Halaqah Paralel tentang Peran PSGA Dalam Gerakan Keulamaan Perempuan Indonesia
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) sangat penting untuk terus menyuarakan kesetaraan gender, pemenuhan hak dan perlindungan anak. Paralel ini dapat menjadi media bagi para akademisi, para intelektual untuk terus menyuarakan persoalan dan ide-idenya dalam memperjuangkan kesetaraan gender, hak-hak perempuan dan perlindungan anak. Paralel kali ini menjadi lebih penting lagi karena masuk sebagai tema khusus yang dimasukan dalam kongres kupi.
Pikiran-pikiran para ulama perempuan sangat mencerahkan sehingga efektif untuk menyuarakan hak-hak perempuan, isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan anak yang akhir-akhir ini mengemuka. Lebih lanjut syafi'i berharap pelibatan pimpinan ptki dan psga untuk mensosialisasikan kegiatan ini agar memiliki dampak yang lebih besar, baik dalam lingkup akademik maupun masyarakat. Kegiatan ini berfungsi sebagai penguatan komitmen dan political will dalam penyelenggaraan pencegahan kekerasan seksual dan untuk mendapatkan masukan-masukan produktif dalam penguatan pengarusutamaan gender.
Dokumen ini merupakan laporan diskusi paralel dengan tema peran psga dalam gerakan keulamaan perempuan indonesia yang diselenggarakan pada perhelatan kongres ulama perempuan indonesia ii yang dilaksanakan di jepara pada tanggal 25 november 2022.
Kongres yang diselenggarakan pada 24-26 november memiliki agenda 21 diskusi paralel dengan tema-tema krusial bagi peradaban kemanusiaan dan perempuan, beserta 5 tema musyawarah keagamaan yang telah dimulai sejak sebelum kongres dilangsungkan melalui serangkaian halaqah-halaqah keagamaan.Halaqah dibuka dengan pertanyaan kritis dari moderator: apakah psga bagian dari gerakan keulamaan perempuan?. Pertanyaan bernada skeptis ini kemudian dijawab oleh yunianti chuzaifah dan alimatul qibtiyah dengan menyebut bahwa secara bahasa kata ulama berakar dari kata ilm yang artinya adalah ilmu atau pengetahuan. Oleh karenanya, syarat utama untuk menjadi ulama adalah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni yang mampu memberikan kemanfaatan secara luas.
Pada tahun 2017 di KUPI 1 didefinisikan bahwa ulama adalah gerakan bersama dari orang-orang yang berilmu, dari disiplin ilmu apapun, yang memiliki rasa takut kepada allah swt (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlak karimah), untuk bekerja sama menyampaikan, mengamalkan, dan menegakkan keadilan di muka bumi ini, pada semua manusia, serta memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Dengan definisi ini, predikat ulama tidak melekat pada jenis kelamin tertentu. Melainkan bisa disandang oleh laki-laki maupun perempuan, yang berkiprah dan berkarya, berdasarkan keimanan, ilmu dan pengetahuan, untuk kemaslahatan dan keadilan, baik pada ranah individu, keluarga, masyarakat, manusia sejagat, dan semesta.
Merujuk definisi tersebut, psga yang merupakan lembaga yang memiliki otoritas dalam pengembangan pengetahuan yang berperspektif gender dan inklusi sosial. Dan, melalui otoritasnya, psga memiliki peranan penting dalam mewujudkan perguruan tinggi responsif gender. Dengan peran tri dharma yang diemban, PSGA merupakan bagian dalam gerakan keulamaan perempuan yang bergerak di institusi pendidikan.
Napas panjang psga, berbeda dari gerakan masyarakat sipil yang terorganisir dalam sebuah lembaga kemasyarakatan atau NGO—yang saat ini masih sangat tergantung pada dana hibah program, menurut alimatul qibtiyah (komisioner komnas perempuan & akademisi di uin sunan kalijaga) aktivisme psga yang berada di lingkungan ptkin terbilang cukup stabil dan memiliki nafas yang panjang. Karena secara finansial anggota psga merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki gaji bulanan. Pun dengan aktivitas yang dikelola oleh psga mendapat dukungan dari anggaran pemerintah melalui perguruan tinggi.
Sementara tantangannya adalah kemampuan individu pengelola psga untuk terus berinovasi. Sebab, meski peran psga di atas kertas strategis dan signifikan dalam pengarusutamaan gender di lingkungan perguruan tinggi, tetapi tidak jarang anggaran yang diberikan dalam masih sangat terbatas. Hal ini disampaikan oleh khasan ubaidillah (ketua psga uin raden mas said surakarta).
Menghubungkan kerja-kerja pendampingan sosial yang berada di kampung dengan kerja-kerja yang dilakukan oleh psga di ranah kampus. Perguruan tinggi yang diisi oleh hanya satu jenis kelamin (perempuan), bukan sebuah indikator sebagai perguruan tinggi yang sudah “gender”. [] (ZA)
Selengkapnya untuk mendapatkan informasi tentang dokumen-dokumen pendukung kegiatan ini bisa lihat di Dokumen Kegiatan Halaqah Paralel tentang Peran PSGA Dalam Gerakan Keulamaan Perempuan Indonesia.