Halaqah Kebangsaan tentang Temu Tokoh Agama dalam Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Halaqah dengan tema meneguhkan peran ulama perempuan untuk peradaban yang berkadilan dihadiri oleh  200 lebih ulama perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia. Halaqah diawali dengan pembukaan. Terdapat serangkaian kegiatan pembukaan yaitu, lagu Indonesia raya, sambutan dari KUPI selaku tuan rumah yang dalam hal ini disampaikan oleh. Prof. Dr. KH. Machasin, selaku dewan penasehat KUPI 2 dan diakhiri dengan do’a yang dipimpin oleh Ibu Nyai Aisyah Arsyad dari Makassar.

Acara inti Halaqah dipandu oleh Ibu Surayya Kamaruzzaman akademisi dan aktivis dari Aceh. Pertama-tama Ibu Dr. Lestari Moerdijat, S.S., M.M selaku Wakil MPR RI memberikan keynote speech. Narasumber lainnya yaitu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc, M.A rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr (H.C) KH. Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI 2014-2019,  dan KH. Nuruddin Amin, Wakil Ketua DPRD Jepara. Akan tetapi karena ada satu dan lain hal, terdapat dua narasumber yang berhalangan yaitu Ibu Prof. Amani Lubis dan KH. Nuruddin Amin. Ibu Prof Amani digantikan oleh Ibu Dr. Maria Ulfah Anshor komisioner Komnas Perempuan 2020-2024, dan Bapak Nuruddin Amin digantikan oleh Bapak Suyoto Bupati Bojonegoro 2008-2018 dan Dosen Universitas Muhammadiyah Gresik.

Terdapat beberapa isu yang berkembang dalam diskusi Halaqah kebangsaan ini, baik yang disampaikan oleh Ibu Lestari maupun oleh para narasuber berkaitan dengan persoalan kebangsaan, diantaranya:

Kasus KS di pesantren menguat sebagaimana data Komnas Perempuan setidaknya ada 10 kasus terjadi di lembaga keagamaan. KUPI melalui hasil musyawarah keagamaan menyetujui UU TPKS dan mendorong utk disahkan sebagai landasan hukum untuk mencegah dimanapun dan pemulihan bagi korban yang dilakukan negara.

Masih banyaknya persoalan perempuan seperti perkawinan anak, rendahnya pendidikan anak, KDRT, perceraian hingga akhirnya menjadi pekerja seks atau dilacurkan dan dieksploitasi. Persoalan perempuan ini bagian dari persoalan bangsa yang harus direspon oleh KUPI.

Keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai 30% dan masih menghadapi tantangan besar. Kehadiran perempuan di parlemen bagian dari menyuarakan keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan yang diusung oleh KUPI terutama untuk kepentingan perempuan, menjawab berbagai persoalan perempuan dan anak dalam mewujudkan peradaban.

Menguatnya gerakan ekstrim baik kiri maupun kanan yang harus diwaspadai, bagaimana KUPI jaringan ulama perempuan membentenginya dan terus merajut persatuan. Membangun ketahanan keluarga dalam menghadapi tantangan tersebut yang pada akhirnya kita sanggup menjadi bangsa yang besar

Penting melakukan identifikasi kutub-kutub ekstrim itu di Indonesia itu ada dimana saja. Yang dimaksud ekstrem adalah cara pandang agama yang berlebih-lebihan, yang melampaui batas/ sikap dan praktik agama yang mengingkari ajaran pokok ajaran keagamaan.

Meneguhkan kebangsaan dengan nilai-nilai religius. Agama tidak bisa dipisahkan dalam keseharian, karena beragama itu hakikatnya bernegara, berkebangsaan. Olehkarenaya KUPI mampu menghayati relasi agama dan negara. Dan dengan pemahaman dan penghayatan ini akan lahir program strategis dari KUPI

Dalam konteks merawat dan memperkuat kebangsaan ini fokusnya adalah Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 45. Memperkuat empat pilar kebangsaan, sebagai visi yang tidak terlepas dari KUPI. Visi KUPI menempatkan manusia, perempuan dan laki-laki sebagai hamba Allah, sama-sama sebagai manusia seutuhnya, bukan dipandang sebagai makhluk fisik semata-mata, tapi makhluk intelektual, dan spiritual dan khalifah fil ardh. Menempatkan perempuan sebagai manusia seutuhnya dalam peran kebangsaan memaksimalkan potensi sebagai manusia, jangan dilihat sebagai makhluk seksual, biologis, perempuan bisa membuat kebijakan.

Terdapat empat tantangan bagi ulama perempuan. 1) sebagai bangsa yang religius, tantangan lahir dari fenomena kehidupan keagamaan yang justru mengingkari inti pokok ajaran agama yakni kemanusiaan. Orang mengaku beragama tetapi merendahkan harkat dan martabat manusia. Dalam konteks perempuan banyak sekali, kekerasan terhadap perempuan, pemaksaan dalam pernikahan, pernikahan dini. 2) lahirnya tafsir keagamaan yang tidak bertanggungjawab yang justru sangat merendahkan perempuan. Perempuan masih saja, ter marginalisasi, diskriminasi yang berangkat dari tafsir keagamaan. 3) adanya kebijakan negara melalui regulasi yang belum pro keadilan gender. 4) praktik kehidupan masyarakat, bisa berdasar budaya, yang masih atau belum perspektif perempuan dan anak. [] (ZA)

Selengkapnya untuk mendapatkan dokumen-dokumen pendukung kegiatan ini bisa lihat di Dokumen Kegiatan Halaqah Kebangsaan tentang Temu Tokoh Agama Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan.