Agama, Perempuan, dan NKRI: Melawan atau Mendudukkan Kodrat
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama yang baru saja berlangsung, 25-27 April 2017 di PP. Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Cirebon, Jawa Barat, merupakan kejadian penting yang menyediakan makna perwakilan, identitas, pergerakan, atau bahkan perlawanan kuat terhadap wacana dominan dan wacana yang mengkhawatirkan seperti radikalisme, diskriminasi, dan bahkan eksploitasi alam, dengan gaya tersendiri, yaitu santun. Esai ini hanya mencoba mengkonstruk satu makna yang mungkin bagi banyak kalangan masih masuk wilayah trivial, namun bagi penulis poin ini penting dan strategis.
Poin tersebut adalah membaca realitas dari perspektif konstruksi kodrat perempuan. Perspektif ini mengasumsikan apa yang operasional dalam masyarakat dimana kodrat masih secara luas dan bahkan laten dimaknai secara budaya atau nurtured. Tidak seperti feminism atau perspektif gender yang mendudukkan konstruksi atau persepsi kodrat perempuan sebagai sebuah nilai yang mesti dinaturalisasikan menjadi hanya bersifat fisikal karena berkecedrungan membatasi keterlibatan perempuan di ruang publik, perspektif kodrat juga setuju dengan kecenderungan tersebut, dan hanya saja membaca lebih lanjut dengan cara mendudukkannya sebagai nilai yang mesti dipahami. Dalam konstruksi ini, kita melihat pembatasan keterlibatan sosial perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dalam realitas keseharian perempuan, dan memandang cara menghadapinya dengan cara persuasif dan perlahan-lahan dengan fokus mencari solusi yang sesuai dengan keadaan.
Perspektif kodrat tidak menolak kritik feminism dan gender sensitivity atas pembatasan yang diakibatkan oleh nilai kodrat, tapi berbeda dari sisi cara menghadapi pembatasan tersebut. Sebagaimana masalah pembatasan itu ada there in reality, potensi solusinya ada there in reality juga. Karenanya dalam perspektif kodrat, situasi setara, sejajar dan adil adalah situasi ideal yang sedang dituju, dan bukan realitas yang sedang dihadapi sekarang. Situasi di sini bersifat umum, adapun case per case tidak sedikit agensi perempuan sudah memiliki nilai keadilan dan kesetaran gender yang memadai. Mereka didudukkan sebagai faktor pendukung yang akan menguatkan nilai kodrat yang lebih berkeadilan gender.
Semakin perspektif kodrat yang diusung oleh agensi internal, yaitu perempuan itu sendiri maupun oleh agensi eksternal atau konteks dimana agensi perempuan hidup dan berkiprah, terrasionalisasi menuju pengertian essentialnya, maka konstruksi kodrat agensi perempuan tersebut semakin menuju sensivitas gender, bersikap adil dan setara. Persoalan yang mesti diperhatikan berada di banyak level dan di setiap level memerlukan perlakuan tesendiri untuk memastikan pesan penyadaran sampai dan diterima tanpa menimbulkan reaksi yang tidak perlu. Dalam hal ini, bukan hanya agensi perempuan saja yang harus memiliki sensivitas gender, sebenarnya juga konteks semestinya demikian. Denga kata lain, dalam perjuangan membangun masyarakat yang berkeadilan gender terdapat dua medan perjuangan, pemberdayaan perempuan dan pada saat yang sama mendorong kondusifnya konteks bagi praktek sosial berkeadilan gender.
Apa yang kita saksikan dari KUPI pertama ini adalah refleksi positif bahkan antusiasme yang menggembirakan. Hanya saja dilihat dari perspektif konstruksi kodrat, perempuan Indonesia khususnya perempuan Muslim Indonesia masih dihadapkan ke dalam situasi mencari format tepat untuk mencari skema perubahan menuju Masyarakat Indonesia yang egaliter dan berkeadilan gender dimana perempuannya (Muslim) mendapat ruang dan kesempatan yang lebih baik. Melalui KUPI kita melihat bagaimana sarjana dan aktivis perempuan termasuk di dalamnya sarjana dan aktivis laki-laki memperlihatkan kesamaan dan perhatian besar mereka untuk mendorong keadaan lebih baik dimana laki-laki dan perempuan saling menghargai di tingkat yang lebih baik lagi, dan perjuangan ini bagian inheren dari upaya semua pihak termasuk mereka yang kumpul di kongres ini untuk menjaga NKRI.
Tidak dapat dipungkiri ada common objective yang sama yang ingin dicapai antar berbagai kalangan baik kalangan feminis ataupun konstruksi kodrat. Perbedaanya terletak pada cara mencapai common objective tersebut. Feminis mengambil jalan revolisioner dengan semangat mengganti sistem dan nilai yang ada dengan sistem dan nilai feminism. Jadinya, seringkali feminis langsung berhadapan secara frontal dengan target perubahan, menawarkan subsitusi terhadap sistem dan nilai yang berlaku. Misalnya feminis menjadikan sistem patriarki sebagai “biang keladi” dari segala ketidakadilan dan diskriminasi gender yang telah menempatkan perempuan sebagai anggota masyarakat kelas dua, pejalan kaki di dunia lelaki dan bukan warga negara sejajar.
Dari pemaparan para narasumber baik di Internasional Seminar, tanggal 25 April di IAIN Syeikh Nurjati, Cirebon, maupun Seminar Nasional dan parallel session tanggal 26-27 April 2017 di PP. Kebon Jambu, Cirebon, ditemukan benang merah bahwa sebagian besar narasumber mempunyai kecenderungan tersebut. Sebagai contoh, tawaran yang diajukan salah satu narasumber sudah mengakomodir pentingnya pemahaman atas kodrat perempuan, walaupun dia sendiri tidak menyebut terma kodrat. Hanya saja pemaparannya tidak berangkat dari perspektif konstruksi kodrat, tapi dari sisi feminism. Sebagai salah satu bentuk tawaran penyadaran, proposalnya sangat inspiring, tapi sebagai tawaran metodologi kajian Islam seperti dijelaskannya menyisakan permasalahan karena terjebak pada essentialisme. Padahal, penggalian pemahaman yang mendekati kenyataan sebenarnya adalah pokok dari sebuah kajian atau penelitian.
Sementara pendukung konstruksi kodrat mengambil jalan sebaliknya, yaitu evolutif menyesuaikan dengan keadaan obyektif di lapangan. Salah satu fakta yang sulit dipungkiri adalah sistem kekerabatan memiliki ketahanan yang luar biasa. Faktanya sistem kekerabatan tersebut sudah terbentuk sedemikian lama dan berjalan secara otomatis bahkan laten. Saat ini mayoritas penduduk dunia berada dalam sistem ini tapi dengan sejumlah rasionalisasi. Sistem kekerabatan tersebut adalah patriarki. Pada umumnya geografi di dunia ini menganut sistem yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga, termasuk di Indonesia. Untuk mengilustrasikan kekuatan sistem patriarki ini dapat merujuk pada sistem dan nilai yang ada dalam ajaran agama-agama, termasuk agama Islam. Sumber pokok agama Islam memuat konsep-konsep berdimensi patriarki, seperti konsep pencari nafkah, waris, dan kepemimpinan keluarga.
Selain itu, khasanah ajarannya juga tumbuh dan berkembang dari masyarakat patriarki. Gabungan kesemuanya membentuk pola relasi gender yang tradisional. Pola relasi tradisional tersebut terlembagakan secara kuat di abad pertengahan ketika Islam secara politik mengalami dinamika yang tinggi tapi ditutup dengan kekalahan politik umat Islam. Kekalahan tersebut tidak hanya berpengaruh pada perkembangan politik umat Islam saja tapi lebih jauh pada banyak aspek lainnya budaya dan ilmu pengetahuan, membentuk karakter peradaban Muslim saat ini yang sedang berjuang untuk bangkit.
Pertanyaan adalah bagaimana sebaiknya menyikapi sistem patriarki ini, apa dikiritik habis dan diganti? Diganti dengan apa? Kalaupun ada pilihan penggantinya misalnya dengan sistem kekerabatan eqaliter atau seperti disinggung salah satu narasumber di KUPI sistem kekerabatan “hakiki”, bagaimana nilai dan sistem baru ini menjadi bagian masyarakat tanpa menimbulkan reaksi destruktif? Dan banyak pertanyaan lainnya yang memastikan bahwa the proposal dapat diimplementasikan sesuai harapan dan dapat diterima banyak kalangan.
Tentunya tidak mudah, untuk tidak mengatakan mission impossible, untuk mewujudkan impian tersebut. Kalau demikian adanya, apa yang mungkin kita lakukan kemudian. Sebagaimana sudah banyak dilakukan adalah merasionalisasi sistem kekerabatan yang ada termasuk patriarki agar lebih gender sensitive dengan cara perlahan mengikuti perubahan zaman. Kiranya ada baiknya kita belajar dari al-Qur’an. Al-Qur’an adalah Kitab Suci dimana umat Islam yang sangat bervariasi latar belakang budaya dan pemikirannya dengan penuh kerendahan dan kepatuhan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Hal ini tidak lain dan tidak bukan dari cara al-Qur’an mensikapi realitas manusia yang variatif.
Ayat-ayat yang diduga diskriminatif dan tidak sensitif gender sejatinya merupakan cara Allah memberikan hidayah (pentunjuk)-Nya untuk menjangkau sekalian manusia. Tinggal bagaimana manusia memahaminya secara bijak. Misalnya dalam persoalan poligami QS 4: 3 bukan hanya esensi pesan agama Islam itu monogami, tapi tentang bagaimana nilai monogami ini menjadi bagian dari realitas juga penting. Karenanya tidak kalah penting kalau kita arahkan perhatian pada bagaimana menciptakan konteks yang mendukung monogami. Bila hal ini disentuh, maka sesungguhnya homework kita semua termasuk pemerintah masih besar, mulai dari aspek pendidikan, fasilitas publik, lembaga-lembaga kehidupan berkeadaban, sampai urusan payung hukum yang memagarinya. Salam dan Bravo KUPI.
Ciputat, 1 Mei 2017
Penulis: Kusmana
(Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)