Al Adah Muhakkamah
Al-Adah Muhakkamah tersusun dari dua kata dalam bahasa arab, yaitu al-Adah dan al-Muhakkamah. Al-Adah secara bahasa dimaknai dengan “yang lazim”, “yang umum” dan “pengulangan”. Secara terminologi, ia dimaknai dengan suatu persoalan yang berulang-ulang secara budaya tanpa berkaitan dengan rasionalitas. Kata-kata “tanpa berkaitan dengan rasionalitas” mengecualikan keberulangan yang sifatnya konsekuensi logis.[1]
Urf dan adat memiliki satu arti, setidaknya menurut pandangan Syaikh Mahmud al-Hariri. Syaikh Ahmad Zarqa, mendefinisikan adat dengan sesuatu yang terus berlangsung yang diterima secara akal sehat, terus kembali dan berlanjut.[2]
Arti dari kaidah ini adalah bahwa adat kebiasaan yang berlaku dalam budaya dan masyarakat tertentu bisa dijadikan pijakan dalam mencetuskan sebuah hukum. Namun demikian, tidak semua adat dan budaya masyarakat bisa dijadikan hukum. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar ia bisa dijadikan pedoman.
Beberapa syarat yang dimaksud adalah sebagaimana berikut:
- Adat tersebut adalah adat yang berlaku secara umum, tidak hanya khusus pada individu. Dengan begitu, yang dipandang adalah kebiasaan masyarakat bukan kebiasaan individu.
- Adat tersebut merupakan adat yang disepakati sebelum terjadinya peristiwa.
- Adat yang terjadi tidak bertentangan dengan aturan-aturan syari’ (pembuat syariat), maqashid al-Syariah dan aturan-aturan lain yang telah baku (tertulis). Sebab adat adalah aturan yang tak tertulis, sehingga jika bertentangan dengan aturan lain yang tertulis maka ada yang dikalahkan.
Kaidah di atas termasuk salah satu dari lima kaidah “utama” (al-Qawaid al-Kubra) dalam ilmu kaidah fikih. Sebagaimana lumrahnya kaidah fikih yang lain, kaidah ini tidak berdiri sendiri. Malainkan ia juga memiliki sandaran (mustanad), baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Dasar kaidah ini dalam al-Qur’an adalah firman Allah:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (Qs. Al-A’raf [7]: 199)
Dan firman Allah yang lain:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut”. (Qs. Al-Nisa [4]: 19)
Sementara dalam sabda nabi adalah:
مَا رَآهُ الْمُسلمُونَ حسنا فَهُوَ عِنْد الله حسن، وَمَا رَآهُ الْمُسلمُونَ قبيحاً فَهُوَ عِنْد الله قَبِيح
“Apa yang dilihat orang muslim baik maka menurut Allah Swt. itu baik dan apa yang dilihat manusia jelek maka menurut Allah jelek”.
Ulama menegaskan bahwa urf dan adat adalah salah satu pondasi dalam penggalian hukum Islam, utamanya dalam kasus-kasus hukum yang tidak ada nashnya. Adapun urf yang berseberangan dengan nash maka secara otomatis ia tertolak.[3]
Dari paragraf di atas, ada dua pembagian adat dan urf; urf sahih, urf fasid. Bagian pertama adalah urf atau adat yang sesuai dengan prisip-prisp syariat sementara bagian kedua adalah sebaliknya. Yang menjadi objek pembicaraan dalam tulisan ini adalah urf sahih.
Dalam kitab-kitab ushul fiqh, urf menjadi salah satu sumber pengambilan hukum Islam (mashadir al-Ahkam). Meski kehujjahannya diperselisihkan tetapi tidak menampik posisinya sebagai sumber hukum.
Menurut Syaikh Ahmad Zarqa, adat atau urf menjadi acuan hukum pada kasus yang tak punya nash secara khusus. Maka misalnya, tidak ada ada nash sama sekali yang berlawanan dengan urf atau ada nash tapi posisinya umum, tidak tegas, maka urf bisa diperhitungkan dalam perumusan hukum.[4]
Tesis di atas sesuai dengan kaidah lain, yang amat popular yang dikutip Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wa al-Nadzair:
كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا بِلَا ضَابِطٍ لَهُ مِنْهُ وَلَا مِنْ اللُّغَةِ يُرْجَعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ
“Tiap sesuatu yang syariat datang atasnya secara muthlaq, tanpa ada standart dari syar’i, juga dalam bahasa maka standartnya dikembalikan pada urf”[5]
Ibnu Qayyim menyebut dalam bukunya A’lam al-Muwaqi’in bahwa adat dan urf sangat mempengaruhi dalam perumusan fatwa. Ia menulis:
وَلَا تَجْمُدْ عَلَى الْمَنْقُولِ فِي الْكُتُبِ طُولَ عُمْرِك، بَلْ إذَا جَاءَك رَجُلٌ مِنْ غَيْرِ إقْلِيمِك يَسْتَفْتِيك فَلَا تُجْرِهِ عَلَى عُرْفِ بَلَدِك، وَسَلْهُ عَنْ عُرْفِ بَلَدِهِ فَأَجْرِهِ عَلَيْهِ وَأَفْتِهِ بِهِ، دُونَ عُرْفِ بَلَدِك
“Janganlah engkau beralu jumud atau stagnan atas nukilan dalam sebuah kitab sepanjang hidupmu. Bahkan jika datang kepadamu seseorang yang bukan dari daerahmu minta fatwa kepadamu maka jangan berlakukan tradisi dalam daerahmu. Tanyalah ia tentang tradisi daerahnya lalu berlakukan dan berfatwalah atas dasar itu bukan atas dasar urf daerahmu”.[6]
Kaidah-kaidah turunan dari kaidah di atas adalah diantaranya:
استعمال الناس حجة يجب العمل بها
“Kesepakatan yang dipakai manusia adalah hujjah yang wajib diamalkan”
Kaidah ini menjelaskan bahwa praktek yang telah menjadi kebiasaan masyarakat bisa menjadi acuan, bahkan bisa menjadi wajib diamalkan jika tidak bertentangan dengan syari’.
انما تعتبر العادة اذا اضطردت او غلبت
“Adat diperhitungkan dan dipertimbangkan jika berlaku umum atau lebih dominan”.
Dalam kaidah ini disebut bahwa adat bisa berlaku apabila ia sudah berlaku secara umum dan mendominasi. Dua syarat inilah yang harus dipenuhi untuk mempertimbangkan adat sebagai dasar hukum.
العبرة للغالب لا للنادر
“Yang diperhitungkan adalah yang lumrah bukan yang jarang”
Sebagai penegasan dari kaidah sebelumnya bahwa yang diperhitungkan dalam adat adalah ia yang sifatnya umum, dominan bukan yang jarang. Jika jarang maka ia tak diperhitungkan.
التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
“Penegasan dengan urf seperti penegasan dengan nash”
Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum yang ditegaskan oleh urf itu kekuatannya sama dengan sesuatu yang ditegaskan oleh nash agama. Hingga ia harus diperhitungkan.
المعروف بين التجار كالمشروط بينهم
“Sesuatu yang disyaratkan antara pedagang seperti syarat yang berlaku di antara mereka”.
Komunitas pedagang biasanya memiliki bahasa dan kode tersendiri dalam praktik perdagan mereka. Kaidah ini menjelaskan bahwa sesuatu yang sudah dikenal di antara para pedagang menjadi seperti sesuatu yang disyaratkan diantara mereka.
الحقيقة تترك بدلالة العادة
“Kata hakikat ditinggalkan sebab ada dalalah adat”
Pada dasarnya makna dari sebuah lafadz adalah maknanya yang hakiki. Hanya saja makna yang asal itu bisa dipalingkan ke makna majaz jika ada adat yang mendukung. Sebab ia menjadi indikator (qarinah) kuat atas makna itu.
الكتاب كالخطاب
“Tulisan itu seperti ucapan”.
الاشارة المعهودة للاخرس كالبيان بالسان
“Isyarat yang diambil dari orang bisa seperti penjelasan dengan ucapan”.
Orang yang bisu bisa diambil ucapan dan tindakannya melalui bahasa isyarat yang ia sampaikan. Posisinya sama seperti orang yang bisa berbicara menjelaskan dengan lisan.
لا ينكر تغير الاحكام بتغير الازمنة والامكنة
“Tidak bisa dipungkiri perubahan hukum sebab perubahan waktu dan tempat”.
Kaidah ini menegaskan bahwa hukum-hukum yang sifatnya ijtihadiyah, apalagi sumbernya adalah adat, maka ia memiliki potensi untuk berubah seiring berubahnya waktu dan tempat.[]
- ↑ Tatok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2005), halaman 1.
- ↑ Ahmad Zarqa, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyah, (Suriah: Dar al-Qalam, 1989), juz 1, halaman 219.
- ↑ Mahmud al-Hariri, al-Madkhol ila al-Qawaid al-Fiqhiyah, (Dar al-Imar li al-Nasyr, Oman: 1998), halaman 121.
- ↑ Ahmad Zarqa, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyah, (Suriah: Dar al-Qalam, 1989) juz 1, halaman 219.
- ↑ Jalaluddin al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadzair li al-Suyuthi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990), juz 1, halaman 98.
- ↑ Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, A’lam al-Muwaqqiin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991), juz 3, halaman 66.