Halaqah Paralel tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Memperkuat Pemahaman terhadap Implementasi UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan sejak 9 Mei 2022, diundangkan melalui Lembaran Negara Nomor 120 Tahun 2022. Pengundangan ini disambut baik semua pihak karena kegentingan kasus kekerasan seksual terjadi di segala usia, tempat bahkan tempat yang dianggap aman sekalipun. Demikian halnya pelaku juga ada di segala usia bahkan berlatar belakang sebagai pendidik, tokoh masyarakat, tokoh agama dan salah satunya terjadi di pesantren. Kasus Bechi Jombang dan Herry Wiryawan Kabupaten Bandung merupakan contoh kasus yang terjadi di pesantren menjadi sorotan nasional.

Disisi lain, di kalangan pesantren juga sumber pembaharuan terjadi atas dorongan ulama perempuan. Fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang pertama pada tahun 2017 secara tegas menyatakan pengharaman kekerasan seksual. Fatwa ini mampu membangun kesadaran publik terhadap kasus-kasus kekerasan seksual dan turut berkontribusi dalam pengesahan UU TPKS. Dalam kongres kedua KUPI terus mengusung tema yang relevan dan dibutuhkan yaitu "Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan”.

Kongres ini merupakan ruang yang strategis untuk mendorong pemahaman terhadap implementasi UU TPKS. KUPI mengagendakannya dalam Halaqah Khusus kongres dengan memberikan perhatian pada peran Ulama Perempuan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di ormas keagamaan, lembaga pendidikan formal dan non formal keagamaan. Ruang ini juga disediakan untuk berbagai kalangan, salah satunya perwakilan organisasi masyarakat sipil khususnya organisasi perempuan.

Pemahaman terhadap UU TPKS masih sangat penting dilakukan untuk membangun kesadaran publik, kesadaran korban bahkan pelaku. Dibutuhkan juga upaya memperkuat kesadaran dalam menterjemahkan mandat keberpihakan pada korban dari UU TPKS dari kalangan aparat penegak hukum dan pemerintah yang mempunyai tanggung jawab sebagai penyedia layanan dalam Unit Pelayanan Terpadu.

Dalam diskusi tematik terkait dengan Kepemimpinan Perempuan dalam Memperkuat Pemahaman terhadap Implementasi UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sangat dinamis dan aktif. Masing-masing narasumber memaparkan sejumlah materinya. Sri Nurherwati-Yayasan Sukma dan Anggota Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual misalnya, berliau memaparkan terkait dengan gambaran dari UU TPKS yang mencakup: pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban kekerasan seksual (KS), rehabilitasi pelaku, dan bagaimana mewujudkan lingkungan tanpa KS dan ketidak berulangan. Nurher juga menjelaskan terkait dengan aturan turunan dari UU tersebut. Pemaparan sangat mendalam terkait dengan isi dari UU TPKS dan bagaimana peran serta masyarakat termasuk ulama perempuan dalam mengimplementasikannya.

Misiyah Direktur Institut KAPAL Perempuan menyambung pemaparan terkait dengan peran serta masyarakat dalam upaya mencegah maupun menangani korban KS sebagaimana tertera dalam UU TPKS. Ibu Misi memaparkan dengan detail terkait peran serta masyarakat, termasuk kepemimpinan perempuan dan ulama perempuan. Menurutnya kepemimpinan perempuan mempunyai kemampuan dalam menginisiasi, menggerakan sehingga terjadinya sebuah perubahan secara kolektif menuju keadilan gender dan inklusi. Lebih lanjut mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan membutuhkan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan dan KUPI sangat strategis. Menurutnya kepemimpinan perempuan bukan terjadi secara alamiah, namun diupayakan dengan membangun kesadaran kritis, komitmen dan keberanian. Ibu Misi juga menceritakan pengalaman mendampingi korban menjadi penyintas yang sangat inspiratif.

Narasumber berikutnya AKBP Rita Wulandari Wibowo, S.I.K., M.H., Kasubbagsumda Sespusinafis Bareskrim Polri menjelaskan terkait dengan peran kepolisian dalam proses hukum implementasi dari UU TPKS. Menurutnya, terdapat mekanisme penanganan kasus KS melalui layanan terpadu. Penyelenggaraan pelayanan terpadu  terintegrasi, multi aspek, lintas fungsi dan sektor bagi Korban, Keluarga Korban dan atau  Saksi tindak pidana KS sebagaimana dalam pasal 1 angka 13. Lebih lanjut AKB Rita mengatakan bahwa mitra kerja kepolisian adalah para pendamping. Pendamping adalah orang yang dipercaya dan memiliki kompetensi mendampingi Korban dalam mengakses hak atas penanganan, perlindungan, dan  pemulihan sebagaimana dalam pasal 1 angka 14.

Pendamping Korban meliputi: petugas LPSK; petugas UPTD PPA; tenaga kesehatan; psikolog; pekerja sosial; tenaga kesejahteraan sosial; psikiater; Pendamping hukum, meliputi advokat dan paralegal; petugas Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat; dan Pendamping lain  (Pasal 26 UU TPKS). UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan & Anak) adalah unit pelaksana teknis operasional pada satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yang berfungsi sebagai penyelenggara pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, dan masalah lainnya (Pasal 1 angka 11). AKB Rita menyampaikan juga terkait dengan siapa saja yang bisa menjadi pendamping, bagaimana posisi keterangan saksi dalam persidangan KS, dan bagaimana mekanisme pelaporannya ke kepolisian ketika terjadi kasus KS. Pelaporan bisa dilakukan oleh korban atau orang yang mengetahui kejadian tersebut.

Narasumber berikutnya adalah Dra. Retno Sudewi selaku kepala UPTD Jawa Tengah turut menguatkan peran UPTD dalam implementasi UU TPKS. Ibu Retno memulai memaparkan kasus KS di Jawa Tengah yang menempati rangking ke-4 data nasional symphony KPPPA. Dan kasus terbanyak adalah KS pada anak. Data kasus ini baru yang dilaporkan, dan Ibu Retno mengakui bahwa masih banyak yang tidak terlaporkan. Pemerintah Jawa Tengah telah membentuk UPTD sebagai respon atas berbagai kasus kekerasan termasuk KS. Jawa Tengah sendiri adalah daerah pertama yang telah mempunyai UPTD dan telah mempunyai Peraturan Daerah No 4 Tahun 2022 tentang Perlindungan Perempuan dan anak. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah melakukan sosialisasi UU TPKS ke semua instansi. Sebagai upaya preventif sosialisasi juga dilakukan dinas PPPA Jawa Tengah mulai ranah keluarga, lembaga pendidikan termasuk pesantren.  

Narasumber terakhir adalah Nyai Muyassaroh Hanifah dari Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin Cilacap. Ibu Muyas menyampaikan terkait dengan pelayanan terpadu yang ia gagas di pesantren. Sebagaimana filosofi pesantren sebagai lembaga pelayan masyarakat (khadimul ummah), karena  itu pelayanan terpadu di pesantren Bu Nyai Muyas bagian dari melayani umat dalam mendengar dan merespon persoalan umat. Balai An Nisa, tempat pelayanan terpadu korban yang dikelola Bu Nyai Muyas bersama dengan ibu-ibu yang ada di sekitar pesantren. Bapalai Perempuan An-Nisa bahkan membantu menyekolahkan anak-anak korban kekerasan seksual melanjutkan pendidikan di pesantren Al Ihya Ulumaddin, dengan menyembunyikan identitasnya bahwa ia adalah korban. Muyas mengakui bahwa Layanan terpadu memang belum maksimal sesuai dengan RUU TPKS. [] (ZA)

Selengkapnya untuk mendapatkan informasi tentang dokumen-dokumen pendukung kegiatan ini bisa lihat di Dokumen Kegiatan Halaqah Paralel tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Memperkuat Pemahaman terhadap Implementasi UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.