Cara Penyandang Disabilitas Wicara Membaca Dua Kalimat Syahadat
Seorang non-muslim yang hendak masuk Islam harus membaca dua kalimat syahadat sebagai bukti bahwa ia masuk Islam. Sampai di sini tidak ada kendala berarti.
Namun kendala akan muncul manakala orang yang mau masuk Islam memiliki keterbatasan dalam berbicara seperti orang dengan disabilitas wicara. Sehingga ia tidak serta merta bisa mengucapkan dua kalimat syahadat yang dapat dipahami oleh pihak lain.
Karena keterbatasan ini, maka yang bisa dilakukannya adalah membaca dua kalimat syahadat dengan bahasa isyarat. Namun dari sini kemudian muncul pertanyaan, apakah syahadat orang bisu dianggap absah sebagai bukti ia masuk Islam?
Para ulama telah sepakat bahwa Allah SWT. tidak akan memberikan beban taklif kepada para hamba-Nya melebihi batas kemampuanya. Ini merupakan prinsip umum dalam hukum Islam dan merupakan bentuk karunia serta rahmat Allah SWT. Kesepakatan para ulama tersebut salah satunya didasarkan kepada firman Allah SWT.
لا يكَُلِّفُ اللهُ نَفْساً إلاَّ وسُْعَهَا
“Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah/2: 286)
Salah satu contoh yang sudah maklum adalah kebolehan mengqashar, menjamak, dan tidak berpuasa bagi musafir dengan ketentuan yang telah ditetap oleh syara`.
Seseorang yang sakit dan tidak bisa salat dengan berdiri, maka diperbolehkan baginya salat sambil duduk. Jika masih tidak bisa maka sambil tidur. Jika memang sudah tak sanggup dengan tidur, maka boleh dengan isyarat.
Karena itu kemudian dikatakan dalam salah kaidah fikih bahwa “Almasyaqqah tajlibut taysir,” (kesulitan dapat menarik kemudahan).
Atas dasar ini, maka syahadatnya penyandang disabilitas wicara absah sebagai bukti bahwa ia masuk Islam sepanjang bahasa isyarat yang digunakan dapat dipahami.
Kendati ada pendapat (qila) yang menyatakan bahwa syahadat penyandang disabilitas wicara dengan bahasa isyarat tidak dianggap absah sebagai bukti bahwa ia masuk Islam.
Pandangan kedua ini merujuk pada pembacaan tekstual terhadap pendapat Imam Syafi’i (zhahiru nashshil Imam As-Syafi’i).
“Masalah cabang, keislaman penyandang disabilitas wicara melalui bahasa isyarat yang dapat dimengerti dianggap sah. Tetapi dalam pendapat lain dikatakan, keislaman seseorang tidak diakui kecuali apabila setelah mengucapkan syahadat dengan bahasa isyarat ia menjalankan salat. Ini adalah zhahir pendapat Imam Syafi’i yang terdapat dalam kitab Al-Umm.”
Namun, menurut An-Nawawi, pendapat Imam Syafi’i ini harus dibaca dalam konteks ketika isyarat yang digunakan penyandang disabilitas wicara tersebut tidak dapat dipahami. Lain halnya ketika bahasa isyarat tersebut dapat dipahami maka dianggap absah.
“Pendapat yang benar dan dikenal adalah pendapat pertama. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i itu mesti dipahami dalam konteks ketika (syahadat) dengan bahasa isyarat tidak bisa dimengerti.” []