Makna Ulama Perempuan
Ulama Perempuan adalah kata majemuk. Terdiri dari dua kata: “ulama” dan “perempuan”. Kata “ulama” sudah disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa teks Hadits. Secara bahasa, kata “ulama” merupakan bentuk jamak dari kata “’aliim” yang berarti orang yang tahu atau sangat berilmu, tanpa batasan disiplin ilmu tertentu. Ia juga tidak terbatas pada gender tertentu. Secara sosial, terminologi ”ulama” sering dilekatkan kepada tokoh atau pemuka agama yang bisa memahami sumber-sumber Islam secara baik, berperilaku mulia, dan membimbing umat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Al-Qur’an menyebut kata “’aliim” (bentuk tunggal) sebanyak 13 kali (9:105, 13:9, 32:6, 33:92, 34:3, 35:38, 39:46, 59:22, 62:8, 18:64, dan 72:26). Semuanya mengenai sifat Allah SWT, Yang Maha Tahu dalam segala hal, baik yang terlihat maupun gaib. Sementara kata “ulama” sendiri hanya disebut sekali dalam Surat Fathir (35:28). Ayat ini berbicara mengenai karakter dasar “ulama” yang harusnya berintegritas tinggi karena hanya takut pada Allah SWT. Kata lain yang masih dari akar yang sama adalah “ulul ’ilmi” (orang yang berilmu), terdapat dalam surat Ali Imran (3:18), mengenai tugas utama ulama untuk menegakkan keadilan. Al-Qur’an juga menyebut beberapa kata lain yang memiliki makna yang sama dengan ulul ‘ilmi, yakni “ulul abshaar”
(Q.S. al-Hasyr, 59:2), “ulil al-albaab” (Q.S. Ali Imran, 3:191), “ahludz dzikr” (Q.S. al-Nahl, 16:43), dan lain-lain.
Dalam Hadits, kata “ulama” secara tekstual disebut sebagai pewaris para Nabi, yang hanya mewarisi pengetahuan, bukan harta sama sekali (Sunan Abu Dawud, no. Hadits: 3643, terbitan Maknaz al-Islami, Cairo, tahun 2000). Tugas utama ulama adalah membimbing umat ke jalan yang benar. “Ulama”
dikontraskan dengan “juhhal”, atau mereka yang bodoh, sesat dan menyesatkan (Sahih Bukhari, no. Hadits: 100, terbitan Maknaz al-Islami, Cairo, tahun 2000). Baik al-Qur’an maupun Hadits, semuanya lebih menekankan pada perilaku keulamaan daripada jenis ilmu yang harus dikuasai mereka.
Berangkat dari sumber-sumber teks di atas, kata “ulama” adalah orang yang berilmu mendalam, yang dengannya memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaaq kariimah), mengamalkan, menyampaikan, menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘aalamiin).
Definisi di atas terinspirasi dari pernyataan Habib Abdullah al-Haddad (w. 1132 H/1720 M) dalam An-Nashaa’ih ad-Diiniyah, bahwa ilmu seorang ulama itu harus mengantarkannya pada semua perilaku mulia (akhlaaq mahmuudah) dan perbuatan baik yang bermanfaat (a’maal shaalihah). Yang dimaksud ilmu mendalam di sini merujuk pada pembahasan ijtihad oleh asy-Syatibi (w. 798 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat, adalah ilmu tentang teks-teks agama (an-nushuush asy-syar’iyyah), prinsip dan cita-cita dasar hukum agama (maqaashid asy-syar’iyyah), dan realitas sosial yang dihadapi (waqaa’i al-hayaat).
Kata “perempuan”, menurut hemat KUPI, bisa memiliki dua pemaknaan: biologis dan ideologis. Pemaknaan dari sisi biologis, menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang memiliki puki (kemaluan perempuan), dapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sedangkan secara ideologis, pemaknaan ”perempuan” bisa berarti perspektif, kesadaran, dan gerakan keberpihakan pada perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial.
Dua pemaknaan ini digunakan untuk membedakan kata “perempuan ulama” dari “ulama perempuan”. ”Perempuan ulama” adalah semua orang yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan, baik yang memiliki perspektif keadilan gender maupun yang belum. Sementara ”ulama perempuan” adalah semua ulama, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki dan mengamalkan perspektif keadilan gender. Ulama perempuan bekerja, secara intelektual maupun praktikal, mengintegrasikan perspektif keadilan gender dengan sumber-sumber keislaman dalam merespons realitas kehidupan dalam rangka menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pemaknaan “ulama perempuan” ini menyiratkan sebuah proses yang berkesinambungan dan terus menerus untuk menegaskan dan memastikan bahwa kiprah ulama, dengan ilmu yang dimilikinya, adalah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemaknaan ini meniscayakan pelibatan perempuan sebagai subjek maupun penerima manfaat dalam semua kiprah keulamaan. Dalam proses panjang ini, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan-perempuan ulama sejak masa awal Islam sampai saat sekarang ini adalah menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan.
Dalam perspektif KUPI, “ulama perempuan” merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaaq kariimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan kepada semesta (rahmatan lil ‘aalamiin). Takut atau takwa kepada Allah SWT tidak hanya untuk urusan kemanusiaan secara umum tetapi juga dalam urusan perempuan secara khusus. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga. Begitu pun berakhlak mulia, menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga, tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.
(Ditulis dari hasil mudzakarah di Pesantren Mahasina Bekasi, 31 Januari 2017, dihadiri KH Husein Muhammad, Badriyah Fayyumi, Faqihuddin Abdul Kodir, Nur Rofiah, dan Marzuki Wahid).
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir
(Wakil Ketua Yayasan Fahmina, Sekretaris KUPI)