Jihad dan Respon Islam Terhadap Radikalisme

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Situasi mutakhir kehidupan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia tengah memperlihatkan nuansa-nuansa psikologis yang menyimpan rasa gelisah, cemas, khawatir dan frustasi. Di belahan dunia muslim, khususnya di Timur Tengah situasi ini tampak begitu nyata. Ekspresi-ekspresi psikologis itu kemudian mencuat dalam aksi-aksi kekerasan dalam berbagai bentuknya. Di sana hampir setiap hari berlangsung situasi krisis sosial, konflik, pergolakan dan perang antar warga negara. Entah sudah berapa ribu nyawa melayang sia-sia. Kebijakan-kebijakan politik dan hukum seperti tak lagi berjalan efektif. Hukum tak lagi mampu melindungi hak-hak asasi manusia. Dari realitas ini sejumlah analis mengatakan bahwa banyak negara telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya, menjaga tertib sosial dan melindungi hak-hak warga negaranya. Tak pelak situasi ini kemudian memicu lahirnya berbagai gerakan politik dan sosial berbasis agama. Mereka menawarkan formula-formula baru yang dipandang akan dapat mengatasi seluruh problem kehidupan berbangsa dan bernegara serta lebih jauh lagi menyelesaikan problem kemanusiaan secara “kaffah”, menyeluruh, komprehensif. Ada banyak gerakan keagamaan dalam masyarakat Islam yang berjuang untuk kepentingan di atas, melalui caranya masing-masing: pelan maupun keras. Salah satu gerakan atau kelompok keagamaan yang paling fenomenal dan paling mendapatkan perhatian publik politik luas adalah apa yang kemudian acap disebut sebagai Kelompok keagamaan "radikalis".

Kelompok ini kini menjadi perbincangan serius di mana-mana. Gerakan mereka demikian massif dan militant. Ia menyebar menyebar ke berbagai bagian dunia muslim, termasuk Indonesia. Ia telah menjadi gerakan transnasional. Radikalisme adalah suatu paham yang menghendaki perubahan, pergantian, penghancuran (dekonstruksi) terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya, dengan berbagai cara, meski melalui tindakan kekerasa dan militeristik. Radikalisme menginginkan perubahan total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat.

Pandangan-pandangan kaum Radikal

Dalam pandangan kaum radikal berbasis agama ini aturan-aturan yang dibuat oleh manusia selama ini, telah gagal menciptakan hukum dan kehidupan sosial yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Hukum-hukum sekuler itu bahkan telah menciptakan kerusakan moral dan menyengsarakan rakyat. Oleh karena itu ia harus diganti dengan hukum-hukum Tuhan.  Jargon utama mereka adalah “In al-Hukm Illa Li Allah. Yaqussh al-Haqq wa Huwa Khair al-Fashilin”, (Hukum yang benar hanyalah milik (dan dari) Tuhan. Dia telah yang menyampaikan kebenaran dan Dialah Pemutus Paling Baik”. Jargon lain yang juga terus dikobarkan dan disosialisasikan secara masif adalah: “Barangsiapa yang tidak tunduk pada hukum Allah, maka dia kafir, zalim dan sesat". "Kita harus menjalankan Islam secara kaaffah”, ”Hanya hukum Tuhan yang dapat menyelamatkan umat manusia dari kesengsaraan panjang dalam kehidupan mereka”. Dan “al-Islam Huwa al-Hall” (Islam adalah penyelesaian). Hukum dalam konteks Islam disebut “Syari’ah”.

W.C. Smith, profesor ahli agama-agama terkemuka, dalam pengamatannya terhadap fenomena ini menyatakan bahwa “tema semua gerakan radikal di hampir semua belahan dunia berkisar pada dua hal: protes melawan kemerosotan moral internal dan “serangan” eksternal. Sementara sejumlah analis muslim kontemporer melihat fenomena ini sebagai respon muslim terhadap sekularisme Barat dan dominasi mereka atas dunia Islam, di samping respon terhadap krisis kepemimpinan di kalangan umat Islam sendiri.  Dengan begitu tampak jelas bahwa gerakan-gerakan keagamaan itu ditujukan bukan hanya untuk menentang Barat yang sekular, melainkan lebih jauh lagi merupakan perlawanan terhadap segala sesuatu yang dianggap penyebab frustasi dan penindaan, baik internal maupun eksternal.[1]

Dalam konteks masyarakat yang tengah dihimpit kemiskinan, terbelakang dan tak berdaya, jargon-jargon besar dan simbol-simbol yang mengandung nuansa-nuansa sakralistik-transendental itu tentu saja sangat menarik hati dan mempesona mereka sekaligus menyimpan kenangan masa lalu yang indah. Tak pelak jika kemudian gagasan kelompok tersebut disambut sebagian publik dengan riang dan penuh semangat.

Memaknai Terma-terma   

Jargon-jargon besar dan general sebagaimana  disebut bagi kaum muslimin lain sesungguhnya tidak ada yang salah. Tidak seorang muslimpun yang merasa keberatan bahwa "Hukum-hukum Tuhan adalah Maha Benar dan Maha Adil. Hukum-hukum Tuhan pasti membawa keadilan, kemaslahatan dan kebaikan bagi manusia"?. Tidak ada seorang muslim pun menolak jika kepadanya diserukan untuk mentaati hukum-hukum Tuhan? Mereka juga menolak kekufuran dan kemusyrikan. Seluruh pemeluk agama di dunia, membenarkan semua pernyataan ini, tanpa reserve.

Akan tetapi yang menjadi problem krusial adalah bagaimana memaknai terma-terma keagamaan muslim, kafir, musyrik?, siapakah dia? Apakah yang dimaksud dengan Islam, Syari'ah, Kaffah, dan seterusnya. Jawaban atasnya menjadi tidak sederhana. Demikian juga pada tingkat operasionalisasi gagasan keagamaan dan jargon-jargon besar tersebut di atas. Bagaimana, misalnya, hukum-hukum Tuhan (syari’ah) yang ada dalam teks-teks suci keagamaan itu harus diinterpretasikan dan diimplementasikan?. Siapa pemegang otoritas tunggal atas pengertian/tafsir teks-teks tersebut?. Jika pemaknaan itu harus dimusyawarahkan, lalu bagaimana mekanisme dan prosedurnya?.  Lalu apakah rakyat memiliki hak untuk berpendapat politiknya dan boleh mengkritik tafsir-tafsir keagamaan itu? Jika ya, lalu bagaimana mekanismenya?. Dan lain-lain.

Pertanyaan-pertanyaan di atas menurut saya tidaklah mudah untuk dijawab. Tapi segera dikemukakan bahwa hal yang tampak sangat vulgar di hadapan mata adalah bahwa ideologi transnasional bergerak ke arah penerapkan hukum-hukum, sistem politik, sistem ekonomi dan kebudayaan yang pernah diberlakukan pada masa lampau, abad pertengahan, di jazirah Arabia. Mereka akan membangun kembali sistem Khilafah. sebagaimana dinasti-dinasti Islam itu masa lalu itu. Dengan sistem ini kewarganegaraan seseorang didasarkan atas identitas agama negara. Identitas agama di luar agama negara akan dianggap sebagai orang asing dan warga negara kelas dua. Seluruh kekuasaan negara dan pemerintahan berada di tangan sang khalifah. Dialah yang membuat aturan hukum, mengontrol dan menunjuk hakim-hakim pengadilan, dan rakyat dunia wajib tunduk kepadanya, tanpa reserve. Para khalifah boleh jadi akan mendeklair diri sebagai  ”Zhill Allah fi al Ardh” (bayang-bayang Tuhan di atas bumi)”. Yakni pemegang mandat otoritas Tuhan. Di tangan dia yang bukan Nabi itu, titah-titah Tuhan ditafsirkan menurut perspektifnya dan kepentingannya sendiri. Melalui tafsir kekuasaan yang subjektif itu penguasa akan mudah menuduh setiap individu atau komunitas, mazhab politik, mazhab hukum, aliran kepercayaan atau agama tertentu yang tidak sama atau tidak sejalan dengan tafsir dirinya sebagai orang-orang yang melawan Tuhan, dan karena itu harus ditumpas.

Wahabisme

Paham keagamaan yang dipraktikkan oleh Kerajaan Saudi Arabia sampai hari ini, adalah salah satu contoh paling riil dan fenomenal dari gerakan di atas. Paham keagamaan ini dikenal sebagai “Wahabisme”, sebuah terminologi yang dihubungkan kepada nama pendirinya: Muhammad bin Abdul Wahab. Mereka berusaha mengembalikan Islam kepada Islam yang dipraktikkan pada masa Nabi dan para sahabatnya. Karena itu idelogi mereka dikenal sebagai "Puritanisme". Mereka sendiri lebih suka menyebutnya sebagai “Salafisme”, dan bukan "Wahabisme". Menurut ajaran Wahabi, semua umat Islam wajib kembali pada Islam yang dianggap murni. Ini dapat diperoleh dari pemahaman harfiah, literal ketat atas teks-teks suci, dan praktik-praktik ritual Nabi dan para sahabatnya. Dari sini mereka kemudian menyerang setiap aktifitas intelektualisme, mistisisme dan pluralitas yurisprudensi Islam. Lebih dari itu mereka memusuhi ilmu-ilmu humanitarian, terutama Filsafat dan menganggapnya sebagai ilmu pengetahuan Iblis.

Demikian juga seluruh ekspresi kebudayaan, seperti tahlil, tawasul, muludan, ushalli, ziarah kubur, cium tangan, hormat bendera, dan sebagainya, dipandang mereka sebagai praktik-praktik keagamaan yang sesat dan menyesatkan, bid'ah, menyimpang dari agama, musyrik (menyekutukan Tuhan) dan tuduhan-tuduhan senada. Pada akhirnya "jihad" menjadi kata kunci untuk "menyelesaikan" (baca; memberangus) seluruh pikiran, perilaku dan tindakan kebudayaan rakyat itu. Mereka memaknai kata ini secara tunggal: “perang suci” (Holy War).

Pandangan-pandangan Wahabisme tersebut pada akhirnya mengantarkan mereka pada aksi-aksi kekerasan terhadap pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok lawan ideologi keagamaan mereka, melakukan pembongkaran atau penghancuran kuburan-kuburan, artefak-artefak kebudayaan, termasuk karya-karya seni, patung-patung dan tempat-tempat yang dikeramatkan (disucikan). Ideologi ini dengan begitu mengimpikan sebuah negara otoriterian gaya baru. Yakni sebuah negara yang ditegakkan melalui kekuasaan represif, tiranik militeristik dan despotik dengan mengatasnamakan agama atau Tuhan. Semua tindakan tersebut selalu mereka sebut sebagai Jihad fi Sabilillah. Sebuah terminologi yang dimaknai sebagai perang suci.

Memaknai Jihad

Jihad yang diartikan sebagai perang suci dalam pandangan saya tidak dimaksudkan oleh teks kitab suci sendiri. Perang dalam teks suci al-Qur’an disebut “Qital” atau “Harb”. Secara literal Jihad bermakna : “usaha sungguh-sungguh”, atau bekerja keras”. Dalam terminology Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan manusia untuk sebuah tujuan-tujuan kemanusiaan. Pada umumnya tujuan  jihad adalah kebenaran, kebaikan, kemuliaan dan kedamaian.

Pada sejumlah ayat, jihad mengandung makna yang sangat luas, meliputi perjuangan dalam seluruh aspek kehidupan. Jihad adalah pergulatan hidup itu sendiri.  Bahkan terdapat sejumlah ayat jihad yang diarahkan terhadap orang-orang kafir, tetapi tidak bermakna memeranginya dengan senjata. Al-Qur-an mengatakan: “Wa la tuthi’ al Kafirin wa Jahidhum bihi Jihadan Kabira”(Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengannya (al-Qur-an) dengan jihad yang besar). (QS. Al-Furqan, 52). Kataganti pada “bihi”(dengannya) dalam ayat ini,  menurut Ibnu Abbas merujuk pada al Qur-an. Ini berarti:”berjihadlah dengan al Qur-an”. Dengan begitu perintah berjihad terhadap orang-orang kafir tidak dilakukan dengan menghunus  pedang, melainkan mengajak mereka dengan sungguh-sungguh agar memahami pesan-pesan yang terungkap atau terkandung di dalam al Qur-an. Jamal al Din al Qasimi, ketika menafsirkan ayat ini, mengatakan: “Hadapi mereka dengan argumen-argumen rasional, bukti-bukti dan ajak mereka memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah serta kepada kebenaran dengan sungguh-sungguh”.[2] Dihubungkan dengan Q.S. al Nahl, 125, tentang dakwah (ajakan kepada Islam), maka, jihad diperintahkan dengan cara-cara ”hikmah (ilmu pengetahuan, pemikiran filosofis), tuturkata/nasehat/orasi yang baik dan santun serta melalui diskusi/debat. Sepanjang sejarah kehidupan Nabi di Makkah, beliau tidak pernah melakukan perang terhadap orang-orang kafir dan kaum musyrik, meski ayat ini secara eksplisit menyebutkannya. Terhadap tekanan-tekanan mereka terhadap nabi saw dan kaum muslimin, beliau justeru mengatakan:

اصبروا فانى لم أومر بالقتال

“bersabarlah kalian, karena aku tidak diperintah untuk berperang”.

Pada Q.S. Luqman, 15, terdapat juga kata jihad dengan arti bukan perang dengan kekuatan senjata;

وان جاهداك على ان تشرك بى ما ليس لك به علم فلا تطعهما. وصاحبهما فى الدنيا معروفا

Dan jika keduanya ber ’jihad’ terhadapmu agar mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang  tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah mereka di dunia dengan ‘ma’ruf’ (kebaikan sesuai tradisi). (baca juga Q.S. al ‘Ankabut, 8).

Jihad pada ayat ini jelas tidaklah berarti perang fisik. Ia diturunkan berkaitan dengan peristiwa masuk Islamnya seorang anak. Ibunya tidak rela dan menginginkan anak itu kembali kepada agama sebelumnya.  Si anak menolak. Si ibu tetap tidak rela dan untuk itu ia protes keras dengan melakukan aksi mogok makan dan minum selama tiga hari. Si anak tetap saja tidak bergeser dari keyakinannya. Ia bahkan mengatakan : “Ibunda, andaikata engkau mempunyai seratus orang yang memaksa aku untuk kembali (ke keyakinan awal), niscaya aku tidak akan melakukannya. Kalau ibu mau makan, silakan dan kalau tidak mau, juga silakan”. Mengomentari ayat ini Ibnu Katsir mengatakan : “Jika keduanya (ayah-ibu) sangat berkeinginan…”/in harashaa ‘alaika kulla al hirsh. (Tafsir al qur-an al ‘Azhim, III/445). Pada Q.S. Al-‘Ankabut, ayat ; ‘jaahadaaka’ ditafsirkan oleh Ibnu Katsir di tempat yang lain dengan “haradhaa ‘alaika”(keduanya mendesak kamu).

Penafsir al-Qur-an paling klasik, Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), memperkenalkan tiga makna jihad. Pertama “jihad bi al Qawl” (perjuangan dengan kata-kata, ucapan, pikiran). Ini diungkapkan dalam al-Qur-an surah al Furqan, 52 ; (wa Jahidhum bihi Jihadan kabira/dan berjihadlah kamu dengannya dengan sungguh-sungguh) dan  dalam surah al Taubah, 73 ; (Ya Ayyuha al Ladzina Amanu Jahid al-Kuffara wa al-Munafiqin/hai orang-orang yang beriman berjihadlah kamu terhadap orang-orang kafir dan orang-orang munafik) dan surah al-Tahrim, [66]:9. Kedua, al-Qital bi al-Silah (perang dengan senjata). Ini dikemukakan dalam al Nisa, 15. Ketiga Jihad bi al-‘Amal (bekerja dan berusaha). Ini dikemukakan dalam surah al-Ankabut, [29]: 6: “Wa Man Jahada fa Innama yujahidu li nafsih (dan siapa yang berkerja dengan sungguh-sungguh maka sesungguhnya untuk dirinya sendiri), dan ayat 69: “Wa alladzina Jahadu fina lanahdiyannahum subulana (dan orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan rida Kami niscaya Kami beri mereka jalan Kami), serta surah al-Hajj, [22]: 78: “Wa Jahidu fillah Haqqa Jihadih”(dan bekerjalah dengan sungguh-sungguhnya semata-mata karena mengharap kerelaan Allah). (Muqatil; Al Asybah wa al Nazhair fi al Qur-an al Karim,).

Pernyataan-pernyataan al-Qur-an tentang Jihad mendapatkan elaborasi lebih faktual dari Nabi Muhammad saw. Jihad menurutnya bisa berarti melakukan perjuangan untuk melawan egoisme yang ada dalam setiap diri manusia (jihad al nafs). Ini juga berarti  bahwa perjuangan untuk melawan kelemahan, kecongkakan, kesombongan, kerakusan dan selurun potensi yang dapat merusak diri sendiri dan atau merugikan orang lain, adalah juga jihad. Menurut Nabi jihad al nafs ini justeru merupakan jihad yang terbesar, sementara jihad dalam arti perang fisik adalah jihad kecil. Nabi saw usai perang fisik mengatakan kepada para sahabatnya; “Raja’na min al-Jihad al-Ashghar ila al-Jihad al-Akbar”(kita kembali dari perang kecil menuju perang besar). Fakta-fakta sosial-politik-ekonomi dan budaya dalam segala zaman menunjukkan dengan jelas bahwa kesengsaraan, keterpurukan bangsa dan kezaliman yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sesungguhnya lebih disebabkan karena kerusakan mental manusia, moralitas yang rendah dan spiritualitas yang kosong. Dari sinilah, maka Jihad juga harus dilancarkan terhadap penguasa dan rezim yang tiranik, yang menindas rakyat, melalui penegakan kebenaran dan keadilan. Nabi saw menyebut upaya-upaya ini sebagai jihad yang paling utama: “Afdhal al Jihad Kalimah Haq ‘ind Sulthan Jair”(Jihad paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim).

Jihad dalam pengertian bekerja dengan sungguh-sungguh pernah disampaikan oleh Nabi saw kepada para sahabatnya. Ketika mereka berangkat perang (ghazwah), mereka melihat seorang muda yang kekar sedang bekerja di sawah. Melihat kekeran tubuhnya, para sahabat berharap agar dia dapat ikut perang bersama mereka. Nabi terusik sambil mengatakan :”Orang yang bekerja untuk menghidupi keluarganya juga sama dengan Jihad fi sabilillah”.

Uraian singkat di atas menunjukkan bahwa jihad dalam al Qur-an mengandung makna yang tidak tunggal, melainkan beragam sesuai dengan konteks pembicaraannya yang pada intinya meliputi  perjuangan moral, spiritual, intelektual, dan kerja keras untuk sebuah tanggungjawab kehidupan publik maupun domestik. Pada masa klasik Islam pemaknaan jihad seperti ini pernah sangat populer. Kebesaran, kemajuan dan kemenangan luar biasa yang pernah dicapai Islam justeru lahir dari semangat jihad dengan makna-makna terakhir ini. Para pemikir muslim post tradisional juga memperkenalkan kembali makna jihad ini dalam tulisan-tulisan mereka.

Meskipun demikian, memang terdapat banyak pandangan bahwa Jihad dalam al Qur-an juga bisa menunjukkan arti perang atau perjuangan dengan cara-cara kekerasan dan bersenjata, utamanya terhadap orang-orang “kafir”. Akan tetapi menurut saya penggunaan kata “jihad” untuk makna perang adalah suatu tafsir belaka. Ada sejumlah kata dalam teks-teks al-Qur’an yang paling spesifik dan paling banyak digunakan untuk menunjuk arti perang fisik, yaitu “Qital”. Kata lain untuk perang fisik adalah harb, siyar dan ghazw. Ada sejumlah ayat al Qur-an yang berbicara tentang perang terhadap orang-orang kafir, baik dengan kata jihad sendiri maupun dengan kata qital. Akan tetapi jika kata jihad yang digunakan dalam kaitan ini bukanlah berarti perang itu sendiri. Kata itu dikemukakan dalam rangka mengiringi atau menyertai peristiwa perang yang sudah dimulai atau sedang berlangsung. Dengan kata lain “jika perang terpaksa harus terjadi maka berjihadlah kalian dengan seluruh kekuatan yang dimiliki jiwa raga dan finansial”.

Konteks Indonesia

Dalam konteks politik negara-bangsa Indonesia, ideologi radikal tersebut, menjadi ancaman bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini karena tuntutan ideologi ini sangat jelas ; penerapan hukum-hukum agama secara formal dalam konstitusi maupun regulasi-regulasi negara bahkan lebih jauh adalah pendirian negara berdasarkan suatu keyakinan keagamaan tertentu di tengah-tengah warganegaranya yang sangat plural dalam banyak aspek itu. Ideologi Pancasila, oleh mereka dianggap sekular dengan pemaknaan yang pejoratif, dan karena itu harus diganti dengan ideologi keagamaan mereka.

Dalam konteks kultural, para ulama Nahdlatul Ulama (NU) dan para Kiyai Pesantren, salah satu kelompok bangsa dengan keanggotaannya yang besar, merasa cemas atas masa depan umatnya jika ideologi radikal transnasional tersebut berkembang dan merasuki jantung-jantung umatnya. Tradisi dan ritual-ritual keagamaan kaum Nahdhiyyin sebagaimana sudah disebut, akan berantakan dan tercerabut. Padahal tradisi-tradisi semacam Tahlil, Muludan, Ziarah Kubur dan sebagainya tersebut telah menjadi "ikon" organisasi para ulama itu selama berabad-abad. Melalui tradisi tersebut, NU telah mampu mengayomi ekspresi-ekspresi kebudayaan dan menciptakan harmoni yang indah antara agama, negara dan budaya lokal. Ideologi transnasional sangat mungkin (bahkan dalam sejumlah kasus sudah terjadi) akan menghancurkan tradisi dan budaya lokal itu. Adalah kebodohan yang sangat naif, jika tradisi warga NU tersebut dianggap oleh ideologi transnasional sebagai bertentangan dengan ajaran agama (Islam). NU telah mendeklare bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara sejalan dengan Islam. Dalam Deklarasi: "Hubungan Islam dan Pancasila", pada Muktamar NU ke-26, 1984 disebutkan: "Penerimaan dan Pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari'at agamanya".

Klaim kebenaran sendiri sebagai keterbatasan Pengetahuan

Terlepas dari kemungkinan rekayasa politik cerdas di belakangnya, pandangan-pandangan keagamaan yang membid'ahkan atau bahkan mengkafirkan orang lain seagama dalam sejarah pemikiran Islam selalu muncul dari kepicikan dan kedangkalan dalam memahami teks-teks agama. Ia selalu lahir dari pemaknaan teks-teks keagamaan secara literal ketat sekaligus konservatif. Akibatnya makna teks-teks di luar yang literal (yang lahiriyah) menjadi begitu asing dan tak mereka pahami, bahkan dianggap salah. Terhadap cara pandang ini, menarik sekali dikemukakan pandangan Imam Abu Hamid al Ghazali, pemikir besar sepanjang sejarah kaum muslimin Sunni, sekaligus panutan kaum Nahdhiyyin (Nahdlatul Ulama/NU). Al-Ghazali menyebutnya sebagai pemahaman orang-orang yang terbatas ilmunya. Dalam karya magnum opusnya : Ihya Ulum al Din, beliau mengatakan :

"Perhatikanlah dengan seksama, bahwa orang yang menganggap bahwa al Qur'an hanya memiliki makna lahir (literal), maka dia tengah menceritakan tentang keterbatasan ilmunya sendiri. Biarlah itu benar untuk dirinya sendiri. Akan tetapi dia melakukan kekeliruan manakala semua orang harus ditarik ke dalam pemikirannya yang terbatas itu. Betapa banyak hadits Nabi dan ucapan para sahabat Nabi yang menyatakan bahwa al Qur'an memiliki makna-makna yang sangat luas. Dan ini hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang pandai. Ibnu Mas'ud mengatakan: "Siapa saja yang ingin mengetahui keilmuan para ulama generasi awal dan yang mutakhir, maka bacalah al-Qur'an dengan seksama dan mendalam. Hal ini tidak mungkin bisa hanya dengan memaknainya secara literal".[3]

Pernyataan Imam al Ghazali tersebut sungguh menarik sekaligus arif. Ia tidak hendak mengecam orang-orang yang berpandangan literalis. Ia mempersilakan pemahaman itu menjadi sikap pribadi orang itu sendiri atau kelompoknya. Tetapi ia mengkritik tajam jika dia (orang itu) memaksakan pemahaman dirinya kepada orang atau kelompok lain yang telah memiliki pikiran yang berbeda. Dan tentu saja merupakan kesalahan sangat besar jika dia/mereka sampai melakukan tindakan kekerasan terhadap pandangan di luar dirinya seraya mengklaim hanya pemahan dirinya saja yang benar. Al-Ghazali menginformasikan kepada kita bahwa teks-teks al Qur'an tidak bisa dimaknai secara tunggal. Satu kata dalam al Qur'an mengandung sejumlah kemungkinan makna. Membatasi kehendak Tuhan yang diungkapkannya dengan simbol-simbol bahasa adalah kebodohan yang nyata. Para ulama masa awal (al salaf al shalihin) tidak pernah membatasi pemaknaan terhadap ayat-ayat al Qur'an.

Sufi besar sekaligus sang argumentator Islam itu, juga mempunyai pendapat yang menarik dan berbeda dari pandangan mainstream, terkait isu keterpecahan para pengikut Nabi. Hadits Nabi yang populer menyebut tentang 73 golongan yang semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiah). Al-Ghazali menyebut sejumlah hadits lain : “al-Halikah minha Wahidah” (yang celaka di antara mereka hanyalah satu golongan). Hadits lain menyebut golongan yang celaka tersebut : “Kulluha fi al-Jannah Illa al-Zanadiqah” (semuanya masuk surga kecuali golongan zindiq). Zindiq adalah kosakata yang diambil dari bahasa Persia, bukan bahasa Arab. Atau bahasa Persia yang kemudian diserap ke dalam bahasa Arab (Farisiy Mu’arrab). Lalu siapakah golongan ini?. Jawaban para ahli berbeda-beda. Sebagian orang menyebut “antiteis” (menolak Tuhan).[4]

Pandangan lain al-Ghazali yang menarik dikemukakan dalam isu “orang asing”. Dalam bukunya yang lain: “Al-tibr al-Masbuk”, al-Ghazali menyatakan, seraya mengutip Wahyu Tuhan kepada Nabi Daud :

أنه قومك عن سب ملوك العجم . فإنهم عمروا الدنيا وأوطنوها عبادى

“Hai Daud, hentikan kaummu mencaci-maki bangsa-bangsa asing, karena mereka telah berjasa memakmurkan kota dan melindungi hamba-hamba-Ku”. [5]

Pandangan Gus Dur

Sejalan dengan pandangan di atas, dalam sebuah tulisan hasil wawancara dengan Gus Dur,   berjudul "Susah menghadapi orang yang salah paham", Gus Dur menegaskan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh orang terhadap yang lain, lebih karena faktor ketidakmengertian orang tersebut. Gus Dur mengatakan: "Mereka yang melakukan kekerasan itu tidak mengerti bahwa Islam tidaklah terkait dengan kekerasan. Itu yang penting. Ajaran Islam yang sebenar-benarnya adalah tidak menyerang orang lain, tidak melakukan kekerasan, kecuali bila kita diusir dari rumah kita. Ini yang pokok. Kalau seseorang diusir dari rumahnya, berarti dia sudah kehilangan kehormatan dirinya, kehilangan keamanan dirinya, kehilangan keselamatan dirinya. Hanya dengan alasan itu kita boleh melakukan pembelaan".[6]

Gus Dur dalam banyak kesempatan sering menyampaikan pesan-pesan keadilan sambil mengutip ayat-ayat Al Qur'an dan teks-teks keislaman lainnya. Menurutnya keadilan adalah pilar dan prinsip agama. Di mana ada keadilan, di situlah Islam. Ia harus diwujudkan terhadap siapa saja, diri sendiri, keluarga bahkan kepada orang yang berbeda keyakinan, berbeda kultur, berbeda jenis kelamin, berbeda warna kulit, berbeda kebangsaan dan seterusnya.

Dengan begitu menjadi jelas kiranya bahwa agama Islam hadir untuk manusia dan dalam rangka keadilan dan kemanusiaan. Inilah yang seharusnya dipahami dari makna bahwa Islam adalah agama yang merahmati alam semesta : Rahmatan li al 'Alamin. Doktrin besar Islam ini tentu saja tidak hanya digembar-gemborkan, dipidatokan atau diceramahkan, melainkan harus dibuktikan dalam realitas. Kekerasan terhadap eksistensi manusia, apapun latarbelakang sosial dan agamanya, dengan mengatasnamakan apapun, terlebih lagi atas nama Tuhan Yang Maha Indah, tidak mungkin lahir dari ajaran agama apapun dan di tempat manapun, teristimewa agama Islam.

Penutup

Akhirnya, saya merasa penting untuk selalu mengemukakan gagasan-gagasan yang dirumuskan dalam The Charter for Compassion. Dalam pandangan saya butir-butir di dalam Charter ini sejalan dengan idealitas dan doktrin besar Islam tadi. Salah satunya adalah:

“Prinsip cinta dan kasih yang bersemayam di dalam jantung seluruh agama, etika dan tradisi spiritual, mengimbau kita untuk selalu memperlakukan semua orang lain sebagaimana diri kita sendiri ingin diperlakukan”.

“Cinta dan kasih mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan penderitaan sesama manusia, melengserkan diri sendiri dari pusat dunia kita dan meletakkan orang lain di sana serta menghormati kesucian tiap manusia lain, memperlakukan setiap orang, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan dan kehormatan mutlak”.

Dan Al-Kindi, seorang filsuf Arab, mengatakan: “Seyogyanya kita tidak merasa malu menerima dan menjaga suatu kebenaran dari manapun ia berasal, meski dari bangsa-bangsa yang jauh dan berbeda dari kita".


Penulis: KH. Husein Muhammad

(Ketua Yayasan Fahmina/Anggota SC KUPI)

Cirebon, 01-September 2015

Referensi

  1. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS) bekeerjasama dengan Peneerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, Nopember 1994, hlm. 9
  2. (Mahasin al Ta’wil, XII/267).
  3. Abu Hamid al-Ghazali,  Ihya lumiddin, I/289).
  4. Abu Hamid al-Ghazali, Faishal al-Tafriqah Baina al-Islam wa al-Zandaqah, editor : Dr.Sulaiman Dunya, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, Cairo, Cet. I, 1961, hlm. 207
  5. Abu Hamid al-Ghazali, Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk”, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, Kairo, hlm.50.
  6. Baca: Mewaspadai Gerakan Transnasional, terbitan Lakpesdam Cirebon-Fatayat NU-Pengurus Pusat, Cet.I, 2007, hlm. 2