Kesadaran Baru Perempuan Memaknai Keadilan

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Kesadaran Baru

Sebelum tahun 1994 saat masih mahasiswa, belum terlintas di benakku bahwa ada sebuah cara berpikir tertentu yang secara khusus dibangun untuk mendefinisikan bagaimana seharusnya menjadi manusia laki-laki dan perempuan secara berbeda. Suatu cara pikir yang mengkristal membentuk keyakinan tentang salah benar, tentang baik buruk berkaitan dengan hubungan laki-kaki dan perempuan, untuk semua orang. Sebelum tahun itu, aku tidak pernah terpikir bahwa tidak semua orang berhak mendefinisikan dirinya sendiri, bahwa hampir sebagian besar hidup perempuan diarahkan oleh cara berpikir yang dirumuskan untuk kepentingan di luar dirinya. Bahkan ketika belajar filsafat eksistensialisme di kelas, penggambaran bagaimana kehidupan manusia perempuan hanya samar-samar. Kemudian aku terguncang oleh pertanyaan-pertanyaan tajam tentang kepentingan dan kuasa yang menyusun kata, pengetahuan dan keyakinan tentang laki-laki dan perempuan. Kemarin, yang kupahami atas apa yang ada dalam kesadaranku, ternyata palsu. Sungguh terimakasihku untuk Mbak Lies Marcoes, Mbak Dani, Para Bapak dan Ibu dari Perhimpungan Pengembangan Pesantren dan Masayaarakat (P3M) dan mitra kerja mereka yang telah menjadi perantara bagi terbitnya kesadaran baru.

Kesadaran tentang makna diri perempuan dalam kehidupan ini makin tumbuh setiap kubicarakan, saat kubagikan pada teman-teman, pada keluarga, pada adik-adik asuhku dan pada forum-forum yang memungkinkan. Kesadaran yang membuat aku tidak hanya melihat diriku sendiri, tapi memudahkanku melihat dan mendengar dengan mata baru, dengan telinga baru pada kisah-kisah hidup perempuan-perempuan lain yang kadang membuatku merasa terluka. Dengan mata baru itu, aku melihat betapa kecurigaan dan cap-cap yang merendahkan untuk segala perempuan telah berhasil membuat mereka kesulitan untuk mensyukuri dirinya, membuat perempuan merasa tidak berharga dan seolah tidak berdaya menolak yang merugikan atau menolong diri sendiri, apalagi untuk menentukan jalan hidupnya. Di sisi lain, aku jadi lebih rileks melihat perempuan menor, lebih sabar dengan perempuan-perempuan cerewet dan rasa banggaku tak terkira saat melihat perempuan-perempuan tangguh yang berjuang untuk kehidupannya dan mampu menolong orang lain. Tapi saat itu aku sering merasa tidak berdaya untuk keluar dari rasa sakit atas kisah hidup perempuan lain itu di hadapan para penjaga tradisi agama. Saat itu aku hanya bisa mengeluh bagaimana mungkin aku mempertanyakan sesuatu yang sudah menjadi ‘kehendak Tuhan’, meski itu melukai nurani?

Mungkin teman-temanku yang lain merasakan hal yang sama, ingin menggebrak tembok tebal legitimasi tatanan di luar sana, terutama keyakinan banyak orang yang terpatri dalam ajaran-ajaran agama yang begitu kuat dalam benak masyarakat. Mempertanyakan apa yang diyakini oleh khalayak sebagai kebenaran, tak pelak menuai salah paham. Mempertanyakan ketidakadilan dianggap melawan laki-laki, melawan budaya bahkan melawan agama, antek barat atau pemuja nafsu. Beberapa temanku ada yang sengaja membenturkan protesnya dengan cara melepas jilbab, ada yang merokok atau sengaja kluyuran malam-malam untuk memamerkan kemerdekaannya. Aku agak bingung dengan cara protes teman-teman itu, tapi berusaha memahami; mungkin aku tidak mengalami kisah sulit hidup sebagai perempuan sebagaimana teman-temanku ini. Aku berusaha menjawab kegundahanku dengan membaca buku dan tidak diam.

Saat aku terus membaca kehidupan, mata baruku makin melihat banyak pola-pola hubungan yang bermasalah di luar soal hubungan laki-laki perempuan. Kesadaran keperempuanan membuatku jadi lebih peka pada situasi situasi tidak adil yang dialami kelompok-kelompok minoritas yang rentan, yang juga sering disalahpahami dan mudah mendapatkan cap-cap buruk dari kelompok yang kuat, hingga mendapat perlakuan diskriminatif. Aku mendapati banyak perempuan yang sadar tentang banyaknya sisi ketidakadilan dalam kehidupan, memiliki keluasan batin dan keluwesan dalam saling menerima perbedaan antarkelompok masayaarakat.

Kesadaran diri sebagai perempuan telah menyematkan mata baru pada penglihatan dan pendengaranku; kesadaran yang menuntun untuk setia pada hati nurani, untuk terus belajar, terus menjalin hubungan dengan kerabat handai taulan dan belajar untuk akrab dengan berbagai resiko keberpihakan. Pada akhirnya aku makin menyadari bahwa kedasaranlah yang menjadi pintu pembuka bagi pertumbuhan diri, bagi keterlibatan pada penyelenggaraan kehidupan serta intensitas hubungan dengan yang Ilahi.

Pijakan Baru

Bertahun-tahun ku saksikan banyak pejuang keadilan untuk perempuan bergulat dengan segala tantangan dan menanggung resiko atas pilihan pilihan yang tidak mudah. Aku melihat mereka yang terus membuka diri makin kreatif dengan penemuan cara-cara baru. Perubahan sosial yang kencang makin merumitkan keadaan perempuan dengan berbagai beban dan tuntutan, serta anak-anak yang makin kehilangan rumah tumbuhkembang, tak membuat semangat kian lekang. Dengan tenang, mereka yang terbuka mengkaji budaya, agama, politik hingga seni. Mereka mencari celah di antara retakan-terakan paham, keyakinan dan kebijakan negara yang sekiranya dapat merekahkan lorong pencarian jalan pencerahan. Lorong-lorong pencarian bagi pencerahan hidup gelap penuh lubang dan menegangkan. Mereka yang memilih terluka terus menerus membasuh jiwanya, tentu tidak mudah mengasuh ego agar tidak terjebak program-program titipan dan citra pemberitaan media. Kesetiaan pada nurani berbuah konsistensi.

Pada arah keadilan, penalaran menuntun pada ketekunan sekaligus keterbukaan pada berbagai dimensi hidup yang melingkupi manusia. Pada arah keadilan inilah penalaran menemukan titian pada pintu pembacaan ulang atas lapisan-lapisan sejarah pengetahuan agama dan budaya yang saling berhimpitan. Titian ini telah menjadi penghubung bukan hanya beragam pemahaman dan disiplin ilmu, juga penghubung bagi para pegiat dari berbagai bidang kehidupan yang sama-sama merindukan keadilan, rumah bagi tumbuhnya martabat kemanusiaan.

Keterhubungan dari semua orang yang merindukan rumah keadilan menyediakan pijakan-pijakan baru bagi banyak titian baru. Bukan hanya banyak universitas telah membuka pusat-pusat kajian keadilan bagi perempuan, bahkan cara pikir keadilan ini, pada beberapa ruang mulai menjadi standar keadaban, sejak pengaturan jadwal kerja hingga anggaran.

Obor bagi Pertumbuhan Keilmuan

Di tengah situasi masyarakat yang menjadi sangat bernuansa agama akhir-akhir ini, sungguh aku terkejut oleh banyaknya pernyataan berseliweran yang menjauhkan pemahaman agama dari penalaran. Orang berbicara tentang ruang bersama layaknya memutar rekaman, sedemikian lepas dari pertimbangan akal hingga hilang kesantunan. Menghujat dan menularkan kebencian bagi yang berbeda seolah dibolehkan disandingkan dengan hal-hal yang disucikan. Aku juga terkejut di antara nuansa keagamaan yang tampak pekat itu, iklan poligami dengan berbagai model mudah sekali ditemukan. Tapi yang paling membuat aku terpana, tidak jarang yang mengiklankan adalah ibu-ibu, dengan dalih demi surga, demi akhirat yang bahagia.

Apa boleh dikata, kalau aku harus mengatakan, prihatin dengan suasana keagamaan itu. Apakah pijakan-pijakan menuju rumah keadilan itu tidak lagi menjadi penghubung? Atau adakah sesuatu yang runtuh di ujung lorong sana dan menimpakan kegelapan baru? Kegelapan yang menidurkan, yang memuat terlelap h ingga mabuk oleh mimpi-mimpi penuh igauan? Angin taufan perubahan mestinya tak meruntuhkan bebatuan jika rekatan utuh mengakar pada kedalaman. Tapi begitulah, jiwa yang tak terasah akan buram, hanya mampu menangkap yang dipermukaan dan tak paham atas kedalaman, jiwa-jiwa penikmat gemerlap yang bising.

Di Kebon Jambu, 25-17 April 2017 aku menghela nafas. Memang segala perjalanan perlu dituliskan, agar goresan-goresannya menatah bebal bebatuan dan lorong-lorong baru tercipta. Setiap goresan tentang perjalanan pada dasarnya adalah menata, menyiapkan keberlangsungkan cahaya memasuki memasuki ruang-ruang perjalanan. Generasi boleh berganti, dan cahaya harus terus menerangi. Goresan-goresan tentang perjalanan yang tertata menjadi pijakan penalaran, menjadi ruang pembelajaran yang harus ditekuni dari waktu ke waktu agar keterbukaan menyebar meluas, agar kedalaman terkuasai untuk mencapai hening mengakrabi nurani.


Tegalmindi-Sleman, 7 Mei 2017


Penulis: Listia

(Pangguyuban Penggerak Pendidikan Intereligius, PaPPIRus, Yogyakarta)