Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang Membanggakan: Sekadar Catatan Pengamat
Indonesia kembali mengukir sejarah ketika untuk pertama kalinya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) diselenggarakan. Ini adalah yang pertama di dunia, menunjukkan betapa majunya pemikiran Islam dan gerakan perempuan di Indonesia. Acara ini diselenggarakan ALIMAT, FAHMINA dan RAHIMA (ALFARA), bekerjasama dengan Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Babakan Ciwaringin, Cirebon Jawa Barat. Tak kalah istimewanya adalah acara ini juga didukung oleh Kementerian Agama, bahkan ditutup secara resmi oleh Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin.
“Kalau di Malaysia itu tidak mungkin terjadi, pemerintah tidak akan mengijinkan,” ujar Zaenah Anwar, pembicara dari Malaysia. “Itulah kenapa Islam Indonesia adalah contoh yang luar biasa untuk dunia. But Indonesia is always too modest, malah saya yang selalu mempromosikan Indonesia kepada dunia,” lanjut Zaenah. Saya jadi ingat, Majalah TIME juga pernah mengomentari Indonesia yang too inward looking, sehingga dunia kerap tak tahu betapa besarnya Indonesia.
Zaenah pendiri Sisters in Islam (SIS) adalah satu dari puluhan pembicara keren pada acara KUPI di Cirebon, 25-27 April 2017. Pembicara lainnya ada yang berasal dari Cirebon, Yogyakarta, Jakarta, sementara dari luar negeri berasal dari Kenya, Afganistan, Nigeria, USA, dan masih banyak lagi. Peserta yang hadir pun sama kerennya, yaitu ulama, aktivis, intelektual, akademisi yang berjumlah lebih dari 575 orang. Semua disatukan oleh tujuan dan kepedulian yang sama yaitu dunia yang lebih adil untuk perempuan. Saya datang sebagai pengamat bersama sekitar 182 orang lainnya.
Lebih dari 80% peserta yang hadir memang perempuan, tapi sebetulnya kongres ini bukanlah khusus untuk peserta perempuan. Kata ‘Ulama Perempuan’ berbeda dari ‘Perempuan Ulama’. Perempuan Ulama menunjukkan perempuan yang menjadi ulama, sama dengan perempuan pengusaha, atau perempuan penulis. Sementara Ulama Perempuan menunjukkan fokus, kajian, dan yang terpenting perspektif dari ulama tersebut yang selalu memperhatikan keadilan untuk perempuan dan kelompok minoritas. Dengan penjelasan ini mudah dimengerti bahwa Ulama Perempuan tidak harus berjenis kelamin perempuan. Sementara Perempuan Ulama bisa saja tidak memiliki perspektif yang adil terhadap perempuan. Kira-kira demikian.
Ada tiga bahasan utama yang ditetapkan di kongres, yaitu tentang kekerasan seksual, pernikahan anak, dan perusakan lingkungan. “Kami sengaja memilih topik yang memang sedang aktual, misalnya karena sedang diproses RUU-nya atau ada kasus yang belum lama terjadi seperti semen Kendeng,” ujar Kyai Husein Muhammad pendiri Yayasan Fahmina, salah satu penyelenggara perhelatan ini. Namun di forum berbagai isu dan perdebatan menarik lainnya pun muncul seperti isu poligami, radikalisme, jilbab, dan masih banyak lagi.
Banyak memang isu menarik yang dibicarakan di KUPI dan berbagai beritanya juga sudah tersebar di media. Semoga catatan saya bisa melengkapi berita yang ada. Dalam catatan sekadarnya ini, saya ingin menyoroti tiga hal yang semoga bisa menjadi masukan bagi kalangan Islam moderat atau semua orang yang peduli akan Indonesia yang beragam dan lebih adil.
- Pentingnya masuk ke komunitas-komunitas Masjid.
- Perbanyak konten Islam di media online, yang mendasar, mudah diakses dan mempromosikan Islam yang moderat.
- Bagi media, lebih sering memilih narasumber dari kalangan ulama perempuan atau pemikir Islam yang progresif.
Ok, mulai dari poin pertama. Perwakilan dari Kemenag ketika berpidato di Seminar Internasional IAIN Syekh Nurjati menyitir suatu hasil penelitian yang dilakukan Kemenag yaitu pengajian, majelis taklim dan ceramah agama di Masjid-Masjid itu adalah sumber pengetahuan yang penting dan dipercaya umat. Ini sangat masuk akal karena sifat pengajian yang guyub. Kalau melihat yang terjadi menjelang pilkada DKI lalu, terlihat bahwa anjuran memilih pemimpin Muslim di khutbah Jumat dan pengajian-pengajian ternyata sangat efektif. Saya mengamati Ibu saya yang sudah 30 tahun ikut pengajian di masjid dekat rumah kami. Bagaimana setiap minggu Ibu saya bertugas menghubungi guru mengaji mereka, yang rata-rata adalah figur yang memang sudah tinggal bertahun bahkan puluhan tahun dan dihormati di lingkungan kami. Mereka ini unggul di konsistensi. Kelompok pengajian Ibu-Ibu ini terdiri dari 20-30 orang, kadang bisa lebih banyak. Selalu ada ibu-ibu muda yang baru bergabung. Dan mereka tentu memiliki keluarga dan teman lain dimana mereka memiliki lingkaran pengaruh.
Ada faktor kedekatan yang terbangun di antara kelompok pengajian tersebut dengan guru yang mengajar. Kedekatan menimbulkan kepercayaan lebih. Seringkali orang bisa bergabung dengan suatu kelompok pemikiran tak ada hubungannya dengan ideologi, tapi semata adalah hasrat dasar manusia untuk memiliki teman, diperhatikan dan memperhatikan, diterima dan menerima sebagai manusia yang berharga.
Para aktivis dan pemikir Islam moderat yang ingin menyebarkan paham Islam yang inklusif sepertinya perlu benar-benar berstrategi untuk menjangkau kelompok-kelompok pengajian kampung begini. Inilah cara-cara yang telah ditempuh dengan tekun oleh teman-teman kita dari paham konservatif dan fundamentalis. Jujur saja, Islam moderat masih kalah skor jauh jika dibandingkan rekan-rekan itu. Seorang peserta kongres, perempuan ulama dan aktivis sempat angkat bicara soal itu. “Kenapa sekarang paham Wahabi itu menyebar begitu luas? Kita ini mesti introspeksi diri, apa memang ceramah-ceramah mereka itu lebih menarik, sementara kita ini begitu-begitu saja dan membosankan? “Pertanyaan yang penting untuk kita pikirkan bersama”.
Terkait kebutuhan untuk berteman dan menjadi bagian dari sesuatu ini, ada penelitian lain yang menjelaskan yaitu yang dilakukan Nava Nuraniyah, peneliti dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). Beberapa perempuan buruh migran yang terlibat gerakan radikal rata-rata minim pengetahuan agama dan terseret melalui pergaulan. “Mereka bekerja sendiri di negeri orang, jauh dari keluarga, akses internet kencang 24 jam. Akhirnya mulai mendapat teman dari media sosial, seperti facebook, telegram dan sebagainya,” tutur Nava. Jika menonton Jihad Selfie film dokumenter dari Noor Huda Ismail, kita juga bisa melihat banyak anak muda direkrut melalui jaringan media sosial.
Fenomena mendapatkan teman dan kelompok baru melalui internet ini juga akan tersambung dengan poin kedua, yaitu konten Islam di media online. Dari penelitian Nava, subjek yang diwawancarainya kerap mengakses pengetahuan tentang Islam melalui internet. “Kalau kita ketik hal semacam fiqih wanita di google, laman-laman teratas yang muncul adalah pengetahuan Islam yang berasal dari kalangan konservatif,” kata Nava. Menurut Kyai Husein Muhammad, konservatisme adalah tahap awal, berikutnya adalah Fundamentalisme, lalu Radikalisme dan kemudian Terorisme.
Saat menulis catatan ini, saya mencoba meng-google fiqih wanita dan sempat melihat situs yang berada di urutan teratas yakni fiqihwanita.com yang ber-tag line ‘Karena Islam begitu Memahami Wanita’. Dari laman terdepannya, saya membaca topik-topik artikel yang muncul adalah hal-hal yang dekat dengan keseharian perempuan, seperti bolehkah memakai sepatu tinggi? (tidak) Bolehkah menipiskan alis? (tidak). Bolehkah suami minum air susu istrinya? (boleh). Melihat topik-topik ini saya jadi berpikir, mungkin banyak dari muslim/muslimah yang memang betul-betul merasa butuh dituntun sampai dengan hal yang sekecil-kecilnya, untuk memvalidasi setiap langkahnya. Wallahu Alam.
Yang jelas, bagi teman-teman Islam moderat, menyebarkan pengetahuan super dasar Islam di internet ini perlu dipikirkan. Jenis-jenis topiknya bisa disamakan, tapi isi dan dalil Islamnya bisa dipilih yang lebih inklusif, ramah dan—ini penting—mengajak orang untuk mulai berani berpikir sendiri.
Saya sih masih percaya bahwa Islam itu membuka pintu yang luas bagi Ijtihad, sebuah usaha yang sungguh-sungguh yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan perkara yang tidak dibahas dalam al-Qur’an dan Hadits dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Akal sehat, Bung Nona! Muslim itu boleh menggunakan akal sehat, sebab seperti hadits Nabi Muhammad SAW, “Untuk urusan duniamu, kamu lebih tahu.” Tapi kan sekarang ini sebagian muslim begitu mencurigai akal sehatnya sendiri dan jadinya berpegang pada orang-orang bergelar Habib atau Ustad yang sebetulnya belum tentu lebih jernih daripada mereka sendiri.
Ok, lalu poin ketiga. Sebagai orang yang pernah jadi jurnalis, - sekarang sesekali jurnalis lepas, dan selamanya jurnalis at heart -, saya melihat media mesti lebih banyak lagi memberi ruang untuk para narasumber dari kalangan ulama perempuan ini. Ini adalah kesempatan untuk menciptakan percakapan-percakapan publik yang lebih adil dan manusiawi. Ketika kita meliput topik-topik seperti kekerasan seksual, pernikahan anak, poligami, radikalisme, bahkan isu yang nampak jauh seperti politik dan keselamatan berlalu lintas. Sesungguhnya kita selalu punya ruang untuk melibatkan ulama perempuan. Selama kita tinggal di Indonesia, apapun area yang Anda pedulikan dan ingin perbaiki, memasukkan pemahaman agama yang lebih adil melalui narasumber terseleksi merupakan pilihan yang patut dipertimbangkan.
Karena media-media penting di Indonesia banyak yang berbasis di Jakarta, nama narasumber yang kerap muncul adalah mereka yang memang berbasis di Jakarta. Itupun kadang dia lagi, dia lagi. Padahal sebetulnya masih banyak nama lain yang bisa kita wawancara dan menyumbangkan perspektif penting. Saya akan menceritakan dua di antaranya, yang sudah masuk radar media tapi menurut saya masih bisa lebih sering lagi dijadikan narasumber.
Yang pertama, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Ketua Komisioner HAM Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang misinya menegakkan HAM di negara-negara Islam. Ibu ini sungguh keren sekali! Di acara KUPI lalu, ia sempat menyatakan hal-hal penting, misalnya bahwa poligami bukanlah tradisi Islam, karena poligami sudah ada lama sekali sebelum Islam hadir. Justru Islam itu semangatnya adalah menghentikan poligami. (Wahai Arifin Ilham, dengarkanlah!). Bu Ruhaini juga mengatakan, “Perempuan dewasa itu harusnya boleh menikahkan dirinya sendiri, tidak perlu ada wali. Ulama kita harusnya sudah bisa mengeluarkan pernyataan-pernyataan seperti ini.” Ujarannya itu langsung disambut tepuk tangan gemuruh hadirin. (Bu Ruhaini, I love you full! Saya doakan Ibu jadi Ketua MUI satu saat nanti).
Yang kedua adalah Nur Rofiah, Dosen Pascasarjana PTIQ, Pengurus Alimat dan Rahima, Jakarta. Ibu ini juga keren, bergaya ustazah dengan pakaian jilbab yang panjang, suara yang mantap dan cocok untuk menangani publik dalam jumlah besar. Ibu Nur Rofiah ini selintas tak ada bedanya dengan penceramah seperti Mamah Dedeh tapi perspektifnya sangat berkeadilan gender. Wajib lebih sering diundang ke berbagai acara dan lebih sering diwawancara media.
Jadi demikian poin-poin dari saya, hasil mengamati KUPI. Saya mesti bilang sekali lagi KUPI itu sungguh membanggakan. Bukan hanya karena penyelenggara dan panitia yang diketuai Mbak Badariyah Fayumi memang oke banget, tapi lebih dari itu adalah para peserta dari seluruh Indonesia yang luar biasa yang terlihat antara lain dari pertanyaan-pertanyaan kri tis mereka di forum. Juga ketika seorang pembicara masih menyatakan kalimat-kalimat yang cenderung konservatif (misalnya: memang laki-laki sudah dari sananya begitu), respon khalayak cepat menunjukkan protes. Begitu tanggap dan advance, pikir saya. Sungguh membahagiakan melihat para peserta dari seluruh Indonesia ini yang saya bayangkan merupakan motor gerakan di wilayahnya masing-masing.
Di tengah kecenderungan meningkatnya radikalisme Islam akhir-akhir ini, KUPI menjadi oase yang begitu menyegarkan. Dan sekali lagi, membanggakan. Kita masih punya harapan.
Penulis: Feby Indriani
(Tinggal di Jakarta)