Halaqah Paralel tentang Kepemimpinan Perempuan di Akar Rumput/Komunitas; Pengalaman Kerja-kerja Jaringan KUPI

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Ulama perempuan sebagai sosok yang dekat dengan masyarakat dapat membagikan kisahnya kepada para peserta di dalam perhelatan KUPI 2, terkait upaya-upaya yang telah mereka lakukan di akar rumput.  Peserta mendapatkan inspirasi maupun strategi dalam melakukan pengorganisasian di akar rumput. Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 48 peserta dari beragam latar belakang seperti aktivis perempuan, akademisi, media, ormas, dan lain-lain. Adapun narasumber yang hadir dalam kegiatan ini yakni Ida Nurhalida asal Tasikmalaya, Ratna Ulfah dari Purworejo, Raudlatun asal Sumenep, dan Ibu Siti Latifah asal Ledokombo, serta fasilitatornya adalah Bapak Kiai Helmy Ali.    

Ratna Ulfah asal Purworejo Jawa Tengah. Ratna adalah seorang pemimpin komunitas Majelis Taklim Ar-Rohmah yang beranggotakan perempuan kepala keluarga. Ia mendirikan majelis taklim ini pada 2018 dengan tujuan untuk menguatkan perempuan single parent dari segi ekonomi. Melalui majelis taklim itulah Ratna melakukan pendampingan kepada anggotanya, seperti penguatan motivasi kepribadian, infaq produktif, pendampingan dalam dukungan usaha, dan lain-lain. Terkait dengan dukungan usaha tersebut, Ratna mengungkapkan bahwa dirinya mendapat dukungan dari We Lead melalui Rahima, yakni respond grants yang diberikan saat pandemi Covid-19. Dukungan tersebut merupakan bantuan modal bagi anggota Majelis Taklim Ar-Rohmah, sebesar Rp 400.000 kepada 12 orang anggota. Para anggotanya tersebut memiliki berbagai usaha, seperti jualan beras, dawet, makanan, pulsa, dan lain-lain. Melalui dukungan tersebut, para anggota mendapatkan keuntungan. Dari 2,5% laba yang diperoleh itulah, Ibu Ratna bersama anggota komunitasnya memutar profitnya dan menyalurkan kembali dukungan usaha kepada anggota lainnya yang belum sempat mendapatkan dukungan modal usaha.

Bagi Ratna, menjadi pemimpin komunitas perempuan kepala keluarga mengalami berbagai kendala dan tantangan. Masih kuatnya stigma buruk terhadap janda, mengeksiskan status janda, hingga dianggap membuat perkumpulan anti nikah adalah berbagai tantangan yang dihadapi. Saat ini, Majelis Taklim Ar-Rohmah berkembang, tidak hanya kepada perempuan single parent tetapi juga kepada perempuan yang telah menikah tetapi berperan sebagai tulang punggung keluarga.

Raudlatun asal Sumenep, Madura, ia menyampaikan materi mengenai Perempuan Kompolan Kobher Madura: Membangun Resiliensi Perempuan di masa Pandemi Covid-19. Komunitas Perempuan Kobher ini lahir pada 2019 saat Pandemi Covid-19 dalam merespons beberapa hal, yakni (a) minimnya keterampilan perempuan di lingkungan sekitar; (b) ingin mengubah pola kebiasaan perempuan sekitar yang cenderung bergosip, tanpa melakukan kegiatan produktif; (3) ingin memperkuat kemandirian ekonomi perempuan, karena pada umumnya tidak memiliki pekerjaan dan bergantung kepada suami. Adapun saat pandemi terjadi, Raudlatun bersama komunitasnya melakukan inisiatif, yakni pembuatan pengolahan jamu. Inisiatif tersebut dilatarbelakangi oleh situasi sekitar dimana banyak dedaunan yang bermanfaat di sekitar rumah tetapi tidak dimanfaatkan sebagai bahan dasar jamu. Selain itu juga adanya kemampuan dari ibu-ibu yang ingin untuk menggali potensi diri karena memiliki kemampuan dalam membuat jamu.  

Adapun dalam proses pembuatan jamu tersebut, Perempuan Kompolan Kobher juga mengalami berbagai kendala. Beberapa di antaranya seperti (a) manajemen pemasaran yang belum maksimal, sebab jamu dalam bentuk cair tidak dapat diperjualbelikan secara meluas; (b) multi beban perempuan yang membuat para anggota masih belum fokus untuk berkelompok, sehingga kegiatan produksi jamu terbebankan pada satu orang; (c) tempat produksi jamu yang masih berpindah-pindah. Namun bagaimanapun, dalam pengelolaan produksi jamu tersebut, para anggota Perempuan Kompolan Kobher mendapatkan berbagai pembelajaran. Di antaranya yakni pentingnya berjejaring atau bekerja sama, semakin mendalami minat dan bakat tiap personal, serta memahami akan pentingnya kesabaran dan ketelatenan dalam melakukan pengorganisasian masyarakat.

Ida Nurhalida asal Tasikmalaya, Jawa Barat yang berfokus pada madrasah yang ramah lingkungan. Isu tersebut menjadi concern bagi Ida, dilatarbelakangi oleh kegelisahannya terhadap kondisi lingkungan di mana masih banyak santri maupun guru yang belum memiliki kesadaran terhadap kondisi lingkungan, baik itu pengelolaan sampah maupun penggunaan listrik dan air. Padahal, di dalam ajaran Islam itu sendiri sangat banyak anjuran kepada manusia untuk menjaga alam. Pada akhirnya Ibu Ida melakukan langkah-langkah dengan tim guru untuk melakukan gerakan peduli lingkungan di madrasah. Ada 6 unsur yang menjadi fokus utama, yakni (1) kebersihan; (2) pengelolaan sampah; (3) penanaman pohon atau penghijauan; (4) penghematan dan konservasi air; (5) penghematan dan konservasi energi; (6) inovasi, kampanye lingkungan hidup.

Siti Latifah asal Ledokombo, Jember, Jawa Timur. Ia berfokus untuk membangun beberapa kegiatan, seperti pengasuhan gotong royong dan sekolah bok-ebok. Inisiatif yang dibuat pada 2014 tersebut dilatarbelakangi oleh situasi di lingkungannya di mana para perempuan pergi meninggalkan kampung untuk bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri, sedangkan anak-anaknya tidak ada yang mengasuh. Adapun salah satu materi yang disampaikan dalam sekolah bok-ebok tersebut, komunikasi keluarga. Materi tersebut menjadi penting untuk dibahas karena dalam keluarga itu, sangat jarang orang tua yang dapat berkomunikasi dengan baik kepada anak. Misalnya, menanyakan kabar di sekolah ataupun meminta maaf kepada anak. Bu Latifah berharap melalui komunitas tersebut, pengasuhan anak-anak dapat dilakukan secara gotong royong melalui jargon ‘anak kita, anak kamu, anak kita semua’. [] (ZA)

Selengkapnya untuk mendapatkan informasi tentang dokumen-dokumen pendukung kegiatan ini bisa lihat di Dokumen Kegiatan Halaqah Paralel tentang Kepemimpinan Perempuan di Akar Rumput/Komunitas; Pengalaman Kerja-kerja Jaringan KUPI.