Mengenal Kongres Ulama Perempuan Indonesia atau KUPI
Pramesti Utami | Kamis, 22 September 2022 | 17:05 WIB
halopedeka.com - Perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di sebuah pesantren Cirebon pada 2017 berhasil memunculkan keberadaan para ulama perempuan. Kongres KUPI I ini meneguhkan otoritas mereka dalam kehidupan sosial keagamaan dan yang lain, serta mengapresiasi kiprah mereka dalam kerja-kerja keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.
Keberhasilan kongres ulama perempuan atau KUPI itu tidak hanya ditandai dengan liputan media yang begitu masif saat itu, dan dukungan berbagai tokoh agama tingkat nasional dan daerah, melainkan juga fatwa yang dikeluarkannya telah digunakan berbagai lembaga negara dan masyarakat sipil.
Fatwa KUPI tahun 2017 tentang perlindungan anak dari pernikahan telah mempengaruhi berbagai pihak, baik lembaga negara maupun masyarakat sipil, sehingga batas usia pernikahan dinaikkan menjadi 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Fatwa KUPI tentang pengharaman kekerasan seksual juga menjadi turning point kesadaran berbagai elemen bangsa, terutama masyarakat sipil. Kerjasama berbagai pihak, termasuk keaktifan para ulama perempuan dalam membuka ruang-ruang dialog dengan anggota parlemen telah membuahkan hasil, berupa pengesahan Undang-undang no. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Lebih dari soal peraturan dan negara, dalam konteks sosial-budaya, kata “ulama perempuan“ atau “perempuan ulama“ sudah sering diberitakan media, sehingga keberadaan dan otoritas para ulama perempuan sudah diterima publik Indonesia, jika dibanding sebelum perhelatan KUPI.
Kisah baik KUPI dalam mengangkat otoritas ulama perempuan ini telah menembus kesadaran dunia, sehingga banyak negara-negara Muslim menaruh harapan besar agar semangat KUPI juga bisa menginspirasi kerja-kerja mereka untuk perbaikan hidup perempuan di berbagai belahan dunia.
Salah satu keunikan paradigmatik KUPI adalah pentingnya mendasarkan fatwa-fatwa keagamaannya pada pengalaman perempuan sebagai subjek fatwa yang harus masuk dalam semua konsepsi dasar dalam hukum Islam, seperti kerahmatan, keadilan, dan kemaslahatan.
"Sehingga, sejauhmana perempuan memperoleh kebaikan (jalb al-mashalih) dan terhindar dari keburukan (dar’ al-mafasid) menjadi pertimbangan dasar, sebagaimana laki-laki, dalam perumusan fatwa hukum Islam," ujar Badriyah Fayumi dalam pernyataan tertulis KUPI.
Keunikan lain adalah perujukan fatwa pada Konsitusi Republik Indonesia dan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan ini merupakan komitmen penuh KUPI tentang cinta tanah air sebagai pilar keimanan (hubb al-watahon minal iman) dan nilai-nilai kebangsaan yang integral dengan prinsip-prinsip keislaman (maqashid syari‘ah).
Keimanan ini menuntut seluruh ulama perempuan dalam jaringan KUPI untuk terus melakukan kerja-kerja perlindungan tanah air dan ketahanan bangsa dari paham intoleran yang menganjurkan kekerasan dan praktik-praktik destruktif bagi keutuhan bangsa, terutama yang berdampak bagi rakyat miskin, perempuan, dan anak-anak.
Perjuangkan keadilan gender
Dalam konteks gerakan keadilan gender di Indonesia, KUPI menjadi momentum historik yang dapat menyatukan inisiatif-inisiatif komunitas dan lembaga-lembaga yang bergerak pada pemberdayaan perempuan. Baik di antara kalangan akademisi, praktisi pendidikan Islam terutama pesantren, aktivis organisasi keislaman, praktisi pemberdayaan di akar rumput, bahkan para aktivis gender.
Kerja-kerja pendidikan publik tentang isu-isu keadilan gender, setelah KUPI, tidak saja mengkonsolidasikan berbagai lembaga dan komunitas, tetapi menambah keterlibatan berbagai komunitas keagamaan, terutama pesantren. Telah lahir komunitas-komunitas ulama perempuan di berbagai daerah, terutama Jawa. Seperti komunitas Ngaji Keadilan Gender Islam, komunitas Mubadalah, dan berbagi majlis ta’lim jaringan KUPI.
Isu-isu keadilan gender Islam, melalui tokoh-tokoh KUPI, juga diserap media-media populer yang mainstream di Indonesia, seperti Islami.co, Nuonline, Republika, Bincangsyari’ah, Iqra.id, Alif.id, Mubadalah.id, Swararahima.com, Rahma.id, Qobiltu.com, Neswa.id, harakatuna, dan banyak lagi yang lain. Kelahiran KUPI, juga sekaligus, seperti membuka jalan bagi membanjirnya berbagai konten kreatif isu-isu keadilan gender Islam, yang sebelumnya sangat minim, bahkan bisa dibilang tidak tersedia.
Saat ini, KUPI, yang awalnya merupakan kegiatan sebuah kongres ulama perempuan, telah berubah menjadi gerakan untuk menghimpun semua individu dan lembaga yang meyakini nilai-nilai keislaman, kebangsan, kemanusiaan, dan kesemestaan, dengan paradigma dasar keadilan relasi laki-laki dan perempuan.