “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima [ed], Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, [Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988].
  • Muhammad Ali al-Shabuniy, Rawâ`i al-Bayân: Tafsîr Ayât al-Ahkâm min al-Qur`ân, [Makkah al-Mukarramah: t.p., t.t.].
  • --------, al-Tibyân fiy ‘Ulûm al-Qur’ân, (Makkah: t.p., 1980)
  • Muhammad al-Raziy Fakhr al-Din Ibn al-‘Alamah Dliya` al-Din ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Râziy wa Mafâtih all-Ghayb, juz V, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t.].
  • Muhammad al-Syarbiniy al-Khathib, al-Iqnâ’ fiy Hill Alfâdh Abî Syujâ’, Juz I, [Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.].
  • Muhammad Husain al-Dzahabiy, al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, [Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1968].
  • al-Qurthubiy, Juz III, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân.
  • al-Syathibi, al-Muwâfaqât fiy Ushûl al-Syarî’ah, Juz II, (Kairo: Mushthafa Muhammad, tanpa tahun).
  • Sayyid Bakri al-Dimyâthiy, I’anât al-Thâlibîn, Juz III.
  • Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, [Beirut: Dar al-Fikr, 1987].
  • Syah Waliy Allah al-Dihlawy, Hujjat Allah al-Bâlighah dan dita’liq oleh Muhammad Syarif Sukkar, Jilid II, [Beirut: Dar Ihya` al-Ulum, 1992].
  • Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, [Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996].
  • Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, Juz I, Juz VII, [Damaskus: Dar al-Fikr, 1996].
  • --------, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986).


Referensi

  1. Tanpa mengesampingkan pendapat ulama ushûlliyun terdahulu yang menulis buku ushûl al-fiqh berjilid-jilid, dalam hal qath’iy-dhanny di sini saya ingin mengutip pandangan Masdar Farid Mas’udi, intelektual terkemuka dari organisasi Islam tradisional Nahdlatul Ulama. Menurut Masdar, qath’iy adalah ajaran-ajaran yang bersifat asasi yang kebenarannya dicukupkan oleh dirinya sendiri [self evidence], di atas mana ketentuan-ketentuan normatif dan aturan-aturan hukum diletakkan. Qath’iy bersifat pasti, tidak berubah-ubah, dan karena itu bersifat fundamental, seperti nilai kemaslahatan atau keadilan. Sedangkan ajaran dhanny [hipotetik] adalah ajaran yang derajat kebenarannya tidak bersifat a priori dan aksiomatis. Kebenarannya harus didukung oleh sesuatu di luar dirinya yang bersifat qath’iy. Karena sifatnya sebagai terapan, maka ajaran dhanny bersifat nisbi, terikat oleh ruang dan waktu, oleh situasi dan kondisi. Konsep dhanny dimaksudkan sebagai upaya untuk menerjemahkan qath’iy [nilai kemaslahatan dan keadilan] dalam kehidupan nyata. Sehingga jika ijtihâd tidak bisa terjadi untuk daerah qath’iy, maka bisa dilakukan untuk hal-hal yang dhanny. Berbeda dengan pengertian klasik, qath’iy adalah ajaran yang dikemukakan dalam teks bahasa yang tegas [sharîh] sehingga tidak mengandung pengertian lain, sedangkan dhanny adalah ajaran yang dikemukakan dalam teks bahasa yang tidak tegas, yang ambigu atau bisa diartikan lebih dari satu pengertian. Perihal mutlaknya ditegakkan keadilan sosial [al-‘adâlat al-ijtimâ’iyyah] termasuk keadilan gender, menurut Masdar, semua orang sepakat bahwa itu adalah qath’iy, niscaya, dan tidak memerlukan ijtihâd. Syahdan, tentang apa yang kita maksudkan dengan “keadilan” dalam konteks ruang dan waktu tertentu serta “bagaimana relasi harus kita bangun untuk mewujudkan keadilan gender itu”, semua itu adalah persoalan dhanny, ijtihâdiy, yang bisa berbeda-beda ditafsirkan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain, pada satu waktu dengan waktu lain. Baca Masdar F. Mas’udi, “Bagaimana Memahami Ajaran Islam? Sebuah Tawaran Metodologis,” Makalah tidak diterbitkan, hlm 3-6; dan “Memahami Ajaran Suci dengan Pendekatan Transformasi”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima [ed], Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, [Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988], hlm. 181-185.
  2. Konsep keadilan dalam konteks ini lebih dekat dengan pengertian kesetaraan [equality, al-musâwah], yang berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Lihat Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terjemahan dari The Rights of Women in Islam, (Yogyakarta: LSPPA-CUSO Indonesia, 1994), hlm. 57. Sedangkan arti gender secara leksikal sama dengan sex, yaitu jenis kelamin. Tetapi secara konseptual berbeda. Sex merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang dibedakan karena determinasi biologis yang melekat padanya. Misalnya, laki-laki didefinisikan sebagai manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduksi sel sperma. Sementara perempuan dikonseptualisasikan sebagai manusia yang memiliki rahim dan memproduksi sel telur (ovum). Sex bersifat qudrati [naturally]. Sedangkan, gender bersifat bentukan sosial budaya [socially and culturally constructed]. Yakni, suatu sifat yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Misalnya, perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan; sementara laki-laki dikonseptualisasikan sebagai manusia yang kuat, rasional, jantan, perkasa, dan sejenisnya. Lihat Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 7--9. Bandingkan dengan Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 2--5.
  3. Cita sosial ini dalam ushul al-fiqh disebut maqâshid al-syarî’ah, yakni tujuan penetapan hukum Islam. Dalam al-Muwâfaqât fiy Ushûl al-Syarî’ah, al-Syathibiy mempergunakan kata-kata yang berbeda untuk menyebut konsep ini. Kata-kata itu ialah maqâshid al-syâri’, maqshûd al-syâri’, al-maqâshid al-syar’iyyah fiy al-syarî’ah, dan maqâshid min syar’i al-hukm, qashd al-syâri’.   Secara umum dinyatakan oleh al-Syathibiy bahwa sesungguhnya syari’at itu bertujuan untuk   mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia: [Anna wadl’u sy syarâ’i innamâ huwa li mashâlihil ‘ibâdi fil ‘âjil wal âjil].   أن وضع الشرائع إنما هو لأجل مصالح العباد في العاجل والآجل. Dapat dikatakan di sini bahwa maqâshid al-syarî’ah adalah cita keadilan dan kemaslahatan semesta. Baca al-Syathibi, al-Muwâfaqât fiy Ushûl al-Syarî’ah, (Kairo: Mushthafa Muhammad, tanpa tahun), Juz II, hlm. 6. Al-Ghazali dalam al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl merumuskan kemaslahatan ini secara jelas dan rinci. Ia mengatakan bahwa kemashlahatan adalah mewujudkan lima prinsip pokok agama, yaitu memelihara lima hal; agama [hifdh al-dîn], jiwa [hifdh al-nafs], akal [hifdh al-‘aql], keturunan [hifdh al-nasl), harta benda [hifzdh al-mâl]. Setiap hal yang mengandung jaminan terhadap lima prinsip ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang menegasikannya adalah kerusakan [mafsadah]. Menolak kemafsadatan adalah kemaslahatan. Lihat al-Ghazali, al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), Juz I, hlm. 26. ‘Izzudin ibn Abd al-Salam dalam Qawâ’id al-Ahkâm fiy Mashâlih al-Anâm juga menyatakan hal yang sama, bahwa “segala pembebanan hukum Islam difokuskan atau dikembalikan kepada kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. “[innamat takâlîfu kulluhâ râji’atun ilâ mashâlihil ‘ibâd fiy dunyâhum wa ukhrâhum].  Lihat Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawâ’id al-Ahkâm fiy Mashâlih al-Anâm, (Beirur: Dar al-Jil, Tanpa Tahun), Juz II hlm. 72. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily, Ushûl al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Juz II, hlm. 1017.
  4. Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah dalam hal ini mengatakan bahwa al-syarî’atu mabnâhâ wa asâsuhâ ‘alal hikam wa mashâlihil ‘ibâdi fil ma’âsyi wal ma’âdi wa hiya ‘adlun kulluhâ wa rahmatun kulluhâ wa mashâlihun kulluhâ wa hikmatun kulluhâ. Fa kullu mas’alatin kharajat ‘anil ‘adli ilal jûwr wa ‘anir rahmati ilâ dliddihâ wa ‘anil mashlahati ilal mafsadati wa ‘anil hikmati ilal ‘abtsi fa laysat minasy syarî’ati [bangunan dan fondasi hukum Islam didasarkan pada kebijaksanaan (kearifan) dan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akherat. Syari’at seluruhnya adil, kasih sayang, maslahat, dan bijak. Oleh karena itu, setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju ke kecurangan, dari kasih-sayang menuju sebaliknya, dari maslahat menuju ke kerusakan, dan dari kebijakan menuju ke kesewenang-wenang, maka bukanlah syari’at]. Baca Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în, Juz III, hlm. 3.
  5. Secara dasariyah, hal ini tercantum dalam enam buah ayat dalam al-Qur’an yang semuanya membicarakan penyusuan anak [al-radhâ’ah]. Enam ayat ini terpisah ke dalam lima surat, dengan topik pembicaraan yang berbeda-beda. Islam pada tataran ini sangat memperhatikan perempuan yang sedang menuyusi. Ini terlihat dari dua ayat berikut, “……  Dan jika mereka [istri-istri-yang sudah ditalak] itu sedang hamil, maka berikanlah kepada meraka nafkahnya, hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan [anak-anak] mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” [QS. Al-Thalaq [65]:6]. “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi mereka yang ingin menyempurnakan penyusuannya.” [ QS. al-Baqarah [2]:33].
  6. Baca KH Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Editor Faqihuddin Abdul Kodir, MA, (Yogyakarta: Kerjasama LKiS, Rahima, dan Ford Foundation, 2001). Buku setebal 190 halaman ini meski mewakili kajian fiqh berperspektif gender, tetapi dalam pembahasannya kurang menaruh perhatian pada wacana tubuh perempuan. Padahal dari objek inilah segala pelecehan, kekerasan, komersialisasi, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan selama ini berlangsung. Karena itu, yang sangat dibutuhkan dewasa ini adalah tafsir penguatan dan pemberdayaan atas tubuh perempuan secara holistik dalam kerangka fiqh.
  7. Air susu ini akan keluar secara otomatis ketika bayi telah dilahirkan. Semenjak kehamilan, setiap perempuan mengalami pertumbuhan payudara yang signifikan. Pada puting payudara terdapat 15 sampai 25 muara air susu ke arah dalam. Saluran utama bercabang menjadi saluran-saluran yang lebih kecil dan seperti dahan-dahan pohon. Saluran-saluran ini bercabang lagi, yang masing-masing berakhir pada suatu kumpulan daerah penghasil air susu yang jumlahnya 10 sampai 100. Payudara menghasilkan air susu karena ada sejenis hormon [proclatin] yang dikeluarkan oleh sel-sel dalam kelenjar di bawah otak, yang dalam masa hamil dihambat oleh pengaruh hormon-hormon seks yang beredar dengan kadar tinggi, yaitu hormon estrogen dan progesteron yang dihasilkan oleh urin. Air susu akan keluar dan jumlahnya diatur oleh kebutuhan bayi. Proses ini akan lebih baik jika bayi dengan segera disusui setiap saat sesuai dengan keinginan bayi. Lihat Derek Liwellyn dan Jenes MD, Wanita dan Masalahnya, Terjemahan SC Budhi Tjahjono, (Surabaya: Usaha Nasional, 1978), hlm. 374 dan 387.
  8. Istilah fiqh secara umum memang dipahami dalam pengertian itu: yakni al-‘ilm bi al-ahkâm al-syar’iyyah al-‘amaliyyah al-muktasab min adillatihâ al-tafshîliyyah. Pengertian demikian setidak-tidaknya ditulis oleh ulama ushûliyyûn dari kalangan Syafi’iyyah, seperti terbaca dalam al-Mahalli, Syarh Jam’u al-Jawâmi’, Juz I, hlm. 32, juga dalam Syarh al-Asnawiy, Juz I, hlm. 24. Sedangkan secara bahasa, kata al-fiqh berarti al-fahm [pemahaman]. Imam Abu Hanifah memberikan definisi fiqh jauh lebih luas dari sekadar hukum Islam, yakni: “ma’rifat al-nafs mâ lahâ wa mâ ‘alayhâ” [pengetahuan tentang hak dan kewajiban manusia]. Pengertian ini tidak saja berkisar seputar hukum-hukum yang bersifat ‘amaliy, melainkan juga mencakup hukum akidah, akhlak, dan tasawuf. Ini disebut Imam Abu Hanifah sebagai al-fiqh al-akbar. Pengertian luas ini muncul karena semasa Imam Abu Hanifah hidup fiqh belum menjadi disiplin ilmu tersendiri. Baca Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, Juz I, Cet. III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 15-16.
  9. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab – Indonesia al-Munawwr, [Yogyakarta: t.p, t.t], hlm. 540-541.
  10. Abdurrahman al-Jaziri, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz IV, [Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1987], hlm. 250-251.
  11. Ibid.
  12. Ulama Hanafiyyah mengajukan syarat bagi air susu ini. Bagi mereka, air susu harus berbentuk benda cair. Kalau yang disusukan itu sudah berbentuk benda padat, seperti keju dan sebagainya, tidak menyebabkan adanya hubungan kemahraman. Baca al-Jaziri, Ibid., Juz IV, hlm. 254.
  13. Ibn al-Rusyd al-Qurthubiy al-Andulusiy, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, Juz I, [t.tp.: t.p., t.t.], hlm. 30. Baca juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II,  [Beirut: Dar al-Fikr, 1987], hlm. 92.
  14. al-Qur’ân al-Karîm wa Tarjamatu Ma’ânîhi ilâ al-Lughat al-Indûnisiyyah [al-Qur’an dan Terjemahannya], Hadiah dari Khadim al-Haramayn al-Syarifayn, [Jakarta: t.p., 1971], hlm. 57.
  15. Ibid. hlm. 120.
  16. Ibid., hlm. 511.
  17. Ibid., hlm. 610.
  18. Ibid., hlm. 610.
  19. Ibid., hlm. 946.
  20. Berkaitan dengan siapa yang harus menyusui seorang bayi, ulama Hanafiyyah mengajukan dua syarat sebagai berikut. Pertama, yang menyusui itu adalah perempuan. Dus, jika seorang laki-laki bisa mengeluarkan air susu dari payudaranya dan kemudian diminumkan kepada anak yang belum genap berusia dua tahun, maka susuan tersebut tidak memiliki implikasi hukum penyusuan anak. Syarat kedua, perempuan yang menyusui itu berumur minimal sembilan tahun. Ulama Hanafiyyah tidak mempersyaratkan bahwa perempuan yang menyusui itu harus dalam keadaan hidup [hayyatan]. Dalam pandangan Hanafiyyah, jika seorang perempuan yang sudah meninggal mengeluarkan air susu kemudian air susunya diminumkan kepada seorang bayi, maka si bayi itu terkena konsekuensi hukum hubungan persusuan. Begitu juga tidak dipersyaratkan bahwa perempuan yang menyusukan itu harus seorang yang sudah menikah. Jika ada seorang gadis yang bisa mengeluarkan air susu, kemudian air susu itu diminumkan kepada seorang bayi tertentu juga bisa menyebabkan adanya hubungan persusuan. Baca al-Jaziriy, Op.Cit., Juz IV, hlm. 253. Bandingkan dengan Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t.], Jilid II, hlm. 92. Berbeda dengan Hanafiyyah, Syafi’iyyah mensyaratkan perempuan yang menyusui itu harus dalam keadaan hidup. Baca Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, Juz VII, [Damaskus: Dar al-Fikr, 1996], hlm. 706.
  21. Nama lengkapnya Ahmad bin Mushthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Qadliy. Lahir di Maragh wilayah Jurja di Delta Mesir pada tahun 1300 H. Alumni Universitas al-Azhar pada tahun 1909 M. Di antara karya monumentalnya adalah Tafsîr al-Marâghiy 30 Juz. Karangan lainnya adalah ‘Ulûm al-Balâghah, Târîkh ‘Ulûm al-Balâghah wa al-Ta’rîf bi Rijâlihâ, dan karyanya yang terakhir adalah Mushthah al-Hadîts. Baca Abdullah Mushthafa al-Maraghiy, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Terjemahan Husein Muhammad dari Fath al-Mubîn fiy Thabaqât al-Ushûliyyîn, (Yogyakarya: LKPSM, 2001), hlm. 385-386.
  22. Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsîr al-Marâghiy, Juz I, [Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, t.t.], hlm. 185.
  23. Prof Dr. Wahabh Az-Zuhaili adalah ulama dari Syria yang pakar dalam bidang fiqh, ushul fiqh dan tafsir. Lahir tahun 1932 di Daer Athiyyah, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 60 km utara Damaskus, Ibu Kota Syria. Pendidikan dasar dan menengah diselesainkan di Syria, sementara pendidikan tinggi di Cairo. Terakhir, lulus dari Program Doktor Fakultras Syari’ah Uiversitas Al-Azhar, tahun 1963 dengan predikat Imtiyaz Syaraf Ula (Summa Cumlaude). Saat ini beliau aktif dengan berbagai kegiatan akademik, di dalam dan di luar Syria. Diantaranya, ia menjabat Ketua Kajian Fiqh Islam di Universitas Damaskus Syria dan Ketua Dewan Peneliti pada Syarikat Mudharabah Islam di Bahrain. Sampai tahun 1993, ia telah menulis tiga puluh empat buku dengan berbagai topik seputar fiqh, ushul fiqh dan tafsir. Diantaranya yang paling monumental adalah: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid), Ushul al-Fiqh al-Islamy (2 jilid), al-Dzarai’ fi al-Siyasah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islamy, Nazhariyyat al-Dharuriyyah al-Syar’iyyah, al-Rukhash al-Syar’iyyah, Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islamy; Dirasat Muqaranah bi al-Qawanin al-Wadh’iyyah, Nizham al-Islam, al-Tafsir al-Munir (16 jilid), al-Qur’an al-Karim; Bunyatuhu al-Tasyri’iyyah wa Khasha’ishuhu al-Hadlariyyah dan beberapa tulisan lain.
  24. Wahbah al-Zuhayli, Op. Cit., hlm. 698. Baca juga Muhammad Husain al-Dzahabiy, al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, [Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1968], hlm. 398. Bandingkan juga dengan Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Op. Cit., hlm. 185.
  25. Jalaluddin al-Suyuthi, Op. Cit., hlm. 687.
  26. Nama lengkapnya adalah Ahmad Syah bin Abd al-Rahim al-Umari al-Dihlawiy Abu Abd al-Aziz (1114-1176 H). Ia seorang faqîh madzhab Hanafiy, ahli ushûl al-fiqh, muhaddits, dan mufassir, dan sufi. Lahir di Delhi dan dibesarkan di India. Di antara karya-karyanya adalah al-Inshâf fiy Bayân Asbâb al-Ikhtilâf [Ushul al-fiqh], Fath al-Khabîr fiy Ushûl al-Tafsîr [Tafsir], al-‘Iqd al-Jîd fiy Ahkâm al-Ijtihâd wa al-Taqlîd, al-Qawl al-Jamîl fiy Ushûl al-Thuruq al-Arba’a  [Tasawuf], Tanwîr al-Aynayn fiy Raf al-Yadayni,  Hujjatullâh al-Bâlighah, dan Rasâ’il al-Dihlawiy. Baca Abdullah Mushthafa al-Maraghiy, Op. Cit., hlm. 350-351.
  27. Akan tetapi, menurut al-Dihlawy, kalau perempuan tersebut  sudah menikah, maka kedudukannya di hadapan anak itu seperti seorang budak [mamlukah]. Ia adalah orang lain yang tidak akan disikapi dengan baik-baik lagi. Dengan demikian, jika sang anak sudah mumayyiz [pintar], maka ia diberi pilihan antara ikut ayah atau ibu. Baca Syah Waliy Allah al-Dihlawy, Hujjat Allâh al-Bâlighah dan dita’liq oleh Muhammad Syarif Sukkar, Jilid II, [Beirut: Dar Ihya` al-Ulum, 1992], hlm. 387-389
  28. Al-Qur’an (dalam Surat al-Baqarah: 173 dan al-An’am: 119) menyebut dharûrat dengan istilah idlthirâr.  Menurut al-Layts, kata al-dlarûrah adalah bentuk jadian dari al-idlthirâr. Secara bahasa, dua kata ini bermakna sama, yakni suatu kebutuhan yang amat mendesak (syiddatul luzûm), sesuatu yang tak dapat dihindari (lâ ghinâ ‘anhu), atau sesuatu yang memaksa (alja’ahu). Menurut al-Hamawy, darurat merupakan limit akhir keterpaksaan yang jika tidak menerjang sesuatu meski dilarang ia terancam jiwanya. Baca Hâsyiyah al-Hamawy ‘alâ al-Asybah wa al-Nadhâ’ir li Ibn Nujaym, hlm. 108. Pendapat ini juga selaras dengan sebagian pendapat dari kalangan ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
  29. Muhammad Ali al-Shabuniy, al-Tibyân fiy ‘Ulûm al-Qur’ân, (Makkah: t.p., 1980), hlm. 1146.
  30. Wahbah al-Zuhayli, Op. Cit., hlm. 699. Baca juga Muhammad Ali al-Shabuniy,  Rawâ`i al-Bayân: Tafsîr Ayât al-Ahkâm min al-Qur`ân, [Makkah al-Mukarramah: t.p., t.t.], hlm. 353.
  31. Sebagai perbandingan, al-Syarbiniy memasukkan tugas “menyusui” ke dalam pembahasan al-hadlânah [pengurusan dan pemeliharaan anak]. Di situ disebutkan, jika al-hâdlinah [orang yang mengurus dan memelihara] tidak mempunyai air susu atau tercegah untuk menyusui karena suatu sebab, maka ia tidak terkena keharusan hadlânah. Bahkan kata al-Bulqiniy meskipun mempunyai air susu tetapi ada halangan menyusui, juga tidak ada keharusan hadlânah. Baca Muhammad al-Syarbiniy al-Khathib, al-Iqnâ’ fiy Hill Alfâdh Abî Syujâ’, Juz I, [Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.], hlm. 196.
  32. Muhammad Husain al-Dzahabiy, al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, [Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1968], hlm. 398.
  33. Wahbah al-Zuhayli, Op. Cit., Juz VII, hlm. 699.
  34. Ini berkaitan dengan sabab al-nuzûl ayat 233 Surat al-Baqarah [2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sa’id bin Jubair, bahwa firman Allah “wal wâlidâtu yurdli’na awl­âdahunna hawlayni kâmilayni” berkaitan dengan seorang laki-laki yang mentalak istrinya, sementara ia memiliki seorang anak dari istri tersebut. Dalam posisi ini, maka sang istri lebih berhak dengan anak tersebut karena ia menyusuinya. Jalal al-Din al-Suyuthiy, Op. Cit, Juz I, hlm. 687.
  35. Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, Juz I [Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiy, t.t.], hlm. 185
  36. Wahbah al-Zuhayli, Op. Cit., Juz VII, hlm. 704.
  37. Bab XIV Pemeliharaan Anak, Pasal 104, ayat 1 dan 2, Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
  38. Jalal al-Din al-Suyuthiy, Op. Cit., Juz I, hlm. 687.
  39. Ibid., hlm. 700-701.
  40. al-Qur’ân al-Karîm wa Tarjamatu Ma’ânîhi ilâ al-Lughat al-Indûnisiyyah, Ibid., hlm. 120.
  41. Fa kullu mâ hurima bi al-wilâdah wa bi sababihâ hurima bi al-radlâ’ ” [maka setiap sesuatu yang diharamkan karena kelahiran dan sebabnya, haram pula akibat persusuan]. Baca Abi Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’iy, al-Umm, Juz VIII, [Beirut: Dar al-Fikr, 1983], hlm. 332.
  42. Nama lengkapnya adalah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha al-Kufiy. Lahir di Kufah pada tahun 80 H, masa Dinasti Umawiyah, dan wafat pada tahun 150 H, ketika Imam Syafi’iy baru lahir. Ia adalah pendiri madzhab Hanafiy. Karya intelektualnya di antaranya adalah al-Makhârij fiy al-Fiqh, al-Musnad, dan al-Fiqh al-Akbar. Baca Abdullah Mushthafa al-Maraghiy, Op. Cit., hlm. 72-76.
  43. Nama lengkapnya adalah Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshariy al-Kufiy. Lahir di Kufah pada tahun 113 H, dan wafat pada tahun 182 H. Ia dikenal dengan sebutan qâdliy, bahkan qâdliy al-qudlât [hakim agung], sebuah jabatan tertinggi dalam lembaga peradilan, yang dipegangnya hingga wafat. Ia adalah murid Imam Abu Hanifah yang menyusun ushûl al-fiqh Hanafiyyah, yakni dasar-dasar fatwa hukum yang disepakati Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya.  Di antara karya intelektualnya adalah al-Kharrâj [sistem keuangan negara], dan al-Jawâmi’, buku yang sengaja ditulis untuk Yahya bin Khalid yang memuat perdebatan tentang penggunaan ra’yu. Baca Abdullah Mushthafa al-Maraghiy, Op. Cit., hlm. 77.
  44. Meski berguru kepada Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi’iy, ia dikenal sebagai murid Imam Abu Hanifah, karena seringnya menghadiri kuliah-kuliah Imam Abu Hanifah dan muridnya, Abu Yusuf. Pernah menjadi qâdliy pada Khalifah Harun al-Rasyid tapi kemudian mengundurkan diri. Lahir pada tahun 131 H/748 M dan meninggal pada tahun 189 H/804 M. Karya intelektualnya adalah al-Jâmi’ al-Kabîr, al-Jâmî’ al-Shagîr, al-Mabsûth, al-Ziyâdât, al-Atsar, al-Sa’ir, al-Muwattha’. Baca Abdullah Mushthafa al-Maraghiy, Op. Cit., hlm. 78.
  45. Nama lengkapnya adalah Zufar bin Hudzayl bin Qays bin Salim al-Kufiy. Lahir di Asfihan pada tahun 110 H/728 M dan meninggal di Basrah pada tahun 158 H/774 M. Ia termasuk sahabat Abu Hanifah yang paling tua dan paling lebih dahulu meninggal. Dia adalah mujtahid mutlak. Baca Abdullah Mushthafa al-Maraghiy, Op. Cit., hlm. 76.
  46. Ibn al-Rusyd al-Qurthubiy al-Andalusiy, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, Juz I, [t.tp.: t.p., t.t.], hlm. 27.
  47. Ibnu Katsir, Op. Cit., hlm. 351.
  48. ‘Abd al-Rahman al-Kamal Jalal al-Din al-Suyuthiy, al-Durr al-Mantsûr fiy al-Tafsîr al-Ma`tsûr, Juz I, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t.], hlm. 688.
  49. Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Abi al-Dluha bahwa dia mendengar Ibn ‘Abbas berkata ayat wa al-wâlidât yurdli’na awlâdahunna hawlayni kâmilayni menunjukkan lâ radlâ’a illâ fiy hadzayn al-hawlayni. Baca Jalal al-Din al-Suyuthiy, Ibid., hlm. 688.  Baca juga Muhammad al-Raziy Fakhr al-Din Ibn al-‘Alamah Dliya` al-Din ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Râziy wa Mafâtih all-Ghayb, juz V, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t.], hlm. 126-127. Baca juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Adhîm, [Riyadl: Dar ‘Alim al-Kutub, 1997], hlm. 350. Bandingkan dengan al-Qurthubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Juz III, hlm. 161-162.
  50. Oleh Ibnu Katsir, hadits ini dinilai hasan shahîh. Baca al-Hafidh ‘Imad al-Din Abi al-Fida’ Ismail Ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqiy, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, [Riyadl: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997/1418], hlm. 351.
  51. Baca Jalal al-Din al-Suyuthiy, Op.Cit., hlm. 689. Baca juga al-Jaziri, Op. Cit., hlm. 250-251.
  52. HR. al-Daruquthniy.
  53. Dalam redaksi Ibn Umar dan Ibn ‘Abbas riwayat dari Ibn al-Mubarak, dari Yunus bin Yazid, dari al-Zuhri, adalah Lâ radlâ’a ba’da al-hawlayni. Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabariy, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl Ayi al-Qur`ân, Juz II, [Beirut: Dar al-Fikr, 1995], hlm. 233. Juga terdapat dalam Abu Ishaq al-Syairazi, al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imâm al-Syâfi’i, Juz II, [Semarang: Maktabah wa Mathba’ah, t.t.], hlm. 155. Hadits yang dikemukakan oleh al-Jaziry ini juga dikutip oleh al-Syairazy dilengkapi dengan sebuah cerita Abu Musa al-Asy’ari.
  54. Nama lengkapnya adalah Dawud bin Ali bin Dawud bin Khalaf al-Isbihani. Biasa dipanggil Abu Sulaiman. Lahir di Kufah pada tahun 202 H/818 M, dan wafat di Baghdad pada tahun 270 H/884 M. Ia dikenal sebagai pendiri madzhab fiqh Dhahiriy, tekstualis. Madzhab ini pernah berkembang pesat pada abad ke IV H. Ia menolak penafsiran baik melalui logika maupun qiyâs. Dawud semula adalah pengikut madzhab Syafi’iy yang fanatik. Ia bahkan pernah menulis dua buah buku biografi imam Syafi’iy. Di antara karya intelektualnya adalah Ibthâl al-Qiyâs, Khabar al-Wâhid, al-Hujjah, al-Khushûsh wa al-‘Umûm, dan al-Mufassar wa al-Mujmal. Semuanya dalam bidang ushul al-fiqh. Buku fiqhnya yang berisi fatwa-fatwanya dan sebuah buku komentar atas pandangan-pandangan Imam al-Syafi’iy adalah al-Kâfiy fiy Maqâlat al-Muthallabi. Baca Abdullah Mushthafa al-Maraghiy, Op. Cit., hlm. 111-112.
  55. Ibn al-Rusyd, Op. Cit.,, hlm. 28.
  56. Bandingkan dengan tulisan Ba’lawiy. Menurutnya, mazhab Syafi’iy menetapkan batas minimal lima kali susuan, sementara Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa sekali susuan saja juga bisa membuat kemahraman. ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba’lawiy, Bughyat al-Mustarsyidîn, [Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy wa Awladuhu, 1936], hlm. 244.
  57. Baca Ahmad al-Syarbâshiy, Yas`alûnaka fiy al-Dîn wa al-Hayât, Jilid V, [Beirut: Dar al-Jayl, t.t.], hlm. 128.
  58. Abi Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’iy, al-Umm, Juz VIII, [Beirut: Dar al-Fikr, 1983], hlm. 332.
  59. lâ yahrumu minar radlâ’ illâ khamsu radla’âtin fa aktsara”. Mahmud Syaltut, al-Fatâwâ, [Damaskus: Dar al-Qalam, t.t.], hlm. 285.
  60. Hadits Riwayat Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, dari ‘Aisyah. Abi Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’iy, al-Umm, Juz VIII, [Beirut: Dar al-Fikr, 1983], hlm. 332. Baca juga Ibn al-Rusyd al-Qurthubiy al-Andulusiy, Op. Cit., hlm. 27.
  61. Diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Bukhari, lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, [Beirut: Dar al-Fikr, 1987], hlm. 89. Hal ini juga pendapat al-Syafi’iy, Op. Cit, Juz VIII, hlm. 332.
  62. Sayyid Sabiq, Op. Cit, Jilid II, hlm. 90.
  63. Ini sesuai dengan kaidah “al-‘ibratu bi ‘umûmil lafdhi lâ bi khushûshis sababi”. Baca Mannaْ al-Qathathan, Mabâhist fiy ‘Ulûm al-Qur’ân, (t.tp.: Mansyurat al-Ashr al-Hadist, 1973), hlm. 82.
  64. Lihat Abdurrahman al-Utsmaniy, Rahmat al-Ummah fiy Ikhtilâf al-A`immah, Juz I, [Beirut: Dar al-Fikr, t.t.], hlm. 89.
  65. Ibn al-Rusyd, Op. Cit., hlm. 26-27.
  66. Wahbah al-Zuhailiy, Op. Cit., hlm. 710-712.
  67. Sayyid Sabiq, Op. Cit, Jilid II, hlm. 90.
  68. Ibid.
  69. Pengakuan [iqrâr] dalam hirarki alat-alat bukti menurut ajaran Islam menempati posisi tertinggi. Jika ada seorang perempuan yang mengaku bahwa ia pernah menyusu kepada seseorang, maka kesaksiannya langsung diterima. ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar Ba’lawiy, Bughyat al-Mustarsyidîn, [Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabiy wa Awladuhu, 1936], hlm. 244.
  70. Baca Ahmad al-Syarbâshiy, Yas`alûnaka fiy al-Dîn wa al-Hayât, Jilid V, [Beirut: Dar al-Jayl, t.t.], hlm. 128. Lebih jauh ditegaskan bahwa kesaksian selain itu tidak dapat diterima. Dua orang laki-laki saksi atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan itu pun dipersyaratkan harus adil, terpercaya, dan mengetahui secara langsung, tidak karena mendengar, apa yang akan dipersaksikannya.
  71. Ibn al-Rusyd, Op. Cit., hlm. 30.
  72. Ibid.
  73. Baca Ba’lawiy, Op. Cit., hlm. 244-245
  74. Lihat Abdurrahman al-Jaziriy, Op. Cit., Juz II, hlm. 271-277.  Lebih jauh, Imam al-Syafi’i memberikan syarat bahwa saksi perempuan selain [1] tidak boleh kurang dari empat orang, juga harus [2] merdeka, [3] baligh, dan [4] adil. Ini adalah pendapat ‘Atha bin Abi Rabah. Alasannya adalah karena Allah SWT membolehkan kesaksian perempuan dalam agama dengan perbandingan dua orang perempuan setingkat satu orang lelaki. Baca al-Syafi’iy, Ibid., Juz VIII, hlm. 335.
  75. Sayyid Sabiq, Op. Cit, Jilid II, hlm. 95.
  76. Majalah Ayahbunda, Edisi Khusus, No. 9, 3-16 Mei 1991, hlm. 51.
  77. Ada beberapa alasan ibu tidak mau menyusui anaknya. Selain alasan kesibukan yang tinggi, juga dewasa ini berkembang alasan untuk memelihara kebugaran payudaranya. Alasan lain adalah payudaranya bermasalah sehingga dilarang melakukan aktivitas menyusui.
  78. Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, [Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996], hlm. 1474-1475.
  79. Baca QS. al-Baqarah [2] ayat 233 dan QS. al-Thalaq ayat 6.
  80. Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal.
  81. Tidak dijelaskan lebih jauh mengapa bisa dikatakan menjadi bangkai.  Apakah di dalam air susu manusia terdapat ruh kehidupan yang melekat dalam payudara, sehingga begitu air susu lepas dari payudara lepas pula ruh kehidupan itu. Argumen ini tidak diketahui secara pasti.
  82. Baca QS. al-Mâ`idah [5] ayat 3: Hurrimat ‘alaykumul maytatu wad damu wa lahmul khinzîr…..[Diharamkan atas kamu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi…]
  83. Jika demikian yang terjadi, menurut al-Syarbashiy, maka susuannya tidak mengharamkan perkawinan antar anak dan ibu susuan. Ini dikemukakan karena kenyataan sumber air susu yang tidak diketahui secara mutlak perempuan mana yang memberikan susu kepada siapa. Baca Ahmad al-Syarbâshiy, Op. Cit, Jilid V, hlm. 129.
  84. Baca QS. Al-Nisâ` [4] ayat 23: hurrimat ‘alaykum ummahâtukum wa banâtukum wa akhawâtukum wa ‘ammâtukum ….
  85. Penjelasan qa’idah itu secara lengkap dan panjang lebar dapat dibaca pada ‘Izz al-Din Abd al-‘Aziz bin ‘Abd al-Salam, Qawâ’id al-Ahkâm fiy Mashâlih al-Anâm, [Beirut: Dar al-Jayl, 1980], hlm. 17. Dapat juga ditemukan pada Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, [Damaskus: Dar al-Qalam, 1989], hlm. 205-206. Baca juga Ali Ahmad al-Nadawiy, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Mafhûmuhâ, Nasy`atuhâ, Tathawwuruhâ, Dirâsatun Mu`allafâtihâ, Adillatuhâ, Muhimmatuhâ, Tathbîqâtuhâ, [Damaskus: Dar al-Qalam, 1994], hlm.  207
  86. Sebagian besar data tentang bank ASI, apabila tidak terdapat rujukan primer dari pendapat yang dikutip, diambilkan dari Tim Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, Op.Cit., hlm. 1476-1477.
  87. Keputusan hukum ini diambilkan dari Kitab I’anât al-Thâlibîn, karya Sayyid Bakri al-Dimyâthiy (w. 1300 H.), Juz III, hlm. 287, dan Kitab Mîzân al-Kubrâ, Juz II, hlm. 138. Lihat KH Abdul Aziz Masyhuri (Penyusun), Masalah Keagamaan, Hasil dari Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama, Ahkâm al-Fuqahâ’ fiy Muqarrarâti Mu’tamarât Nahdlatul ‘Ulamâ’ wa Musyâwarâtihâ, Surabaya: Kerjasama PP RMI–Dinamika Press, 1977), hlm. 251.