Kongres Ulama Perempuan Indonesia; Catatan Reflektif

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Sebagaimana diungkapkan oleh Ibu Nyai Badriyah Fayumi, Ketua Tim Pengarah KUPI, ulama perempuan itu ada, eksis, dan sudah terbukti berkontribusi nyata. Tujuan diselenggarakan KUPI adalah agar ulama perempuan dapat mengkonsolidasikan dirinya dan bersinergi dengan berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Hasil dari kongres adalah fatwa atau rekomendasi dan ikrar ulama perempuan.

Berawal dari keterlibatan saya dalam pra-workshop KUPI di DIY, saya merasa penyelenggaraan pra workshop KUPI adalah langkah yang sangat tepat dan strategis. Pada pra workshop KUPI ini, panitia memulai kongres dengan cara menemukan persamaan persepsi dan kesepakatan tentang definisi ulama. Kriteria ulama, selanjutnya menetapkan definisi ulama perempuan, kriteria ulama perempuan, dan terakhir memilih dan memilah calon peserta KUPI yang memenuhi kriteria menjadi peserta penyelenggaraan KUPI. Pra Workshop KUPI ini adalah langkah awal yang sangat strategis mengingat tujuan besar KUPI dan hasilnya harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan sesuai dengan metodologi kajian Islam. Oleh karenanya, agar KUPI mampu mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan metodologi ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan, maka peserta KUPI harus benar-benar para ahli, baik ahli di bidang kajian Islam, maupun di bidang yang sesuai dengan tema kajian yang akan difatwakan.

Dalam rangka mensukseskan penyelenggaraan KUPI sesuai dengan cita-cita besarnya, para peserta pra kongres merancang tindak lanjut untuk daerah masing-masing. Bermula dari sosialiasi, mengidentifikasi para calon peserta, dan merekomendasikan peserta yang dianggap cukup memenuhi kriteri menjadi peserta Kongres. Ada beberapa tantangan yang mereka hadapi pada saat sosialisasi, identifikasi calon peserta, dan merekomendasikan para ulama perempuan untuk ikut terlibat aktif dalam KUPI. Pertama: dalam sosialiasi, bisa dikatakan hampir tidak ada kendala besar baik sosialisasi kepada perorangan maupun lembaga. Sosialisasi melalui lembaga maupun perorangan selalu mendapat sambutan hangat dan diterima dengan baik. Sedikit tantangan justeru datang pada saat salah satu lembaga siap mensosialisasikan penyelenggaraan KUPI di media, ternyata panitia melarangnya. Kedua: Harus diakui bahwa ulama perempuan secara kuantitas jumlahnya tidak sebanyak ulama laki-laki pada umumnya. Secara kualitas, ulama perempuan juga seringkali kurang percaya diri untuk rela disebut sebagai ulama perempuan. Ketiga: para peserta pra kongres KUPI harus berhati-hati dalam merekomendasikan calon peserta KUPI. Hal ini untuk menghindari salah kirim peserta, jangan sampai mengirim peserta yang tidak mampu berkontribusi aktif dalam kongres.

Dalam tahapan berikutnya, ternyata panitia KUPI membuka pendaftaran peserta KUPI secara terbuka melalui online. Sistem ini sangat memudahkan kepada siapa saja yang berminat untuk bisa bergabung dalam KUPI. Ya, melalui pendaftaran online yang sangat terbuka, minat adalah kunci utama bagi calon peserta KUPI. Bagaimana dengan kualitas dan pemenuhan kriteria pendaftar, apakah mereka benar-benar ulama perempuan yang memenuhi syarat dan kriteria sesuai yang telah ditetapkan dalam pra workshop? Catatan dalam CV seseorang terkadang belum benar-benar menggambarkan kualitas seseorang. Harus ada bukti lain, selain catatan kertas tentang kompetensi sesorang. Karenanya, rekomendasi dari orang yang mengenal kualitas calon peserta tetap dibutuhkan. Adalah langkah tepat, walaupun panitia KUPI sudah membuka pendaftaran peserta secara terbuka melalui online tetapi panitia tetap memprioritaskan peserta yang mendapat rekomendasi.

Berdasar sistem pendaftaran peserta tersebut di atas, saya melihat ada beberapa golongan dan tipe peserta yang hadir di KUPI Cirebon tanggal 25-27 April 2017. Pertama: peserta sebagai perwakilan lembaga gerakan perempuan dan aktifis perempuan. Kedua: peserta dari kalangan Bu Nyai pengasuh pondok pesantren dan muballighah. Ketiga: peserta penggembira yang mendaftar sebagai peserta karena minat dan penasaran. Dari golongan pertama dan kedua, umumnya mereka memiliki perhatian dan konsentrasi mengikuti kegiatan demi kegiatan dalam KUPI. Sebagian dari kedua golongan ini memiliki cukup antusias dalam mengikuti kegiatan demi kegiatan. Ada di antara peserta yang sesungguhnya sudah benar-benar siap berkontribusi secara aktif dalam kegiatan kongres, bahtsul masa’il, dan menghasilkan rekomendasi/fatwa untuk umat. Mereka inilah yang kemudian saya sebut dengan tipe pertama. Adapun tipe keduanya adalah golongan pertama dan kedua yang datang bukan untuk berkontribusi secara aktif dalam kongres tetapi lebih untuk menambah ilmu dan pengetahuan. Namun harus diakui juga bahwa tidak sedikit dari golongan pertama dan kedua ini yang datang seperti golongan ketiga dan masuk sebagai tipe ketiga yaitu datang hanya untuk reuni bertemu para teman, atau menambah teman, atau daftar sebagai peserta karena menganggap KUPI sebagai ajang bergengsi dan menurut mereka mejadi peserta KUPI adalah sebuah prestige.

Melihat rangkaian acara yang diselenggrakan oleh KUPI, saya melihat panitia KUPI sudah paham benar bahwa golongan dan tipe peserta KUPI adalah sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Hal ini terlihat dari rangkaian acara yang diselenggarakan lebih banyak dalam bentuk seminar, testimoni, dan hiburan. Hanya sedikit waktu halaqoh pembahasan 9 tema secara mendalam. Halaqoh 9 tema inipun, lebih banyak berisi presentasi ahli, tanya jawab antara peserta dan presenter, serta masukan. Hampir tidak ada waktu untuk bahtsul masail, apa lagi menyusun rekomendasi/fatwa ulama perempuan dalam halaqoh ini. Adapun forum bahtsul masail dan penyusunan fatwa hanya dihadiri oleh tim kecil yang terdiri beberapa para ahli yang sudah diakui kredibilitas keilmuan dan kompetensi mereka. Jumlah anggota tim ahli ini sangat sedikit dibandingkan peserta KUPI yang hadir, mungkin kurang dari 5% peserta KUPI secara keseluruhan.

Kembali menurut saya secara pribadi, tim kecil bahtsul masail yang menghasilkan fatwa inilah yang sesungguhnya layak disebut Kongres Ulama Perempuan yang sesungguhnya. Bagaimana dengan peserta lain yang tidak terlibat dalam tim penghasil fatwa KUPI? Kembali menurut saya secara pribadi, lebih tepat mereka disebut Peserta Penggembira KUPI dibanding disebut sebagai peserta KUPI. Mereka lebih tepat disebut penderek (pengikut) Ulama Perempuan dibanding disebut Ulama Perempuan. Naifnya adalah saya tidak masuk dalam tim ahli dan saya tidak terlibat dalam bahtsul masail maupun penyusunan rekomendasi/fatwa. Jadi, saya adalah golongan penggembira KUPI dan penderek (pengikut) Ulama Perempuan. Mampukah saya menjadi Ulama yang sesungguhnya? Semoga ya Allah atas ridlo dan kehendakMu tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Allahumma Amin.

Selamat dan sukses bagi Ulama Perempuan dan calon-calon ulama perempuan. Semoga KUPI pertama tanggal 25-27 April 2017 di Cirebon ini, akan menghasilkan ulama-ulama perempuan masa depan.


Penulis: Luluk Farida

(PPAI Darun Najah, Ngijo, Karangploso Malang)