Kongres Ulama Perempuan Indonesia Ungkap Soal Peminggiran Wanita

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Kongres Ulama Perempuan Indonesia. kupi-cirebon.net

Peradaban Islam di dunia sudah memperlihatkan dan menggambarkan posisi, peran dan aktivitas kaum perempuan Islam. Adanya kebijakan negara justru meminggirkan perempuan dari ruang publik.

Ketua Yayasan Fahmina Cirebon, KH Husein Muhammad menjelaskan jika pusat-pusat peradaban Islam, paling tidak di 3 tempat yaitu Damaskus, Suriah; Baghdad, Irak; dan Andalusia, Spanyol, telah memperlihatkan dan menggambarkan secara jelas fakta perempuan Islam di atas panggung sejarah Islam awal.

Saat itu banyak perempuan yang menjadi ulama, cendekia dan intelektual profesional dengan beragam keahlian dan dengan kapasitas intelektual yang relatif, bahkan mengungguli ulama laki-laki,” kata Husein dalam seminar dengan tema Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Ponpes Kebon Jambu Al Islamy, Babakan Ciwaringin, Cirebon, Rabu, 26 April 2017.

Banyaknya ulama perempuan ini, menurut Husein, karena memang Islam hadir untuk kemanusiaan. “Islam memang hadir untuk sebuah cita-cita kemanusiaan,” kata Husein. Yaitu membebaskan penindasan, diskriminasi, dan kebodohan, menuju perwujudan kehidupan yang setara, berkeadilan dan berilmu pengetahuan untuk semua manusia. “Untuk semua manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan,” kata Husein.

Nama-nama perempuan ulama maupun intelektual tersebut, menurut Husein, terekam dalam banyak buku. Di antaranya buku Al Ishabah Fi Tamyiz al Shahabah yang dikarang oleh Ibnu Hajar. Dalam buku tersebut menyebutkan adanya 500 perempuan ahli hadis. Para ulama perempuan tersebut telah mengambil peran-perannya sebagai tokoh spiritual dan pribadi-pribadi dengan moralitas terpuji. Aktivitas mereka tidak hanya dari dan dalam ruang domestik (rumah), tetapi juga dalam ruang publik politik dalam arti yang lebih luas.

Sayangnya, lanjut Husein, sejarah kaum muslimin sesudah itu justru memasukkan kembali kaum perempuan ke dalam kerangkeng rumahnya. Aktivitas intelektual dibatasi, kerja sosial, politik dan kebudayaan mereka juga dipasung. “Mereka dilupakan dan dipinggirkan,” kata Husein.

Hal itu konon dilakukan atas nama kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan. Menurut Husein, ada dua frase sakti yang membelenggu aktualiasi diri kaum perempuan yaitu jargon “menjaga melindungi” dan “menjaga kesucian moral”. Dunia, lanjut Husein, telah kehilangan cara bagaimana melindungi tanpa membatasi.

Kondisi ini bahkan diperparah dengan adanya kebijakan negara untuk pembekuan aktivitas intelektual dan kebebasan berpikir terhadap terhadap kaum perempuan. Akibatnya, terjadi peminggiran kaum perempuan dari ruang publik dan dalam dunia ilmu pengetahuan secara khusus. Namun sejak awal abad 20 hingga kini, menurut Husein, sudah dilakukan berbagai upaya baru yang menggugat keterpinggiran perempuan. Dimulai dari Rifa’ah Rafi ‘al-Thahthawi, orang pertama yang mengkritik pandangan konservatif yang merendahkan dan memarjinalkan kaum perempuan.

“Ia mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender, serta menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum perempuan,” kata Husein. Dari mereka kemudian lahirnya para ulama dan aktivitas perempuan di banyak negara muslim yang tampil kembali ke panggung sejarah.

Ketua Pengurus Pusat Aisyiah, Siti Aisyah, mengungkapkan jika di era abad 21 ini tantangan dakwah ulama perempuan justru semakin kompleks. “Seiring banyaknya persoalan yang dihadapi perempuan, tantangan dakwah ulama perempuan justru semakin kompleks,” katanya.



Tempo.co, 26 April 2017

Sumber: https://m.tempo.co/read/news/2017/04/26/173869805/kongres-ulama-perempuan-indonesia-ungkap-soal-peminggiran-wanita