Halaqah Paralel tentang Praktik Perkawinan Anak di Indonesia: Hambatan dan Tantangan terhadap Implementasi UU. No. 16 Tahun 2019 & UU. No. 12 Tahun 2022

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Terdapat beberapa isu yang berkembang dalam diskusi Halaqah Pra Musyawarah Keagamaan tentang Pemaksaan Perkawinan. diantaranya:

Indonesia menempati peringkat kedua angka perkawinan anak di Asean. Meski ada penurunan, namun kasusnya masih tetap tinggi. Kasus ini paling banyak terjadi di pedesaan. Faktor penyebab kawin anak adalah kehamilan tidak dikehendaki, pendidikan rendah, budaya, ekonomi. Dampaknya secara fisik, psikis, ekonomi, bahkan pada kesehatan reproduksi apabila hamil di usia anak baik bagi ibu maupun bayinya.

Problem utama perkawinan anak: cara pandang masyarakat yang melihat perempuan sebagai objek baik dalam cara pandang budaya dan berpengaruh pada cara pandang agama, Regulasi hukum dari pemerintah juga masih kurang konsisten dalam mencegah perkawinan anak

Lemahnya implementasi dispensasi nikah di pengadilan agama: PMA No 5 Tahun 2019 ttg pedoman dispensasi nikah di PA dana PN.  Dalam UU no.16/2019; filosofis; untuk melindungi keluarga dan menjamin hak anak; Pasal 7; perkawinan hanya boleh 19 tahun bagi laki dan pr, Pasal 8; boleh mengajukan dispensasi nikah dengan alasan mendesak. Alasan  ini diinterpretasi beragam oleh Pengadilan; diperlukan relasi kuasa orang tua yang dapat memberikan pertimbangan hakim dalam mengabulkan dispensasi nikah. Dan Pasal 14 PMA; hakim mengidentifikasi alasan-alasan untuk dispensasi perkawinan, memperhatikan kondisi psikologis dan kesehatan. Pasal 15 PMA; mendengar keterangan ortu, anak perlu didampingi, adanya rekomendasi dari psikolog, perlu ada penerjemah, ada atau tidaknya pemaksaan, perlunya adanya komitmen orang tua. Pemeriksaan anak di persidangan harus ada rekomendasi dari yang berwenang yaitu UPTTA, dan memperhatikan pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak.

Upaya yang dilakukan untuk mencegah kawin anak; Sudah ada perda yang mendukung pencegahan perkawinan anak. Adanya partisipasi masyarakat dan pendekatan berbasis kultural. Upaya Preventif; penyuluhan, regulasi atau aturan baru ttg usia perkawinan.Upaya Represif; pelatihan parenting, pendidikan-pendidikan tentang perkawinan usia dini

KUPI telah mengeluarkan hasil musyawarah keagamaan pada 2017 (KUPI 1) yang mewajibkan semua elemen untuk mencegah perkawinan anak dan kewajiban untuk melindungi anak dari praktek tersebut

Tantangan: Adanya upaya pemaksaan dalam pernikahan, adanya faktor budaya dan agama, mindset hakim yang masih lemah dalam memahami hak anak sehingga mudah mengabulkan permohonan dispensasi pernikahan, dalam UU TPKS tantangan utk perkawinan anak siapa yang akan melapor? bagaimana pembuktiannya? Dan bagaimana kesiapan aparat hukum ini belum diatur, Konservatisme agama; narasi agama yang tidak memihak pada perempuan, Kurangnya sosialisasi terkait regulasi yang ada, Adanya budaya perkawinan anak yang masih mengakar di tengah masyarakat. [] (ZA)

Selengkapnya untuk mendapatkan informasi tentang dokumen-dokumen pendukung kegiatan ini bisa lihat di Dokumen Kegiatan Halaqah Paralel tentang Praktik Perkawinan Anak di Indonesia: Hambatan dan Tantangan terhadap Implementasi UU. No. 16 Tahun 2019 & UU. No. 12 Tahun 2022.