Amazing KUPI: The Wonderfull Of Women Power

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Pertama kali mendapatkan brosur tentang call paper dan kegiatan KUPI, saya sudah merasa bahwa kebangkitan perempuan muslim yang nyata akan terlihat pada acara KUPI. Hal tersebut benar-benar saya lihat dalam acara KUPI, mulai dari pembukaan, session demi session sampai penutupan begitu terlihat semangat dan peran perempuan muslim dalam upaya mewujudkan keadilan, kesejahteran dan kemakmuran bangsa serta kesatuan dan keutuhan NKRI. 

Pada acara pembukaan, sambutan dari Ketua Steering Committee (SC) Dra. Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc., MA yang menjelaskan tentang visi dan misi diselenggarakannya KUPI. KUPI diselenggarakan untuk menggugah kesadaran kaum perempuan bahwa masalah-masalah yang terjadi saat ini membutuhkan peran profetik perempuan bersama-sama dengan ulama laki-laki, bukan untuk menandingi ulama laki-laki, tapi mengisi celah fungsi kepemimpinan agama yang belum dimainkan oleh laki-laki. Peran utama ulama perempuan saat ini setidaknya adalah menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi perempuan sendiri yaitu menghapus segala bentuk kekerasan dan ketidak adilan terhadap perempuan, memenuhi hak-hak sosial perempuan, memahamkan perkara keagamaan khas perempuan dengan pemahaman yang adil gender, juga memahamkan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan yang tidak bias gender. Selanjutnya sambutan dari Pengasuh Pesantren Kebon Jambu Nyai Hj. Masriyah Amva yang berapi-api, juga sangat menggugah semangat dan optimisme peserta kongres. Dalam sambutannya, Nyai Hj. Masriyah Amva menegaskan bahwa upaya kultural melalui KUPI untuk meneguhkan peran-peran keulamaan perempuan bukan untuk menyaingi apalagi melibas kaum laki-laki, tapi sebaliknya menjadi mitra bagi ulama-ulama laki dalam menyelesaikan masalah-masalah keagamaan, kebangsaan dan kemanusian dengan kemampuan dan pengetahuan yang disertai dengan cinta dan kelembutan yang  menjadi kekhasan perempuan. Nyai Hj. Masriyah Amva menegaskan bahwa fungsi kepemimpinan yang dijalankan dan disertai oleh cinta dan kelembutan oleh perempuan juga akan menghasilkan perkembagan dan kemajuan yang sangat signifikan sebagaimana yang beliau lakukan di Pesantren Kebon Jambu sebagai pengasuh utama setelah wafatnya suami tercinta. Selanjutnya acara begitu khidmat dan memukai dengan tampilnya perwakilan ulama-ulama perempuan dari berbagai wilayah Indonesia juga beberapa ulama dari luar negeri untuk membuka acara Kongres dengan resmi, yang disusul dengan ucapan selamat dari perwakilan Kementerian Agama, Bupati Cirebon, Bupati perempuan dari Brebes, dan berbagan elemen pemerintah yang lain.

Pada hari kedua, session Seminar Nasional dengan tema “Peran, Metodologi, Tantangan dan strategi ulama perempuan dalam meneguhkan nilai-nilai keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan” yang menghadirkan empat narasumber juga sangat inspitarif dalam mengafirmasi kerja-kerja ulama perempuan pada masa lalu, dan meneguhkan serta melegitimasi peran dan wilayah kerja keulamaan perempuan saat ini. Narasumber pertama adalah KH. Husein Muhammad, menguraikan tentang peranan ulama perempuan dalam sejarah Islam dan Indonesia yang sangat signifikan dan perlu adanya revitalisasi. Narasumber kedua Dr. Nur Rofiah Bil. Uzm menguraikan dengan bahasa lugas dan jelas tentang metode studi Islam perspektif keadilan hakiki bagi perempuan. Narasumber ketiga Prof. Dr. KH. Machasin, guru besar pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga menjelaskan secara detail tentang tantangan dan peluang ulama perempuan dalam menebarkan Islam moderat di Indonesia. Narasumber terakhir Dra. Siti Aisyah, M. Ag. yang merupakan Pengurus Pusat Aisyiah menjelaskan secara konkrit strategi dakwah yang dapat dilaksanakan oleh ulama perempuan dalam meneguhkan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan.

Kegiatan selanjutnya adalah diskusi pararel yang terdiri dari 9 tema, di antaranya: Metodologi Ijtihad isu-isu kontemporer, tantangan dan peluang pendidikan keulamaan perempuan, penghentian kekerasan seksual, perlindungan anak dari pernikahan dini, perlindungan buruh migran, peran perempuan dalam menghadapi radikalisme agama, meneguhkan nilai kebangsaan dan mewujudkan perdamaian dunia. Dalam diskusi paralel ini kembali saya melihat secara nyata kesuksesan KUPI, hal tersebut terlihat dari antusias peserta kongres dalam memilih tema sesuai dengan minatnya. Bahkan banyak juga peserta kongres yang terlihat rela berpindah dari kelompok diskusi pararel yang satu ke kelompok yang lain karena ingin mengetahui perkembangan beberapa isu yang didiskusikan dalam kelompok-kelompok diskusi pararel tersebut. Kehebatan penyelenggara KUPI yang notabene kebanyakan perempuan ini juga sangat dirasakan peserta dalam terpenuhinya materi-materi diskusi pararel dengan baik untuk ratusan peserta, sehingga setiap peserta terpenuhi rasa ingin tahunya dan kepuasannya dalam mengikuti kegiatan kongres ini. Hal lain yang menakjubkan adalah kemampuan penyelenggara dalam menggugah keikhlasan banyak penerbit dan penulis buku untuk membagi-bagikan buku-bukunya secara sukarela kepada ratusan peserta kongres dalam rangka menunjang dan memperkuat diskusi terhadap tema-tema yang dibahas dalam setiap kelompok pararel. Dalam setiap kelompok dari 9 kelompok tema diskusi dibagikan 1 bahkan 2 sampai 3 judul buku yang pembahasannya terkait dengan tema yang didiskusikan dalam kelompok tersebut.

Pada hari ketiga pagi, kegiatan bahtsul masaail merupakan kegiatan yang juga mendapat respon yang baik dari para peserta dan pengamat dari dalam dan luar negeri. Kegiatan ini membahas beberapa masalah di antaranya: Pernikahan Anak, Kekerasan Seksual baik di luar dan dalam pernikahan, dan kerusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial. Kemampuan dan peran ulama perempuan kembali terlihat nyata dalam kegiatan ini, dengan lahirnya fatwa-fatwa terkait masalah-masalah tersebut yang dideklarasikan pada saat penutupan kongres.

Legitimasi terhadap kehebatan penyelenggara dan kesuksesan kegiatan KUPI ini sangatlah tepat dan menakjubkan, ketika penutupan acara ini mampu menghadirkan Menteri Agama Drs. KH. Lukman Hakim Saifuddin dan Kanjeng Ratu Hemas (Wakil Ketua DPD RI dan Permaisuri Raja Hamengkubuwono X Kerajaan Yogyakarta). Rangkaian acara penutupan KUPI sangat sarat makna. Pembacaan Ikrar keulamaan perempuan, fatwa-fatwa hasil bahtsul masaail, dan rekomendasi hasil diskusi-diskusi dalam kongres merupakan hasil nyata dari kegiatan KUPI yang membanggakan dan akan memberi pengaruh yang signifikan dan strategis bagi peran keulamaan perempuan. Menteri Agama Drs. KH. Lukman Hakim Saifuddin dalam sambutannya pada acara penutupan KUPI 2017 juga terlihat begitu menghargai dan bangga terhadap penyelenggaran KUPI yang menurutnya merupakan Kongres Ulama Perempuan pertama di Dunia. Tiga makna strategis KUPI yang menjadi catatan utama Menteri Agama yaitu: 1) KUPI berhasil memperjuangkan keadilan dalam relasi laki-laki dan perempuan yang memiliki tingkat urgensi cukup tinggi; 2) KUPI mampu melakukan tidak hanya pengakuan tapi juga revitalisasi peran ulama perempuan; 3) KUPI berhasil meneguhkan dan menegaskan bahwa moderasi Islam harus senantiasa dikedepankan. Keberhasilan KUPI yang juga nyata adalah respon langsung dari Menteri Agama terhadap beberapa rekomendasi KUPI, yaitu tentang regulasi UU Perkawinan untuk menaikkan batasan usia menikah perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, dan Ma’had ‘Ali untuk perempuan, yang akan segera diupayakan  implementasinya oleh Kementerian Agama.

Kesan mendalam selain terkait dengan substansi juga sangat saya rasakan terkait dengan sarana pra sarana. Kamar-kamar pesantren untuk ratusan peserta tersedia secara gratis berikut bantal dan Kasur yang semuanya baru. Kebersihan lingkungan pesantren dan kamar-kamar mandinya sangat terjaga seakan tidak pernah membiarkan satu sampah pun terjatuh tidak pada tempatnya karena kesigapan para santri Kebon Jambu melebihi cleaning service di perkantoran. Konsumsi dengan beraneka ragam menu khas Cirebon dan menu makanan prasmanan ala hotel tersedia dengan sangat baik, melebihi ketersediaan makanan dalam acara resepsi pernikahan. Dalam resepsi pernikahan terkadang pramusaji terlambat menambahkan makanan di atas meja, dalam kegiatan KUPI tidak pernah dijumpai kekurangan makanan, makan pagi, makan siang dan makan malam semuanya tercukupi bahkan berlebih tidak hanya untuk peserta yang resmi terdaftar, untuk partisipan yang tidak terdaftar juga mencukupi. Keramahan dan keikhlasan pramusaji yang terpancar dari senyum sapa mereka juga sangat mengesankan.

Akhir kata, saya merasa sangat beruntung telah hadir dan berpartisipasi dalam perhelatan akbar Kongres Ulama Perempuan pertama di Indonesia, bahkan di dunia menurut Menteri Agama. Saya sangat berterimakasih, salut dan sangat mengapresiasi kerja keras dan solidaritas penyelenggara yang luar biasa. The successful of KUPI is very amazing and it is the real proof of women power wonderful.


Penulis: Erik Sabti Rahmawati, M.A., M. Ag.

(Dosen Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang/Pengasuh PP Al-Azkiya’ Joyosuko Merjosari Malang Jawa Timur)