Kongres Nasional Kuatkan Peran Ulama Perempuan
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) resmi dibuka di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Selasa (25/4) malam. Kegiatan itu diharapkan mampu menegaskan kembali peran ulama perempuan dalam meneguhkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Machasin menyatakan, peran ulama perempuan dalam ruang publik yang sudah didominasi laki-laki tidak mesti berupa persaingan. “Tapi mengisi apa yang belum terisi, meluruskan yang menyimpang, dan memberikan kelembutan, cinta, keteguhan, ketahanan, kecermatan, dan keindahan pada ajaran dan praktik-praktik agama,” kata Machasin dalam seminar nasional yang menjadi rangkaian kegiatan KUPI di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Rabu (26/4).
Ia menyebutkan, setidaknya ada tiga kekuatan ulama perempuan yang jarang dimiliki oleh ulama laki-laki, yakni ilmu agama yang peka terhadap ketidakadilan dan penindasan, kelembutan serta kepemimpinan yang melindungi, dan mencintai umat yang dipimpinnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Yayasan Fahmina Cirebon, Husein Muhammad, menyebutkan, peradaban Islam di Damaskus, Baghdad, dan Andalusia pada masa lalu telah menunjukkan posisi, peran, dan aktivitas kaum perempuan Islam di atas panggung sejarah. Di ketiga tempat itu, banyak perempuan yang menjadi ulama, cendekia, intelektual, dan profesional dengan beragam keahlian dan dengan kapasitas intelektual yang relatif sama, bahkan sebagian mengungguli ulama laki-laki.
Menurut Husein, fakta-fakta historis itu telah menggugat anggapan banyak orang bahwa akal, intelektualitas, dan moralitas perempuan lebih rendah dari akal, intelektualitas, dan moralitas laki-laki.
Pembukaan KUPI pada Selasa (25/4) malam, berlangsung semarak dipimpin delapan peserta. Kedelapan peserta itu mencerminkan keberagaman ulama dari lintas generasi, latar belakng pendidikan, organisasi keagamaan, dan bidang pengabdian dari berbagai wilayah di Indonesia. Sebanyak 780 ulama perempuan itu terdiri atas 580 orang peserta dan 200 orang pengamat. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa negara.
Ketua panitia KUPI yang juga Pengasuh Pesantren Mahasina Bekasi, Badriyah Fayumi mengatakan, kongres ulama perempuan tersebut merupakan yang pertama di Indonesia dan dunia. “ulama perempuan menjadi pendidik terdepan, pembela ketidakadilan, dan pendamping yang melekat dengan korban-korban kekerasan,” kata Badriyah.
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jabar, Netty Prasetiyani Heryawan, yang hadir dalam pembukaaan itu berharap kongres bisa terus membangun tradisi keilmuan. Sebab, tradisi keilmuan, tradisi menuntut dan mencari ilmu, adalah tradisi keislaman.
Netty juga berharap, karena seorang ibu adalah pendidik, maka seorang pendidik harus memiliki ilmu yang mumpuni dan memadai. Hal itu juga untuk membangun ketahanan keluarga masing-masing.
Dalam ajang KUPI, ratusan ulama perempuan itu akan mengadakan seminar internasional, seminar nasional, dan musyawarah fatwa tentang persoalan kebangsaan aktual di ruang publik dengan metode yang bisa dipertanggungjawabkan.
Seminar internasional tentang ulama perempuan rencananya akan menghadirkan beberapa narasumber dari Indonesia dan sejumlah negara. Di antaranya, Pakistan, Afghanistan, Malaysia, Arab Saudi, dan Nigeria.
Sedangkan seminar nasional tentang ulama perempuan, akan diisi diskusi panel tentang sejarah, peran, tantangan, strategi dakwah, dan metode studi Islam ulama perempuan dalam menjawab isu-isu kontemporer di Indonesia.
KUPI berlangsung pada 15-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy. Rencananya, kegiatan itu akan ditutup oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin.
Dosen pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran, Jakarta, Nur Rofiah Bil Uzm mngatakan, konstruksi dan metodologi studi Islam yang selama ini dominan belum sepenuhnya memberi keadilan bagi perempuan, karena bias tafsir keagamaan yang hegemonik dan patriarki. Akibatnya, teks-teks orisinal keagamaan Islam yang termuat dalam Alquran dan hadis mengalami reduksi sistematis dan berkelanjutan, sehingga dianggap sebagai kebenaran absolut.
“Padahal Al Quran dan Hadis telah memuliakan perempuan,” kata Nur Rofiah menegaskan, saat menjadi pembicara dalam salah satu seminar nasional yang jadi bagian kongres ulama perempuan, kemarin. (Lilis Handayani)
Republika, 27 April 2017
Sumber: Harian Republika, 27 April 2017