Mengurai Keresahan Sesama KPI dan KUPI

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

“Setiap generasi menulis sejarahnya sendiri”

Demikian pernyataan yang dikenal umum sebagai refleksi atas dinamika sejarah umat manusia. Dan, karena masa lalu bukan hanya milik laki-laki, tapi juga milik perempuan, maka bersama dengan perjalanan perjuangan bangsa ini dan dilandasi semangat yang kuat untuk mengadakan perbaikan, ada banyak usaha yang dilakukan perempuan dalam rangka tercapainya tujuan tersebut.

Kongres Perempuan Indonesia

Dalam narasi sejarah Indonesia telah banyak ditampilkan perempuan-perempuan yang berkarya di berbagai bidang. Sebut saja misalnya, Dewi Sartika di Priangan (pendidikan perempuan), Tjoet Nja’ Dhien di Aceh (pejuang perempuan), Martha Christina Tiahahu di Maluku (pejuang perempuan), Kartini di Jawa (pendidikan perempuan), Rohana Koedoes di Sumatra Barat (pers), dan beberapa nama lainnya.

Bersamaan dengan gagasan ke-Indonesia-an yang semakin kuat, perempuan Indonesia semakin mengukuhkan dirinya dengan membentuk berbagai perkumpulan seperti Wanito Utomo, Wanita Taman Siswa, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Jong Java, bagian gadis (Meisjeking), Aisyiyah, dan Jong Islamieten Bond Domes Afdeeling Bagian Wanita (JIBDA). Tujuannya, untuk mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan wanita Indonesia serta mengadakan gabungan antara perkumpulan wanita. Tujuan inilah yang kemudian menghantarkan organisasi-orgnisasi tersebut dalam Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta.

Kongres dilaksanakan pada tanggal 22 hingga 25 Desember 1928 dihadiri hampir 30 organisasi wanita dari seluruh Jawa dan Sumatera, dengan susunan kepanitiaan yang terdiri dari ketua R.A. Sukonto (Wanito Utomo), Wakil Ketua Siti Munjiah (Aisyiyah), sekretaris Siti Sukaptinah (JIBDA) dan bendahara R.A Hardjodiningrat (Wanita Katolik). Kongres kemudian menghasilkan tiga keputusan penting yakni; mendirikan badan pemufakatan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), mendirikan studiefonds untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu, dan mencegah pekawinan di bawah umum.

Berbagai kritik muncul dalam kongres ini terutama berkaitan dengan tingginya angka perceraian yang disebabkan kawin paksa, mode pakaian yang tidak menutup aurat, hingga perlunya penyaringan terhadap pengetahuan barat agar budaya bangsa tetap terjaga. Kongres Pemufakatan Perikatan Perempuan Indonesia (PPPI) yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28-31 Desember 1929 kemudian menjadi kelanjutan dari Kongres Perempuan Indoenesia I. Dalam kongres ini dibicarakan tentang kewajiban wanita dalam kehidupan sosial, ekonomi, perkawinan, keluarga, poligami, kawin paksa, dan perkawinan anak-anak. Hasil lain dari kongres ini adalah nama baru untuk PPPI yakni PPII, Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia. Tujuannya sama, memperbaiki nasib dan derajat perempuan Indonesia. Begitu seterusnya, kongres berlangsung hingga pada Kongres Perempuan Indonesia ke-3 yang dilaksanakan di Bandung pada bulan Juli 1938.

Menariknya dalam kongres ke-3 ini dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah tentang pemilihan anggota badan perwakilan (passief Kiesrecht) yang masih belum memberi kesempatan perempuan untuk memilih (actief Kiesrecht). Kongres kemudian memutuskan untuk meminta agar perempuan diberi kesempatan untuk memilih dan dipilih secara luas. Hasilnya, di tahun yang sama, pada tingkatan dewan kota (gemeenteraad) telah terpilih anggota-anggota yang berasal dari kalangan perempuan. Masalah hak memilih dan dipilih tersebut masih menjadi tututan utama kaum wanita hingga Kongres Perempuan Indonesia IV yang dilaksanakan di Semarang pada bulan Juli 1941.

Dengan demikian, tidak bisa disangkal, ada banyak hasil yang dicapai oleh Kongres Perempuan Indonesia. Utamanya kesadaran bersama untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah situasi politik Hindia Belanda yang hingar bingar dengan kebangkitan kaum terpelajar, intelektual, mahasiswa dan pemuda.

Kaum perempuan pada masa itu seolah tidak mau ketinggalan untuk terlibat dalam melawan kolonialisme dan adat istiadat yang bertentangan dengn sisi kemanusiaan. Dari sini juga landasan emansipasi yang telah dibangun pada abad sebelumnya menjadi faktor yang memperkuat perjuangan perempuan Indonesia berikutnya menuju kemerdekaan sejati kaum perempuan.

Kongres Ulama Perempuan

Dengan pola yang agak sama, pada tanggal 25-27 April 2017, akan diadakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia I di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Cirebon. Keduanya masih berada pada kerangka besar perempuan Indonesia.

Menjadi berbeda karena Kongres Ulama Perempuan Indonesia merupakan kongres pertama ulama perempuan Indonesia yang bertujuan menegaskan kembali pentingnya posisi ulama perempuan. Sekaligus menjadi ajang silaturahim dan berbagi pengalaman tentang kerja-kerja pemberdayaan perempuan.

Tidak berhenti sampai di sini, Kongres Ulama Perempuan Indonesia I juga berupaya membangun pengetahuan bersama tentang keulamaan perempuan. Sekaligus merumuskan fatwa dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu kontemporer dalam perspektif Islam rahmatan lil alamiin.

Perbedaan lain bisa dilihat dari jumlah peserta kongres penuh waktu yang mencapai angka lebih dari 500 dan sekitar 200 peserta paruh waktu mewakili ulama perempuan dari seluruh Indonesia, dari berbagai latar belakang organisasi. Beberapa peserta juga merupakan para kyai yang memang selama ini dikenal sebagai aktivis pembela hak-hak perempuan; KH Husein Muhammad dan KH Marzuki Wahid di antaranya. Begitupun para pengamat yang berasal dari berbagai negara; Philipina, Australia, Thailand, Afganistan, Malaysia, Iran, Singapura, Kanada, Nigeria, Kenya, dan India. Penuh antusias dan euforia mereka semua melibatkan diri dengan kongres ini.

Saya kira, ada serangkaian alasan yang masuk akal untuk menjadi bagian dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia ini. Ada banyak agenda yang ditawarkan penyelenggara sebagai bahan ikhtiar dalam menjawab berbagai persoalan yang mendesak untuk diselesaikan.

Bukan hanya persoalan klasik perempuan yang berhubungan dengan persamaan pendidikan dan rumah tangga. Tetapi juga membahas eksistensi ulama perempuan yang sering kali terpinggirkan dalam historiografi Indonesia hingga persoalan buruh migran, radikalisasi agama, dan berbagai konflik kemanusiaan dalam tataran global.

Dari sini menjadi jelas bahwa nasib perempuan (khususnya muslimah) Indonesia tidak akan tergantung dari perjuangan satu orang saja atau satu organisasi saja. Melainkan ditentukan oleh seluruh gerakan perempuan untuk menggalang kerjasama yang efektif, termasuk dengan kaum laki-laki dalam menghadapi tantangan ke depan.

Mengurai Keresahan Bersama

Kongres Perempuan Indonesia dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia pada akhirnya menjadi sumber informasi akan realitas sejarah perempuan pada umumnya, dan muslimah Indonesia pada khusunya. Keduanya berangkat dari persoalan yang mewakili zamannya.

Keduanya berangkat dari keresahan yang sama; persoalan perempuan dan politik, perempuan dan ekonomi, perempuan dan hukum, perempuan dan adat kebudayaan, perempuan dan keadilan, serta berbagai “persolan perempuan” lainnya. Karenanya, kuat dugaan saya, Kongres Ulama Perempuan Indonesia I ini akan sangat bermanfaat bagi para pemerhati persoalan-persoalan perempuan, pembuat kebijakan, dan terutama kaum perempuan itu sendiri. Pun bisa menjadi sumber kekuatan dan semangat baru bagi perjuangan perempuan muslim ke depan.

Bolehlah kita semua berharap, Kongres Ulama Perempuan Indonesia I ini tidak berhenti pada tataran beradu konsep semata, bukan juga sekadar mencari solusi bagi begitu banyak persoalan perempuan, tetapi mampu mencapai hingga dasar substansi dan level praktik dari konsep-konsep tersebut seraya memikirkan langkah berikutnya.

Saat ini penulis sedang menempuh studi Program Doktor (S3), konsentrasi Ilmu Sejarah-Universitas Padjajaran).


Penulis: Eva Nur Arovah

(Anggota Ikatan Khafidzoh Alquran (IHQ) Kabupaten Cirebon, peserta KUPI).

(Diterbitkan Radar Cirebon, Rabu 26 April 2017, http://www.radarcirebon.com/mengurai-keresahan-sesama.html)